Kamis, 29 November 2018

makalah antropologi



Antropologi

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:

* William A. Haviland

Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

* David Hunter

Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

* Koentjaraningrat

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Sejarah

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.



Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tetntang manusia dan kebudayaannya kembali pada sejarah. Di universitas-universitas Amerika Serikat, dimana Antropologi telah mencapai suatu ruang lingkup dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit 5 masalah penelitian khusus yaitu:
1) Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (Evolusi) secara Biologis.
2) Masalah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3) Masalah sejarah asal, perkembangan, penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4) Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia diseluruh dunia.
5) Masalah mengenai asas-asas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi masa ini.
Dari masalah penelitian yang didalami dalam Antropologi, banyak menyangkut-pautkan dengan kebudayaan, dan dalam Antropologi sendiri banyak mempelajari dari pada kebudayaan. Memang benar bahwa Antropologi mempelajari manusia, tetapi untuk mempejari manusia, pastilah akan mempelajari tentang kebudayaan yang berkembang dimasyarakat itu, sehingga disini merupakan pemacu dalam menulis tentang kebudayaan.




2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditemukan berbagai permasalahan :
a) Apa pengertian kebudayaan?
b) Bagaimana karakteristik kebudayaan sebenarnya?
c) Apa tujuan adanya suatu kebudayaan?
d) Apa hubungan kebudayaan masyarakat dan individu?
























Daftar Isi
Daftar isi
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
1. Pengertian Kebudayaan
2. Karakteristik kebudayaan
3. Fungsi Kebudayaan
4. Hubungan Kebudayaan, Masyarakat, dan Individu.

BAB III : Kesimpulan
Daftar Pustaka




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan
Dalam Pendefinisian keudayaan para Antropolog memiliki devinisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Berdasarkan Literature yang ada, definisi kebudayaan yang dihasilkan Antropolog sudah mencapai lebih dari 170 definisi, namun demikian tidak memiliki hak Eksklusif untuk melakukan klaim atas istilah kebudayaan.
Istilah kebudayaan atau Culture (bahasa inggris) berasal dari kata Colere (kata kerja bahasa latin) yang berarti bercocok tanam (Cultivation) Cultivation atau kultivasi yang berarti pemeliharaan ternak hasil bumi, dan upacara-upacara religius yang darinya diturunkan istilah kultus atau “Kult” (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto,2005:7). Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal dari kata Buddhi (budi atau akal), kata budaya juga ditafsirkan merupakan perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, rasa. Menurut Raymond Williams, kata kebudayaan merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaanya dalam bahasa inggris.
Definisi kebudayaan yang paling tua dikemukakan oleh Edward B. Tyloy pada tahun 1871. kebudayayan oleh Tylor didefinisikan sebagai “keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum ,moral adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”, Alfret Weber mendefinisikan kebudayaan sebagai “suatu bentuk Ekspresional Spiritual dan Intelektual dalam subtansi kehidupan, atau suatu sikap spiritual dan Intelektual terhadap Substansi itu.” Dalam Basam Tibi 1999;73”.
Dalam pemakaan sehari-hari perkataan “Kebudayaan” berarti Kwalitas tang wajar yang dapat diperoleh dengan mungunjungi, cukup banyak sandiwara dan konsep tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Sedangkan menurut Palph Linton, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tnggi atau lebih diinginkan.
Kebudayaan itu terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan dan Persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik prilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku , semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara Biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Para Antropologi mempunyai pendapat bahwa untuk anak-anak dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan mengalaminya dan dengan berbicara tentang kebudauyaan dangan orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya.
Sedangkan ahli Antropologi lebih sistematis dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan melalui Observasi dan diskusi yang teliti dengan informan-informan yang mengetahui tata cara kebudayaan mereka dengan baik sekali. Ahli Antropologi juga Mengabstraksikan sejumlah peraturan untuk menerangkan perilaku orang didalam kebudayaan tertentu.
Untuk konsep kebudayaan pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli Antropologi menjelang abad ke-19. devinisi pertama yang sungguh-sungguh jelas dan Komprehensif tersebut sudah disebutkan diatas.

B. Karakteristik kebudayaan
Melalui Study perbandingan terhadap sejumlah kebudayaan, para ahli Antropologi telah berhasil memperoleh pengertian tentang Karakteristik-karakteristik pokok yang dimiliki bersama oleh semua kebudayaan. Study yang teliti tentang karakteristik tersebut membantu untuk melihat kepentingan dan fungsi kebudayaan itu sendiri, dan karakteristik kebudayaan adalah:
a. Kebudayaan adalah milik bersama
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standart perilaku; kebudayaan adalah sebutan persamaan (Common Denominator), yang menyebabkan perbuatan para individu dapat difahami oleh kelompoknya. Karena mamiliki kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan perbuatan orang yang lain dalam situasi tertentu, dan mengambil tindakan yang sesuai.
Jika hanya seseorang yang memikirkan atau melakukan hal tertentu, maka hal itu adalah kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan.
Agar dapat secara tepat tercakup dalam kebudayaan ia harus dimiliki bersama agar suatu bangsa atau oleh sekelompok orang-orang, jadi para Antropologi barulah berpendapat bahwa suatu bangsa mempunyai kebudayaan, jika para warganya memiliki bersama pola-pola berfikir dan berkelakuan yang didapat melalui proses belajar.
Masyarakat (Society) dapat di devinisikan sebagai kelompok manusia yang mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu sama lain, dan yang memiliki kebudayaan bersama.

