UJUNG
TOMBAK SEHATKU
Ketika ayam jantan berkokok subuh itu, aku tahu banyak
aktifitas yang menungguku hari ini. Sekolah, ekstrakurikuler, belum lagi les
privat yang menyita waktuku beradu tawa dengan ayah dan ibu. Sambil menggeliat
aku masih sesekali memejamkan mata,
“Indahnya kalau setiap pagi aku lepas dari rutinitas bersepeda menuju
sekolah, belajar, dan belajar”, gumamku dalam hati. Sambil terbangun dan
bergegas menuju kamar mandi sebelum kakakku masuk mendahului, aku mengingat apa
yang perlu kubawa. Setibanya aku di ruang makan, mataku terbelalak karena hanya
aku yang ada disana. Sementara Ibu tengah memasak didapur. Tidak seperti
biasanya pemandangan yang tampak kali ini. Sampai pertanyaan ibu menyadarkanku.
“Tumben hari Minggu begini kamu rajin bangun pagi Edo?” Hah! Ternyata hari
memang tengah libur, dan aku sudah dibangunkan dengan guyuran air yang begitu
dingin efek hujan semalaman.
Kecewa. Tapi aku mencoba berpikir lain. Alangkah baiknya
kalau hari ini aku berlibur, bermain sepuasnya, sambil olahraga pagi. Rasanya
sudah lama sekali kebiasaan itu tidak aku jamah lagi. “Ibu, aku pergi ke taman
kota saja ya.” Saat ibu mengangguk, itu artinya izin sudah kudapatkan. Aku
bergegas mengambil sepeda gunung hadiah dari ayah saat aku juara melukis. Sambil
membawa bekal makanan ringan aku berangkat menuju balai kota. Taman kota
Surabaya sekarang sudah jauh berbeda dari sepuluh tahun lalu, saat aku masih
kecil. Diusiaku yang sudah belasan tahun akhirnya aku dapat menikmati satu hari
dimana ada area aman dari ancaman polusi udara. Ya. Polusi udara merupakan
musuh buatku. Andai saja semua bisa kembali pada zaman dulu, zaman kerajaan.
Dimana semua kendaraan tidak ada dan hanya tersedia dokar yang ditarik oleh
kuda. Menyenangkan dan tanpa asap-asap yang mengganggu pernapasan dan membawa
penyakit. Tapi tanpa kemajuan peradaban jelas itu bukan sebuah kehidupan.
Mencoba menikmati apa yang ada saat ini mungkin lebih baik sambil tetap menjaga
alam.
Bicara soal menjaga alam, aku sambil menengok sebagian besar
taman yang sudah diperbaiki, dibenahi, dan dipercantik oleh Bu Risma. Walikota
terbaik Asia itu ternyata memang peduli pada dampak lingkungan akibat
pembangunan dan pengrusakan disana-sini.Surabaya yang dikenal sebagai kota
pahlawan agaknya memang memiliki kondisi yang cukup memprihatinkan beberapa
tahun lalu. Selain polusi dari asap motor, banyak pabrik yang didirikan
diwilayah ini. Semakin sesak rasanya. Udara sejuk pun, tak ada. Pemerintah kota
Surabaya saat ini sedang gencarnya membangun semua infrastuktur yang ramah bagi
warganya. Mulai dari taman kota, ruang terbuka hijau, mangrove dan beberapa
fasilitas umum menarik lainnya. “Aku bangga jadi warga Surabaya”, celotehku
sendiri.
Pandanganku sedikit terganggu saat beberapa petugas
kebersihan membersihkan sisa sampah dipinggir jalan. Sampah bekas adik-adik
yang kebetulan mengadakan pertemuan, entah apa yang dibicarakan mereka saat
itu. Aku hanya sempat memandangi sesekali mata mereka melirik sekeliling dan
sambil memainkan lirikan itu mereka membuang bungkus plastik bekas es yang
dikonsumsi. Disinilah aku tergugah, kalau saja laskar kuning itu tidak ada.
Kemana perginya sampah-sampah itu? Sungai? Banjir akibat dari kelalaian
manusia. Aku menghela napas panjang, semerbak bau sampah masih mampir ke
hidungku. “Busuuukkk”, aku bergegas mengambil sepedaku dan menuju rumah karena
hari sudah semakin siang.
