Selasa, 02 Agustus 2016

JURNAL - SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA SETELAH REFORMASI



SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA
SETELAH REFORMASI

Abstrak

Karena Kemerdekaan, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia telah berubah beberapa kali. Itu dari segi mencari bentuk politik yang sesuai dengan kondisi Indonesia dan untuk menyadari stabil, pemerintahan yang demokratis, dan menciptakan masyarakat yang sejahtera. Dalam "Orde Lama" (1945-1959), ada sistem politik dan pemerintahan yang demokratis tetapi dalam waktu yang sama ekonomi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat diabaikan. Setelah kudeta upaya pada 1 Oktober 1965, di mana militer mengambil kekuasaan, mereka mengarahkan sistem politik dan pemerintah untuk menyadari ekonomi pembangunan dan kesejahteraan. Pada waktu itu berbentuk stabil sytem politik dan pemerintah tetapi itu tidak demokratis dan timbul penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman masa lalu yang sangat baik, berantakan dalam satu sisi dan cukup di sisi lain mencoba untuk merekonstruksi oleh sistem presiden dan parlemen campuran. Di fakta bahwa percobaan dibuat pemerintah dibagi dan hidup bersama. Itu sadar bahwa rekonstruksi infrastruktur politik seperti masyarakat dan partai politik adalah kunci dari politik dan pembangunan pemerintah.

Kata kunci       : Politik dan pemerintahan sistem, demokrasi, pembangunan ekonomi,
                                  dicampur sistem presidensial dan parlementer


A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia dewasa ini, setelah Reformasi pada tahun 1998, sesungguhnya merupakan kelanjutan  pencarian format atau model sistem politik ideal Indonesia. Sistem politik merupakan sebuah rangkaian kegiatan atau proses di dalam sebuah masyarakat politik dalam memengaruhi dan menentukan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Input dalm sebuah sistem politik adalah aspirasi masyarakat atau kehedak masyarakat.Aspirasi rakyat dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: a. Tuntutan adalah keinginan warga masyarakat yang pemenuhannya harus diperjuangkan melalui cara-cara dan menggunakan srana politik. b. Dukungan adalah setiap perbuatan, sikap, damn pemikiran warga masyarakat yang mendorong pencapaian tujuan, kepentingan, dan tindakan pemerintah dalah sistem politik, c. Sikap apatis adalah sikap tidak peduli warga negara terhadap kehidupan politik.
Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsimereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebutharus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis,agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yangmuncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teoridependensi.Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagianyang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakatataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teorisistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama —atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadapkarakteristik unik dari sistem itu sendiri.Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponenkunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderenini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almondmemperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskannilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga,sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yangmembangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalammasyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimanamasyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaanmenjadi warga negara yang efektif.
Model atau format sistem politik ideal seperti apa yang sesungguhnya diharapkan? Pertama adalah format atau model tersebut dapat menjamin adanya sistem politik yang demokratis, seperti dikatakan para ilmuwan politik di mana setiap orang atau kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses politik, mengambil bagian dalam merumuskan kebijakan publik, dan berperan serta dalam memilih pejabat-pejabat publik (baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif). Kedua adalah model atau format politik yang demokratis tersebut memiliki stabilitas jangka panjang. Stabilitas yang dibutuhkan di sini berdurasi lama untuk menjaga agar pencapaian-pencapaian di segala aspek dapat dipertahankan serta tidak setiap saat mengalami pasang surut jika terjadi perubahan-perubahan politik. Ketiga, sistem yang demokratis dan stabil dalam jangka panjang itu idealnya membuat kehidupan ekonomi mengalami kemajuan atau perkembangan positif. Suatu hal yang rasanya justru kontradiktif. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu compatible dengan kemajuan konomi.
Sejarah politik kita menunjukkan bahwa perubahan-perubahan politik besar di masa lalu seakan menegaskan bahwa ketiga hal tersebut tidak dapat dicapai sekaligus atau berjalan seiring. Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.