Dari sini sudah jelas bahwa tidak mungkin ada masyarakat tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal yang tidak berbudaya.
Meskipun kebudayaan adalah milik bersama anggota masyarakat pentinglah disadari bahwa semua itu adalah seragam. Dalam setiap masyarakat setidak-tidaknya ada beberapa perbedaan peranan diantaranya pria dan wanita. Ini berarti bahwa ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian wanita, tetapi tidak bagi pria dan sebaliknya, ini menandakan ada beberapa perbedaan antara kebudayaan pria dan kebudayaan wanita.

b. Kebudayaan adalah hasil proses belajar
Kebudayaan adalah cara berlaku yang dipelajari; kebudayaan tidak tergantung dari Transmisi Biologis atau pewarisan dari unsure Genetic. Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, tapi itu merupakan bagian dari kebudayaan, dan kelakuan Instingtif itu tidak dipelajari karena akan muncul dengan sendirinya.
Semua kebudayaan adalah hasil belajar, orang mempelajari kebudayaannya dengan menjadi besar didalamnya. Ralph Linton menyebut kebudayaan sebagai warisan sosial umat manusia. Proses penerusan kebudayaan dari generasi satu kepada generasi yang lain, disebut Enkulturasi.
Melalui Enkulturasi orang mengetahui cara yang secara sosial tepat untuk memenuhi kebutuhannya yang ditentukan secara Biologis adalah penting untuk membedakan antara kebutuhan yang bukan hasil belajar, dan cara-cara yang dipelajari untuk memenuhinya.
Contoh bentuk Enkulturasi adalah kebanyakan binatang makan dan minum kapan saja timbul keinginanya, akan tetapi manusia biasanya makan dan minum pada waktu-waktu tertentu yang ditentukan menurut kebudayaan dan mereka merasa lapar menjelang waktu itu.

c. Kebudayaan didasarkan pada lambing
Ahli Antropologi Lesle White berpendapat bahwa semua perilaku manusia mulai dengan penggunaan lambang. Seni, agama dan uang dan melibatkan pemakain lambang. Aspek Simbolik yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa-penggantian objek dengan kata-kata. Stanley Salthe menegaskan “bahasa Simbolik adalah Fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun.” Pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama, kesenian, organisasi, ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang.
d. Integrasi kebudayaan
Untuk keperluan menjadi sejumlah bagian (Unsur) yang kelihatannya sendiri-sendiri, tetapi perbedaan-perbedaan seperti itu bersifat sembarang (Arbritary) ahli Antropologi yang menyelidiki salah satu aspek kebudayaan selalu merasa perlu untuk juga menyelidiki aspek-aspek lainny. Toleransi semua aspek kebudayaan untuk berfungsi sebagi kesatuan yang saling berhubungan disebut Integrasi.
Contoh gambaran Integrasi aspek-aspek ekonomi, politik dan sosial dari mayarakat diperlihatkan oleh masyarakat papua kapauku, sebuah suku bangsa pegunungan di Irian Jaya (Western New Guenia). Ekonomi mereka bersandar pada pembudidayaan tanama, bersama-sama dengan penangkaran (Breeding) babi, memburu dan menangkap ikan.

C. Fungsi kebudayaan
Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu para anggotanya. Seberapa jauh kebudayaan tersebut memenuhi kebutuhan dan itulah yang menentukan kesuseksanya dan sukses itu diukur dari nilai-nilai kebudayan itu sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kebudayaan harus mampu Memproduksi dan Mendistribusikan barang-barang dan jasa yang dipandang perlu untuk hidup. Kebudayan harus ,menjamin kelestarian Biologis, dan memproduksikan anggota-anggotanya. Kebudayaan harus memberi motivasi kepada para anggotanya untuk bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan hidup itu.

D. Hubungan kebudayaan, masyarakat dan individu
Masyarakat tidak lebih dari pada persatuan individu-individu yang semuanya masing-masing mempunyai kebutuhan dan kepentingannya sendiri-sendiri. Kalau ingin lestari, masyarakat harus berhasil menciptakan keseimbangan antara kepentingan pribadi para anggotanya dan tuntunan masyarakat sebagai keseluruhan, oleh karena itu harus ada keseimbangan yang diteliti diantara kepentingan pribadi individu dan tuntutan kelompok atas tiap-tiap individu.
Jadi demikian, semua kebudayaan harus menemukan keseimbangan yang teliti diantara kebutuhan individu dan masyarakat. Kalau kepentingan masyarakat menjadi dominant, individu mengalami tekanan yang terlalu berat. Manifestasinya dapat meliputi segala macam kegiatan anti social, kejahatan, penyalagunaan narkotika, dll. Kalau ini berjalan terlalu jauh, akibatnya dapat berupa keruntuhan kebudayaan, dengan perubahan yang disertai kekerasan.
Dewasa diatas menunjukkan bahwa jika kebudayaan tidak sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat, maka akan menimbulkan kesenggangan sosial.





Bab III
Penutup

1. kesimpulan
Dari hasil paparan yang telah dipaparkan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :
a) Karakteristik suatu kebudayaan adalah, bahwa kebudayaan merupakan milik bersama, dan kebudayaan juga muncul dari suatu pross belajar.
b) Tujuan kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara Kompleks.
c) Hubungan kebudayaan dengan masyarakat serta individu adalah, bahwa kebudayaan muncul dengan adanya individu-individu yang ada dalam masyarakat dan berkembang dimasyarakat tersebut.

2. Saran
Dari uraian diatas, penyusun mengharapkan pembaca mengetahui bagaimana kebudayaan itu dan disamping mengetahui bagaimana kebudayaa juga dapat menambah pengetahuan terhadap para pembaca.

