Rabu, 05 Agustus 2020

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI ADMINISTRATIF DAN DESENTRALISASI POLITIK



PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI ADMINISTRATIF DAN DESENTRALISASI POLITIK



KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang telah memberikan Rahmat serta KaruniaNya kepada kita semuanya. Atas izinNya pulalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Makalah ini berisi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dalam perspektif desentralisasi administratif dan desentralisasi politik. Dalam penyusunannya penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan dari segi materi maupun penulisan. Penulis menyadari masih dalam proses pembelajaran, dimana pengetahuan penulis masih banyak kekurangan.
Untuk itu demi kesempurnaan penulisan serta penyusunan makalah untuk masa yang akan datang penulis menerima saran maupun kritik yang bersifat membangun.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis untuk terus menambah wawasan serta pengetahuan.

 Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Selama ini desa masih sering terabaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Di berbagai aspek kehidupan, khususnya sosial/ekonomi, desa dan masyarakatnya masih berada pada kondisi serba kekurangan, jauh tertinggal dibanding kondisi masyarakat di perkotaan. Tata kelola pemerintahan desa dipandang sangat menentukan kemajuan desa atau peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sehingga sudah semestinya pembenahan terhadap tata kelola pemerintahan desa menjadi fokus agenda bangsa Indonesia. Terdapat tiga permasalahan utama dalam tulisan ini (diadopsi dari Suharto, 2012a). Pertama, keberadaan  desa  belum  mampu  mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Eksistensi desa dianggap ambivalen dan cenderung kabur. UU Nomor 32/2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  belum memiliki landasan pijakan kuat untuk mengarah pada pencapaian cita-cita desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Dari aspek teoritis, terdapat sejumlah ketidakjelasan dalam sistem pemerintahan desa sekarang ini. Misalnya dalam hal kewenangan. Menurut pasal 206 UU Nomor 32/2004, ada empat urusan pemerintahan desa: (a) Urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) Urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) Tugas pembantuan dari pemerintah, propinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa undang-undang memberi amanat kepada kabupaten/kota untuk melakukan “desentralisasi” kewenangan kepada desa. Menurut teori desentralisasi dan hukum tatanegara, mekanisme itu menimbulkan kekacauan logika dan hukum. Permasalahan lain adalah menyangkut titik berat otonomi pada daerah kabupaten/kota, yang berimplikasi terhadap dominansi pemerintah kabupaten/kota ke desa. Undang-undang
Dasar (UUD) RI 1945 sebenarnya tidak eksplisit mengamanatkan undang-undang untuk menempatkan desa dalam sub sistem kabupaten/kota, tetapi UU Nomor 32/2004 ternyata menempatkan desa dalam sub sistem kabupaten/kota. Desain penempatan desa tersebut berdampak terhadap marginalisasi desa. Kedua, struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa belum sesuai kebutuhan desa dan masyarakatnya.  Perubahan  struktur  dan  fungsi kelembagaan yang sering terjadi selama ini pada kenyataannya belum memperjelas posisi (kedudukan) dan kewenangan desa. Meskipun perubahan kebijakan desentralisasi  berimplikasi  terhadap  perubahan struktur dan fungsi kelembagaan, namun perubahan struktur dan fungsi itu belum sesuai tuntutan organisasi  dan masyarakat.  Dalam realitasnya, polemik-polemik yang terkait persoalan kelembagaan masih berulang kali terjadi di internal desa maupun dengan supra desa. Misalnya soal kewenangan, keuangan, dan pembangunan. Pelayanan publik kepada masyarakat desa nyata-nyata juga masih banyak dikeluhkan, misalnya dalam pengurusan administrasi yang berbelit, jam kerja kantor yang tidak jelas, dan adanya pungutan-pungutan. Beragam persoalan pemerintahan desa itu pada intinya bersumber pada struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang masih “bermasalah”. Untuk menentukan struktur dan fungsi kelembagaan yang sesuai kebutuhan masyarakat atau organisasi tidak mudah. Secara teoritis, belum ada pedoman atau ukuran-ukuran baku untuk mengidentifikasi struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang sesuai kebutuhan masyarakat/organisasi. Juga belum ada pengelompokan bentuk atau klasifikasi desa sebagai wujud keberagaman karakteristik desa yang bisa diterima luas. Ketiga, desain kebijakan penyelenggaraan pemerintahan  desa  belum  mengarah  kepada perwujudan kemandirian desa. Meskipun secara legal formal persoalan kemandirian desa tidak eksplisit dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai sasaran yang harus dituju, namun dari sisi filosofis, historis, dan strategis, kemandirian desa merupakan suatu hal yang sangat penting. Perspektif umum dari penelitian ini berpandangan bahwa faktor struktural  dan fungsional kelembagaan dinilai memiliki pengaruh untuk menjembatani sejumlah persoalan yang telah diuraikan di atas. Mencermati kondisi pemerintah desa beserta masyarakatnya, maupun permasalahan empiris dan teoritis yang dihadapi desa saat ini, dapat disimpulkan bahwa desain kebijakan desentralisasi terkait struktur dan fungsi  kelembagaan  pemerintahan desa pada kenyataannya belum mampu mendorong kemandirian. Beranjak dari pemaparan sebelumnya, ada harapan untuk  mengevaluasi  dan  menata  sistem penyelenggaraan  pemerintahan  desa  secara menyeluruh.