Melewati
tingkah pola masyarakat di perkotaan membuatku rindu suasana desa. Ya, aku
kangen dengan kakek dan nenek. Belum lagi persawahan yang hijau dengan rimbun
daun dan bunyi kerbau yang membajak. Pemandangan yang hanya aku dapat saat
mudik lebaran saja. Aku tetap bersyukur hidup di kota, dengan pembangunan yang
semakin menunjukan tingginya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Dari ujung jalan menuju perumahan tempat
tinggalku, ramai sekali. Kukira ada kampanye atau semacamnya, mengingat tahun
ini adalah tahun pilkada serentak. Ada ayah, kakak, dan Ibu juga ada disana
sambil membawa teko berisi minuman.
Semakin bangga saja aku tinggal di tempat ini. Warga yang
cepat tanggap serta lingkungan yang akan selalu bersih karena warganya peduli
sampah. Alhasil, sepertinya tidak ada banjir di wilayah rumahku. Rombongan
kampung berjalan menuju taman yang berjarak sekitar dua kilometer. Dipasangnya
bak sampah tersebut secara permanen agar terhindar dari pencurian. Maklum
kawasan kota sebesar ini pasti rawan hal semacam itu. Aku ikut menyaksikan dan
membantu ayah memasang paku di sudut-sudut bak sampah untuk dikaitkan dengan
papan. Senangnya jika semua warga seperti ini, sosialisasi dimana-mana,
membangun silahturahmi dengan tetangga. Apalagi dengan kegiatan positif. Mulai
saat ini aku akan lebih peka dan belajar bahwa semua hal yang baik harus segera
direalisasikan. Memulainya dari diri sendiri itu lebih baik, daripada hanya mengomel
dan mencaci dalam hati saat ada prilaku orang yang tidak sesuai dengan
keinginan kita. TAMAT
SATU ORANG SATU POHON
Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta.
Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem
dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan
khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji.
Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter
batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya
lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan
Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.
Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC,
Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan
besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit
jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di
Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang
gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang
dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang
membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang
menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon
tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo
sepekan.
Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut
orang. Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras
otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon
saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon
membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota
ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.
Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran
keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha
panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat
hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan
650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang.
Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan
makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek ‘basah’ dan
kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih
baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah
pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah
identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi
metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri,
tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung
kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang
Satu Pohon.
Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon
sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember
bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga.
Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau
menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen
masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota
yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita
dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka
pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu,
mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi
orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia
menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat
cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak
hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat
hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi
amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan
dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota
ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak
menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak
ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.
Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka
tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon
baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.
TAMAT
Kisah Seorang Penjual
Koran
Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada
pagi hari menjadi dingin. Alam pun masih diselimuti embun pagi. Seorang anak
mengayuh sepedanya di tengah jalur yang masih lengang. Siapakah gerangan anak
itu? Ia adalah seorang penjaja Koran, yang bernama Ipiin.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di
area agen koran berasal dari lebih dari satu penerbit. “Ambil berapa Ipiin?”
bertanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil sejumlah
koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai,
ia pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari
satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah pekerjaan Ipiin setiap harinya.
Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu dikerjakannya bersama
gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Ipiin tengah mengacu sepedanya, tiba-tiba
ia dikejutkan bersama sebuah benda. Benda selanjutnya adalah sebuah bungkusan
plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda apakah itu? Ia ragu-ragu
dan menjadi kekhawatiran gara-gara akhir-akhir ini kerap berlangsung peledakan
bom dimana-mana. Ipiin cemas benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada
akhirnya, ia coba membuka bungkusan tersebut. Tampak di didalam bungkusan itu
terkandung sebuah kardus.
“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya didalam hati.
Ipiin langsung membuka bungkusan bersama hati-hati. Alangkah terkejutnya ia,
gara-gara di dalamnya terkandung kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa
ini?”tanyanya didalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin dan
kalung yang ada di didalam kardus. Ia makin terperanjat ulang gara-gara ada
kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan punya Pak Edison. Kasihan sekali Pak
Edison , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya didalam hati.
Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar.
Rumah Pak Edison telah kemasukan maling tadi malam. Karena pencuri selanjutnya
terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya terjatuh. Ipiin
bersama langsung memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan apa yang
berlangsung dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison gara-gara perhiasan
punya istrinya telah kembali. Ia terlalu bersyukur, perhiasan itu jatuh ke
tangan orang yang jujur.
Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison
menambahkan modal kepada Ipiin untuk membuka kios di rumahnya. Kini Ipiin tidak
ulang harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia memadai tunggu
kastemer datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada
pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum membawa
pekerjaan. Itulah akhir berasal dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan
kebahagiaan di kehidupan kelak.