Ilmu budaya dasar

Published: Feb 15th, 2010 | Author: mastegar 1 Comment
Ilmu budaya dasar adalah suatu ilmu yang mempelajari dasar dasar kebudayaan, pada perkuliahan jurusan sosiologi juga ada salah stu mata kuliah ini , namun jika untuk mengingat terlalu sulit bisa di ambil intinya saja agar tidak terlalu membebani pikiran otak. Budaya memang merupakan salah satu jiwa dari nilai nllai yang ada di dalam masyarakat cara membuat blog kali ini agak melenceng sedikit karena membahas masalah budaya dan bukan blog,

Secara umum pengertian kebudayaan adalah merupakan jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani.
Pokok-pokok yang terkandung dari beberapa devinisi kebudayaan
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam
2. Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran
3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
4. Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa, adat istiadat, budaya daerah dan budaya nasional
Latar belakang ilmu budaya dasar
latar belakang ilmu budaya dasar dalam konteks budaya, negara, dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Kenyataan bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, dan segala keanekaragaman budaya yang tercermin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yang biasanya tidak lepas dari ikatan-ikatan (primodial) kesukuan dan kedaerahan.
2. Proses pembangunan dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga dengan sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya. Akibat lebih jauh dari pembenturan nilai budaya ini akan timbul konflik dalam kehidupan.
3. Kemajuan ilmu pengetahuan dalam teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan manusia, menimbulkan konflik dengan tata nilai budayanya, sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yang telah diciptakannya. Hal ini merupakan akibat sifat ambivalen teknologi, yang disamping memiliki segi-segi positifnya, juga memiliki segi negatif akibat dampak negatif teknologi, manusia kini menjadi resah dan gelisah.
Tujuan Ilmu Budaya Dasar
1. Mengenal lebih dalam dirinya sendiri maupun orang lain yang sebelumnya lebih dikenal luarnya saja
2. Mengenal perilaku diri sendiri maupun orang lain
3. Sebagai bekal penting untuk pergaulan hidup
4. Perlu bersikap luwes dalam pergaulan setelah mendalami jiwa dan perasaan manusia serta mau tahu perilaku manusia
5. Tanggap terhadap hasil budaya manusia secara lebih mendalam sehingga lebih peka terhadap masalah-masalah pemikiran perasaan serta perilaku manusia dan ketentuan yang diciptakannya
6. Memiliki penglihatan yang jelas pemikiran serta yang mendasar serta mampu menghargai budaya yang ada di sekitarnya dan ikut mengembangkan budaya bangsa serta melestarikan budaya nenek moyang leluhur kita yang luhur nilainya
7. Sebagai calon pemimpin bangsa serta ahli dalam disiplin ilmu tidak jatuh kedalam sifat-sifat kedaerahan dan kekotaan sebagai disiplin ilmu yang kaku
8. Sebagai jembatan para saran yang berbeda keahliannya lebih mampu berdialog dan lancar dalam berkomunikasi dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan diberbagai bidang mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang sedang membangun serta mampu memenuhi tuntutan perguruan tinggi khususnya Dharma pendidikan
Ilmu Budaya Dasar Merupakan Pengetahuan Tentang Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia
Unsur-unsur kebudayaan
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi
Fungsi, Hakekat dan Sifat Kebudayaan Fungsi Kebudayaan
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan berbehubungan dengan orang lain didalam menjalankan hidupnya.
kebudayaan berfungsi sebagai:
1. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok
2. Wadah untuk menyakurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya
3. Pembimbing kehidupan manusia
4. Pembeda antar manusia dan binatang
Hakekat Kebudayaan
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia
2. Kebudayaan itu ada sebelum generasi lahir dan kebudayaan itu tidak dapat hilang setelah generasi tidak ada
3. Kebudayan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang memberikan kewajiban kewajiban
Sifat kebudayaan
1. Etnosentis
2. Universal
3. Alkuturasi
4. Adaptif
5. Dinamis (flexibel)
6. Integratif (Integrasi)
Aspek-aspek kebudayaan
1. Kesenian
2. Bahasa
3. Adat Istiadat
4. Budaya daerah
5. Budaya Nasional
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan kebudayaan faktor-faktor pendorong proses kebudayaan daerah
1. kontak dengan negara lain
2. sistem pendidikan formal yang maju
3. sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
4. penduduk yang heterogen
5. ketidak puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
Faktor-faktor penghambat proses perubahan kebudayaan
1.faktor dari dalam masyarakat
* betambah dan berkurangnya penduduk
* penemuan-penemuan baru
* petentangan-pertentangan didalam masyarakat
* terjadinya pemberontakan didalam tubuh masyarakat itu sendiri
2. faktor dari luar masyarakat
* berasal dari lingkungan dan fisik yang ada disekitar manusia
* peperangan dengan negara lain
* pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga ’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.

Mengacu pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, kiranya kita bisa memilah setiap wujud kebudayaan yang ada, minimal dari yang kita temui setiap harinya. Sejalan dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan klasik -”apakah ada yang namanya budaya Indonesia?” Jika Jepang memiliki identitas budaya dalam wujud idenya yang terangkum dalam Bushido (moral samurai) yang berisikan ajaran tentang kejujuran, kerelaan berkorban, kerja keras dsb. Lantas, apakah konsep gotong royong adalah budaya Indonesia? Atau ada istilah lain?

Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi nasional. Namun, ada baiknya jika kita terlebih dahulu analisis ketiganya untuk menguatkan argumentasi kita tentang budaya nasional.

Kebudayaan Nasional dan Pengaruh Tiga Budaya

Budaya timur. Penggolongan barat dan timur banyak mengalami perdebatan secara sosiologis maupun secara politis, budaya timur, yang mana sebagian besar secara demografis adalah wilayah budaya Asia, identik dengan nilai-nilai ’kolot’ hal ini ditenggarai atas perbandingannya dengan budaya barat yang direpresentasikan sebagai budaya modern bahkan posmodern.