B. PEMBAHASAN
B.1. Pelajaran Dari Politik Yang Hiruk Pikuk
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, segera saja negara yang masih baru ini mengalami berbagai hal : pergolakan politik, kerusuhan-kerusuhan, kesulitan ekonomi, lemahnya pemerintahan, dan agresi dari Belanda. Tekanan internal dan eksternal selama kurang lebih 4 (empat) tahun membuat pemerintah Republik Indonesia dapat dikatakan tidak berdaya untuk membenahi semua aspek kehidupan masyarakat. Sampai kemudian tercapai perundingan KMB di Den Haag, Belanda pada 24 Agustus 1949. Draf akhir konferensi itu menyatakan bahwa Indonesia harus menanggung beban utang Hindia Belanda sebesar 5,6 milyar gulden, serta menambahkan kata serikat pada namanya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara hasil KMB ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungan pada Kerajaan Belanda, tanggal satu per satu dan akhirnya pada 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan perubahan RIS seraya menyatakan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang menetapkan bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi Parlementer.
Sejak itu pemerintah silih berganti, Perdana Menteri/kabinet datang dan pergi. Tidak kurang dari 7 (tujuh) kali kabinet mengalami perubahan selama kurun waktu 1950-1959. Gonta-ganti kabinet dalam jangka waktu pendek ini akibat dari kondisi perpolitikan yang hiruk pikuk. Parlemen setelah pemilu pertama tahun 1955, diisi oleh partai-partai politik yang memiliki perbedaan ideologi tajam sehingga perubahan-perubahan konstelasi koalisi di parlemen dengan segera mengakhiri legitimasi kabinet, demikian seterusnya.
Tingkah polah partai yang membuat kabinet tidak berdaya tersebut sama-
sama tidak disenangi oleh tiga pihak, yaitu Soekarno, Hatta, dan militer. Dalam pidato perpisahannya, sebagai wapres Hatta mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas kepentingan pribadi dan kelompok yang sempit. Soekarno malah punya gagasan untuk membubarkan saja partai-partai politik itu dan menggantinya dengan golongan fungsional. Mengenai militer, Ulf Sundhausen berteori bahwa kegagalan para politikus sipil dalam mengelola negaralah yang membuat militer keluar dari barak dan masuk arena politik. Sarjana lain yang berpendapat serupa adalah Harold Crouch yang menyatakan bahwa salah satu faktor penting penyebab militer terjun ke politik adalah ketidakmampuan otoritas sipil untuk memrintah secara efektif ( Harold Crouch, 1985, hal 294).
Sistem Demokrasi Parlementer yang riuh tersebut sampai-sampai tidak dapat menghasilkan suatu UUD baru untuk menggantikan UUD Sementara atau UUD 1945 yang oleh Bung Karno sendiri disebut UUD kilat atau “revolutie grondwet”. Dewan Konstituante yang dibentuk sejak 10 November 1956 belum juga berhasil membakukan UUD baru. Pangkal perselisihan dan perdebatan dalam Konstituante yang membuat pembahasan UUD baru berlarut-larut adalah Piagam Jakarta. Kubu partai-partai Islam ingin memasukkan Piagam tersebut dalam mukadimah UUD baru.
Sedang kubu partai-partai Nasionalis menolak untuk memasukkan Piagam Jakarta. Vonis kematian Konstituante dan perubahan sistem politik Demokrasi Parlementer terjadi pada 5 Juni 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Apakah dengan demikian Demokrasi Parlementer menjadi sebuah pencapaian positif atau justru kebalikannya merupakan stigma negatif dalam perpolitikan Indonesia? Presiden Soekarno yang masih tetap merupakan figur yang menonjol dan militer terutama Angkatan Darat serta banyak yang lain memandang bahwa era tersebut justru merupakan stigma negatif. Pendapat serupa berlangsung terus sampai pada era Demokrasi Pancasila (1966-1998). Demokrasi berikut turunannya, yakni sistem pemerintahan Parlementer dipandang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Oleh karena itu, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), demokrasi yang dilansir adalah demokrasi dengan arahan atau pimpinan presiden. Sebuah konsep yang diracik oleh Soekarno  (juga militer) untuk memodifikasi demokrasi masa lalu yang membuat pemerintahan sama sekali tidak efektif. Jadi sesungguhnya demokrasi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila esensinya sama hanya pemberi arahan atau komando berbeda, yakni sipil dan militer.