1.2.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang desentralisasi desa
2.      Untuk mengetahui tentang struktur dan fungsi kemandirian desa
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Desentralisasi
Konstruksi yang dibangun dalam mengatur pemerintahan daerah sama dengan konstruksi yang dibangun  dalam  mengatur  pemerintahan  desa. Konstruksi desentralisasi tersebut dapat didekati dari perspektif politik dan administratif. Desentralisasi politik pada saat berlakunya UU Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa dalam tataran regulatif maupun empiris berlangsung dengan sangat minimal. Sebaliknya, ketika berlaku UU Nomor 22/1999 desentralisasi politik berlangsung dinamis. Sedangkan pada era berlakunya UU Nomor 32/2004 sampai dengan saat ini, desentralisasi politik dan administratif secara regulatif/empirik dicoba diseimbangkan dengan mengurangi penekanan pada desentralisasi politik. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Eko (2005), USAID DRSP (2006), dan penelitian Zuhro (2009).
Pergeseran penekanan desentralisasi politik dan desentralisasi administratif dari sudut regulatif maupun empirik saat sekarang dapat dilihat antara lain dari mekanisme pemilihan perangkat desa. Dari sisi desentralisasi politik mengalami penurunan muatan karena penduduk desa lebih terbatas mewujudkan kedaulatan dalam memilih pemimpin. Di sisi berbeda, bobot desentralisasi administrasi semakin bertambah karena  dengan  melalui  mekanisme  pemilihan ujian/seleksi, proses bisa berjalan efektif dan efisien, rendah konflik, dan kualitas calon lebih mudah diarahkan. Demikian pula dalam hal mekanisme pemilihan dan tugas/fungsi BPD. Pengangkatan atau pengisian sekretaris desa dari PNS kurang lebih juga membawa implikasi semacam itu. Desentralisasi politik semakin melemah, desentralisasi administratif semakin  menguat.  Dalam  kaitan  pengaturan pengelolaan tanah bengkok dan perubahan sistem penggajian kepala desa/perangkat desa, bisa pula dimaknai dari sudut pandang pergeseran desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Lemahnya eksistensi desa dikarenakan desa tidak memiliki  sumber  daya memadai untuk menggerakkan kesempatan/peluang yang menjadi nilai  lebih  desentralisasi.  Persoalan pokoknya, posisi/kedudukan desa yang tidak jelas. Kedudukan desa sejak UU Nomor 1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite nasional Indonesia Daerah sampai dengan peraturan perundang-undangan yang terakhir (UU Nomor 32 tahun 2004), tidak memiliki posisi yang kuat. Pondasi yang mendasari kedudukan desa tidak kuat/jelas. Regulasi-regulasi yang pernah ada berkontribusi atas desain  kedudukan desa yang tidak jelas. Ketidakjelasan kedudukan desa berpengaruh terhadap aspek-aspek yang lain. Kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan desa, hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun sumbersumber keuangan desa.
UU Nomor 5/1979 menempatkan desa sebagai obyek pemerintah. Undang-undang ini menjadi alat kontrol negara terhadap masyarakat lokal, dengan cara menciptakan keseragaman desa di seluruh Indonesia untuk memudahkan pengawasan dan pengaturan. Perspektif desa administratif (local state government) sangat menonjol dalam UU Nomor 5/1979. Undang-undang tersebut di kritik oleh banyak pakar (Antlov, 2001; Santoso, 2003; Eko (ed.), 2005; Manan, 2004; Tjondronegoro, 1999; dan Mas’oed, 2003) memiliki berbagai kelemahan. UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merubah secara radikal sistem pemerintahan desa. Menurut pasal 5 UU Nomor 22/1999, kewenangan desa mencakup: (1) Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2)  Kewenangan  yang  oleh  peraturan  perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah; dan (3) Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi, dan/atau pemerintah  kabupaten.  Sedangkan  urusan pemerintahan desa menurut UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 206 meliputi: (a) Urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;  (b)  Urusan  yang  menjadi  kewenangan kabupaten/kota  yang  diserahkan  pengaturannya kepada desa; (c) Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah  propinsi,  dan/atau  pemerintah kabupaten/kota; dan (d) Urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
Namun,  dalam  realitasnya  kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa dapat dikatakan tidak ada. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa sudah terlanjur hilang, terutama setelah berlakunya penyeragaman bentuk desa oleh UU Nomor 5/1979. Urusan-urusan yang senyatanya telah dilaksanakan desa cenderung merupakan urusan rutin, turun temurun, dan telah menjadi kebiasaan dilakukan oleh pemerintah desa sejak lama. Ketentuan kewenangan yang tidak  jelas  serta  implementasinya  yang cenderung seadanya, menyebabkan masa depan kemandirian desa tidak jelas pula.
