SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA
SETELAH REFORMASI
Abstrak
Karena
Kemerdekaan, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia telah berubah
beberapa kali. Itu dari segi mencari bentuk politik yang sesuai dengan kondisi
Indonesia dan untuk menyadari stabil, pemerintahan yang demokratis, dan
menciptakan masyarakat yang sejahtera. Dalam "Orde Lama" (1945-1959),
ada sistem politik dan pemerintahan yang demokratis tetapi dalam waktu yang
sama ekonomi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat diabaikan. Setelah kudeta
upaya pada 1 Oktober 1965, di mana militer mengambil kekuasaan, mereka
mengarahkan sistem politik dan pemerintah untuk menyadari ekonomi pembangunan
dan kesejahteraan. Pada waktu itu berbentuk stabil sytem politik dan pemerintah
tetapi itu tidak demokratis dan timbul penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman
masa lalu yang sangat baik, berantakan dalam satu sisi dan cukup di sisi lain
mencoba untuk merekonstruksi oleh sistem presiden dan parlemen campuran. Di
fakta bahwa percobaan dibuat pemerintah dibagi dan hidup bersama. Itu sadar
bahwa rekonstruksi infrastruktur politik seperti masyarakat dan partai politik
adalah kunci dari politik dan pembangunan pemerintah.
Kata
kunci : Politik dan pemerintahan
sistem, demokrasi, pembangunan ekonomi,
dicampur sistem
presidensial dan parlementer
A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai Sistem Politik dan
Pemerintahan Indonesia dewasa ini, setelah Reformasi pada tahun 1998,
sesungguhnya merupakan kelanjutan pencarian
format atau model sistem politik ideal Indonesia. Sistem politik merupakan
sebuah rangkaian kegiatan atau proses di dalam sebuah masyarakat politik dalam
memengaruhi dan menentukan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Input dalm
sebuah sistem politik adalah aspirasi masyarakat atau kehedak
masyarakat.Aspirasi rakyat dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: a.
Tuntutan adalah keinginan warga masyarakat yang pemenuhannya harus
diperjuangkan melalui cara-cara dan menggunakan srana politik. b. Dukungan
adalah setiap perbuatan, sikap, damn pemikiran warga masyarakat yang mendorong
pencapaian tujuan, kepentingan, dan tindakan pemerintah dalah sistem politik, c.
Sikap apatis adalah sikap tidak peduli warga negara terhadap kehidupan politik.
Mereka berargumen bahwa memahami suatu
sistem politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja,
melainkan juga fungsimereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa
institusi-institusi tersebutharus ditempatkan ke dalam konteks historis yang
bermakna dan bergerak dinamis,agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini
berseberangan dengan pendekatan yangmuncul dalam lingkup perbandingan politik
seperti: teori negara-masyarakat dan teoridependensi.Almond (1999)
mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagianyang dapat digerakan,
berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.Sedangkan sistem
politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam
merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakatataupun kelompok di
dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam
sistem politik.Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan
turunan dari teorisistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya
pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat
seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum
“stimulus dan respon” yang sama —atau input dan output. Pandangan ini juga
memberikan perhatian cukup terhadapkarakteristik unik dari sistem itu
sendiri.Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa
komponenkunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga
eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh
negara di jaman moderenini memiliki keenam macam struktur politik tersebut.
Selain struktur, Almondmemperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari
berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan
komunikasi.Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat
mewariskannilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan
keluarga,sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik
yangmembangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik
dalammasyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan
proses, dimanamasyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau
prinsip kebiasaanmenjadi warga negara yang efektif.
Model atau format sistem politik ideal
seperti apa yang sesungguhnya diharapkan? Pertama adalah format atau model
tersebut dapat menjamin adanya sistem politik yang demokratis, seperti
dikatakan para ilmuwan politik di mana setiap orang atau kelompok memiliki
kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses politik, mengambil bagian
dalam merumuskan kebijakan publik, dan berperan serta dalam memilih
pejabat-pejabat publik (baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif). Kedua
adalah model atau format politik yang demokratis tersebut memiliki stabilitas
jangka panjang. Stabilitas yang dibutuhkan di sini berdurasi lama untuk menjaga
agar pencapaian-pencapaian di segala aspek dapat dipertahankan serta tidak
setiap saat mengalami pasang surut jika terjadi perubahan-perubahan politik.
