Rabu, 05 Agustus 2020

MAKALAH PENANGANAN MASALAH PERTANAHAN (PERMASALAHAN HAK ATAS TANAH)




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Adapun makalah yang penulis bahas yaitu tentang penanganan masalah pertanahan yang berjudul “Penanganan Permasalahan Hak Atas Tanah”. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum Agraria.
Dalam penulisannya, penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kesalahan, untuk itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat penulis nantikan untuk kesempurnaan penyusunan dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua, khususnya bagi penulis dan umumnya untuk pembaca sekalian.




Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan Pembuatan Makalah......................................................................... 2
BAB II  TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
A. Penjelasan Hak Atas Tanah ........................................................................ 3
BAB III PEMBAHASAN............................................................................... 8
A. Hak milik..................................................................................................... 8
B. Contoh Kasus Sengketa Lahan dan Cara Penanganannya.......................... 13
BAB IV KESIMPULAN................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 17


BAB I 
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan colonial, tanah bersama milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan Negara.Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah di perkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di berbagai tempat, khususnya di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 70 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.
Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lainbersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat.
Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk kedalam sistem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak atas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas dan mengikat mengenai hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dan diundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.

B.     Identifikasi Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah?
2.      Apa saja yang termasuk Hak Atas Tanah?
3.      Bagaimanakah contoh kasus dalam permasalahan Hak Atas Tanah dan cara penanganannya ?

C.    Tujuan Pembuatan Makalah
Pembuatan makalah yang berjudul Hak Atas Tanah ini memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1.      Agar kita dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah
2.      Agar kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hak Atas Tanah
3.      Agar kita mengetahui contoh kasus dalam permasalahan HakAtas Tanah dan cara penanganannya






BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Penjelasan Hak Atas Tanah
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukandalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:
1.      Hak Milik
2.      Hak Guna Usaha
3.      Hak Guna Bangunan
4.      Hak Pakai
5.      Hak Sewa
6.      Hak Membuka Tanah
7.      Hak Memungut Hasil Hutan
8.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementarasebagaimana disebutkan dalam  pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak yang dimaksud antara lain :
1.      Hak gadai,
2.      Hak usaha bagi hasil,
3.      Hak menumpang,
4.      Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuaidengan asas-asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak-hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yangmenyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dandiusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalamhak-hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang diIndonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim.Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sultan syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika(1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang-wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hakatas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1.      Hak Milik
2.      Hak Guna Usaha
3.      Hak Guna Bangunan
4.      Hak Pakai
5.      Hak Sewa Tanah Bangunan
6.      Hak Pengelolaan
2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1.    Hak Gadai
2.    Hak Usaha Bagi Hasil
3.    Hak Menumpang
4.    Hak Sewa Tanah Pertanian
PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanahdan benda-benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, MenteriHukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.



















BAB III
PEMBAHASAN
A.    Hak milik
Hak milik diatur didalam pasal 20-27 UUPA. Hak milik bersifat turun-temurun,terkuat, dan terpenuh, berfungsi sosial. Maksudnya adalah, turun temuruncontohnya dapat diwariskan, terkuat maksudnya dapat dipertahankan,terpenuh maksudnya adalah tidak mengenal jangka waktu, dan berfungsisosial yaitu harus sesuai dengan sifat dan tujuannya (pasal 6 UUPA).

Hak milik dapat dialihkan kepada siapa saja, dapat didirikan Hak gunabangunan diatasnya.
Subjek hak milik :
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Badan hukum tertentu ( PP No. 38 tahun 1963) yaitu, badan hukumperbankan negara, koperasi pertanian, dan usaha sosial/keagamaan.

Luas kepemilikan hak atas tanah dibatasi oleh CEILING yang dibatasisecara maksimum dan minimum.
Berakhirnya suatu hak milik atas tanah yaitu dapat dengan cara :
a. Pencabutan hak
b. Melanggar prisip nasionalitas
c. Terlantar
d. Penyerahan secara sukarela
e. Tanahnya musnah misalnya karena bencana alam longsor.
Dasar hak milik :
a. Konversi dari tanah-tanah eks-BW dan dari tanah eks-tanah adat
b. Dari hasil pengelolaan yang teruang dalam perjanjian pendirian haktersebut
c. SK pemberhentian hak oleh pemerintah BPN

2. Hak guna usaha
Hak guna usaha diatur didalam pasal 28-34 UUPA, dan PP No. 40 tahun1996.

Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasaioleh negara. Obyeknya merupakan tanah negara.
Subyek hak guna usaha :
1. Warga Negara Indonesia
2. Badan HukumIndonesia