Sahabat Terbaik
“Persahabatan
bukan hanya hanyalah kata, yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci, yang ditoreh diatas dua hati, ditulis
bersama dengan tinta kasih sayang, dan suatu sementara akan dihapus bersama
dengan tetesan darah dan barangkali nyawa”.. ***
“Key… sini dech cepetan, saya ada sesuatu buat kamu”, panggil Nayra suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau saya gak sanggup
melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.
Keynaya
Wulandari, begitulah nama gadis tadi, walaupun lahir bersama dengan
keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menekuni bahtera
hidup tak pernah padam. Lahir bersama dengan kondisi buta, tidak membuatnya
berkecil hati, secara fisik matanya tidak sanggup melihat warna-warni dunia,
tapi mata hatinya sanggup melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai
hoby melukis sejak kecil, bersama dengan keterbatasannya, Key selalu mengasah
bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.
Duduk
di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Keynaya tidak
pernah absen capai peringkat dikelas, apalagi guru-gurunya termotivasi bersama
dengan pembawaan pantang menyerah Key.
Sejak
baru berusia 3 tahun, Keynaya sudah bersahabat bersama dengan anak tetangganya
yang bernama Nayra Amrita, Nayra anak seorang direktur bank swasta di kota
mereka. Nayra cantik, pinter dan secara fisik Nayra nampak sempurna.
***
Seperti sore ini, Nayra sudah nangkring di tempat tinggal Key. Dia
berbincang-bincang bersama dengan Key, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Key, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar
seluruh orang tau bakat kamu”, kata Nayra terhubung pembicaraan.
“Hah”, Key mendesah pelan
selanjutnya terasa bicara, “Seandainya saya sanggup Nay, pasti sudah saya
lakukan, tapi apa daya, saya ini gak sempurna, jika saya mendapat donor kornea,
dan saya sanggup melihat, barangkali saya puas dan akan mengadakan pameran
lukisan-lukisanku ini” ucap Keynaya bersama dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberi
tambahan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan ada yang mendonorkan
korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Nayra akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah jadi kendala di dalam hubungan persahabatan
antara Nayra dan Keynaya, kemana pun Nayra pergi, dia selalu mengajak Key,
jikalau sekolah tentunya, sebab sekolah mereka berdua kan berbeda.
Sedang asik-asiknya dua kawan akrab
ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Nayra mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa Nay, sakit??” bertanya Keynaya.
“Oh, ngga saya gak apa-apa Key, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Nayra sambil
tersenyum.
“Minum obat ya Nay, saya gak senang kamu kenapa-napa, nada berkata Key
terdengar begitu khawatir.
“aku ijin pulang pernah ya Key, senang minum obat” ujar Nayra sambil berpamitan
pulang.
Di kamarnya yang terkesan terlalu
elegan, nuansa coklat mendominasi di tiap-tiap sudut ruangan, Nayra terduduk
lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama kembali
usiaku di dunia ini?? Berapa lama kembali malaikatmu akan menjemputku untuk
menghadapmu?” erang hati Nayra.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan selanjutnya dan tidak akan berumur
lama kembali sungguh
Semangat
Roti Isi Keju
Bayangan itu menghampiri Vania dengan perlahan.
Lagi-lagi bayangan itu datang. Dengan ketakutan, Vania tetap berlari
menghindari berasal dari bayangan itu. Ia tetap berlari dan berlari tanpa arah.
Yang mutlak cuma satu, ia jauh berasal dari bayangan itu.
“Pergi kamu!! Pergii..!!” Vania tetap berteriak.
Vania terbangun. Mimpi itu selalu datang. Untuk kesekian kalinya mimpi itu
datang menghampirinya. Ia tak paham apa maksud berasal dari mimpi itu. Ia risih
dengan kedatangan mimpi itu yang tetap datang dalam tidurnya.
“Vania, ayo bangun, selanjutnya mandi, udah
pagi,” ucap Mama Vania berasal dari luar kamar Vania. “Iya, Ma,” sahut Vania.
Vania beranjak berasal dari tidurnya dan menuju ke kamar mandi. “Syalalalaa…”
Vino, kakak Vania, mengalunkan sebuah nada. Diambilnya selembar keju dan
meletakkannya salah satu dua roti tawar.“Siapa cepat, dia dapat!” Vania menyita
roti isikan keju kakaknya itu secepat kilat. “Vaniaa..!! Lu pagi-pagi udah
bikin rese’! balikin gak roti gue??” ancam Vino yang jengkel kepada adiknya
itu. Vania tak menggubris ancaman kakaknya itu, ia melahap roti isikan keju
yang tersedia ditangannya.“Nyam nyam nyaamm, delicious…” Vania menyindir sang
kakak. Mama Vania yang baru saja keluar berasal dari dapur sesudah itu bertanya
kepada ke-2 anaknya itu, “Kalian itu tersedia apa sih? Pagi-pagi udah
bertengkar.”