Dalam hal ini, prinsip subsidiaritas secara teoritis  bisa  menjadi  pertimbangan.  Prinsip subsidiaritas didefinisikan sebagai prinsip bahwa segala masalah seharusnya diselesaikan pada tingkat paling kecil/rendah, kecuali ada alasan  yang memaksakan masalah tersebut perlu diselesaikan pada tingkat yang lebih luas. Norton (1997), Smith (1985), Leonard (1983), dan Ditjen PMD (2007) melihat pentingnya prinsip subsidiaritas yang mendekatkan pembuatan keputusan kepada tingkat lokal. Selain itu, terdapat beberapa kriteria dalam rangka mewujudkan proporsionalitas  dalam  pembagian  urusan pemerintahan digunakan kriteria, yaitu: kriteria eksternalitas, kriteria akuntabilitas, dan kriteria efisiensi. Aspek-aspek tersebut selama ini belum dilaksanakan secara konsisten.
Secara normatif, terdapat sejumlah perubahan regulatif pada saat berlakunya UU Nomor 32/2004 dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 5/1979). Pada prinsipnya, dalam ketiga periode undang-undang belum dapat mewujudkan kedudukan desa yang kuat. Desa  tetap  menjadi  sub-ordinasi  pemerintah kabupaten, yang pada kasus-kasus tertentu menjadi sasaran eksploitasi pemerintah supra desa. Realitas semacam itu tidak berbeda jauh dibanding kondisi desa sejak pada masa kolonial (Ali, 2007, Marbun, 1988). Ketika berlaku UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004, kebebasan (otonomi) desa terhambat oleh kewenangan, kapasitas, dan akses sumber daya yang tidak berpihak kepada desa. Jadi, meskipun perubahan dalam regulasi berdampak pada perubahan struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa, tetapi dampaknya terhadap praktik di masyarakat tidak seluruhnya berpengaruh signifikan. Sebagai bagian dari lembaga formal kenegaraan, perubahan struktur dan  fungsi  kelembagaan  pemerintahan  desa berhubungan erat dengan desain peraturan perundang-undangan. Setiap perubahan klausul dalam peraturan perundang-undangan berpotensi merubah struktur dan fungsi kelembagaan.
Terkait  perubahan  struktur  dan  fungsi kelembagaan pemerintahan desa, ada beberapa perubahan  ketentuan  terkait  penyelenggaraan pemerintahan di desa yang dapat dipetakan menjadi tujuh aspek, yaitu: struktur (unsur) pemerintahan desa; kepala desa; sekretaris desa, kepala dusun, dan kepala urusan; lembaga perwakilan (BPD); peraturan desa; keuangan desa; serta kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa (Suharto, 2012a). Perubahan atas komposisi (unsur) dan hirarki lembaga pemerintahan desa bisa menimbulkan potensi konflik terkait perubahan orientasi kerja perangkat desa dan kemungkinan penurunan kinerja aparat pemerintahan desa. Perubahan pertanggung-jawaban, masa kerja, dan kesejahteraan kepala desa bisa membawa permasalahan terkait perubahan orientasi kepala desa yang cenderung ke atas, penentangan atas perubahan masa kerja dan sistem bengkok yang menyebabkan berkurangnya penghasilan kepala desa. Selanjutnya, perubahan status sekretaris desa menjadi PNS dan perubahan SOTK sekretaris desa, kepala urusan dan kepala dusun menimbulkan sejumlah permasalahan seperti penetapan status kepegawaian yang belum jelas, potensi ambivalensi pelaksanaan tugas antara kepada kepala desa dengan camat atau tata kerja sekretaris desa yang lebih berorientasi kepada  pemerintah  di  atasnya,  berkurangnya kreativitas dalam membangun wilayah, potensi konflik dan kecemburuan sosial antara sekretaris desa dengan perangkat desa lain, serta berkurangnya eksistensi posisi sekretaris desa di hadapan kepala urusan dan kepala dusun. Namun terdapat pula potensi dampak positifnya, yakni sistem administrasi desa semakin berkembang baik.
