PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI ADMINISTRATIF DAN DESENTRALISASI POLITIK
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang telah memberikan Rahmat serta KaruniaNya
kepada kita semuanya. Atas izinNya pulalah penulis dapat menyelesaikan makalah
ini sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Makalah ini berisi
tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dalam perspektif desentralisasi
administratif dan desentralisasi politik. Dalam penyusunannya penulis menyadari
masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan dari segi materi maupun
penulisan. Penulis menyadari masih dalam proses pembelajaran, dimana
pengetahuan penulis masih banyak kekurangan.
Untuk itu demi
kesempurnaan penulisan serta penyusunan makalah untuk masa yang akan datang
penulis menerima saran maupun kritik yang bersifat membangun.
Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis untuk terus
menambah wawasan serta pengetahuan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Selama ini desa masih
sering terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Di berbagai
aspek kehidupan, khususnya sosial/ekonomi, desa dan masyarakatnya masih berada
pada kondisi serba kekurangan, jauh tertinggal dibanding kondisi masyarakat di
perkotaan. Tata kelola pemerintahan desa dipandang sangat menentukan kemajuan
desa atau peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sehingga sudah semestinya
pembenahan terhadap tata kelola pemerintahan desa menjadi fokus agenda bangsa
Indonesia. Terdapat tiga permasalahan utama dalam tulisan ini (diadopsi dari
Suharto, 2012a). Pertama, keberadaan
desa belum mampu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Eksistensi desa dianggap
ambivalen dan cenderung kabur. UU Nomor 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah
belum memiliki landasan pijakan kuat untuk mengarah pada pencapaian
cita-cita desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Dari aspek teoritis,
terdapat sejumlah ketidakjelasan dalam sistem pemerintahan desa sekarang ini.
Misalnya dalam hal kewenangan. Menurut pasal 206 UU Nomor 32/2004, ada empat urusan
pemerintahan desa: (a) Urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
(b) Urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa; (c) Tugas pembantuan dari pemerintah, propinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota; dan (d) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh
peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Ketentuan tersebut
mempunyai arti bahwa undang-undang memberi amanat kepada kabupaten/kota untuk
melakukan “desentralisasi” kewenangan kepada desa. Menurut teori desentralisasi
dan hukum tatanegara, mekanisme itu menimbulkan kekacauan logika dan hukum.
Permasalahan lain adalah menyangkut titik berat otonomi pada daerah kabupaten/kota,
yang berimplikasi terhadap dominansi pemerintah kabupaten/kota ke desa.
Undang-undang
Dasar (UUD) RI 1945
sebenarnya tidak eksplisit mengamanatkan undang-undang untuk menempatkan desa
dalam sub sistem kabupaten/kota, tetapi UU Nomor 32/2004 ternyata menempatkan
desa dalam sub sistem kabupaten/kota. Desain penempatan desa tersebut berdampak
terhadap marginalisasi desa. Kedua, struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan
desa belum sesuai kebutuhan desa dan masyarakatnya. Perubahan
struktur dan fungsi kelembagaan yang sering terjadi selama
ini pada kenyataannya belum memperjelas posisi (kedudukan) dan kewenangan desa.
Meskipun perubahan kebijakan desentralisasi
berimplikasi terhadap perubahan struktur dan fungsi kelembagaan,
namun perubahan struktur dan fungsi itu belum sesuai tuntutan organisasi dan masyarakat. Dalam realitasnya, polemik-polemik yang
terkait persoalan kelembagaan masih berulang kali terjadi di internal desa
maupun dengan supra desa. Misalnya soal kewenangan, keuangan, dan pembangunan.
Pelayanan publik kepada masyarakat desa nyata-nyata juga masih banyak
dikeluhkan, misalnya dalam pengurusan administrasi yang berbelit, jam kerja
kantor yang tidak jelas, dan adanya pungutan-pungutan. Beragam persoalan
pemerintahan desa itu pada intinya bersumber pada struktur dan fungsi
kelembagaan pemerintahan desa yang masih “bermasalah”. Untuk menentukan
struktur dan fungsi kelembagaan yang sesuai kebutuhan masyarakat atau
organisasi tidak mudah. Secara teoritis, belum ada pedoman atau ukuran-ukuran
baku untuk mengidentifikasi struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa
yang sesuai kebutuhan masyarakat/organisasi. Juga belum ada pengelompokan
bentuk atau klasifikasi desa sebagai wujud keberagaman karakteristik desa yang bisa
diterima luas. Ketiga, desain kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa
belum mengarah kepada perwujudan kemandirian desa. Meskipun
secara legal formal persoalan kemandirian desa tidak eksplisit dinyatakan dalam
peraturan perundang-undangan sebagai sasaran yang harus dituju, namun dari sisi
filosofis, historis, dan strategis, kemandirian desa merupakan suatu hal yang
sangat penting. Perspektif umum dari penelitian ini berpandangan bahwa faktor struktural dan fungsional kelembagaan dinilai memiliki
pengaruh untuk menjembatani sejumlah persoalan yang telah diuraikan di atas.