B.2. Pelajaran Dari Politik Yang Bungkam
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.
Stigma negatif demokrasi parlementer menjadikan penguasa rezim Orde Baru berusaha mengendalikan atau dalam bahasa politik melakukan kooptasi terhadap kekuatan-kekuatan politik atau partai-partai politik. Setelah Masyumi, PSI dan Murba dibubarkan pada masa tahun 1959-1964, giliran PKI dibubarkan pada tahun 1965, praktis kericuhan politik yang diwarnai oleh perbedaan tajam ideologi mengalami penurunan. ABRI sebagai kekuatan utama saat itu disokong oleh birokrasi menjadi pilar rezim baru tersebut. Melalui Golongan Karya (Golkar), sebuah wadah politik untuk menghimpun kelompok-kelompok fungsional, maka ABRI dan Birokrasi “mengendalikan” kehidupan politik. Tahun 1971 pada saat diadakan Pemilu kedua, Golkar meraup 63% suara dari total 100% suara sah. Program-program Perbaikan dan Pembangunan Ekonomi diluncurkan, Pemerintah juga mengundang investasi dan bantuan asing, suatu hal yang tidak terjadi di masa lalu, sehingga muncul slogan saat itu “ekonomi adalah panglima” menggantikan slogan lama “politik adalah panglima”. Kebijakan politik domestik adalah tercapainya stabilitas dan efektivitas pemerintahan, sedangkan kebijakan ekonominya adalah pertumbuhan ekonomi kemudian pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Keikutsertaan militer dalam Hankam dan kemudian juga dalam bidang lain
seperti sosial politik dilandasi oleh pemikiran bahwa ABRI adalah juga bagian integral bangsa Indonesia, oleh karena itu ABRI mempunyai hak untuk ikut serta dalam proses politik apabila eksistensi negara dan bangsa terancam. Konsep ini yang menjadi pedoman dari pimpinan ABRI baik Jenderal A.H. Nasution maupun Jenderal Soeharto sebagai hasil dari Seminar Angkatan Darat II tahun 1966. Namun terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Nasution berpendapat ABRI turun tangan hanya bila eksistensi negara dan bangsa terancam, apabila kondisi eksistensi tidak mengalami ancaman maka ABRI atau militer secara bertahap harus kembali ke barak.
Soeharto melalui para perwira think tanknya seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berpendapat bahwa ABRI harus tetap di luar barak, karena ABRI dibutuhkan untuk menjadi pelopor dalam pembangunan guna mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju (R.Eep Saefulloh Fatah, 1993 hal 131). Kendali kekuasaan yang besar ini menjadi semakin besar dan hampir-hampir absolute ketika tidak ada lagi partai politik atau
kekuatan-kekuatan politik lain yang dapat melakukan checks and balances. Fusi partai-partai politik pada akhir dekade 1970-an diikuti oleh pemilu yang penuh rekayasa dan intimidasi, sesungguhnya telah mematikan kehidupan demokrasi.
Tetapi di lain sisi kekuasaan presiden (yang terus menerus terpilih) menjadi demikian besar dan sangat efektif. Pola hubungan kekuasaan antara Presiden dan DPR (parlemen) tidak seimbang, sangat berat ke arah presiden (executive heavy). Saat itu tidak ada realisasi hak angket atau interpelasi yang dilakukan oleh DPR. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan terhadap Presiden, DPR malah menjadi tukang stempel bagi segala kebijakan politik top executive. Sebagaimana premis yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ini selain menggerogoti sendi-sendi good governance juga mengikis sendi-sendi perekonomian, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Begitu pula ekonomi yang berdasarkan pada rent seeking, ikut mendorong percepatan kemunduran ekonomi nasional.
Sinyalemen banyak ahli ekonomi politik yang menyatakan bahwa booming ekonomi Indonesia pada dekade 1980-an tidak menumbuhkan pelaku-pelaku ekonomi pendorong kapitalisme seperti di negara asalnya, tetapi hanya menghasilkan kapitalisme semu/ersatz capitalism terbukti kemudian dengan ambruknya konglomerasi secara cepat pada saat Indonesia mengalami krisis moneter dan kemudian krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.