Dalam  hal  perubahan  nama  Badan Permusyawaratan Desa (BPD), mekanisme rekrutmen anggota, dan perubahan tugas/fungsi bisa menyebabkan permasalahan terkait berkurangnya kedaulatan rakyat dalam memilih anggota BPD dan menyalurkan aspirasinya, dominansi elit-elit lama di pemerintahan desa, dan berkurangnya akuntabilitas kerja anggota BPD terhadap masyarakat, serta eksistensi BPD menjadi lemah. Dalam konteks tersebut, akuntabilitas perangkat desa (termasuk kepala desa) juga semakin berkurang. Kepala desa dan perangkat  desa  cenderung  berorientasi  kepada pemerintah kabupaten daripada stakeholders di desa. Sedangkan perubahan istilah dan mekanisme penyusunan peraturan desa dapat menimbulkan masalah dalam hal birokratisasi penyusunan peraturan desa, keterbatasan keleluasaan desa, dan kemungkinan rendahnya penyerapan aspirasi masyarakat dalam peraturan desa. Berkenaan perubahan bagi hasil/perimbangan keuangan dan sumber pendapatan desa, terdapat potensi masalah seperti konsistensi dan komitmen untuk memberikan bagi hasil/perimbangan keuangan lebih layak kepada desa tidak terpenuhi, potensi penurunan pendapatan desa, dan kemungkinan berkurangnya keleluasaan desa dalam mengelola anggaran. Potensi masalah yang timbul dari perubahan komposisi penghasilan kepala desa/perangkat desa adalah kemungkinan penurunan penghasilan kepala desa dan perangkat desa, kesenjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa, kecenderungan berkurangnya motivasi kepala desa. Perubahan kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa pada  garis  besarnya  telah  menggeser  arah desentralisasi  politik  menuju  desentralisasi administrasi. Dari perspektif teoritis, untuk membahas dan menganalisis  struktur dan  fungsi kelembagaan pemerintahan  desa  agar  lebih  efektif  dalam mendorong kemandirian desa, dapat dicermati dari pendekatan pembangunan lembaga. Pemerintahan desa, mengacu konsepsi Henry Mintzberg tentang lima bagian pokok atau fungsi dari organisasi bisa diidentikkan sebagai operating core. Operating core menjalankan pekerjaan pokok organisasi –input, pengolahan, output, tugas dukungan langsung yang terkait dengan memproduksi barang atau jasa. Fungsi-fungsi dalam organisasi yang disampaikan Mintzberg (1979) sebaiknya ada pada setiap organisasi, meskipun tidak harus selalu ada dalam struktur organisasi dan hanya dilaksanakan oleh personil secara fungsional.

2.2. Struktur dan Fungsi Kemandirian Desa
Pilihan struktur sederhana bagi kelembagaan pemerintahan desa tersebut dipandang tepat jika didasari karakteristik subyek, obyek, lingkungan, tugas dan fungsi, serta kemampuan keuangan desa. Karakter aktor (aparat pemerintahan desa) dari sisi kuantitas maupun kualitas terbatas. Demikian pula sasaran dari pelayanan dari pemerintahan desa (masyarakat) juga tidak terlalu kompleks. Sedangkan tugas/fungsi  pemerintahan  desa  tidak  terlalu rumit/kompleks. Sementara kemampuan keuangan desa terbatas. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan pemilihan struktur sederhana.  Karena  struktur sederhana juga memiliki kelemahan-kelemahan maka perlu dikombinasikan dengan struktur fungsional. Sehingga meskipun struktur kelembagaan berbentuk sederhana, tapi bersifat fungsional. Kurang  berfungsinya  kelembagaan  desa, berpengaruh terhadap upaya pembangunan lembaga. Untuk itu, pembangunan lembaga diperlukan untuk memberdayakan pemerintahan desa. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik,  dan/atau  sosial,  (b) menetapkan,  mengembangkan, dan  melindungi hubungan-hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan tersebut (Eaton,1986:24). Ada dua kelompok variabel atau faktor yang penting untuk membimbing kegiatan pembangunan lembaga. Yaitu variabel-variabel lembaga yang pada dasarnya menyangkut organisasi itu sendiri, dan variabel-variabel kaitan yang berhubungan terutama dengan hubungan-hubungan ekstern.
Dalam konteks model pembangunan lembaga, aspek politik  dianggap strategis  karena akan menghasilkan produk yang berupa regulasi (peraturan perundang-undangan). Persoalan regulasi ini penting bagi desa, karena pemerintahan desa menjadi bagian dari struktur (organisasi) formal  kenegaraan. Intervensi atas peraturan perundang-undangan akan memberikan pengaruh signifikan bagi desa. Sebagai contoh, regulasi atas penguatan kedudukan desa dapat berdampak pada kewenangan, keuangan, dan sumber daya  yang  lain,  kualitas  program,  termasuk kemandirian desa. Aspek politik dapat dikatakan sebagai respon kebijakan atau alat “intervensi” dari pemerintahan supra desa.
Kemandirian desa tidak hanya persoalan pemberian pengakuan dan kesempatan kepada desa untuk mengatur urusan rumah tangga dan kepentingan masyarakat  setempat,  namun  juga  dukungan-dukungan yang lain. UU Nomor 32/2004 telah memberi pengakuan terhadap kewenangan / hak asal-usul desa. Hak asal usul masyarakat desa sebagai kesatuan  masyarakat  hukum  mencakup;  hak membentuk peraturan atau tata nilai; hak membentuk lembaga-lembaga yang berfungsi menyusun peraturan maupun  yang  melaksanakan  peraturan;  hak merumuskan kepentingan-kepentingan masyarakat sendiri, yaitu kepentingan dalam  aspek keagamaan / kepercayaan  dan  adat istiadat dan kepentingan kemasyarakatan (kepemerintahan); hak atas sumber-sumber daya di dalam teritorialnya, terutama air dan tanah; serta hak menentukan pemimpin sendiri. Dalam konteks ini, hal-hal tersebut dirumuskan dalam  dua  pengelompokan,  yakni desentralisasi yang bersifat dan memiliki tujuan administratif / ekonomi (kemandirian administratif / ekonomi; dilihat dari struktur dan komposisi  APBDesa,  keleluasaan  desa  dalam mengelola pendapatan desa, aset dan usaha desa, serta kemandirian  ekonomi  masyarakat  dalam pembangunan  atau  keswadayaan);  dan  politik (kemandirian  politik;  dilihat  dari  proses rekrutmen/pembinaan aparatur, pertanggung-jawaban aparatur,  perwujudan  hak-hak  politik/partisipasi masyarakat, kemandirian dalam pembuatan kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan hak asal-usul desa dan adat istiadat) (Suharto, 2012a).