Mencermati kondisi pemerintah desa beserta masyarakatnya, maupun permasalahan
empiris dan teoritis yang dihadapi desa saat ini, dapat disimpulkan bahwa desain
kebijakan desentralisasi terkait struktur dan fungsi kelembagaan
pemerintahan desa pada kenyataannya belum mampu mendorong kemandirian. Beranjak
dari pemaparan sebelumnya, ada harapan untuk
mengevaluasi dan menata
sistem penyelenggaraan
pemerintahan desa secara menyeluruh.
1.2.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
tentang desentralisasi desa
2.
Untuk mengetahui
tentang struktur dan fungsi kemandirian desa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Desentralisasi
Konstruksi
yang dibangun dalam mengatur pemerintahan daerah sama dengan konstruksi yang dibangun dalam
mengatur pemerintahan desa. Konstruksi desentralisasi tersebut
dapat didekati dari perspektif politik dan administratif. Desentralisasi politik
pada saat berlakunya UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa dalam tataran
regulatif maupun empiris berlangsung dengan sangat minimal. Sebaliknya, ketika
berlaku UU Nomor 22/1999 desentralisasi politik berlangsung dinamis. Sedangkan pada
era berlakunya UU Nomor 32/2004 sampai dengan saat ini, desentralisasi politik
dan administratif secara regulatif/empirik dicoba diseimbangkan dengan mengurangi
penekanan pada desentralisasi politik. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat
Eko (2005), USAID DRSP (2006), dan penelitian Zuhro (2009).
Pergeseran
penekanan desentralisasi politik dan desentralisasi administratif dari sudut
regulatif maupun empirik saat sekarang dapat dilihat antara lain dari mekanisme
pemilihan perangkat desa. Dari sisi desentralisasi politik mengalami penurunan
muatan karena penduduk desa lebih terbatas mewujudkan kedaulatan dalam memilih
pemimpin. Di sisi berbeda, bobot desentralisasi administrasi semakin bertambah karena dengan
melalui mekanisme pemilihan ujian/seleksi, proses bisa berjalan
efektif dan efisien, rendah konflik, dan kualitas calon lebih mudah diarahkan.
Demikian pula dalam hal mekanisme pemilihan dan tugas/fungsi BPD. Pengangkatan
atau pengisian sekretaris desa dari PNS kurang lebih juga membawa implikasi
semacam itu. Desentralisasi politik semakin melemah, desentralisasi
administratif semakin menguat. Dalam
kaitan pengaturan pengelolaan
tanah bengkok dan perubahan sistem penggajian kepala desa/perangkat desa, bisa
pula dimaknai dari sudut pandang pergeseran desentralisasi politik dan
desentralisasi administratif. Lemahnya eksistensi desa dikarenakan desa tidak
memiliki sumber daya memadai untuk menggerakkan kesempatan/peluang
yang menjadi nilai lebih desentralisasi. Persoalan pokoknya, posisi/kedudukan desa
yang tidak jelas. Kedudukan desa sejak UU Nomor 1 tahun 1945 tentang Kedudukan
Komite nasional Indonesia Daerah sampai dengan peraturan perundang-undangan
yang terakhir (UU Nomor 32 tahun 2004), tidak memiliki posisi yang kuat.
Pondasi yang mendasari kedudukan desa tidak kuat/jelas. Regulasi-regulasi yang
pernah ada berkontribusi atas desain kedudukan
desa yang tidak jelas. Ketidakjelasan kedudukan desa berpengaruh terhadap
aspek-aspek yang lain. Kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan desa,
hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun sumber‐sumber keuangan desa.
UU
Nomor 5/1979 menempatkan desa sebagai obyek pemerintah. Undang-undang ini
menjadi alat kontrol negara terhadap masyarakat lokal, dengan cara menciptakan
keseragaman desa di seluruh Indonesia untuk memudahkan pengawasan dan
pengaturan. Perspektif desa administratif (local state government) sangat
menonjol dalam UU Nomor 5/1979. Undang-undang tersebut di kritik oleh banyak
pakar (Antlov, 2001; Santoso, 2003; Eko (ed.), 2005; Manan, 2004; Tjondronegoro,
1999; dan Mas’oed, 2003) memiliki berbagai kelemahan. UU Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah merubah secara radikal sistem pemerintahan desa. Menurut
pasal 5 UU Nomor 22/1999, kewenangan desa mencakup: (1) Kewenangan yang sudah
ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) Kewenangan yang
oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah; dan (3) Tugas pembantuan dari
pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau pemerintah kabupaten.
