Dia
Sahabatku
Pada suatu hari hiduplah dua orang
sahabat mereka bernama shelly dan yenni. Mereka bersahabat selama 3 tahun
lamanya. Shelly dan yenni saling menyayangi bahkan banyak orang-orang yang
menyangka bahwa mereka saudara kandung. Setiap pagi sebelum berangkat kesekolah
shelly selalu pergi kerumah Yenni untuk bersama berangkat ke sekolah.
Pada siang harinya sesuai dengan rencana
yang mereka telah sepakati sebelumnya, merka akan pergi ke swalayan yang tidak
berada jauh dari sekolah mereka. Mereka pergi ke swalayan untuk membeli sebuah
kado dan kue yang akan mereka belikan
untuk nenek shelly. Nenek Shelly adalah orang yang baik. Ia selalu baik dan
ramah kepada Yenni walaupun Yenni bukan cucu dari sang Nenek. Bukan hanya itu
Nenek shelly juga terkadang memberikan nasihat dan uang saku Cuma-Cuma kepada mereka.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore
tetapi belum juga ada kabar yang pasti dari Yenni. Sembari menunggu kedatangan
Yenni , Shelly membaca novel yang sebelumnya di beli di Toko Buku langganan
mereka bersama Yenni. Membaca novel adalah hobi yang dimiliki shelly, berbeda
dengan Yenni yang lebih memilih untuk bermain basket. Meskipun hobi mreka yang
berbeda tetapi mereka tetap dapat
bersama. Bila ada latihan basket di sekolah maka shelly selalu setia menunggu
Yenni sembari mengerjakan tugas atau sekedar untuk melanjutkan membaca novel.
“Aduh Yenni kemana ya?, Tanya shelly
dalam hati” Shelly yang merasa panik terhadap Yenni karena sudah 3 jam setelah
dirinya menunggu tidak ada kabar yang pasti dari Yenni. “ Shelly “ Teriak seorang remaja yang berada
tidak jauh dari keberadaannya. “ maaf, tadi aku harus membersihkan lapangan
sebelum pulang, karena aku lupa mengerjakan tugas Matematika “ Jawab Yenni.
Dengan wajah kesal sekaligus kasihan setelah mendengarkan alasan yang diberikan
Yenni akhirnya Shelly memutuskan untuk pergi ke Swalayan. “ kan aku udah pernah
bilang, kalo ada tugas itu langsung dikerjain malemnya “ Shelly member nasihat
kepada Yenni dengan sedikit marah.
Setelah sampai di tempat yang mereka
tuju yaitu swalayan, mereka langsung segera membeli kue dan memilih kira-kira
kado yang mana yang pantas untuk Nenek Shelly. Shelly dan Yenni memutuskan
untuk membeli baju sebagai hadiah yang akan mereka belikan kepada Nenek. Baju
berwarna kuning yang cocok dengan kuli Nenek yang berwarna cukup cerah membuat
mereka merasa itulah hadiah yang pas dan cocok untuk mereka berikan kepada
Nenek. Bagi Yenni, Nenek Shelly adalah neneknya juga karena, Nenek Shelly juga
selalu menyamakan kasih sayang yang ia berikan kepada Shelly dan Yenni. Maka
dari itu, Yenni selalu menyayangi semua keluarga Shelly. Bagi Yenni
mengeluarkan uang itu tak masalah asalkan Nenek atau keluarga Shelly yang lain
bahagia. Setelah selesai membelanjakan kebutuhan apa saja yang mereka inginkan,
mereka memutuskan untuk pulang karena mereka sudah ditunggu di Rumah Nenek oleh
keluarga Shelly. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Sesampainya di Rumah, mereka segera
disambut oleh keluarga Shelly. Keluarga Shelly sudah mengganggap Yenni sebagai
keluarga. Kebersamaan yang tidak bisa di dapatkan di dalam keluarga Yenni dapat
Ia dapatkan di saat bersama dengan keluarga Shelly. Selain itu baik keluarga
Shelly juga selalu memperhatikan Yenni.
Yenni hanya tinggal berdua dengan
ayahnya selain itu, ayah Yenni sering
pergi meninggalkan Yenni untuk mencari uang berdagang di luar kota. Dengan kata
lain, Yenni selalu merasa kesepian
bahkan kadang enggan untuk pulang kerumah. Ibu Yenni telah lama bercerai
dengan Ayahnya kurang lebih semenjak Yenni berumur 11 tahun. Semenjak Ayah dan
Ibunya bercerai Yenni tidak pernah bertemu Ibunya. Ia tidak pernah merasakan
perhatian dari seorang Ibu semenjak kedua orang tuanya telah resmi bercerai.