Menyangkut pengelolaan aset dan usaha desa, pemerintah desa belum bisa maksimal mandiri  mengelola  dan  mendapat  hasilnya. Kepemilikan aset dan usaha desa masih sangat terbatas. Pengelolaan aset selain tanah kas dan usaha desa belum dapat menjadi sumber pemasukan andalan bagi desa, pemerintah desa belum bisa maksimal mandiri mengelola dan mendapat hasilnya. Sementara itu, kemandirian ekonomi masyarakat dalam pembangunan desa rata-rata sudah berkembang baik. Terbukti antara lain dari tingkat swadaya masyarakat dalam pembangunan wilayahnya cenderung terus meningkat. Kemandirian masyarakat tersebut  dipengaruhi  oleh  potensi  masyarakat.
Sedangkan potensi masyarakat banyak ditentukan oleh sosial ekonomi masyarakat. Gambaran mengenai kemandirian politik desa terutama terlihat melalui karakteristik pemerintah desa dan BPD. Persoalan rekrutmen (pengisian) aparat pemerintah desa dan BPD pada era sekarang lebih menekankan pada desentralisasi administratif. Hal tersebut ditandai oleh model rekrutmen sebagian besar lembaga-lembaga tersebut yang tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat, tapi melalui sistem pengangkatan atau melalui dewan pemilih. Dari segi efektivitas pemerintahan, realitas tersebut akan bermanfaat karena meminimalisir ”kegaduhan” politik dari banyak orang/pihak dan mengalihkannya ke sedikit orang/pihak. Namun hal itu berdampak negatif  terhadap  berkurangnya  kemandirian (kedaulatan) politik desa/masyarakat. Sebab setiap masyarakat  tidak  bisa  menyampaikan  pilihan politiknya dengan langsung. Di bagian lain, terdapat campur tangan pemerintah supra desa dalam pembinaan aparatur pemerintah desa. Pembinaan kepada aparat pemerintah desa bukan hanya dilakukan pemerintah kecamatan, tapi juga dilakukan langsung oleh  pemerintah  kabupaten.  Pembinaan  yang dilakukan pemerintah supra desa kepada aparat pemerintah desa selama ini berhubungan dengan tugas yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. Pembinaan tersebut dimaksudkan untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan di desa. Artinya,  pemerintah berusaha menjalankan desentralisasi administratif melalui  peningkatan efektivitas pemerintahan desa.
Orientasi  pertanggung-jawaban  aparatur pemerintah desa yang lebih condong bergeser ke atas (supra desa) berdampak pada pergeseran penyelenggaraan pemerintah  desa ke arah desentralisasi administratif. Pergeseran pertanggung-jawaban kepala desa dari BPD ke bupati, pergeseran pertanggung-jawaban  administrasi  kepegawaian sekretaris desa dari kepala desa ke bupati, dan pergeseran pertanggung-jawaban tugas kepala urusan dari sekretaris desa ke kepala desa, merupakan bukti bahwa perspektif desentralisasi administrasi semakin menguat, yang berdampak terhadap berkurangnya kemandirian politik desa (kalangan bawah). Orientasi pertanggung-jawaban yang lebih besar ke pemerintah kabupaten bisa dimaknai sebagai bentuk pengurangan kedaulatan desa.
Terkait kebebasan dalam pembuatan kebijakan, mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang diharapkan menjadi pintu masuk  bagi  penyampaian  aspirasi  (aspek demokratisasi)  masyarakat,  saat  ini  justru menyebabkan  keputus-asaan  masyarakat  karena perencanaan pembangunan melalui Musrenbangdes seringkali tidak jelas implementasinya. Hal tersebut bisa terjadi disebabkan, pada kenyataannya desa tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pembangunan. Permasalahan lain, terdapat ketidak-sesuaian antara hasil Musrenbangdes yang bersifat spasial dengan hasil yang bersifat sektoral di tingkat daerah, dan ketiadaan akses ke elit pengambil kebijakan untuk mempengaruhi  keputusan  kebijakan  alokasi pendanaan.