Sedangkan urusan pemerintahan
desa menurut UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 206 meliputi:
(a) Urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b)
Urusan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) Tugas
pembantuan dari pemerintah, pemerintah
propinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) Urusan
lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
Namun, dalam
realitasnya kewenangan berdasarkan
hak asal-usul desa dapat dikatakan tidak ada. Kewenangan berdasarkan hak
asal-usul desa sudah terlanjur hilang, terutama setelah berlakunya penyeragaman
bentuk desa oleh UU Nomor 5/1979. Urusan-urusan yang senyatanya telah
dilaksanakan desa cenderung merupakan urusan rutin, turun temurun, dan telah
menjadi kebiasaan dilakukan oleh pemerintah desa sejak lama. Ketentuan
kewenangan yang tidak jelas serta
implementasinya yang cenderung
seadanya, menyebabkan masa depan kemandirian desa tidak jelas pula.
Dalam
hal ini, prinsip subsidiaritas secara teoritis
bisa menjadi pertimbangan.
Prinsip subsidiaritas didefinisikan sebagai prinsip bahwa segala masalah
seharusnya diselesaikan pada tingkat paling kecil/rendah, kecuali ada
alasan yang memaksakan masalah tersebut
perlu diselesaikan pada tingkat yang lebih luas. Norton (1997), Smith (1985), Leonard
(1983), dan Ditjen PMD (2007) melihat pentingnya prinsip subsidiaritas yang
mendekatkan pembuatan keputusan kepada tingkat lokal. Selain itu, terdapat
beberapa kriteria dalam rangka mewujudkan proporsionalitas dalam
pembagian urusan pemerintahan
digunakan kriteria, yaitu: kriteria eksternalitas, kriteria akuntabilitas, dan
kriteria efisiensi. Aspek-aspek tersebut selama ini belum dilaksanakan secara
konsisten.
Secara
normatif, terdapat sejumlah perubahan regulatif pada saat berlakunya UU Nomor
32/2004 dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya (UU Nomor 22/1999 dan UU
Nomor 5/1979). Pada prinsipnya, dalam ketiga periode undang-undang belum dapat
mewujudkan kedudukan desa yang kuat. Desa
tetap menjadi sub-ordinasi
pemerintah kabupaten, yang pada kasus-kasus tertentu menjadi sasaran
eksploitasi pemerintah supra desa. Realitas semacam itu tidak berbeda jauh
dibanding kondisi desa sejak pada masa kolonial (Ali, 2007, Marbun, 1988).
Ketika berlaku UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004, kebebasan (otonomi) desa
terhambat oleh kewenangan, kapasitas, dan akses sumber daya yang tidak berpihak
kepada desa. Jadi, meskipun perubahan dalam regulasi berdampak pada perubahan struktur
dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa, tetapi dampaknya terhadap praktik di
masyarakat tidak seluruhnya berpengaruh signifikan. Sebagai bagian dari lembaga
formal kenegaraan, perubahan struktur dan
fungsi kelembagaan pemerintahan
desa berhubungan erat dengan desain peraturan perundang-undangan. Setiap
perubahan klausul dalam peraturan perundang-undangan berpotensi merubah struktur
dan fungsi kelembagaan.
Terkait perubahan
struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa, ada
beberapa perubahan ketentuan terkait
penyelenggaraan pemerintahan di desa yang dapat dipetakan menjadi tujuh
aspek, yaitu: struktur (unsur) pemerintahan desa; kepala desa; sekretaris desa,
kepala dusun, dan kepala urusan; lembaga perwakilan (BPD); peraturan desa; keuangan
desa; serta kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa (Suharto, 2012a).