Dari prinsip pengelompokan tersebut, kita tidak sepenuhnya bisa sepakat bahwa Budaya Indonesia adalah sama dengan Budaya Timur, apalagi secara nilai yang terkandung, ada yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan, salah satunya pada nilai budaya timur tentang kesopanan dalam berpakaian, sudut pandang atau budaya dalam wujud ide ini tidak berlaku pada seluruh kelompok budaya di Indonesia. Secara prinsipnya, jika berangkat dari pancasila, UUD 45 ataupun konteks kebangsaan. Budaya Indonesia sekali lagi, tidak sama dengan Budaya Timur.

Budaya lokal. Maksudnya, budaya nasional merupakan perwujudan dari sebuah budaya lokal yang dianggap memiliki nilai paling luhur, superioritas sebuah budaya kelompok. Jika memang demikian, benturan yang terjadi kembali pada konteks keragaman yang ada. Apakah ada budaya yang paling kuat dalam keragaman budaya di Indonesia yang bisa mengendalikan budaya lainnya? Misalnya Budaya Jawa atau Sunda mengendalikan budaya yang tersebar di Bali, Papua, Aceh, Sulawesi, Kalimantan dll. Tentu saja, kita pun kembali harus mengaca pada cermin pancasila dan konsep pluralisme yang ada dan menjawab tidak.

Budaya Islam. Apakah budaya nasional diambil dari budaya Islam? Karena Islam adalah agama mayoritas. Pertentangan yang muncul adalah pada keragaman agama yang ada di Indonesia. Walaupun semua agama mengandung inti ajaran yang sama yakni kebaikan, akan tetapi pada prakteknya tentu memiliki perbedaan, dan kenyataannya di Indonesia tidak hanya berkembang agama Islam, tapi juga agama Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya yang juga ada dan dijamin secara hukum. Dan lagi-lagi cermin pancasila dan UUD 45 serta konsep pluralisme mengajak kita untuk bercermin dan mengatakan tidak.

Jika bukan berangkat atau mengadopsi budaya timur, bukan juga memakai salah satu budaya lokal ataupun menginduk pada budaya Islam, lantas seperti apakah budaya nasional bangsa Indonesia secara umum?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita artikan apa yang disebut Kebudayaan Indonesia. Dalam kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Pengertian ini diperkuat juga oleh pendapat Wahyudi Ruwiyanto (2002), dimana menurutnya - Visi kebudayaan nasional harus memuat semangat integrasi nasional, karena pada hakekatnya kebudayaan nasional adalah akumulasi dari kebudayaan lokal yang tersebar di Indonesia.

Jika mengacu pada pengertian diatas, maka jelas bahwa Indonesia bukanlah terdiri dari budaya tunggal (monokultural) akan tetapi terdiri dari banyak budaya (multikultural).

Monokulturalisme dan Setting Kapitalisme

Monokulturalisme merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan sistem negara.

Perkembangan dewasa ini, dimana adanya usaha untuk menciptakan budaya tunggal sebagai identitas budaya Indonesia yang sebagian besar dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting Jakarta-isme adalah sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat pluralisme. Kita banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya proses monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang ’gue-elo’, bahwa yang ndeso itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta. Sentralisme semacam ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah setting dari kapitalisme untuk mengarahkan agar masyarakat terpolakan pada sistem yang sudah dibangun oleh modal. Semakin homogen masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk dipasarkan dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar secara holistik.

Upaya-upaya monokulturalisme yang dicontohkan diatas pada prosesnya bisa mengancam kelangsungan entitas-entitas budaya lokal yang ada. Kecenderungan untuk mengikuti trend yang ditawarkan media dikalangan generasi muda adalah sejalan lurus dengan tawaran ’gaul’ tadi.

Seorang anak merasa lebih asyik memainkan game perang di playstation dibandingkan bermain permainan tradisional. Seorang ibu akan merasa lebih bermartabat jika berbelanja di mall dibandingkan di pasar tradisional. Seorang ayah merasa hebat jika bisa mengajak anaknya untuk makan hamburger ataupun pizza dibandingkan memberi makanan tradisional. Seorang remaja akan merasa lebih gaul jika menggunakan bahasa gaul ala Jakarta dengan elo-gue-nya dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar apalagi bahasa daerah.

Kecenderungan-kecenderungan sikap diatas kebanyakan dipengaruhi oleh pola hidup yang ditawarkan oleh setting kapitalisme. Bahwa gaya adalah yang dikedepankan daripada kualitas hidup, tidak peduli bahwa kualitas pakaian di mall tidak berbeda dengan yang dijual di pasar tradisional, tidak peduli bahwa ternyata Hamburger memiliki patogen yang bisa mengancam kesehatan dibanding makanan tradisional seperti serabi ataupun martabak, tidak peduli bahwa game perang dapat mendorong ke arah kriminalitas, tidak peduli bahwa bahwa bahasa gaul itu telah merusak bahasa ibu. Yang lebih berbahaya, ketika ternyata ketidak pedulian ini diakibatkan oleh ketidak tahuan.

Multikulturalisme dan Identitas Budaya Nasional

Integrasi Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau pengakomodiran kepentingan dari ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Budaya dan Masyarakat, adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai, selalu menghadapi kekuatan disintegrasi. Adanya konflik kepentingan ini menurut Kuntowijoyo adalah sebuah hal yang alamiah, dimana integrasi tersebut memiliki makna yang berbeda dalam persfektif setiap kelompok budaya, ketika sebuah kelompok berhasil menancapkan persfektifnya terhadap integrasi yang terbentuk, maka Ia mempunyai kecenderungan untuk mempertahankannya, diluar itu kelompok dengan persfektif atau makna lain sebaliknya menginginkan disintegrasi, merasa kepentingannya tidak terakomodir.