Oleh karena hal itu, Shelly selalu berada di dekat Yenni karena ia tidak ingin
sahabatnya merasa kesepian karena baginya persahabatan itu bukan hanya dapat
dikatakan dimulut saja tetapi dibuktikan dengan nyata.
Analisis
Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik
1.
Unsur Instrinsik
a. Tokoh
-Shelly
-Yenni
-Nenek
b. Penokohan
-Shelly : Baik, Rajin, Pintar
-Yenni : Baik, Malas
-Nenek: Baik
c. Latar
-
Sekolah
-
Swalayan
-
Rumah Nenek
d. Sudut Pandang
Dalam penulisan cerpen ini penulis
menuliskan cerpen dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga karena dalam
penulisan cerpen menceritakan kisah orang lain.
e. Tema
Persahabatan
f. Amanat
Amanat yang di sampaikan dari cerpen di
atas adalah kita harus menyayangi orang lain walaupun kita tidak ada
berhubungan darah dan saling mengerti satu sama lain.
2.
Unsur Ekstrinsik
Latar Belakang Masyarakat
Latar belakang yang dituliskan dari
cerpen diatas yang telah disampaikan penulis adalah adanya kasih sayang dari
lingkungan sekitar yang membuat menguatnya persahabatan yang diceritakan oleh
penulis.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Cerpen
a. Nilai Budaya
Nilai Budaya yang dapat kita pelajari dari
cerpen diatas adalah kuatnya persahabatan yang masih terjalin diantara mereka
walaupun perbedaan sifat yang mereka miliki.
b. Nilai Moral
Nilai Moral yang dapat kita ambil dari
cerpen diatas adalah kita harus senantiasa meminta maaf apabila terdapat kesalahan
baik itu kepada sahabat terdekat sekalipun.
KETIKA
SEBUAH MIMPI DIPAHAMI
Tidak kusangka, siang yang tadinya
ingin kujadikan waktu bersantai untuk melepas lelah. Setelah seharian berolahraga
seperti minggu biasanya, malah berubah menjadi momen paling mengasyikan
daripada hanya sekedar melepas rasa letih di tubuhku hari ini.Pukul 13:00
tengah hari tadi, sewaktu mataku yang terjaga ini mulai kehilangan arah dalam
persiagaannya di tempat tidurku, kemudian ia (baca: mata) menutup dirinya dan
membawaku ke alam lain. Dalam khayalnya aku hanya mengikuti kemana alam bawah
sadar mengalir, karena aku berharap bisa bermimpi indah.
Di
suatu tempat yang belum jelas asal usulnya, cahaya matahari menyilaukan mataku
yang masih berkedip-kedip mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Terlihat
bangunan batu bata besar memanjang ke arah pegunungan tinggi berkebut ini
seperti sebuah benteng raksasa tak berujung. Dengan lebar sisinya sekitar 10
meter. Aku berada di atasnya dan mulai tahu dimana aku berdiri. Betul sekali,
TEMBOK BESAR CINA biasa orang-orang menyebutnya.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori 7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang kulihat ini.” pikirku.Sejuknya angin membuatku penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini. Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara. Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telingaku, disaat indra penghlihatan mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahku.Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin nyawaku juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori 7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang kulihat ini.” pikirku.Sejuknya angin membuatku penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini. Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara. Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telingaku, disaat indra penghlihatan mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahku.Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin nyawaku juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku.
Berlari
dan terus berlari walau kaki terasa sangat lelah, tapi itulah yang sedang aku
lakukan karena tak ada cara lain kecuali berlari sekencang-kencangnya untuk
menyelamatkan diri.
Beberapa
saat kemudian aku terhenti ketika melihat nyawaku sudah tidak punya harapan
lagi ditambah kaki yang sudah tak mampu melangkah dalam peristiwa berbahaya
ini, karena seekor singa buas berada di depanku dengan jarak 50 meter. “Astaga
kalau begini, aku hanya bisa pasrah kepadamu tuhan.” ucapku. Dalam keadaan yang
mungkin tidak bisa dibayangkan. Aku mencoba menenangkan hati, dan berdamai
dengan diriku sendiri. Aku bertanya “Tunggu-tunggu, kenapa aku berada di tempat
ini?” “Sedangkan aku tidak tahu jalan ke negeri ini.” lanjutku dalam hati yang
agak tenang. Terbesit kesadaranku yang memahami tentang kejadian semua ini. Aku
membuka mata melihat tubuhku masih berada di antara segerombolan singa dari
belakang dan seekor singa paling besar dari depan yang mendekat ke arah
se’onggok daging segar, yah daging itu adalah diriku. Singa-singa yang berlari
langsung melompat ke arahku dengan cakar dan taring-taringnya yang tajam wuuz…
seketika terhanti begitu saja, saat mereka melihatku tertawa. “Hahahaha… Hey
kalian mau makan apa dariku?” tubuhku dan kalian hanya ilusi dalam keadaan
sekarang ini, aku ini sedang bermimpi.” “Kalian diciptakan oleh pikiranku sendiri,
bahkan bukan kalian saja, semua yang kulihat cuma ada di halusinasiku.”
lanjutku pada binatang-binatang itu yang sepertinya mengerti ucapanku.