Perubahan atas komposisi (unsur) dan hirarki lembaga pemerintahan desa bisa
menimbulkan potensi konflik terkait perubahan orientasi kerja perangkat desa
dan kemungkinan penurunan kinerja aparat pemerintahan desa. Perubahan
pertanggung-jawaban, masa kerja, dan kesejahteraan kepala desa bisa membawa
permasalahan terkait perubahan orientasi kepala desa yang cenderung ke atas,
penentangan atas perubahan masa kerja dan sistem bengkok yang menyebabkan
berkurangnya penghasilan kepala desa. Selanjutnya, perubahan status sekretaris
desa menjadi PNS dan perubahan SOTK sekretaris desa, kepala urusan dan kepala
dusun menimbulkan sejumlah permasalahan seperti penetapan status kepegawaian yang
belum jelas, potensi ambivalensi pelaksanaan tugas antara kepada kepala desa
dengan camat atau tata kerja sekretaris desa yang lebih berorientasi kepada pemerintah
di atasnya, berkurangnya kreativitas dalam membangun
wilayah, potensi konflik dan kecemburuan sosial antara sekretaris desa dengan
perangkat desa lain, serta berkurangnya eksistensi posisi sekretaris desa di
hadapan kepala urusan dan kepala dusun. Namun terdapat pula potensi dampak
positifnya, yakni sistem administrasi desa semakin berkembang baik.
Dalam hal
perubahan nama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), mekanisme
rekrutmen anggota, dan perubahan tugas/fungsi bisa menyebabkan permasalahan
terkait berkurangnya kedaulatan rakyat dalam memilih anggota BPD dan menyalurkan
aspirasinya, dominansi elit-elit lama di pemerintahan desa, dan berkurangnya
akuntabilitas kerja anggota BPD terhadap masyarakat, serta eksistensi BPD
menjadi lemah. Dalam konteks tersebut, akuntabilitas perangkat desa (termasuk kepala
desa) juga semakin berkurang. Kepala desa dan perangkat desa
cenderung berorientasi kepada pemerintah kabupaten daripada
stakeholders di desa. Sedangkan perubahan istilah dan mekanisme penyusunan
peraturan desa dapat menimbulkan masalah dalam hal birokratisasi penyusunan
peraturan desa, keterbatasan keleluasaan desa, dan kemungkinan rendahnya
penyerapan aspirasi masyarakat dalam peraturan desa. Berkenaan perubahan bagi hasil/perimbangan
keuangan dan sumber pendapatan desa, terdapat potensi masalah seperti
konsistensi dan komitmen untuk memberikan bagi hasil/perimbangan keuangan lebih
layak kepada desa tidak terpenuhi, potensi penurunan pendapatan desa, dan
kemungkinan berkurangnya keleluasaan desa dalam mengelola anggaran. Potensi
masalah yang timbul dari perubahan komposisi penghasilan kepala desa/perangkat
desa adalah kemungkinan penurunan penghasilan kepala desa dan perangkat desa,
kesenjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa, kecenderungan berkurangnya
motivasi kepala desa. Perubahan kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat
desa pada garis besarnya
telah menggeser arah desentralisasi politik
menuju desentralisasi administrasi.
Dari perspektif teoritis, untuk membahas dan menganalisis struktur dan
fungsi kelembagaan pemerintahan
desa agar lebih
efektif dalam mendorong
kemandirian desa, dapat dicermati dari pendekatan pembangunan lembaga.
Pemerintahan desa, mengacu konsepsi Henry Mintzberg tentang lima bagian pokok
atau fungsi dari organisasi bisa diidentikkan sebagai operating core. Operating
core menjalankan pekerjaan pokok organisasi –input, pengolahan, output, tugas
dukungan langsung yang terkait dengan memproduksi barang atau jasa.
Fungsi-fungsi dalam organisasi yang disampaikan Mintzberg (1979) sebaiknya ada
pada setiap organisasi, meskipun tidak harus selalu ada dalam struktur organisasi
dan hanya dilaksanakan oleh personil secara fungsional.
2.2.
Struktur dan Fungsi Kemandirian Desa
Pilihan
struktur sederhana bagi kelembagaan pemerintahan desa tersebut dipandang tepat
jika didasari karakteristik subyek, obyek, lingkungan, tugas dan fungsi, serta
kemampuan keuangan desa. Karakter aktor (aparat pemerintahan desa) dari sisi kuantitas
maupun kualitas terbatas. Demikian pula sasaran dari pelayanan dari
pemerintahan desa (masyarakat) juga tidak terlalu kompleks. Sedangkan tugas/fungsi pemerintahan
desa tidak terlalu rumit/kompleks. Sementara kemampuan
keuangan desa terbatas. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan pemilihan struktur
sederhana. Karena struktur sederhana juga memiliki
kelemahan-kelemahan maka perlu dikombinasikan dengan struktur fungsional. Sehingga
meskipun struktur kelembagaan berbentuk sederhana, tapi bersifat fungsional. Kurang berfungsinya
kelembagaan desa, berpengaruh
terhadap upaya pembangunan lembaga. Untuk itu, pembangunan lembaga diperlukan
untuk memberdayakan pemerintahan desa. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan
sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru
atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam
nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau
sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan-hubungan normatif dan
pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam
lingkungan tersebut (Eaton,1986:24). Ada dua kelompok variabel atau faktor yang
penting untuk membimbing kegiatan pembangunan lembaga. Yaitu variabel-variabel
lembaga yang pada dasarnya menyangkut organisasi itu sendiri, dan variabel-variabel
kaitan yang berhubungan terutama dengan hubungan-hubungan ekstern.