Dalam hal kebebasan mengekspresikan hak asal-usul desa dan adat istiadat, regulasi/peraturan perundang-undangan telah memberikan kesempatan untuk  melaksanakannya.  Baik  dalam  batasan konseptual desa maupun ketentuan normatifnya, peraturan perundang-undangan pada era UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 22/1999 mengakui dan menghormati adat istiadat dan lembaga adat, serta mengamanatkan  untuk  menetapkan  berbagai kebijaksanaan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di wilayah desa. Dalam konteks regulasi tersebut, kemandirian  politik  desa,  khususnya  untuk mengekspresikan hak asal-usul dan adat istiadat desa, sudah terjamin. Persoalannya, struktur dan kondisi yang ada tidak memungkinkan optimalisasi atas pelaksanaan hak asal-usul dan adat istiadat desa. Gaya dan tuntutan hidup masyarakat pada kenyataannya telah berkontribusi menggusur eksistensi adat istiadat yang dahulu ada. Perspektif masyarakat dalam melihat adat istiadat sudah bergeser dari hal yang bersifat filosofis ke hal pragmatis. Perubahan struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa pada kenyataannya bukan menjadi faktor tunggal yang mempengaruhi kemandirian desa. Beberapa perubahan struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa memang memberikan dampak terhadap  kemandirian  desa,  namun  sebagian diantaranya tidak berdampak signifikan. Persoalan kemandirian desa seringkali justru diakibatkan oleh faktor-faktor di luar struktur dan fungsi kelembagaan.
Dalam hal mencermati persoalan kemandirian desa, akan relevan bila melihat pendapat Smith (1985) bahwa pelaksanaan desentralisasi bukan semata-mata suatu proses teknik, administrasi, demi efisiensi dan efektivitas, melainkan merupakan proses interaksi yang dinamik dari berbagai faktor, yang sering sulit untuk diperhitungkan terlebih dahulu yang sering disebut sebagai process of political interaction.
Pendapat Smith tersebut tidak berbeda jauh dengan pernyataan Cheema dan Rondinelli (1983:92) yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah konsekuensi dari keputusan politik dan administratif. Sehingga, selain melibatkan aksi-reaksi antara sisi “agensi dan struktur”, terdapat satu variabel yang menentukan yaitu variabel supra desa (pemerintah tingkat atas) yang berperan besar dalam mendesain desentralisasi desa.
Pelaksanaan  desentralisasi  perlu  memperhatikan karakter, kapasitas, potensi, dan kebutuhan setempat. Sehingga  desentralisasi  atau  penyerahan kewenangan/urusan tidak diberlakukan sama untuk setiap desa. Demikian pula tidak semua desa memiliki bentuk yang sama. Berdasarkan hasil dari penelitian, maka bentuk-bentuk desa yang dirumuskan harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut (Suharto dkk., 2012b).
1.      Memungkinkan  pengakomodasian  terhadap keragaman desa. Sehingga konsep yang disusun harus mempunyai pendekatan optional village, bukan default village (desa baku). Di sisi lain, keragaman desa tidak mengesampingkan fungsi dan peran negara (pemerintah) dalam menjamin negara kesatuan, pembangunan bangsa, dan kesejahteraan masyarakat.
2.      Menghindari terjadinya marginalisasi terhadap desa (terutama masyarakatnya). Sehingga bentuk desa  yang  disusun  tidak  menyebabkan kepentingan atau kebutuhan masyarakat desa terabaikan.  Sebaliknya,  pemerintahan  dan pembangunan desa dapat lebih terjamin.
3.      Di desa menjamin adanya dua prinsip, local self-government dan self-governing community. Sementara yang berstatus local state government berubah menjadi kelurahan.
4.      Hubungan interdependensial berlangsung dalam relasi kekuasaan, kewenangan, keuangan serta sosio-psikologis yang proporsional antara desa dan supra-desa merupakan hal penting.
5.      Menjamin implementasi desentralisasi politik dan desentralisasi  administratif/ekonomi, sehingga dapat mewujudkan kemandirian desa (perspektif politik dan administratif/ekonomi).
Berdasar hal tersebut, dapat disampaikan pilihan bentuk-bentuk desa sebagai berikut:
1.      Desa  otonom.  Merupakan  desa  yang menjalankan perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Desa-desa yang memiliki potensi, kapasitas, karakter, dan kebutuhannya memadai dikembangkan menjadi desa  otonom  dengan  menyelenggarakan urusan/kewenangan  berdasarkan  prinsip subsidiaritas  serta  kriteria  eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Desa otonom mendapatkan akses terhadap sumber daya (SDM, keuangan, dan saran/prasarana) yang diperlukan  dalam  penyelenggaraan pemerintahan. Hubungan pemerintahan dengan supra desa bersifat interdependensial.
2.      Desa administrasi (kelurahan). Desa administrasi dikembangkan dari desa yang kurang memiliki potensi, kapasitas, karakter, atau kebutuhan memadai. Desa administrasi merupakan desa yang menjalankan perspektif desentralisasi administratif, dan tidak menjalankan perspektif desentralisasi politik. Desa administrasi menjadi bagian (sub-ordinasi) dari struktur pemerintahan supra desa.