Ketiga, sistem yang demokratis dan stabil dalam jangka panjang itu idealnya membuat
kehidupan ekonomi mengalami kemajuan atau perkembangan positif. Suatu hal yang
rasanya justru kontradiktif. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa
demokrasi tidak selalu compatible dengan kemajuan konomi.
Sejarah politik kita menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan politik besar di masa lalu seakan menegaskan bahwa ketiga
hal tersebut tidak dapat dicapai sekaligus atau berjalan seiring. Sejarah
Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di
dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa
Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses
politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran
yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang
terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan
dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa
dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian,
tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan
proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem,
pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan.
Proses politik mengisyaratkan harus
adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk
menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam
menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik
zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal
abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan
pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi
(performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat,
lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
B. PEMBAHASAN
B.1. Pelajaran
Dari Politik Yang Hiruk Pikuk
Setelah Indonesia merdeka pada tahun
1945, segera saja negara yang masih baru ini mengalami berbagai hal :
pergolakan politik, kerusuhan-kerusuhan, kesulitan ekonomi, lemahnya
pemerintahan, dan agresi dari Belanda. Tekanan internal dan eksternal selama
kurang lebih 4 (empat) tahun membuat pemerintah Republik Indonesia dapat
dikatakan tidak berdaya untuk membenahi semua aspek kehidupan masyarakat.
Sampai kemudian tercapai perundingan KMB di Den Haag, Belanda pada 24 Agustus
1949. Draf akhir konferensi itu menyatakan bahwa Indonesia harus menanggung
beban utang Hindia Belanda sebesar 5,6 milyar gulden, serta menambahkan kata
serikat pada namanya menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara hasil KMB
ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungan pada Kerajaan Belanda,
tanggal satu per satu dan akhirnya pada 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno
menyatakan perubahan RIS seraya menyatakan Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang menetapkan
bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi Parlementer.
Sejak itu pemerintah silih berganti,
Perdana Menteri/kabinet datang dan pergi. Tidak kurang dari 7 (tujuh) kali
kabinet mengalami perubahan selama kurun waktu 1950-1959. Gonta-ganti kabinet
dalam jangka waktu pendek ini akibat dari kondisi perpolitikan yang hiruk
pikuk. Parlemen setelah pemilu pertama tahun 1955, diisi oleh partai-partai
politik yang memiliki perbedaan ideologi tajam sehingga perubahan-perubahan
konstelasi koalisi di parlemen dengan segera mengakhiri legitimasi kabinet,
demikian seterusnya.
Tingkah polah partai yang membuat
kabinet tidak berdaya tersebut sama-
sama tidak disenangi oleh tiga pihak, yaitu
Soekarno, Hatta, dan militer. Dalam pidato perpisahannya, sebagai wapres Hatta
mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas kepentingan pribadi dan
kelompok yang sempit. Soekarno malah punya gagasan untuk membubarkan saja
partai-partai politik itu dan menggantinya dengan golongan fungsional. Mengenai
militer, Ulf Sundhausen berteori bahwa kegagalan para politikus sipil dalam
mengelola negaralah yang membuat militer keluar dari barak dan masuk arena
politik. Sarjana lain yang berpendapat serupa adalah Harold Crouch yang
menyatakan bahwa salah satu faktor penting penyebab militer terjun ke politik
adalah ketidakmampuan otoritas sipil untuk memrintah secara efektif ( Harold
Crouch, 1985, hal 294).
Sistem Demokrasi Parlementer yang riuh
tersebut sampai-sampai tidak dapat menghasilkan suatu UUD baru untuk
menggantikan UUD Sementara atau UUD 1945 yang oleh Bung Karno sendiri disebut
UUD kilat atau “revolutie grondwet”. Dewan Konstituante yang dibentuk sejak 10
November 1956 belum juga berhasil membakukan UUD baru. Pangkal perselisihan dan
perdebatan dalam Konstituante yang membuat pembahasan UUD baru berlarut-larut
adalah Piagam Jakarta. Kubu partai-partai Islam ingin memasukkan Piagam tersebut
dalam mukadimah UUD baru.