Dalam
konteks model pembangunan lembaga, aspek politik dianggap strategis karena akan menghasilkan produk yang berupa
regulasi (peraturan perundang-undangan). Persoalan regulasi ini penting bagi
desa, karena pemerintahan desa menjadi bagian dari struktur (organisasi) formal kenegaraan. Intervensi atas peraturan
perundang-undangan akan memberikan pengaruh signifikan bagi desa. Sebagai contoh,
regulasi atas penguatan kedudukan desa dapat berdampak pada kewenangan,
keuangan, dan sumber daya yang lain,
kualitas program, termasuk kemandirian desa. Aspek politik
dapat dikatakan sebagai respon kebijakan atau alat “intervensi” dari pemerintahan
supra desa.
Kemandirian
desa tidak hanya persoalan pemberian pengakuan dan kesempatan kepada desa untuk
mengatur urusan rumah tangga dan kepentingan masyarakat setempat,
namun juga dukungan-dukungan yang lain. UU Nomor 32/2004
telah memberi pengakuan terhadap kewenangan / hak asal-usul desa. Hak asal usul
masyarakat desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum mencakup;
hak membentuk peraturan atau tata nilai; hak membentuk lembaga-lembaga
yang berfungsi menyusun peraturan maupun
yang melaksanakan peraturan;
hak merumuskan kepentingan-kepentingan masyarakat sendiri, yaitu kepentingan
dalam aspek keagamaan / kepercayaan dan
adat istiadat dan kepentingan kemasyarakatan (kepemerintahan); hak atas
sumber-sumber daya di dalam teritorialnya, terutama air dan tanah; serta hak
menentukan pemimpin sendiri. Dalam konteks ini, hal-hal tersebut dirumuskan
dalam dua pengelompokan, yakni desentralisasi yang bersifat dan
memiliki tujuan administratif / ekonomi (kemandirian administratif / ekonomi;
dilihat dari struktur dan komposisi
APBDesa, keleluasaan desa
dalam mengelola pendapatan desa, aset dan usaha desa, serta kemandirian ekonomi
masyarakat dalam pembangunan atau
keswadayaan); dan politik (kemandirian politik;
dilihat dari proses rekrutmen/pembinaan aparatur,
pertanggung-jawaban aparatur,
perwujudan hak-hak politik/partisipasi masyarakat, kemandirian
dalam pembuatan kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan hak asal-usul desa dan
adat istiadat) (Suharto, 2012a).
Menyangkut
pengelolaan aset dan usaha desa, pemerintah desa belum bisa maksimal mandiri mengelola
dan mendapat hasilnya. Kepemilikan aset dan usaha desa
masih sangat terbatas. Pengelolaan aset selain tanah kas dan usaha desa belum
dapat menjadi sumber pemasukan andalan bagi desa, pemerintah desa belum bisa
maksimal mandiri mengelola dan mendapat hasilnya. Sementara itu, kemandirian
ekonomi masyarakat dalam pembangunan desa rata-rata sudah berkembang baik.
Terbukti antara lain dari tingkat swadaya masyarakat dalam pembangunan
wilayahnya cenderung terus meningkat. Kemandirian masyarakat tersebut dipengaruhi
oleh potensi masyarakat.
Sedangkan
potensi masyarakat banyak ditentukan oleh sosial ekonomi masyarakat. Gambaran
mengenai kemandirian politik desa terutama terlihat melalui karakteristik
pemerintah desa dan BPD. Persoalan rekrutmen (pengisian) aparat pemerintah desa
dan BPD pada era sekarang lebih menekankan pada desentralisasi administratif.
Hal tersebut ditandai oleh model rekrutmen sebagian besar lembaga-lembaga
tersebut yang tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat, tapi
melalui sistem pengangkatan atau melalui dewan pemilih. Dari segi efektivitas
pemerintahan, realitas tersebut akan bermanfaat karena meminimalisir
”kegaduhan” politik dari banyak orang/pihak dan mengalihkannya ke sedikit
orang/pihak. Namun hal itu berdampak negatif
terhadap berkurangnya kemandirian (kedaulatan) politik
desa/masyarakat. Sebab setiap masyarakat
tidak bisa menyampaikan
pilihan politiknya dengan langsung. Di bagian lain, terdapat campur
tangan pemerintah supra desa dalam pembinaan aparatur pemerintah desa.