Dominasi dan subordinasi adalah hal yang memang telah berlaku lama di Indonesia, terutama dengan positivistiknya Orde Baru yang menganggap satu kebijakan akan berlaku mutlak bagi semua lapisan bangsa. Hampir, hal ini terulang ketika pada isu pornografi dan pornoaksi belakangan dimana kelompok mayoritas menginginkan terbentuknya UU Anti Pornogafi dan Pornoaksi, yang mana akan mengancam kelangsungan banyak budaya, misalnya kaum adat di Papua yang masih mempertahankan koteka.

Dalam hal ini ada baiknya kita mengacu pada gagasan Drs. S Sumarsono dkk yang terangkum dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (2001). Drs. S Sumarsono dkk memandang bahwa solusi untuk mengatasi persoalan integrasi yang melibatkan kompleksnya golongan budaya di Indonesia membutuhkan persamaan persepsi diantara segenap masyarakat mengenai adanya keragamanan tersebut, dan harus dimunculkan semangat untuk membina kehidupan bersama secara harmonis.

Kesamaan persepsi tersebut dalam pandangan penulis adalah sebuah solusi yang tepat, namun sungguh sulit untuk dicapai, karena hal ini melibatkan pertarungan ego yang sungguh rumit. Ketika kita mengatakan ‘kesamaan persepsi’ maka sebenarnya kita telah melakukan suatu proses yang begitu ‘hebat’ dan melelahkan- meruntuhkan bangunan ego yang berangkat dari sukuisme yang mengakar.

Konsep tersebut, sesungguhnya sudah bisa terjamin dengan adanya sistem parlementer di Indonesia, dimana sistem keterwakilan rakyat di DPR dan MPR adalah buah dari sistem demokrasi yang sejatinya membawa aspirasi rakyat untuk ikut menentukan nasib negara. Namun, pada prakteknya hal ini belum terlaksana, karena adanya benturan ego dan kepentingan yang kompleks juga, terutama aspek politik dan ekonomi yang cenderung mengalahkan aspek sosio budaya, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya UU sebagai produk dari parlemen yang membahas atau mengatur secara khusus tentang kelangsungan budaya bangsa yang beragam.

Solusi kedua, seperti yang disinggung diatas adalah membuat regulasi atau UU khusus kebudayaan nasional. Tidak adanya regulasi atau UU kebudayaan selama ini, disinyalir oleh banyak kalangan sebagai salah satu penyebab banyaknya terjadi konflik dimasyarakat yang dilandasi oleh kesalahan tafsir antar kelompok berbeda budaya. Adapun semangat inti, dari regulasi yang menyangkut budaya bangsa itu tentu bukan untuk meleburkan semua budaya menjadi satu (monokulturalisme), tapi lebih kepada arahan tentang pengakuan dan pentingnya pemahaman masyarakat akan aneka ragam budaya, hingga terbentuknya kesadaran pluralisme di masyarakat.

Solusi lainnya, adalah mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federal seperti Amerika dengan adanya negara bagian, dimana setiap wilayah budaya dalam kelompok besar memiliki otonomi yang khusus, hal ini berbeda dengan kondisi sekarang yang juga dengan konsep otonomi namun selalu berbenturan dalam prakteknya, karena posisi pusat masih menjadi sentral yang positivistik. Perubahan sistem negara ini, jika melihat pada kesiapan bangsa kita tentu bukan solusi yang harus dikedepankan, karena nantinya akan cenderung menciptakan disintegrasi yang subur. Amerika Serikat membutuhkan periode sejarah yang panjang untuk menjadi negara yang kuat walaupun terbagi kedalam negara bagian, dan kita tidak punya banyak waktu untuk mengalami periode sejarah yang akan berlangsung dengan konflik yang beragam lagi, yang kita butuhkan adalah maju setahap demi setahap dengan optimisme ditengah arus globalisasi yang mengancam dengan muatan kapitalismenya.

Adanya regulasi (UU) yang mengatur kehidupan antar budaya adalah salah satu solusi yang penulis nilai paling tepat untuk mengatasi persoalan integrasi nasional, dalam hal ini memberikan pemahaman atas budaya nasional yang harus dimaknai sebagai pemahanan akan pluralitas atau keragaman. Pada intinya budaya nasional mengandung semangat bhineka tunggal ika, walaupun berbeda namun satu jua, yang merupakan cerminan dari prinsip muktikulturalisme.

Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern (Wikipedia). Hal ini berbeda dengan monokulturalisme yang lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung homogen, bukan persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas. Sila kedua Pacasila, ”Persatuan Indonesia”, adalah jawaban sebenarnya atas persoalan ’pelik’ mengenai kebudayaan Indonesia.