Hak guna usaha dapat dapat dialihkan asal kepada WNI. Hal ini berdasarkanprinsip asas nasionalitas.
Penggunaan hak guna usaha dapat digunakan untuk pertanian(perkebunan), perikanan, peternakan. Dan dapat dijadikan objek haktanggunangan atau dapat dijaminkan.
Jangkau waktunya : Didalam UUPA 25 tahun, diperpanjang maksimal 35tahun dengan perpanjangan waktu 25 tahun, perpanjangan ataupembaharuan dapat diberikan sekaligus (pasal 11 PP 40 Tahun 1996) 30tahun diperbaharui.
Berakhirnya hak : waktunya berakhir melanggar syarat pemberian, dilepashaknya, dicabut haknya untuk kepentingan umum, tanahnya musnah,melanggar prinsip nasionalitas.
Dasar hak : PMDN No 6 Tahun 1972 jo. Peraturan kepala BPN No 16 Tahun1990 sampai dengan 100 HA asal tidak dengan fasilitas penanaman modaloleh Kanwil BPN ; diatas 100 HA oleh Kepala BPN (Pasal 2 s.d 18 PP No 40Tahun 1996).
3. Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan dan mempunyai bangunan atas tanah bukanmilik sendiri Subyeknya :
1. WNI
2. Badan Hukum Indonesia
Hak guna Bangunan dapat dialihkan asal kepada WNI, berdasarkan asas nasionalitas Dapat sebagai objek hak tanggungan. Jangka waktu hak guna bangunan : paling lama 30 tahun dapatdiperpanjang 20 tahun, perpanjangan/ pembaharuan dapat diberikan sekaligus.
Berakhirnya hak guna bangunan:
Jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktu berakhir,dilepas oleh pemegang hak, dicabut untuk kepentingan umum,ditelantarkan, tanah musnah, bukan WNI lagi (pasal 30 ayat 2 jo pasal 20PP 40/ 1996.
Alas/ dasar hak guna bangunan
1.      PMDN 6/1972 sampai 2000m2 oleh kepala BPN ps 22 PP 40/1996
2.      Hak pengelolaan Vide PMDN 1/77 jo PMDN 6/1972 jo ps 22 ayat (2) PP40/1996
3.      Konversi tanah ex adat
4.      Kinversi tanah ex BW : hak eigendom, hak opstal, hak erfacht
5.      Karena perjanjian, pemilik HM dan seseorang untuk menimbulkan hak guna bangunan
4. Hak Pakai
1) Hak pakai keperdataan
Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainegara/ tanah yang dikuasai seseorang dengan hak milik
Subjeknya : WNI, Badan Hukum Indonesia, orang asing penduduk Indonesia (pasal 39 PP 40/ 1996), badan hukum asing yang mempunyai manfaat bagipenduduk Indonesia dan badan hukum asing yang ada ijin operasional
Dapat dialihkan ; dapat menjadi objek tanggungan
Berakhirnya hak : jangka waktu berakhir, tanah musnah, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan
Jangka waktu :
• Tidak jelas ( pasal 41-43 UUPA)
• PMDN 6/1972 = 10 tahun
• Pasal 45 PP 40/ 1996 -25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun
• Hak pakai di atas hak milik = 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun
2) Hak pakai khusus:
Hak milik mempergunakan tanh untuk pelaksanaan tugas yang berasal daritanah yang dikuasai negara.
Subjeknya ialah departemen, LPND, PEMDA, perwakilan negara asing,lembaga keagamaan, dan lembaga sosial (Lembaga pemerintah nondepartemen).
Tidak dapat dialihkan : Tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan
Berakhirnya hak: Jika tidak dapat dipergunakan lagi kembali kepada negara.
Jangka waktu : Tidak terbatas selama masih dipergunakan (pasal 45 ayat 1 PP. 40 tahun1996).
Hak-hak sementara
a. Pengertian
Hak-hak yang bersifat sementara dikatakan sementara karena mengandungsifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA (mengandung unsur pemerasan). Maka hal-hal tersebut diusahakan agar dapat dihapus dalamwaktu singkat, sebelum ada peraturan-peraturan yang baru, sementaraketentuan yang sudah ada dianggap masih berlaku.
Hak-hak tersebut adalah:
1.      Hak Usaha Bagi Hasil, berasal dari hukum adat “hak menggarap”, yaituhak seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik oranglain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi bagi kedua belah pihak berdasarkan perjanjian. Diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, Permenag No. 8 tahun 1964, Inpres No.13 tahun 1980.
2.      Hak Gadai, berasal dari hukum adat “Jual Gadai”, yaitu penyerahan sebidang tanah oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uangkepada pemilik tanah dengan perjanjian, bahwa tanah itu akandikemalikan apabila pemilik mengembalikan uang kepada pemegang tanah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.56/ Prp/1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, pasal 7 : “Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai, sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajjib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan stelah tanaman selesai dipanen. Dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.”
3.      Hak Menumpang, yaitu hak yang mengizinkan seseorang untuk mendirikan serta untuk menempati rumah diatas tanah pekarangan oranglain dengan tidak membayar kepada pemilik pekarangan tersebut, sepertihak pakai, tetapi sifatnya sangat lemah, karena setiap saat pemilik dapatmengambil kembali tanahnya.
4.      Hak Sewa Tanah Pertanian, bersifat sementara karena berkaitan denganpasal 10 ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang atau badan hukumyang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian. Pada asasnyadiwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengancara mencegah cara pemerasan.
B.     Contoh Kasus Sengketa Lahan dan Cara Penanganannya
Waktu itu, si A, si B, dan si C membeli tanah-tanah girik dari warga Udik. Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektar dan kemudian dijual dengan harga Rp300 per meter persegi ke perusahaan properti.
Masalah muncul ketika pihak perusahaan menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban . Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah daerah sekitar seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare), serta kepada BRI seluas 3,5 hektar. Sang mandor divonis hukuman setahun penjara oleh pihak pengadilan. Berbekal putusan pidana itu, pihak perusahaan kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut. Ketika itu, Pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding. Namun, kemudian, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan. Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigrake polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara. Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut d iDuta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra. Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencarisolusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut. Badan Pertanahan yang disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hakmilik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di ataslahan yang terlibat sengketa. Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi masalah.