Pembinaan kepada aparat pemerintah desa bukan hanya dilakukan pemerintah
kecamatan, tapi juga dilakukan langsung oleh
pemerintah kabupaten. Pembinaan
yang dilakukan pemerintah supra desa kepada aparat pemerintah desa
selama ini berhubungan dengan tugas yang diamanatkan dalam peraturan
perundang-undangan. Pembinaan tersebut dimaksudkan untuk memperlancar
tugas-tugas pemerintahan di desa. Artinya,
pemerintah berusaha menjalankan desentralisasi administratif melalui peningkatan efektivitas pemerintahan desa.
Orientasi pertanggung-jawaban aparatur pemerintah desa yang lebih condong
bergeser ke atas (supra desa) berdampak pada pergeseran penyelenggaraan
pemerintah desa ke arah desentralisasi
administratif. Pergeseran pertanggung-jawaban kepala desa dari BPD ke bupati,
pergeseran pertanggung-jawaban
administrasi kepegawaian sekretaris
desa dari kepala desa ke bupati, dan pergeseran pertanggung-jawaban tugas
kepala urusan dari sekretaris desa ke kepala desa, merupakan bukti bahwa
perspektif desentralisasi administrasi semakin menguat, yang berdampak terhadap
berkurangnya kemandirian politik desa (kalangan bawah). Orientasi pertanggung-jawaban
yang lebih besar ke pemerintah kabupaten bisa dimaknai sebagai bentuk
pengurangan kedaulatan desa.
Terkait
kebebasan dalam pembuatan kebijakan, mekanisme Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi
penyampaian aspirasi (aspek demokratisasi) masyarakat,
saat ini justru menyebabkan keputus-asaan
masyarakat karena perencanaan
pembangunan melalui Musrenbangdes seringkali tidak jelas implementasinya. Hal
tersebut bisa terjadi disebabkan, pada kenyataannya desa tidak memiliki cukup
dana untuk membiayai pembangunan. Permasalahan lain, terdapat ketidak-sesuaian
antara hasil Musrenbangdes yang bersifat spasial dengan hasil yang bersifat
sektoral di tingkat daerah, dan ketiadaan akses ke elit pengambil kebijakan
untuk mempengaruhi keputusan kebijakan
alokasi pendanaan.
Dalam
hal kebebasan mengekspresikan hak asal-usul desa dan adat istiadat,
regulasi/peraturan perundang-undangan telah memberikan kesempatan untuk melaksanakannya. Baik
dalam batasan konseptual desa
maupun ketentuan normatifnya, peraturan perundang-undangan pada era UU Nomor 32/2004
dan UU Nomor 22/1999 mengakui dan menghormati adat istiadat dan lembaga adat,
serta mengamanatkan untuk menetapkan
berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan
pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayah desa. Dalam konteks
regulasi tersebut, kemandirian
politik desa, khususnya
untuk mengekspresikan hak asal-usul dan adat istiadat desa, sudah
terjamin. Persoalannya, struktur dan kondisi yang ada tidak memungkinkan
optimalisasi atas pelaksanaan hak asal-usul dan adat istiadat desa. Gaya dan
tuntutan hidup masyarakat pada kenyataannya telah berkontribusi menggusur
eksistensi adat istiadat yang dahulu ada. Perspektif masyarakat dalam melihat adat
istiadat sudah bergeser dari hal yang bersifat filosofis ke hal pragmatis. Perubahan
struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa pada kenyataannya bukan
menjadi faktor tunggal yang mempengaruhi kemandirian desa. Beberapa perubahan
struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa memang memberikan dampak terhadap kemandirian
desa, namun sebagian diantaranya tidak berdampak
signifikan. Persoalan kemandirian desa seringkali justru diakibatkan oleh faktor-faktor
di luar struktur dan fungsi kelembagaan.
Dalam
hal mencermati persoalan kemandirian desa, akan relevan bila melihat pendapat
Smith (1985) bahwa pelaksanaan desentralisasi bukan semata-mata suatu proses
teknik, administrasi, demi efisiensi dan efektivitas, melainkan merupakan
proses interaksi yang dinamik dari berbagai faktor, yang sering sulit untuk
diperhitungkan terlebih dahulu yang sering disebut sebagai process of political
interaction.