HUBUNGAN ANTROPOLOGI DENGAN ILMU LAINNYA

Diposkan oleh kulingetik Senin, 12 April 2010

1. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Politik
Antropologi menyumbang pengertian dan teori tentang kedudukan serta peranan-peranan dan satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana.
Hasil penyelidikan antropologi yang menyangkut aspek cultural termasuk dalam gagasan dan lembaga politik yang dapat menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan politik.
2. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Etika
Etika memberikan dasar moral kepada antropologi mana yangtidak boleh dikerjakan.
Karena untuk penelitian antropologi sering para peneliti tidak mengutamakan etika sehingga dapat kaedah-kaedah yang diatur pemerintah.
Dengan adanya ilmu etika diharapkan penelitian atua praktek antropologi dapat memperhatikan dan mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.
3. Ilmu Antropologi dengan Sejarah
Sejarah menyumbang bahan yang berupa fakta dan data masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pola ulang dalam menentukan proyeksi masa depan.
Sejarha dan antropologi merupakan satu kesatuan yang mana antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan kebudayaan. Sedangkan sejarah sudah termasuk di dalamnya.
4. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Filsafat
Filsafat merupakan usaha untuk secara rasional dalam mencari pemecahan atau jawaban atas pertanyaan yang menyangkut mengenai kehidupan manusia.
Untuk menunjang antropologi, filsafat juga dibutuhkan sebagia pandangan hidup bagi kehidupan bermasyarakat.
5. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Psikologi
Psikologi mempelajari dan menyelidi pengalaman dan tingkah laku individu manusia yang dipengaruhi oleh situasi-situasi sosial.
Sebagaimana yang diketahui antropologi mempelajari tentang manusia dan psikologi menyelidiki pengalaman dan tingkah laku manusia. Adanya hubungan yaitu dengan menggunakan analisa psikologi, maka ilmu antropologi dapat menganalisa secar amendalam apa saja yang terjadi di masa lalu.
6. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Hukum
Hubungan antara ilmu antropologi dengan ilmu hukum terletak di dalam peranan hukum sebagai pembentuk peraturan-peraturan dalam mengkaji antropologi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
7. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi membantu ilmu antropologi dalam mempelajari susunan kemasyarakatan, latar belakang, serta kebudayaan manusia dan pola kehidupan manusia. Sehingga dengan adanya sosiologi dapat mempermudah sarjana dalam mengkaji ilmu antropologi.
8. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu antropologi dengan ilmu ekonomi saling berkaitan dan saling mempengaruhi.
Kekuasaan ekonomi bersifat universal dalam membentuk wujud yang bermacam-macam, karena perubahan dalam hidup masyarakat lebih cepat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Sedangkan antropologi yang mempelajari manusia dimana manusia itu sendiri tidak dapat lepas dari pengaruh ekonomi.


Manusia, sebagai keturunan paling brilian dari keluarga primat, barangkali baru bisa membedakan dirinya dari hewan-hewan lainnya sekitar 1.5 juta tahun yang lalu, ketika spesies hominida untuk pertama kalinya berburu secara kooperatif. Beberapa ahli antropologi yakin bahwa ini adalah katalisator penting perkembangan manusia. Sebuah tempat di Spanyol menunjukkan bahwa sekelompok Homo Erectus menggunakan api untuk menggiring sekawanan besar gajah ke dalam rawa-rawa, dimana mereka tidak dapat bergerak, untuk kemudian dibunuh dan diambil dagingnya. Para pemburu dari akhir jaman Pliocene ini mungkin sekali berburu dalam kelompok-kelompok kecil, boleh jadi terdiri dari beberapa keluarga.

Berburu secara kooperatif juga meliputi pembagian bahan makanan dan permulaan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Ini merupakan ciri jenis yang makan daging dan terbukti umum dari suku-suku bangsa jaman sekarang yang hidup dari berburu dan mengumpulkan bahan makanan; sementara hominida laki-laki pergi berburu, yang perempuan akan tinggal di tempat mereka berpangkal dengan mengurusi anak dan mencari buah-buahan atau hewan-hewan kecil. Penggunaan pangkalan juga merupakan inovasi besar lainnya dari hominida. Primat yang tinggal di pohon jarang tidur di satu tempat lebih dari satu malam. Apabila kelompok berpindah, maka semua harus ikut. Anggota yang cedera, tua, atau sakit dan tidak dapat bergerak, akan ditinggalkan, nasibnya diserahkan pada binatang buas. Dengan demikian, pangkalan yang berpindah-pindah itu menjadi tempat untuk membesarkan anak dan tempat pulang dengan membawa hasil buruan.

Jaman batu pertengahan berlangsung dari masa sekitar 10.000 – 7.000 s.M. di Asia Kecil dan Timur Tengah, merupakan masa desa-desa terpencil dan pemukiman terpencar. Manusia di tempat persinggahan yang di dekatnya tersedia makanan yang bisa diperoleh dengan mudah tidak perlu lagi berpindah tempat. Di Irak dan Iran, kesibukan mengumpulkan padi-padian liar yang tumbuh di kawasan itu berkembang menjadi model cocok tanam gandum serta sejenis jelai primitif. Ketika pemukiman-pemukiman masa dini itu mulai mapan, prestasi penghuni-penghuninya di bidang kebudayaan dan teknologi pertanian berkembang pesat. Meskipun pada awalnya cara pengolahan tanah untuk bercocok tanam masih primitif, namun belakangan sistem penadahan air dan irigasi mulai dipraktekan sekitar 6.000 s.M. di pusat-pusat pemukiman seperti Yerikho atau Catal Huyuk, yang kemudian menyebar ke wilayah Eropa dan Asia Selatan.

Sebagai titik awal, tampillah jaman pertengahan di Eropa, yakni suatu periode yang meliputi sedikitnya tujuh abad dari tahun 700 sampai tahun 1400 Masehi. Dalam masyarakat jaman pertengahan, pertanian merupakan mata pencaharian paling penting. Kehidupan ekonomi diorganisir di sekitar tanah kekuasaan para penguasa feodal yang berkuasa atas kaum tani beserta kelluarga mereka yang juga merupakan bagian dari tanah itu. Kaum tani bukan budak belian, tetapi terikat dengan tanah yang mereka kerjakan. Dalam masyarakat seperti ini, kolektifitas lebih penting alih-alih individual interest. Solidaritas yang ada didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang ada disetujui berdasarkan kesadaran kolektif. Tidak ada hak kepemilikan pribadi, sehingga seluruh kebutuhan hidup yang diproduksi sendiri, dikonsumsi pula sendiri.