“Girik sebagaimana dimaksud diatas tadi, sebenarnya bukanlah merupakan bukti hak kepemilikan hak atas tanah. Tapi sebagian masyarakat kita masih mengartikan bahwa dengan adanya girik tersebut berarti status tanah ybs sudah berstatus hak milik. Tanah dengan status girik adalah tanah bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Jadi girik bukanlah merupakan bukti kepemilikan hak, tetapi hanya merupakan bukti penguasaan atas tanah dan pembayaran pajak atas tanah tersebut.”
Analisis kasus
Perspektif legal
Kasus Meruya sebenarnya adalah persoalan pidana antara PT Porta Nigradengan Juhri CS. PT Porta Nigra yang dalam hal ini dirugikan denganpenipuan yg dilakukan Juhri CS dalam proses pengambilalihan lahan diMeruya. Secara legal, tanah yang dibeli Porta Nigra dari Juhri CS belumberalih karena dasar hukum atas tanah tersebut, dalam hal ini girikdinyatakan palsu oleh pengadilan pidana dan berdasarkan putusanpengadilan negeri dimusnahkan.
Selain itu, dalam proses peralihan hak atas tanah, PT.Portanigra sebagai perusahaan developer melakukan kesalahan karena tidak melakukan transaksi beli tanah sesuai aturan dan tidak mengurus sertifikat pasca transaksi maka Porta Nigra belum dapat disebut sebagai pemilik secarayuridis atas tanah tersebut.
Perspektif yurisdiksi
Putusan Mahkamah Agung untuk melakukan eksekusi tanah di Meruyamemang patut dipertanyakan karena penerbitan sertifikat tanah adalahputusan dari BPN (pejabat negara). jadi, yang dapat mempertanyakansertifikat tersebut adalah peradilan Tata Usaha Negara. Seharusnya putusandari MA adalah memaksa Juhri CS untuk mengganti kerugian akibatpenipuan yang dilakukannnya dan bukan menyerahkan tanah yg menjadiobjek jual beli pada awalnya. terlebih secara hukum proses peralihan hakatas tanah tersebut belum terjadi. Atau setidaknya tidak ada dokumen hukumyang menunjukkan hal tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanahtersebut. Di dalam pelaksanaannya banyak terdapat masalah-masalah akibatketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat terhadap hak-hak atas tanah.
Masalah tanah bagi manusia seperti tidak ada habisnya karena tanahmempunyai arti yang sangat penting dalam penghidupan manusia. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mengertimengenai hak-hak atas tanah agar kejadian-kejadian persengketaan tanahseperti kasus











DAFTAR PUSTAKA



MAKALAH PENANGANAN MASALAH PERTANAHAN (PENYELESAIAN SENGKETA TANAH)




KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Politik Hukum Agraria pada Program Studi Ilmu Pemerintahan dengan ini penulis mengangkat judul Penyelesaian Sengketa Tanah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Penulis,












\

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I   PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.     Tujuan penulisan.......................................................................................... 1
BAB II  PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A.    Pengertian sengketa tanah............................................................................ 2
B.     Cara penyelesaian sengketa tanah............................................................... 5
C.     Kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa tanah......................... 6
D.    Hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah................................ 7
BAB III  PENUTUP.......................................................................................... 8
A.    Kesimpulan.................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 9













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.
        Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan pengertian sengketa tanah
2.      Menjelaskan cara penyelesaian sengketa tanah
3.      Menjelaskan kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa tanah
4.      Menjelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah

C.    Tujuan Penulisan
        Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah disamping memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar saya mampu memahami tentang sengketa tanah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sengketa Tanah
            Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.      Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
2.      Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.      Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
         Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
         Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :NTimbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

B.     Penyelesaian Sengketa Tanah
          Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1.      mengenai masalah status tanah,
2.      masalah kepemilikan,
3.      masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
            Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya.
Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
         Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
             Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
            Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
              Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1.      Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.      Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.      Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4.      Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
           Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.

C.    Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
        Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1.      Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2.      Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3.      Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
         Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.

SERTIFIKAT
           Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.      Sistem Positif
           Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2.      Sistem Negatif
             Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.

D.    Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
         Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1.      Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3.      Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
              Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.      Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
2.      Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.      Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah
          Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut
             Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1.      Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas
2.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
3.      Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah.







DAFTAR PUSTAKA

John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...