Pendapat
Smith tersebut tidak berbeda jauh dengan pernyataan Cheema dan Rondinelli
(1983:92) yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah konsekuensi dari
keputusan politik dan administratif. Sehingga, selain melibatkan aksi-reaksi
antara sisi “agensi dan struktur”, terdapat satu variabel yang menentukan yaitu
variabel supra desa (pemerintah tingkat atas) yang berperan besar dalam
mendesain desentralisasi desa.
Pelaksanaan desentralisasi perlu
memperhatikan karakter, kapasitas, potensi, dan kebutuhan setempat. Sehingga desentralisasi atau
penyerahan kewenangan/urusan tidak diberlakukan sama untuk setiap desa.
Demikian pula tidak semua desa memiliki bentuk yang sama. Berdasarkan hasil
dari penelitian, maka bentuk-bentuk desa yang dirumuskan harus memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut (Suharto dkk., 2012b).
1.
Memungkinkan pengakomodasian terhadap keragaman desa. Sehingga konsep yang
disusun harus mempunyai pendekatan optional village, bukan default village
(desa baku). Di sisi lain, keragaman desa tidak mengesampingkan fungsi dan peran
negara (pemerintah) dalam menjamin negara kesatuan, pembangunan bangsa, dan
kesejahteraan masyarakat.
2.
Menghindari
terjadinya marginalisasi terhadap desa (terutama masyarakatnya). Sehingga
bentuk desa yang disusun
tidak menyebabkan kepentingan
atau kebutuhan masyarakat desa terabaikan.
Sebaliknya, pemerintahan dan pembangunan desa dapat lebih terjamin.
3.
Di desa menjamin
adanya dua prinsip, local self-government dan self-governing community.
Sementara yang berstatus local state government berubah menjadi kelurahan.
4.
Hubungan
interdependensial berlangsung dalam relasi kekuasaan, kewenangan, keuangan
serta sosio-psikologis yang proporsional antara desa dan supra-desa merupakan
hal penting.
5.
Menjamin
implementasi desentralisasi politik dan desentralisasi administratif/ekonomi, sehingga dapat mewujudkan
kemandirian desa (perspektif politik dan administratif/ekonomi).
Berdasar
hal tersebut, dapat disampaikan pilihan bentuk-bentuk desa sebagai berikut:
1.
Desa otonom.
Merupakan desa yang menjalankan perspektif desentralisasi
politik dan desentralisasi administratif. Desa-desa yang memiliki potensi,
kapasitas, karakter, dan kebutuhannya memadai dikembangkan menjadi desa otonom
dengan menyelenggarakan urusan/kewenangan berdasarkan
prinsip subsidiaritas serta kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Desa otonom mendapatkan
akses terhadap sumber daya (SDM, keuangan, dan saran/prasarana) yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hubungan pemerintahan dengan supra desa
bersifat interdependensial.
2.
Desa administrasi
(kelurahan). Desa administrasi dikembangkan dari desa yang kurang memiliki
potensi, kapasitas, karakter, atau kebutuhan memadai. Desa administrasi
merupakan desa yang menjalankan perspektif desentralisasi administratif, dan
tidak menjalankan perspektif desentralisasi politik. Desa administrasi menjadi
bagian (sub-ordinasi) dari struktur pemerintahan supra desa.
3.
Desa semi
otonom. Desa semi
otonom merupakan pilihan bagi desa yang dari perspektif desentralisasi
politik masih kuat (misal adanya adat istiadat atau hak asal-usul yang masih
bertahan), tetapi dari perspektif desentralisasi administratif/ekonomi (misal
kapasitas dan potensi ekonomi desa) tidak memadai. Sehingga dalam desa semi
otonom terdapat dua struktur desa,
yakni desa administrasi
yang menyelenggarakan
desentralisasi administratif/ekonomi, dan desa adat yang
menyelenggarakan desentralisasi politik. Desa adat dan desa administrasi
memiliki hubungan sejajar dan bersifat interdependensial. Desa administrasi
dalam desa semi otonom merupakan bagian/sub ordinasi dari pemerintahan supra desa.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan penelitian, maka dapat
dirumuskan beberapa simpulan. Pertama, desentralisasi politik pada saat berlaku
UU Nomor 5/1979 dalam tataran regulatif maupun empiris berlangsung dengan
sangat minimal. Ketika berlaku UU Nomor 22/1999 desentralisasi politik
berlangsung dinamis. Sedangkan pada era berlakunya UU Nomor 32/2004,
desentralisasi politik dan administratif secara regulatif/empirik dicoba
diseimbangkan dengan mengurangi
penekanan pada desentralisasi politik. Kedua,
perubahan struktur dan
fungsi kelembagaan pemerintahan desa pada prinsipnya mengikuti konstruksi