Tata sosial jaman pertengahan berhubungan erat dengan struktur ekonomi yang sederhana ini. Para tuan tanah merupakan golongan bangsawan yang kekayaan serta kekuasaannya dilandasi oleh kepemilikan tanah. Kaum tani terikat dengan tanah milik para bangsawan. Mereka menggarap tanah, dan para bangsawan tergantung pada kerja mereka. Pada gilirannya para bangsawan melindungi kaum tani terhadap serangan-serangan dari luar. Disamping itu terdapat juga kaum rohaniwan, yaitu para uskup, padri, dan biarawan, yang juga memiliki tanah dan menggarapnya sendiri atau menyuruh kaum tani untuk menggarapnya. Mereka adalah pengemban kebudayaan, karena diantara para rohaniwan itu ada yang bisa baca-tulis. Maka pembagian tugas di jaman pertengahan ini sudah dirumuskan dengan tajam: ada yang berdoa, ada yang berperang, dan ada yang bekerja. Kita bisa bilang bahwa masyarakat jaman pertengahan bersifat statis. Namun pada periode itu berlangsung perubahan-perubahan penting. Maka kita perlu menandainya dengan lebih tajam, dan meletakannya pada abad- ke-11 sampai abad ke-14.

Pada abad ke-11, sistem ekonomi mengalami beberapa kemajuan. Yaitu ketika perdagangan—yang sejak jatuhnya kekaisaran Romawi hampir terhenti sama sekali—mulai berkembang lagi. Kota-kota yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai pusat-pusat pemerintahan mulai berubah fungsi jadi pusat-pusat niaga. Peningkatan perdagangan dan perkembangan kota-kota mengakibatkan perubahan besar dalam struktur sosial. Mulailah bermunculan golongan status ketiga, yakni kaum warga kota, yang bukan hamba-hamba tuan tanah, dan dapat mengembangkan diri. Dengan munculnya golongan warga kota, maka kaum rohaniwan bukan lagi satu-satunya pengemban kebudayaan. Untuk dapat berdagang, kepandaian baca-tulis diperlukan. Maka berdirilah institusi-institusi pendidikan yang selain mengajarkan pengelolaan uang dan hukum, juga mengajarkan teologi serta filsafat.

Seluruh tatanan ini terlingkup oleh suatu pandangan universal atas dunia yang didasarkan atas agama Kristen. Pun di dunia terdapat hirarki. Menurut ajaran teologi, setiap orang punya tempat sendiri. Paling atas adalah golongan rohaniwan yang selalu dipandang lebih tinggi dari orang-orang awam. Gereja, yang dikepalai oleh Paus, menganggap didirnya sebagai satu-satunya penafsir otentik dari kehendak Tuhan dan karenanya menjadi otoritas mutlak di seluruh bidang rohaniah, termasuk moral. Implikasi yang mungkin paling penting dari tata masyarakat secara tologis-religuis itu adalah bahwa tatanan ini bersifat abadi. Tuhan telah menghendaki demikian, maka seterusnya harus pula tetap demikian adanya. Kesadaran yang kuat bahwa seseorang merupakan bagian dari tata kosmis yang diciptakan dan dipelihara oleh Tuhan, dengan sendirinya membawa akibat dimana kolektivitas dipandang lebih penting dari individualitas.

Dalam abad ke-15 muncul suatu golongan pengusaha-pengusaha baru, bukan golongan warga kota yang lama, melainkan pionir-pionir pencari untung yang mengandalkan energi, kreativitas, dan sejumlah besar nasib baik mereka. Golongan baru pengusaha atau kaum kapitalis itu dengan modal mereka mendirikan industri-industri baru. Para pekerja bekerja tanpa peraturan apapun untuk kepentingan kaum kapitalis. Semua ini didasarkan atas perjanjian kerja antar orang-orang bebas. Oleh karena itu, muncullah suatu jenis usaha yang sama sekali baru, yang sangant menyimpang dari model usaha yang dikuasai gilda-gilda di jaman pertengahan.

Perkembangan yang luarbiasa ini memperoleh rangsangan kuat dari pertumbuhan perdagangan luar negeri yang dimungkinkan oleh penjelajahan-penjelajahan besar. Untuk itu, diperlukan modal dalam jumlah besar. Hanya sedikit saja diantara kaum kapitalis yang mampu membiayainya. Faktor-faktor lain yang merangsang perkembangan ini adalah peperangan yang menghabiskan uang dan menjadikan para raja sebagai langganan kaum kapitalis. Mereka harus membayar bunga yang sangat tinggi.

Ada faktor penting yang perlu diperhatikan disini. Pertama-tama, para pengusaha itu berhasil meengutamakan nilai-nilai ekonomi daripada nilai-nilai lainnya, seperti nilai-nilai politik. Mereka dapat melakukannya karena membebaskan diri dari tradisi-tradisi yang didasarkan atas agama. Pembebasan ini menghasilkan perkembangan atas ilmu-ilmu pengetahuan seperti navigasi dan teknik pembuatan kapal. Kapitalisme dagang yang semakin berkembang ini lambat laun menjadi semakin berpengaruh khususnya pada abad ke-16 dan ke-17. Di saat bersamaan, kaum rohaniwan telah kehilangan sebagian besar dari prestise mereka. Di satu pihak hal ini berhubungan dengan kemunduran gereja di bidang intelektual dan moral. Di lain pihak terdapat kenyataan bahwa kaum awam tidak lagi kalah di bidang pengetahuan dan budaya. Mulai terbentuk struktur proletariat dalam masyarakat, yakni ketika kaum kapitalis secara berangsur-angsur menghapuskan relasi tuan tanah-kaum tani yang tradisional. Kaum tani “dibebaskan” dan oleh karenanya mereka tidak lagi terikat dengan tanah. Tanpa hak, tanpa daya, tanpa kemampuan berorganisasi, kaum tani ini bersama-sama dengan kaum buruh merupakan lapisan masyarakat yang terendah. Struktur masyarakat tidak jauh berbeda dari jaman pertengahan, tetapi perbedaan antara berbagai lapisan satu sama lain sangat meningkat. Kesejahteraan terbagi secara sangat tidak merata dan semakin tajam.