“Itu Ma, Vania noh, roti isikan kejuku diambil,”
adu Vino, selanjutnya ia menjulurkan lidahnya ke arah Vania. “Bisanya cuma
ngadu doang! Huh,” gumam Vania. “Vania, jangan begitu mirip kakakmu ini,
kasihan dia,” ujar Mama Vania. “Tapi Maa…” “Sudahlah, anda jangan ngebantah
terus. ‘Kan tetap tersedia banyak roti dan keju, jadi anda bisa bikin roti
isikan sendiri ‘kan?” bertanya Mama Vania keras. “Bisa, Ma…” ucap Vania pelan.
“Ya sudah, jangan jahil kembali mirip kakakmu.” Vania duduk dengan raut muka
kesal. Berkacak pinggang, bibir manyun, dan menatap sang kakak dengan tatapan
kesal, itu yang Vania lakukan. Dengan tenangnya, Vino menyita lebih dari satu
lembar keju dan dua potong roti, sesudah itu dijadikan satu dan ia lahap. Di
tengah-tengah pas ia melahap roti isinya, Vino menjulurkan lidahnya kembali ke
arah Vania. Vania pun semakin kesal.
***
“Ndin, gue nyontek tugas Matematika lu!
Cepetan!!” “Rickooo… balikin sisir guee!!” “Ara, ayah anda hakim yaa??” “Eh eh,
yang no 2 ini gimana caranya?” “Fa, lu belum bayar pulsa, cepetan bayar!”
“Dindaa, ke kantin yuk?” “Fi, turut gue ke kelas sebelah yuk? Biasaa… apel,
haha,” “Yang dingin, yang dingin, yang dingin…” “Eh, gue tempo hari ketemu si
dia loh. Dia kembali jalur ama kakaknya, dia blablabla…” “Ela, tersedia pacar
lu noh di depan!”
“Aku tempo hari diputusin Gio, Dit…huhuhu,”
“Aku galauu…”
“Eh, yang belum bayar nasi pecel gue, cepetan
bayar!!”
Hiruk pikuk di kelas VIII-2 terdengar paham dan
ramai dan juga meriah berasal dari luar kelas. Vania tetap berjalan dengan hati
yang tetap kesal dengan sang kakak. Lagi-lagi ia perlu kena ceramah berasal
dari sang mama karena Vino.
Ketika Sahabat Menjadi Pengkhianat
Riuh angin berhembus menjatuhkan daun. Daun daun
jatuh yang tak pernah menyalahkan angin. Jalan jalan dipenuhi daun. Aku
bersekolah hari ini seperti biasanya. Aku memiliki seorang sahabat bernama
Fanya. Semua cerita tentang Aku sudah cukup banyak. Dia adalah orang yang
selalu menjadi tempat curhatku selama ini. Aku menyukai seorang lelaki dengan
tubuh yang tinggi, putih, serta ganteng. Tentunya menjadi salah satu laki-laki
populer di sekolahku.
Semua tentang dia kuceritakan kepada sahabatku
Fanya. Dia selalu memberiku semangat setiap hari dalam mendapatkan Reno si
cowok populer di sekolah. Aku memang tidak terlalu cantik. Aku sempat tidak
yakin dengan perasaanku ini. Karena aku takut, jika cinta ini bertepuk sebelah
tangan, hanya patah hati yang kuterima. Fanya juga memiliki seorang cowok yang
ia kagumi. Hingga suatu hari ada peristiwa yang tak pernah aku lupakan.
Hari demi hari Aku memperhatikan tingkah laku
Fanya. Aku merasa janggal. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Yang tak
kuketahui. Aku mencoba mencari tahu. Fanya sempat bilang kepadaku bahwa ia
sempat mengobrol via chat dengan Reno. Aku mencoba tak berburuk sangka kepada
Fanya, namun pikirian ini tetap menggerayangi otakku. Hingga suatu hari Aku dan
Fanya pergi untuk hangout bersama. Kami berdua sering dibilang anak kembar oleh
teman-teman. Aku dan Fanya berada di sebuah cafe. Aku meminjam ponsel miliknya.
Aku berpikir berjuta kali untuk melakukan hal ini. Aku mencoba membuka chat
antara Fanya dan Reno di ponsel. Kubaca dengan runtut percakapan demi
percakapan.