atau titik tekan
arah desentralisasi (perspektif administratif dan perspektif politik). Ketiga, kemandirian desa dapat dikelompokkan menurut kemandirian
administratif/ ekonomi (dilihat dari struktur dan komposisi APBDesa,
keleluasaan desa dalam mengelola pendapatan desa, aset dan
usaha desa, serta kemandirian
ekonomi masyarakat dalam pembangunan atau keswadayaan); dan
kemandirian politik (dilihat dari proses rekrutmen/pembinaan aparatur,
pertanggung-jawaban aparatur, perwujudan hak-hak politik/partisipasi
masyarakat, kemandirian dalam pembuatan kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan
hak asal-usul desa dan adat istiadat). Keempat,
pergeseran penekanan pada desentralisasi administratif
secara signifikan mengurangi
kemandirian politik, tetapi tidak secara signifikan meningkatkan kemandirian
administratif. Kelima, pelaksanaan desentralisasi desa perlu memperhatikan
karakter, kapasitas, potensi, dan kebutuhan setempat. Terdapat variasi
bentuk-bentuk desa dengan prinsip:
memungkinkan pengakomodasian terhadap keragaman desa; menghindari
terjadinya marginalisasi terhadap desa (terutama masyarakatnya); menjamin
adanya prinsip local self-government dan self-governing community; menjamin hubungan
interdependensial yang berlangsung dalam relasi kekuasaan, kewenangan, keuangan
serta sosio-psikologis yang proporsional antara
desa dan supra-desa;
dan menjamin implementasi
desentralisasi politik dan desentralisasi administratif/ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Madekhan.
2007. Orang Desa, Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press Antlov, Hans
dan Sven Cedderoth.
2001.
Kepemimpinan Jawa:
Perintah Halus, Pemerintahan
Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli.
1983.
Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills :
Sage Publication Ditjen PMD; Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan
Depdagri. 2007. “Naskah Akademik RUU tentang Desa”. JakartaEaton, Joseph W.
(ed.). 1986.
Pembangunan
Lembaga dan Pembangunan Nasional; dari Konsep ke Aplikasi. Jakarta: UI-Press Eko,
Sutoro. (ed.). 2005.
Manifesto
Pembaharuan Desa, Persembahan 40
tahun STPMD “APMD”. Yogyakarta:
APMD Press _______. 2005.
“Masa Lalu, Masa
Kini dan Masa Depan Otonomi Desa”, dalam Wignosubroto, Soetandyo dkk., 2005,
Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institue for
Local Government.
Leonard, David
K. 1983. “Interorganizational Linkages for
Decentralized Rural Development: Overcoming
Administrative Weakness,” dalam G. Shabbir Cheema, dan Dennis A.
Rondinelli (eds.). Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries.
California: Sage Publication,
Inc.
Manan, Bagir.
2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum UII.
Marbun, BN.
1988. Proses Pembangunan Desa, Menyongsong tahun 2000. Cetakan Keempat (edisi
revisi). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mas’oed, Mohtar.
2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mintzberg,
Henry. 1979. “The Five Basic Part of the Organization”, dalam Jay M. Shafritz,
Ott J.Steven, Classics of Organization Theory.
Fourth
Edition. USA: Wadsworth Publishing Company. Norton, Alan. 1997. International
Handbook of Local and Regional Government, A Comparative
Analysis of
Advanced Democracies. UK: Edward Elgar Publishing Limited. Santoso, Purwo.
2003. “Menuju Tata Pemerintahan dan
Pembangunan Desa dalam
Sistem Pemerintahan Daerah: Tantangan bagi DPRD,”
dalam
Abdul Gaffar Karim (ed.). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Smith, Brian C. 1985. Decentralization: The Territorial
Dimension of the State. London:
George Allen and
Unwin.Suharto, Didik G. 2012a.
Dampak Perubahan
Struktur dan Fungsi Kelembagaan Pemerintahan Desa terhadap Kemandirian Desa.
Disertasi. Tidak dipublikasikan. _______; Pawito; dan Muktiyo Widodo. 2012b.
Pengembangan Otonomi
Desa dengan Pendekatan
Desentralisasi. Laporan Penelitian Hibah Fundamental. Tidak dipublikasikan. Tjondronegoro,
Soediono MP. 1999.
Keping-keping Sosiologi
dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. USAID DRSP.
2006. “Desentralisasi 2006: Membedah Reformasi
Desentralisasi di Indonesia”.
Ringkasan
Laporan. Agustus 2006.Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi Lokal : Perubahan dan
Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat,
Sulawesi Selatan dan Bali. Yogyakarta: Ombak.