Individualisme kemudian menyatakan diri dalam perhatian yang menajam terhadap kepribadian manusia yang dilukiskan dalam segala aspeknya. Orientasi kepada nilai manusia sebagai individu ini (humanisme) memperoleh inspirasi kuat dari tulisan-tulisan jaman klasik kuno. Manusia adalah pencipta dan pemberi bentuk dunia ini, pencipta keindahan yang pantas untuk dinikmati sebagai keindahan. Semuanya ini mengakibatkan pandangan yang optimistis terhadap masa depan. Orang percaya pada kemajuan, kepada kemampuan manusia dan masyarakat untuk mencapai kesempurnaan. Kemajuan itu ditafsirkan sabagai emansipasi manusia terhadap ikatan-ikatan tradisional gereja dan masyarakat. Maka perhatian terhadap hak-hak asasi manusia pun meningkat. Hak atas kebebasan dan otonomi didasarkan atas sifat alamiah manusia. Atas dasar nilai tersebut, maka persaudaraaan sejati antara sesama manusia dapat timbul, dan peri kemanusiaan bisa mencapai perkembangan sepenuhnya.

Ketika James Watt menemukan mesin uap di tahun 1769, tanpa sadar ia telah meletakan fondasi teknik bagi revolusi industri. Dengan tersedianya daya penggerak mekanis yang melimpah, berkembang pula bentuk organisasi produksi, dimana proses produksi dan sarana-sarana bantu yang diperlukan tidak lagi dibawa ke orang-orang yang mengerjakannya, tetapi kaum buruh dikumpulkan di sekitar mesin-mesin yang digerakan oleh tenaga uap. Dengan demikian mereka juga lebih mudah untuk diawasi. Pembagian kerja teknis juga dapat lebih ditingkatkan, dan berakibat meningkatnya produksi secara luar biasa.

Lompatan ke depan di bidang industri mempunyai efek yang memperkuat diri. Mesin-mesin terus-menerus diperbaiki, pabrik-pabrik tumbuh dalam ukuran dan jumlah. Industri mulai menjadi sumber kemakmuran yang utama. Masyarakat agraris berangsur-angsur berubah jadi masyarakat industri. Terjadi lonjakan jumlah penduduk dan pertumbuhan kota-kota. Pembangunan perumahan tidak bisa menyamai laju urbanisasi. Akibatnya, banyak orang, terutama kaum miskin, terpaksa puas dengan tempat berteduh yang minimal. Eksploitasi di pabrik-pabrik juga mulai mencuat. Kaum buruh hidup dengan lingkungan kerja yang buruk, upah rendah, dan jam kerja yang maksimal. Mulailah terjadi protes dan pemogokan. Para buruh itu mulai mengorganisasikan diri mereka di dalam serikat-serikat pekerja. Pun pemerintah mulai menyadari gawatnya apa yang disebut masalah sosial. Pada tahun 1847 di Inggris ditetapkan lama durasi kerja 10 jam bagi wanita dan anak-anak. Campur tangan pemerintah dalam hubungan-hubungan perburuhan mulai meningkat melalui undang-undang perburuhan. Maka tumbuhlah masyarakat yang sama sekali baru, yang merupakan kontras yang cukup tajam jika dibandingkan dengan masyarakat agraris jaman pertengahan.

Jika pertumbuhan pabrik-pabrik dan investasi di Inggris bisa disebut sebagai revolusi industri, maka revolusi Prancis bisa disebut sebagai revolusi sosial. Revolusi ini diakibatkan oleh sejumlah faktor: tiadanya keadilan dalam tata hukum feodal, iri hati terhadap golongan bangsawan, individualisme kelompok yang kuat dari golongan-golongan itu, sentralisasi kekuasaan yang membuat rezim mudah diserang, prestise raja yang menurun, dan gagasan-gagasan radikal kaum intelektual. Semua itu melapangkan jalan bagi revolusi.

Revolusi ditandai dengan penyerbuan penjara politik, Bastille, oleh rakyat pada tanggal 14 Juli 1789, yang dianggap sebagai simbol arogansi penguasa. Maka kaum tani di seluruh Prancis pun berontak melawan tuan-tuannya yang dulu. Pada malam hari tanggal 4 Agustus, Majelis Nasional menghapuskan hak-hak feodal, dan pada tanggal 26 Agustus menyusullah deklarasi hak-hak asasi manusia dan warga negara. Kemudian pada bulan Oktober disitalah harta benda milik mereka yang mengidentifikasikan diri dengan rezim lama, seperti gereja dan para bangsawan. Setahun kemudian, biara-biara dan ordo-ordo keagamaan dihapuskan, dan pada bulan September menyusullah undang-undang dasar baru. Dengan ini, maka monarki parlementer menjadi kenyataan. Tujuan revolusi itu tidak hanya mengubah suatu bentuk pemerintahan yang tua, tetapi juga untuk menghapus selurruh struktur sosial Prancis dari jaman prarevolusi. Revolusi itu bermaksud untuk menggantinya dengan suatu tata sosial dan tata politik baru yang sekaligus sederhana dan seragam, bardasarkan konsep kesamaan semua manusia (Tocqueville 1955, 8).

Dalam paruh pertama abad ke-19 revolusi-revolusi yang bersifat liberal atau sosialistis, walaupun dalam skala yang lebih kecil, akan meletus di berbagai tempat di Eropa. Semua ini merupakan perjuangan-perjuangan yang menyertai kelahiran masyarakat demokrasi modern. Proses-proses perubahan yang juga tidak dapat dibendung sesudah dua revolusi tersebut, merupakan rangsangan paling penting bagi perkembangan masyarakat.
10 Juni 2009 jam 12:09 · Laporkan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...