B.3. Renungan Reformasi
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi  1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, 2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.
Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.
Jika demikian pokok pikirannya maka sistem presidensial tersebut harus diimbangi dengan sistem multi partai untuk membentuk parlemen yang betul-betul berfungsi mengawasi presiden. Jadi sebetulnya sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multi partai merupakan jawaban atas pelajaran-pelajaran masa lalu. Jawaban tersebut bukannya tanpa problematik baru. Para ahli perbandingan politik seperti Scott Mainwaring atau Juan Linz dan Arturo Valensuela (Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994, hal 6-8) mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) kelemahan pokok sistem ini. Pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan pemerintahan atau jalan buntu (deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Di mana masing-masing merasa memperoleh legitimasi dari rakyat (dual legitimacy), presiden dipilih langsung oleh rakyat demikian pula DPR atau parlemen.
Kebuntuan politik ini di dalam sistem yang menganut trias-politica dapat menjurus pada pemerintahan yang terbelah (devided government), di mana presiden dan DPR dikuasai oleh parpol yang berbeda. Bahkan AS negara dengan sistem presidensial paling stabil pun pernah mengalami hal tersebut. Kasus paling akhir adalah semasa jabatan Presiden Bill Clinton yang berasal dari partai Demokrat berhadapan dengan Congress yang dikuasai oleh partai Republik, sehingga sempat terjadi deadlock dalam penentuan budget (APBN). Tetapi pengalaman selama ratusan tahun dan mekanisme internal institusi membuat deadlock atau devided government tersebut tidak mengancam stabilitas politik dan eksistensi demokrasi. Kedua, kekakuan sistemik yang melekat pada sistem presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada peluang untuk mengganti presiden di tengah jalan apabila kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “the winner takes all” yang inheren dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga parlemen (DPR) yang didominasi kepentingan partisan dari partai-partai politik. Lebih lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi yang relatif tinggi.
Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang terjadinya kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi jika tidak ada satu partai pun yang menguasai mayoritas di parlemen (DPR). Masalah menjadi semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal (presiden dan wakil presiden) berasal dari dua partai yang berbeda (cohabitation). Presiden berasal dari parpol lebih kecil, sedangkan wakil presiden berasal dari parpol yang lebih besar. Eksperimentasi untuk menemukan sistem politik yang ideal tersebut rasanya semakin jauh bila kita melihat kabinet sebagai suatu lembaga politik yang bertugas menterjemahkan kebijakan-kebijakan politik presiden ke dalam program-program dan proyek-proyek yang harus diimplementasikan.
Sementara itu, kabinet pelangi SBY yang merupakan institusi pembantu presiden banyak diisi oleh orang-orang dari parpol (kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif. Menurut beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung beberapa hal yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan lambat dan tidak responsif. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya pihak yang harus dilibatkan, tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik yang akan terjadi.
Sering dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut. Kedua, keterlibatan banyak partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-partai politik (baca elite politik). Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik
Sistem demokrasi dan kebijakan politik demikian ini ke depan memang sudah seharusnya mengalami perubahan. Perubahan itu niscaya diperlukan karena adopsi atas sistem tersebut membutuhkan perbaikan-perbaikan sistemik meliputi tiga aras, yakni pemantapan civil society, perbaikan sistem pemilu presiden, dan penyederhanaan partai politik. Pemantapan dan penguatan civil society akan memunculkan suatu masyarakat yang mempunyai karakter mengedepankan kemandirian, memiliki kesadaran yang tinggi dalam kehidupan politik dan hukum, berwawasan plural, rasional, dan obyektif. Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bagaimana komunitas ini mampu menjadi penggerak utama tumbangnya rezim-rezim otoriter mulai dari Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia. Suatu upaya yang menurut banyak kalangan dan prediksi beberapa ahli tidak mudah untuk diwujudkan di Indonesia mengingat pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan (tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurun dari prediksi 6,32% menjadi 6,0%).
Pada aras pemilihan presiden batas minimal dukungan partai dalam DPR merupakan hal positif. Proporsi terlalu besar akan meredupkan atau memperkecil peluang munculnya kandidat alternatif yang mungkin saja tidak dimiliki oleh partai atau kelompok partai besar sekaligus mematikan makna pluralisme politik. Sedangkan persentase terlalu kecil akan memunculkan terlalu banyak calon dan tidak akan menjamin dukungan cukup kuat di DPR. Jalan tengah terbaik tampaknya adalah memberi peluang munculnya kandidat alternatif di samping dua kandidat dari pengelompokan partai besar.
Untuk itu angka dukungan 20-30% adalah jumlah dukungan cukup rasional. Selain syarat batas minimal dukungan, hal lain yang berperan menentukan keberhasilan dan kualitas sistem presidensial adalah model sistem pemilihan. Sebagaimana diketahui proses pemilihan presiden langsung mengenal tiga model, yakni model electoral college (seperti dipraktekkan di Amerika Serikat), model satu putaran (pluralis), dan model dua putaran (mayoritas mutlak). Untuk Indonesia, model ketiga seperti yang telah dipraktekkan di masa lalu merupakan pilihan yang relevan.
Meskipun untuk itu, biaya menjadi semakin mahal dan waktu semakin panjang. Penyederhanaan parpol merupakan suatu keniscayaan karena secara teoritis dengan sederhananya jumlah parpol, kemungkinan pasangan kandidat presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden bukan dari sebuah parpol atau kelompok parpol yang terlalu kecil jumlahnya (minoritas). Yang menghasilkan seorang presiden yang oleh Juan Linz disebut unexperienced outsider. Dengan sedikitnya partai maka gap jumlah suara cenderung tidak terlalu besar.
Begitu juga dengan pengelompokan-pengelompokan politik potensial. Situasi demikian membuat presiden terpilih bukan saja merupakan tokoh terbaik kaliber nasional yang didukung partai menengah dan besar, tetapi juga relatif memiliki jaminan sokongan yang lebih solid dan luas di DPR. Selain jumlah yang harus disederhanakan, pembenahan ke depan menyangkut parpol adalah upaya membuat parpol lebih maju, lebih modern, dan lebih sehat. Selama ini parpol mengidap beberapa kecenderungan (negatif) seperti dikatakan oleh Syamsuddin Haris (Syamsudin Haris, artikel di Kompas 11 September 2003 hal 3). Ada 4 (empat) kecenderungan negatif parpol, yaitu : Pertama : Berkembangnya kepemimpinan yang personal dan oligarkis.
Partai-partai besar masih saja mengusung pemimpin-pemimpin lama yang sebetulnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Begitu pula elite partai masih saja menyelamatkan kepentingan dan pilihan sang pemimpin, ketimbang mempertahankan integritas dan citra publik partai. Kedua : Partai yang semestinya merupakan organisasi modern dan rasional, berkembang menjadi semacam paguyuban arisan bagi mobilitas vertikal para elite politik yang bersaing dalam mempersembahkan loyalitas terhadap sang pemimpin atau ketua umum. Ketiga : Merosotnya etika dan moralitas politik kader-kader partai ke titik paling rendah. Ketiadaan etika dan moral ini yang bisa menjelaskan fenomena korupsi suap dan money politics di kalangan partai dan legislatif. Keempat : Partai umumnya miskin visi tentang perubahan dan perbaikan, sehingga yang muncul akhirnya retorika dan slogan-slogan yang dangkal dan mengambang. Semua partai bicara keadilan, pembangunan, kesejahteraan, tetapi tidak jelas perbedaan konsep dan solusinya.