3.      Desa  semi  otonom.  Desa  semi  otonom merupakan pilihan bagi desa yang dari perspektif desentralisasi politik masih kuat (misal adanya adat istiadat atau hak asal-usul yang masih bertahan), tetapi dari perspektif desentralisasi administratif/ekonomi (misal kapasitas dan potensi ekonomi desa) tidak memadai. Sehingga dalam desa semi otonom terdapat dua struktur desa,  yakni  desa  administrasi  yang menyelenggarakan  desentralisasi administratif/ekonomi, dan desa adat yang menyelenggarakan desentralisasi politik. Desa adat dan desa administrasi memiliki hubungan sejajar dan bersifat interdependensial. Desa administrasi dalam desa semi otonom merupakan bagian/sub ordinasi dari pemerintahan supra desa.












BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa simpulan. Pertama, desentralisasi politik pada saat berlaku UU Nomor 5/1979 dalam tataran regulatif maupun empiris berlangsung dengan sangat minimal. Ketika berlaku UU Nomor 22/1999 desentralisasi politik berlangsung dinamis. Sedangkan pada era berlakunya UU Nomor 32/2004, desentralisasi politik dan administratif secara regulatif/empirik  dicoba  diseimbangkan  dengan mengurangi penekanan pada desentralisasi politik. Kedua,  perubahan  struktur  dan  fungsi kelembagaan pemerintahan desa pada prinsipnya mengikuti  konstruksi  atau  titik  tekan  arah desentralisasi (perspektif administratif dan perspektif politik). Ketiga,  kemandirian desa dapat dikelompokkan menurut kemandirian administratif/ ekonomi (dilihat dari struktur dan komposisi  APBDesa,  keleluasaan  desa  dalam mengelola pendapatan desa, aset dan usaha desa, serta kemandirian  ekonomi  masyarakat  dalam pembangunan atau keswadayaan); dan kemandirian politik (dilihat dari proses rekrutmen/pembinaan aparatur, pertanggung-jawaban aparatur, perwujudan hak-hak politik/partisipasi masyarakat, kemandirian dalam pembuatan kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan hak asal-usul desa dan adat istiadat). Keempat,  pergeseran  penekanan  pada desentralisasi  administratif  secara  signifikan mengurangi kemandirian politik, tetapi tidak secara signifikan meningkatkan kemandirian administratif. Kelima, pelaksanaan desentralisasi desa perlu memperhatikan karakter, kapasitas, potensi, dan kebutuhan setempat. Terdapat variasi bentuk-bentuk desa  dengan  prinsip:  memungkinkan pengakomodasian terhadap keragaman desa; menghindari terjadinya marginalisasi terhadap desa (terutama masyarakatnya); menjamin adanya prinsip local self-government dan self-governing community; menjamin  hubungan  interdependensial yang berlangsung dalam relasi kekuasaan, kewenangan, keuangan serta sosio-psikologis yang proporsional antara  desa  dan  supra-desa;  dan  menjamin implementasi desentralisasi politik dan desentralisasi administratif/ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Madekhan. 2007. Orang Desa, Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press Antlov,  Hans  dan  Sven  Cedderoth.  2001.
Kepemimpinan  Jawa:  Perintah  Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli. 1983.
Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills : Sage Publication Ditjen PMD; Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan Depdagri. 2007. “Naskah Akademik RUU tentang Desa”. JakartaEaton, Joseph W. (ed.). 1986.
Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional; dari Konsep ke Aplikasi. Jakarta: UI-Press Eko, Sutoro. (ed.). 2005.
Manifesto Pembaharuan Desa,  Persembahan  40  tahun  STPMD “APMD”. Yogyakarta: APMD Press _______. 2005.
“Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa”, dalam Wignosubroto, Soetandyo dkk., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institue for Local Government.
Leonard,  David  K.  1983.  “Interorganizational Linkages  for  Decentralized  Rural Development:  Overcoming  Administrative Weakness,” dalam G. Shabbir Cheema, dan Dennis A. Rondinelli (eds.). Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing  Countries.  California:  Sage Publication, Inc.
Manan, Bagir. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.
Marbun, BN. 1988. Proses Pembangunan Desa, Menyongsong tahun 2000. Cetakan Keempat (edisi revisi). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mintzberg, Henry. 1979. “The Five Basic Part of the Organization”, dalam Jay M. Shafritz, Ott J.Steven, Classics of Organization Theory.
Fourth Edition. USA: Wadsworth Publishing Company. Norton, Alan. 1997. International Handbook of Local and Regional Government, A Comparative
Analysis of Advanced Democracies. UK: Edward Elgar Publishing Limited. Santoso, Purwo. 2003. “Menuju Tata Pemerintahan dan  Pembangunan  Desa  dalam  Sistem Pemerintahan Daerah: Tantangan bagi DPRD,”
dalam Abdul Gaffar Karim (ed.). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Smith, Brian C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London:
George Allen and Unwin.Suharto, Didik G. 2012a.
Dampak Perubahan Struktur dan Fungsi Kelembagaan Pemerintahan Desa terhadap Kemandirian Desa. Disertasi. Tidak dipublikasikan. _______; Pawito; dan Muktiyo Widodo. 2012b.
Pengembangan  Otonomi  Desa  dengan Pendekatan Desentralisasi. Laporan Penelitian Hibah Fundamental. Tidak dipublikasikan. Tjondronegoro, Soediono MP. 1999.
Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. USAID  DRSP.  2006.  “Desentralisasi  2006: Membedah  Reformasi  Desentralisasi  di Indonesia”.
Ringkasan Laporan. Agustus 2006.Zuhro, R. Siti dkk. 2009. Demokrasi Lokal : Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali. Yogyakarta: Ombak.

essai ekonomi - permasalahan keuangan



TUGAS
1.      Permasalahan keuangan pemerintah adalah    pertama adalah masalah penerapan akutansi berbasis akrual pada pemerintah daerah. Penerapan akrual di pemerintah daerah masih bermasalah. Lembaga auditor utama negara itu, berdasarkan pemeriksaan 184 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), menemukan kasus-kasus ketidaksiapan pemda untuk menerapakan sistem akrual karena belum ada landasan hukum yang melindungi sistem tersebut. Pemda juga tidak menyiapkan pengembangan sistem pengelolaan keuangan yang sesuai dengan akutansi yang berbasis akrual. Hal itu ditambah keterbatasan Sumber Daya Manusia di daerah untuk menjalankan sistem akrual itu. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21, Tahun 2010, pemerintah wajib menerapakan sistem akrual paling lambat pada 2015. Masalah kedua, adalah pengalihan kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pusat ke daerah. Banyak pemerintah daerah belum memverifikasi dan memvalidasi data piutang PBB-P2 dari pemerintah pusat. Pemda juga belum mencatat piutang PBB-P2 yang telah dicatat pemerintah pusat di neraca. Selain itu, piutang yang tercatat dalam Berita Acara Penyerahan PBB-P2 dan Aplikasi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak berbeda nilainya. Masalah ketiga adalah penyuntikan modal Bank Mutiara senilai Rp1,25 triliun oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) tidak disampaikan Bank Mutiara secara transaparan saat itu. Dari alasan penambahan modal itu, BPK juga menemukan pengelolaan kredit lama, termasuk dengan upaya restrukrisasi oleh Bank Mutiara yang tidak sesuai ketentuan perbankan dari Bank Indonesia. Masalah keempat adalah penerapan Kartu Tanda Penduduk elektronik. Dalam kasus E-KTP ini, BPK menemukan kasus kerugian negara senilai Rp24,90 miliar dan ketidak-efektifan senilai Rp357,2 miliar dari 11 kasus. Masalah kelima adalah pengangkatan, pemberhentian direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN. BPK menemukan tata cara pengangkatan dan pemberhentian komisaris atau dewan pengusaha BUMN belum ada peraturannya, sedangkan untuk direksi sudah ada. Masalah keenam adalah pengelolaan subsidi dari program "Public Service Obligation" (PSO) yang meliputi subsidi energi, pupuk, beras dan lainnya. Koreksi BPK atas PSO adalah unsur unsur biaya yang tidak boleh dibebankan sebagai subsidi menurut ketentuan perundang-undangan, begitu juga mengenai besaran volume dan nilai subsidi. Kemudian, masalah ketujuh adalah pengalihan PT. Askes menjadi BPJS Kesehatan dan PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. BPK menemukan tunggakan iuran Askes Sosial senilai Rp943,3 miliar belum diselesaikan pemerintah daerah. Kemudian, pemebentukan dana pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagkerjaan senilai Rp1,36 triliun yang mengakibatkan peserta tidak menerima seluruh dana pengembangan JHT pada 2012.
2.      Indonesia memiliki banyak sektor yang dapat dikembangkan untuk mengembangkan perekonomian di Indonesia lebih baik. Salah satunya adalah infrastruktur. Selain itu juga sektor ekonomi kreatif dan pariwisata punya potensi untuk dikembangkan. Karena, dua sektor ini memiliki potensi yang besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dengan demikian pengelolaan keuangan akan berjalan signifikan karena berjalan dari bawah / pemerintah daerah lalu ke pusat.
3.      Sektor Keuangan Publik telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu secara dinamis. Sektor Keuangan Publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, karena setiap keputusan pemerintah mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan perekonomian. Untuk itu sangatlah penting bagi semua pihak untuk mengembangkan konsep-konsep dasar pengelolaan keuangan publik agar dapat dipergunakan sebagai acuan bagi seluruh fungsi manajemen keuangan negara dan daerah termasuk fungsi pengawasan. Konsep tersebut mencakup pula semua nilai-nilai perubahan yang terdapat pada reformasi manajemen keuangan negara dan daerah. Hasil dari reformasi keuangan negara dan daerah tersebut antara lain adalah lahirnya paket undang-undang di bidang otonomi daerah. Disamping itu terjadi pula perubahan yang mendasar di bidang pemeriksaan dan pengawasan yang antara lain berupa penguatan atas keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keeberadaan BPK yang makin kuat disamping keberadaan pengawas intern yang makin kokoh akan menjamin terlaksananya pengawasan dan pemeriksaan yang makin intensif yang pada gilirannya akan mendorong pengelolaan keuangan daerah yang makin tertib.

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...