Sekarang
singa-singa itu menunduk padaku kemudian lenyap tak tahu kemana. Aku pun
kembali menikmati pemandangan indah dari atas tembok besar, beberapa saat juga
semuanya yang ku lihat sirna seperti singa singa tadi. Mataku yang mulai
terbuka membuatku sadar, kalau aku sudah kembali ke kamarku lagi, dan dalam
kelelahan kaki yang kurasakan karena sudah berlarian dalam pikiranku sendiri,
aku pun tersenyum puas telah melewati mimpi yang mengasyikan hari ini. Kejadian
ini memberiku pesan bahwa ketakutan, keindahan, rasa senang atau derita
semuanya hanya ada di dalam pikiranku, bukan hanya di dunia mimpi, tapi juga dunia
nyata.
END.
Unsur
Intrinsik Cerpen :
1.Tema
– Khayalan.
2.
Latar
-Waktu : Siang Hari.
-Tempat : Di Kamar Tidur.
-Suasana : Mengasyikan.
3.
Alur
-Maju.
-Karena jalan cerita dijelaskan secara
runtut mulai dari pengenalan latar dan masalah sampai ke konflik
dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
4.
Penokohan :
– Aku : pemimpi, pemberani, periang.
5.Sudut
pandang :
-orang pertama sebagai pelaku utama.
-Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata
ganti “aku” sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6. Gaya
Bahasa
Bahasa yang digunakan menarik, dan dapat
di mengerti oleh pembaca.
7. Amanat
Kejadian ini memberikan pesan bahwa
ketakutan, keindahan, rasa senang atau derita semuanya hanya ada di dalam
pikiran, bukan hanya di dunia mimpi, tapi juga dunia nyata.
Unsur
Ekstrinsik Cerpen :
1.
Nilai Sosial
“Sekarang singa-singa itu menunduk
padaku kemudian lenyap tak tahu kemana.”
2.
Nilai Budaya
“Terlihat bangunan batu bata besar
memanjang ke arah pegunungan tinggi berkebut ini seperti sebuah benteng raksasa
tak berujung. Dengan lebar sisinya sekitar 10 meter. Aku berada di atasnya dan
mulai tahu dimana aku berdiri. Betul sekali, TEMBOK BESAR CINA biasa
orang-orang menyebutnya.”
3. Nilai
Moral
“Singa-singa yang berlari langsung
melompat ke arahku dengan cakar dan taring-taringnya yang tajam wuuz…”
Untuk
Sahabatku
Ketika
dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit
mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi,
begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat.
Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran
seorang sahabat.
Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.
Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.
Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.
Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.
Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.
Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.
Sedangkan
Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup
sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua
malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini
aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman.
Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy.
Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin
curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo
shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…”
Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku
juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri
dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’
pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai
sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita
pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan
persahabatan,” kataku tersenyum.
Akhir
sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga
persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari.
Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik
pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan
merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah
meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya. TAMAT –
Unsur Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Faiy, Maya, Ria, Silvy,
Lara
• Watak :
- Faiy : Kurang percaya diri
- Maya : Tidak peduli
- Ria: Tidak peduli
- Lara : Acuh
- Silvy: Peduli
• Alur : Maju mundur
• Latar :
Tempat
- Asrama
- Perpustakaan
- Di kamar silvy
Waktu
Siang Hari
Suasana : Mengharukan
Sudut pandang : Orang Pertama
Amanat : Sebagai makluk hidup kita
harus percaya adanya tuhan yang selalu menemani umatnya dimana pun berada.
Unsur Ekstrinsik:
-Nilai Agama
Nilai agama yaitu nilai-nilai dalam
cerita yang berkaitan dengan aturan/ajaran yang bersumber dari agama tertentu.
-Nilai Moral
Nilai moral yaitu nilai-nilai dalam
cerita yang berkaitan dengan akhlak/perangai atau etika. Nilai moral dalam
cerita bisa jadi nilai moral yang baik, bisa pula nilai moral yang buruk/jelek.
-Nilai Budaya
Nilai budaya adalah nilai-nilai yang
berkenaan dengan kebiasaan/tradisi/adat-istiadat yang berlaku pada suatu
daerah.
-Nilai Sosial
Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang
berkenaan dengan tata pergaulan antara individu dalam masyarakat.