Sedang kubu partai-partai Nasionalis
menolak untuk memasukkan Piagam Jakarta. Vonis kematian Konstituante dan
perubahan sistem politik Demokrasi Parlementer terjadi pada 5 Juni 1959 ketika
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante
dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Apakah dengan demikian Demokrasi
Parlementer menjadi sebuah pencapaian positif atau justru kebalikannya
merupakan stigma negatif dalam perpolitikan Indonesia? Presiden Soekarno yang
masih tetap merupakan figur yang menonjol dan militer terutama Angkatan Darat
serta banyak yang lain memandang bahwa era tersebut justru merupakan stigma
negatif. Pendapat serupa berlangsung terus sampai pada era Demokrasi Pancasila
(1966-1998). Demokrasi berikut turunannya, yakni sistem pemerintahan
Parlementer dipandang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Oleh karena itu, pada masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1966), demokrasi yang dilansir adalah demokrasi dengan arahan
atau pimpinan presiden. Sebuah konsep yang diracik oleh Soekarno (juga militer) untuk memodifikasi demokrasi
masa lalu yang membuat pemerintahan sama sekali tidak efektif. Jadi
sesungguhnya demokrasi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila
esensinya sama hanya pemberi arahan atau komando berbeda, yakni sipil dan
militer.
B.2. Pelajaran
Dari Politik Yang Bungkam
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem
pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem
pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa
pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem
pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga
kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945
tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai
wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR,
maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan.
Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak
positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan
pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan
pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan
sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri
presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang
didapatkanya.
Stigma negatif demokrasi parlementer
menjadikan penguasa rezim Orde Baru berusaha mengendalikan atau dalam bahasa
politik melakukan kooptasi terhadap kekuatan-kekuatan politik atau
partai-partai politik. Setelah Masyumi, PSI dan Murba dibubarkan pada masa
tahun 1959-1964, giliran PKI dibubarkan pada tahun 1965, praktis kericuhan
politik yang diwarnai oleh perbedaan tajam ideologi mengalami penurunan. ABRI
sebagai kekuatan utama saat itu disokong oleh birokrasi menjadi pilar rezim
baru tersebut. Melalui Golongan Karya (Golkar), sebuah wadah politik untuk
menghimpun kelompok-kelompok fungsional, maka ABRI dan Birokrasi
“mengendalikan” kehidupan politik. Tahun 1971 pada saat diadakan Pemilu kedua,
Golkar meraup 63% suara dari total 100% suara sah. Program-program Perbaikan
dan Pembangunan Ekonomi diluncurkan, Pemerintah juga mengundang investasi dan
bantuan asing, suatu hal yang tidak terjadi di masa lalu, sehingga muncul
slogan saat itu “ekonomi adalah panglima” menggantikan slogan lama “politik
adalah panglima”. Kebijakan politik domestik adalah tercapainya stabilitas dan
efektivitas pemerintahan, sedangkan kebijakan ekonominya adalah pertumbuhan
ekonomi kemudian pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Keikutsertaan militer dalam Hankam dan
kemudian juga dalam bidang lain
seperti sosial politik dilandasi oleh pemikiran
bahwa ABRI adalah juga bagian integral bangsa Indonesia, oleh karena itu ABRI
mempunyai hak untuk ikut serta dalam proses politik apabila eksistensi negara
dan bangsa terancam. Konsep ini yang menjadi pedoman dari pimpinan ABRI baik
Jenderal A.H. Nasution maupun Jenderal Soeharto sebagai hasil dari Seminar
Angkatan Darat II tahun 1966. Namun terdapat perbedaan mendasar antara
keduanya. Nasution berpendapat ABRI turun tangan hanya bila eksistensi negara
dan bangsa terancam, apabila kondisi eksistensi tidak mengalami ancaman maka
ABRI atau militer secara bertahap harus kembali ke barak.
Soeharto melalui para perwira think
tanknya seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berpendapat bahwa ABRI
harus tetap di luar barak, karena ABRI dibutuhkan untuk menjadi pelopor dalam
pembangunan guna mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju
(R.Eep Saefulloh Fatah, 1993 hal 131). Kendali kekuasaan yang besar ini menjadi
semakin besar dan hampir-hampir absolute ketika tidak ada lagi partai politik
atau
kekuatan-kekuatan politik lain yang dapat melakukan
checks and balances. Fusi partai-partai politik pada akhir dekade 1970-an
diikuti oleh pemilu yang penuh rekayasa dan intimidasi, sesungguhnya telah
mematikan kehidupan demokrasi.