C. PENUTUP
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.
Usaha mengkombinasikan dua sistem tersebut seringkali melahirkan kompromi-kompromi politik dimana kedudukan presiden relatif cukup aman tetapi tidak begitu bermanfaat bagi berbagai kebijakan pemerintah pada khususnya dan bagi perkembangan demokrasi pada umumnya. Karena kompromi politik pada dasarnya adalah bersifat kasuistik dan sementara yang tidak dapat secara terus menerus dipertahankan.
Menurut Firman Noor ( Firman Noor, 2009, hal 51-85) spektrum skenario kebuntuan politik itu terbentang mulai adanya sosok presiden yang populer namun tidak mendapat dukungan yang cukup dalam parlemen, munculnya sosok presiden yang dikendalikan atau disandera secara oligarkis oleh kekuatan-kekuatan pendukung-pendukungnya, hingga kemungkinan munculnya seorang presiden yang mengabaikan sama sekali esistensi parlemen dengan alasan untuk kepentingan rakyat.
Adanya kemungkinan-kemungkinan negatif tersebut menurut Noor dalam kasus Indonesia ke depan dapat diredam dengan melakukan beberapa pembenahan sistemik yang meliputi tiga aras utama yakni pengaturan mekanisme pemilu presiden, pembenahan partai-partai poltik dan pemantapan civil society.