Perhatian. Fanya perhatian kepada Reno. Sontak
Aku kaget melihat percakapan itu. Aku yang suka pun tak pernah berani untuk
memulai percakapan dengannya. Aku bingung saat ini. Aku tak berhak cemburu atas
semua itu, namun Aku juga sakit hati.
Di sekolah, aku hanya diam memikirkan semuanya.
Hingga Fanya sadar. “Kamu kenapa Via, kok dari tadi diem mulu nggak kaya
biasanya.” “Haa.. eng enggak papa” jawabku agak kaget. Aku ingin sekali
menanyakan hal itu kepadanya. “Cerita aja Vi, ada apa, ada masalah sama Reno
ya?”. “Nggak kok, nggak papa”. “Jujur aja vi jujur sama aku”, mohon Fanya
kepadaku. “Kamu suka ya sama Reno?” tanyaku dengan spontan. “haa.. ma maksud
kamu apa Via?”, jawab Fanya agak terbata bata. “Udah ngaku aja nggak papa kok,
Aku udah tau, aku liat chat kamu sama Reno”, ujarku. “Oke via, maafin aku, aku
sebenernya suka sama Reno”, jelas Fanya
Sejak kejadian itu, Aku menjaga jarak dengan
Fanya. Meski beda rasanya jika hari tanpa ada Fanya. Aku masih tak percaya akan
semua itu. Satu bulan ini, Aku tak berbincang dengan Fanya walaupun terkadang
ia mengajakku untuk pergi. Tapi Aku menolaknya. Aku mungkin harus merelakan demi
sahabatku, walau terlalu sulit untuk dilakukan. Walau begitu, Fanya masih tetap
menjadi sahabat terbaikku. Akan tetapi, aku harus menjaga jarak dengannya.
Suatu hari, Aku mendengar berita bahwa Fanya dan
Reno baru saja jadian. Itu menjadi pecutan bagiku dalam hati. Aku pikir ia tak
akan melakukan itu, karena ia mengerti bagaimana perasaanku jika mereka jadian.
Dari sana, Aku berpikir mungkin Sahabat terbaikku selama ini bisa saja menjadi
musuh terburukku dan pengkhianat bagi hatiku. Aku berharap memiliki teman yang
tulus bersamaku.
Kisah Lebah dan Bunga
Suatu hari ada lebah yang bernama popo. Ia merasa
lapar. Ia berkeliling taman untuk mencari madu. Sebenarnya ia sudah menemukan
bunga yang di dalamnya banyak sari madu, tetapi bunga bunga itu menolak popo
karena popo tubuhnya kecil dan menjijikkan.
Krrryyyykkkkk, suara perut popo.
“Ahhhh, aku merasa lapar” kata popo lemas.
“Hai popo mengapa engkau lemas?” tanya bunga matahari.
“Aku kelaparan, matahari” jawab popo lemas.
“Kalau begitu ambil saja maduku” tawar matahari.
“Benarkah, engkau tidak jijik kepadaku wahai matahari?” tanya popo tidak
percaya.
“Tidak, ayo ambil maduku supaya engkau tidak kelaparan” kata bunga matahari.
“Baiklah terimakasih bunga matahari” ucap popo.
“Sama sama” jawab bunga matahari.
Popo pun segera mengambil madu bunga matahari. Popo
pun kenyang.
“Ngomong ngomong namamu siapa wahai lebah?” tanya bunga matahari.
“Namaku popo, kalu kamu?” tanya popo.
“Aku Mhita” jawab mitha.
“Salam kenal mitha” ucap popo manis.
“salam kenal juga popo” mitha tersenyum.
“Sudah dulu ya mitha, besok aku ke sini lagi aku takut dimarahi oleh ratu
lebah” pamit popo sambil melambaikan tangan.
“Dah popo” jawab mitha sambil melambaikan tangannya (tangannya daun ya teman).
Keesokan harinya…
“Hai mitha apa kabar, mitha! Kenapa kau?” tanya popo saat melihat mitha layu.
“Aku sakit popo” jawab mitha tertunduk.
Tiba tiba popo ingat bahwa ia pernah menolongnya saat ia kelaparan.
“Tenang mitha aku akan mengambilkan air untukmu” ucap popo.
Popo segera menuju sungai dekat taman, dan
mengambil air untuk mitha. Untung popo membawa ember jadi ia bisa menampung air
menggunakan ember itu. Sedikit demi sedikit popo menyiramkan air ke tubuh
mitha. Mitha pun kembali segar.
“Terimakasih popo” ucap mitha tersenyum.
“Sama sama mitha” jawab popo tersenyum juga.