Tetapi di lain sisi kekuasaan presiden
(yang terus menerus terpilih) menjadi demikian besar dan sangat efektif. Pola
hubungan kekuasaan antara Presiden dan DPR (parlemen) tidak seimbang, sangat
berat ke arah presiden (executive heavy). Saat itu tidak ada realisasi hak
angket atau interpelasi yang dilakukan oleh DPR. Alih-alih menjalankan fungsi
pengawasan terhadap Presiden, DPR malah menjadi tukang stempel bagi segala
kebijakan politik top executive. Sebagaimana premis yang dikemukakan oleh Lord
Acton bahwa kekuasaan yang absolute pasti disalahgunakan. Penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) ini selain menggerogoti sendi-sendi good governance
juga mengikis sendi-sendi perekonomian, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme
merajalela. Begitu pula ekonomi yang berdasarkan pada rent seeking, ikut
mendorong percepatan kemunduran ekonomi nasional.
Sinyalemen banyak ahli ekonomi politik
yang menyatakan bahwa booming ekonomi Indonesia pada dekade 1980-an tidak
menumbuhkan pelaku-pelaku ekonomi pendorong kapitalisme seperti di negara
asalnya, tetapi hanya menghasilkan kapitalisme semu/ersatz capitalism terbukti
kemudian dengan ambruknya konglomerasi secara cepat pada saat Indonesia
mengalami krisis moneter dan kemudian krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.
B.3. Renungan
Reformasi
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa
Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk
itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang
berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa
konstitusi negara itu berisi 1. adanya
pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, 2. jaminan atas hak asasi
manusia dan hak-hak warga negara. Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus
dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan
mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional,
diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang
sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat
kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang
telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia
sekarang ini.
Perubahan politik besar yang terjadi
pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai
implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam
kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada
tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi
pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika
pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak
mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang
tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru,
tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau
masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.
Jika demikian pokok pikirannya maka
sistem presidensial tersebut harus diimbangi dengan sistem multi partai untuk
membentuk parlemen yang betul-betul berfungsi mengawasi presiden. Jadi
sebetulnya sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multi
partai merupakan jawaban atas pelajaran-pelajaran masa lalu. Jawaban tersebut bukannya
tanpa problematik baru. Para ahli perbandingan politik seperti Scott Mainwaring
atau Juan Linz dan Arturo Valensuela (Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994,
hal 6-8) mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) kelemahan pokok sistem ini.
Pertama, kemungkinan munculnya kelumpuhan pemerintahan atau jalan buntu
(deadlock) akibat konflik eksekutif-legislatif. Di mana masing-masing merasa
memperoleh legitimasi dari rakyat (dual legitimacy), presiden dipilih langsung
oleh rakyat demikian pula DPR atau parlemen.
Kebuntuan politik ini di dalam sistem
yang menganut trias-politica dapat menjurus pada pemerintahan yang terbelah
(devided government), di mana presiden dan DPR dikuasai oleh parpol yang
berbeda. Bahkan AS negara dengan sistem presidensial paling stabil pun pernah
mengalami hal tersebut. Kasus paling akhir adalah semasa jabatan Presiden Bill
Clinton yang berasal dari partai Demokrat berhadapan dengan Congress yang
dikuasai oleh partai Republik, sehingga sempat terjadi deadlock dalam penentuan
budget (APBN). Tetapi pengalaman selama ratusan tahun dan mekanisme internal
institusi membuat deadlock atau devided government tersebut tidak mengancam
stabilitas politik dan eksistensi demokrasi. Kedua, kekakuan sistemik yang
melekat pada sistem presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang
bersifat tetap, sehingga tidak ada peluang untuk mengganti presiden di tengah
jalan apabila kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “the winner
takes all” yang inheren dalam sistem presidensial, sehingga memberi peluang
bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakan politiknya atas nama
rakyat, dibandingkan lembaga parlemen (DPR) yang didominasi kepentingan
partisan dari partai-partai politik. Lebih lanjut Juan Linz mengemukakan bahwa
problematik sistem presidensial pada umumnya terjadi ketika dikombinasikan
dengan sistem multipartai, apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi
yang relatif tinggi.