DAFTAR PUSTAKA

https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=b2SztsMAAAAJ&citation_for_view=b2SztsMAAAAJ:8k81kl-MbHgC
Haris, Syamsuddin “ Potret Partai dan Masa Depan Demokrasi, www.kompas.com

MAKALAH HADIST PENCIPTAAN MANUSIA QS AL BAQARAH AYAT 30



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berasal dari makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini. Di lain pihak banyak ahli agama yang menentang adanya proses evolusi manusia tersebut. Khususnya agama Islam yang meyakini bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam a.s. disusul Siti Hawa dan kemudian keturunan-keturunannya hingga menjadi banyak seperti sekarang ini. Hal ini didasarkan pada berita-berita dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Untuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana proses kejadian manusia menurut Al-Qur’an, hadist, maupun iptek.
Sejak dulu manusia sudah diciptakan oleh Allah pada awalnya menjadi umat yang akan menjadi pemimpin di surga. Manusia akan menjadi pemimpin malaikat dan syetan, akibatnya syetanpun cemburu, dan berbuat murka dan tidak patuh terhadap Allah. Seiring berjalannya waktu, Syetanpun berhasil mempengaruhi manusia untuk melanggar aturan dari Allah swt, sehingga manusia dapat hukuman untuk diturunkan didunia.Para malaikat khawatir, bahwa umat manusia (keturunan Adam) akan membuat kerusakan di bumi. Padahal para malaikat merupakan makhluk yang selalu bertasbih, mensucikan Allah. Ketidaktahuan para malaikat dan kekhawatiran para malaikat itu menjadi hilang setelah mendapatkan penjelasan dari Allah bahwa Allah lebih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para malaikat (Kandungan Q.S Al Baqoroh ayat 30).
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
  • Untuk mengetahui pengertian hakikat manusia
  • Untuk mengetahui proses penciptaan manusia.
  • Untuk mengetahui perjalanan hidup manusia
  • Untuk menjelaskan fungsi tugas dan tujuan hidup manusia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia diantara makhluk ciptaan-Nya. Oleh sebab itu manusia diharuskan mengenal siapa yang menciptakan dirinya sebelum mengenal lainnya.
 Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
  • Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
  • Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
  • Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati.
  • Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
  • Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
2.2. Proses Penciptaan Manusia
2.2.1. Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an
Penciptaan manusia dan aspek-aspeknya itu ditegaskan dalam banyak ayat. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
1.      Manusia tidak diciptakan dari mani yang lengkap, tetapi dari sebagian kecilnya (spermazoa).
2.      Sel kelamin laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin bayi.
3.      Janin manusia melekat pada rahim sang ibu bagaikan lintah.
4.      Manusia berkembang di tiga kawasan yang gelap di dalam rahim.
5.      Setetes Mani
Sebelum proses pembuahan terjadi, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki pada satu waktu dan menuju sel telur yang jumlahnya hanya satu setiap siklusnya. Sperma-sperma melakukan perjalanan yang sulit di tubuh si ibu sampai menuju sel telur karena saluran reproduksi wanita yang berbelok2, kadar keasaman yang tidak sesuai dengan sperma, gerakan ‘menyapu’ dari dalam saluran reproduksi wanita, dan juga gaya gravitasi yang berlawanan. Sel telur hanya akan membolehkan masuk satu sperma saja.
Artinya, bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil darinya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
  1. Segumpal Darah Yang Melekat di Rahim
Setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut, Allah menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.
“Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah”. (al ‘Alaq/96:2).
Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, terbentuk sebuah sel tunggal yang dikenal sebagai “zigot” , zigot ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi “segumpal daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop.
Tapi, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. Pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Qur’an terungkap. Saat merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata “alaq” dalam Al Qur’an. Arti kata “alaq” dalam bahasa Arab adalah “sesuatu yang menempel pada suatu tempat”. Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang menempel pada tubuh untuk menghisap darah.
2. Pembungkusan Tulang oleh Otot
Disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an bahwa dalam rahim ibu, mulanya tulang-tulang terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus tulang-tulang ini.
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al Mu’minun:14)
Para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio terbentuk secara bersamaan. Karenanya, sejak lama banyak orang yang menyatakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun, penelitian canggih dengan mikroskop yang dilakukan dengan menggunakan perkembangan teknologi baru telah mengungkap bahwa pernyataan Al-Qur’an adalah benar kata demi katanya.
Penelitian di tingkat mikroskopis ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam rahim ibu terjadi dengan cara persis seperti yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama, jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian sel-sel otot yang terpilih dari jaringan di sekitar tulang-tulang bergabung dan membungkus tulang-tulang ini.
3. Saripati Tanah dalam Campuran Air Mani
Cairan yang disebut mani tidak mengandung sperma saja. Ketika mani disinggung di Al-Qur’an, fakta yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, juga menunjukkan bahwa mani itu ditetapkan sebagai cairan campuran: “Dialah Yang menciptakan segalanya dengan sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina.” (Al-Qur’an, 32:7-8).
2.3. Perjalanan Hidup Manusia
Menurut Al Qur’an : Dari Allah kembali kepada Allah ( Al Baqarah  2: 156 ). Sesungguhnya tujuan hidup kita di dunia adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah, melalui ujian kesabaran dan keikhlasan, bukan sekedar mengharapkan surga.  Surga bukan tujuan para sufi.  Surga bukan tujuan para pencari sejati.  Karena di surga tidak ada Allah.  Di surga tidak ada apa-apa, kecuali kesenangan fisik.
Demi Masa : Manusia senantiasa merugi (Al Asr 103:1-3).  Merugi bila kita tidak memiliki dan tidak mengerti tujuan hidup.  Karena kita semua akan  mengalami proses penuaan dan akhirnya mati, kembali kepada Allah.
Beberapa periode kehidupan manusia
  1. Di Alam Ketuhanan
  2. Di Alam Ruh
  3. Di Dalam Rahim Ibu
  4. Di Alam Dunia
  5. Kembali Kehadirat Allah
2.4. Fungsi Tugas dan tujuan Hidup Manusia
Tujuan utama penciptaan manusia adalah agar manusia itu mengabdi kepada Allah artinya sebagai hamba Allah agar menuruti apa saja yang diperintahkan oleh Allah swt.
Sedangkan fungsi dari penciptaan manusia ini secara global kami menyebutkan tiga kalsifikasi, yaitu:
  1. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
Khalifah disini maksudnya menjadi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan segala isinya. Sebagai pedoman hidup manusia dalam melaksanakan tugas itu, Allah menurunkan agama-Nya. Agama menjelaskan dua jalan yaitu jalan yang bahagia dan jalan yang akan membahayakannya.
Perbedaan tingkat yang akan diadakan oleh Allah di dalam masyarakat manusia, bukanlah suatu kesempatan bagi si kuat untuk menganiaya si lemah atau si kaya tidak memperdulikan si miskin, melainkan suatu penyusunan masyarakat ke arah kebaikan hidup bersama melalui tolong menolong.
  1. Manusia sebagai Warosatul Anbiya’
Kehadiran Nabi Muhammad saw. di muka bumi ini mengemban misi sebagai ‘Rahmatal lil ‘Alamiin’ yakni suatu misi yang membawa dan mengajak manusia dan seluruh alam untuk tunduk dan taat pada syari’at-syari’at dan hukum-hukum Allah swt. guna kesejahteraan perdamaian, dan keselamatan dunia akhirat.
Misi tersebut berpijak pada trilogy hubungan manusia, yaitu:
  • Hubungan manusia dengan Tuhan, karena manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
  • Hubungan manusia dengan masyarakat, karena manusia sebagai anggota masyarakat.
  • Hubungan manusia dengan alam sekitarnya, karena manusia selaku pengelola, pengatur, serta pemanfaatan kegunaan alam.
  1. Manusia sebagai ‘Abd (Pengabdi Allah)
Fungsi ini mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah swt. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah swt. dengan penuh keikhlasan. Secara luas konsep ‘abd ini meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Semua yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya dapat dinilai sebagai ibadah jika semua yang dilakukan (perbuatan manusia) tersebut semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah swt.