Presidensialisme dan sistem multipartai
bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit tetapi bahkan membuka peluang
terjadinya kelumpuhan pemerintahan. Dan masalah tersebut bertambah rumit lagi
jika tidak ada satu partai pun yang menguasai mayoritas di parlemen (DPR).
Masalah menjadi semakin kompleks jika lembaga presiden yang semestinya
merupakan eksekutif tunggal (presiden dan wakil presiden) berasal dari dua
partai yang berbeda (cohabitation). Presiden berasal dari parpol lebih kecil,
sedangkan wakil presiden berasal dari parpol yang lebih besar. Eksperimentasi
untuk menemukan sistem politik yang ideal tersebut rasanya semakin jauh bila
kita melihat kabinet sebagai suatu lembaga politik yang bertugas menterjemahkan
kebijakan-kebijakan politik presiden ke dalam program-program dan proyek-proyek
yang harus diimplementasikan.
Sementara itu, kabinet pelangi SBY yang
merupakan institusi pembantu presiden banyak diisi oleh orang-orang dari parpol
(kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila presiden mengharapkan
dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi utama kabinet menjadi
bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi dan akomodasi
dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat disepakati
merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup efektif dalam
memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif. Menurut beberapa
pengamat politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung
beberapa hal yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang
terlibat dalam politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan
lambat dan tidak responsif. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya
pihak yang harus dilibatkan, tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik
yang akan terjadi.
Sering dalam situasi tersebut,
obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak tuntas menjadi
pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena pemberantasan korupsi
yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut. Kedua, keterlibatan
banyak partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk kepentingan umum dan
masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-partai politik
(baca elite politik). Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan
seperti kemiskinan, jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako
seolah menjadi angin lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan
dalam beragam masalah sebagai konsekuensi politik kompromi dan akomodasi,
akhirnya memperlambat penguatan dan pendewasaan sistem politik
Sistem demokrasi dan kebijakan politik
demikian ini ke depan memang sudah seharusnya mengalami perubahan. Perubahan
itu niscaya diperlukan karena adopsi atas sistem tersebut membutuhkan
perbaikan-perbaikan sistemik meliputi tiga aras, yakni pemantapan civil
society, perbaikan sistem pemilu presiden, dan penyederhanaan partai politik.
Pemantapan dan penguatan civil society akan memunculkan suatu masyarakat yang
mempunyai karakter mengedepankan kemandirian, memiliki kesadaran yang tinggi
dalam kehidupan politik dan hukum, berwawasan plural, rasional, dan obyektif.
Pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bagaimana komunitas ini mampu
menjadi penggerak utama tumbangnya rezim-rezim otoriter mulai dari Eropa Timur,
Amerika Latin, dan Asia. Suatu upaya yang menurut banyak kalangan dan prediksi
beberapa ahli tidak mudah untuk diwujudkan di Indonesia mengingat pemulihan
ekonomi yang belum sesuai harapan (tingkat pertumbuhan ekonomi akan menurun
dari prediksi 6,32% menjadi 6,0%).
Pada aras pemilihan presiden batas
minimal dukungan partai dalam DPR merupakan hal positif. Proporsi terlalu besar
akan meredupkan atau memperkecil peluang munculnya kandidat alternatif yang
mungkin saja tidak dimiliki oleh partai atau kelompok partai besar sekaligus
mematikan makna pluralisme politik. Sedangkan persentase terlalu kecil akan
memunculkan terlalu banyak calon dan tidak akan menjamin dukungan cukup kuat di
DPR. Jalan tengah terbaik tampaknya adalah memberi peluang munculnya kandidat
alternatif di samping dua kandidat dari pengelompokan partai besar.
Untuk itu angka dukungan 20-30% adalah
jumlah dukungan cukup rasional. Selain syarat batas minimal dukungan, hal lain
yang berperan menentukan keberhasilan dan kualitas sistem presidensial adalah
model sistem pemilihan. Sebagaimana diketahui proses pemilihan presiden
langsung mengenal tiga model, yakni model electoral college (seperti
dipraktekkan di Amerika Serikat), model satu putaran (pluralis), dan model dua
putaran (mayoritas mutlak). Untuk Indonesia, model ketiga seperti yang telah
dipraktekkan di masa lalu merupakan pilihan yang relevan.