BAB III
KESIMPULAN
Adapun hadits tentang penciptaan manusia adalah :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shaadiqul Mashduuq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya) beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging).
Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya.
Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Surga sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli Neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Neraka sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga, maka dengan itu ia memasukinya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Surah Al-Baqarah terdiri dari 286 ayat, termasuk golongan surat Madaniyah, kecuali ayat 281 yang diturunkan di Mina. Surat ini dinamai Al-Baqarah karena mengisahkan penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (Ayat 67 sampai 77). Surat Al-Baqarah dinamai juga dengan Fastalul Qur’an (puncak AL-Qur’an) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat lain. Selain itu, surat Al-Baqarah dinamai dengan Alif-Lam-Mim karena surat ini diawali dngan Alif-Lam-Mim.
Manusia diciptakan oleh Allah swt. pada dasarnya memiliki dua peran atau fungsi, yaitu sebagai hamba Allah serta Khalifah di muka bumi. Manusia yang ditugaskan sebagai khalifah di bumi harus mampu memahami isi kandungan Al Qur’an, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Q.S Al-Baqarah : 30
 وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ 
(30)Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
 * Kandungan ayat Q.S. AL- Baqarah ayat 30
Berikut beberapa faidah Q.S. Al Baqarah ayat 30  :
1. Adanya dialog antara Allah dan para malaikat tentang penciptaan manusia di bumi karena adanya perbedaan pandangan, serta malaikat telah mengetahui keberadaan manusia di bumi dan semuanya di bantah oleh Allah dengan perkataan “Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
2. Kedudukan manusia dimuka bumi ini adalah sebagai khalifah Allah atau pengganti Allah, yang diberi tugas untuk memelihara dan melestarikan alam, mengambil manfaat, serta mengelola kekayaan alamnya sehingga terwujud kedamaian dan kesejahteraan manusia.
3. Malaikat menyaksikan bahwa tugas kekalifahan tersebut dilaksanakan oleh manusia, karena menurut malaikat dirinyalah yang lebih baik berhak memikul tugas tersebut dengan bukti bahwa mereka tidak mempunyai nafsu, selalu bertasbih dan memuja Allah.
4. Kesangsian Malaikat akan diciptakannya manusia, memiliki alasan yang jelas, karena malaikat khawatir jika nantinya manusia tidak menaati Allah, tidak pandai bertasbih, justru akan menyebabkan kerusakan di muka bumi.
* Contoh Perilaku yang Menggambarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 30
1. Senantiasa berbakti kepada Allah swt. dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2. Selalu Menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan.
3. Selalu Menjaga dan melestarikan bumi dari kehidupan yang dapat merusak penghuninya.
4. Selalu berkeinginan untuk meraih kehidupan yang lebih maju dengan cara yang baik dan benar.









DAFTAR PUSTAKA


MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...