Meskipun untuk itu, biaya menjadi
semakin mahal dan waktu semakin panjang. Penyederhanaan parpol merupakan suatu
keniscayaan karena secara teoritis dengan sederhananya jumlah parpol, kemungkinan
pasangan kandidat presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden bukan dari
sebuah parpol atau kelompok parpol yang terlalu kecil jumlahnya (minoritas).
Yang menghasilkan seorang presiden yang oleh Juan Linz disebut unexperienced
outsider. Dengan sedikitnya partai maka gap jumlah suara cenderung tidak
terlalu besar.
Begitu juga dengan
pengelompokan-pengelompokan politik potensial. Situasi demikian membuat
presiden terpilih bukan saja merupakan tokoh terbaik kaliber nasional yang
didukung partai menengah dan besar, tetapi juga relatif memiliki jaminan
sokongan yang lebih solid dan luas di DPR. Selain jumlah yang harus
disederhanakan, pembenahan ke depan menyangkut parpol adalah upaya membuat
parpol lebih maju, lebih modern, dan lebih sehat. Selama ini parpol mengidap
beberapa kecenderungan (negatif) seperti dikatakan oleh Syamsuddin Haris
(Syamsudin Haris, artikel di Kompas 11 September 2003 hal 3). Ada 4 (empat)
kecenderungan negatif parpol, yaitu : Pertama : Berkembangnya kepemimpinan yang
personal dan oligarkis.
Partai-partai besar masih saja mengusung
pemimpin-pemimpin lama yang sebetulnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Begitu
pula elite partai masih saja menyelamatkan kepentingan dan pilihan sang
pemimpin, ketimbang mempertahankan integritas dan citra publik partai. Kedua :
Partai yang semestinya merupakan organisasi modern dan rasional, berkembang
menjadi semacam paguyuban arisan bagi mobilitas vertikal para elite politik
yang bersaing dalam mempersembahkan loyalitas terhadap sang pemimpin atau ketua
umum. Ketiga : Merosotnya etika dan moralitas politik kader-kader partai ke
titik paling rendah. Ketiadaan etika dan moral ini yang bisa menjelaskan
fenomena korupsi suap dan money politics di kalangan partai dan legislatif.
Keempat : Partai umumnya miskin visi tentang perubahan dan perbaikan, sehingga
yang muncul akhirnya retorika dan slogan-slogan yang dangkal dan mengambang.
Semua partai bicara keadilan, pembangunan, kesejahteraan, tetapi tidak jelas
perbedaan konsep dan solusinya.
C. PENUTUP
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa
dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam
menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi
diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.Dalam melakukan analisis sistem bisa
dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian. Kapabilitas
sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan.
Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara
para pakar politik.
Usaha mengkombinasikan dua sistem
tersebut seringkali melahirkan kompromi-kompromi politik dimana kedudukan
presiden relatif cukup aman tetapi tidak begitu bermanfaat bagi berbagai
kebijakan pemerintah pada khususnya dan bagi perkembangan demokrasi pada
umumnya. Karena kompromi politik pada dasarnya adalah bersifat kasuistik dan
sementara yang tidak dapat secara terus menerus dipertahankan.
Menurut Firman Noor ( Firman Noor, 2009,
hal 51-85) spektrum skenario kebuntuan politik itu terbentang mulai adanya
sosok presiden yang populer namun tidak mendapat dukungan yang cukup dalam
parlemen, munculnya sosok presiden yang dikendalikan atau disandera secara
oligarkis oleh kekuatan-kekuatan pendukung-pendukungnya, hingga kemungkinan
munculnya seorang presiden yang mengabaikan sama sekali esistensi parlemen
dengan alasan untuk kepentingan rakyat.
Adanya kemungkinan-kemungkinan negatif
tersebut menurut Noor dalam kasus Indonesia ke depan dapat diredam dengan
melakukan beberapa pembenahan sistemik yang meliputi tiga aras utama yakni
pengaturan mekanisme pemilu presiden, pembenahan partai-partai poltik dan
pemantapan civil society.
DAFTAR PUSTAKA
https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=b2SztsMAAAAJ&citation_for_view=b2SztsMAAAAJ:8k81kl-MbHgC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar