Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi
lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat
ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di
Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi
lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam
arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip
seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat
dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
* William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
* David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
* Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Sejarah
Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.
Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
* William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
* David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
* Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Sejarah
Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.
Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tetntang manusia dan kebudayaannya kembali pada sejarah. Di universitas-universitas Amerika Serikat, dimana Antropologi telah mencapai suatu ruang lingkup dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit 5 masalah penelitian khusus yaitu:
1) Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (Evolusi) secara Biologis.
2) Masalah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3) Masalah sejarah asal, perkembangan, penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4) Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia diseluruh dunia.
5) Masalah mengenai asas-asas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi masa ini.
Dari masalah penelitian yang didalami dalam Antropologi, banyak menyangkut-pautkan dengan kebudayaan, dan dalam Antropologi sendiri banyak mempelajari dari pada kebudayaan. Memang benar bahwa Antropologi mempelajari manusia, tetapi untuk mempejari manusia, pastilah akan mempelajari tentang kebudayaan yang berkembang dimasyarakat itu, sehingga disini merupakan pemacu dalam menulis tentang kebudayaan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditemukan berbagai permasalahan :
a) Apa pengertian kebudayaan?
b) Bagaimana karakteristik kebudayaan sebenarnya?
c) Apa tujuan adanya suatu kebudayaan?
d) Apa hubungan kebudayaan masyarakat dan individu?
Daftar Isi
Daftar isi
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
1. Pengertian Kebudayaan
2. Karakteristik kebudayaan
3. Fungsi Kebudayaan
4. Hubungan Kebudayaan, Masyarakat, dan Individu.
BAB III : Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebudayaan
Dalam Pendefinisian keudayaan para Antropolog memiliki devinisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Berdasarkan Literature yang ada, definisi kebudayaan yang dihasilkan Antropolog sudah mencapai lebih dari 170 definisi, namun demikian tidak memiliki hak Eksklusif untuk melakukan klaim atas istilah kebudayaan.
Istilah kebudayaan atau Culture (bahasa inggris) berasal dari kata Colere (kata kerja bahasa latin) yang berarti bercocok tanam (Cultivation) Cultivation atau kultivasi yang berarti pemeliharaan ternak hasil bumi, dan upacara-upacara religius yang darinya diturunkan istilah kultus atau “Kult” (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto,2005:7). Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal dari kata Buddhi (budi atau akal), kata budaya juga ditafsirkan merupakan perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, rasa. Menurut Raymond Williams, kata kebudayaan merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaanya dalam bahasa inggris.
Definisi kebudayaan yang paling tua dikemukakan oleh Edward B. Tyloy pada tahun 1871. kebudayayan oleh Tylor didefinisikan sebagai “keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum ,moral adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”, Alfret Weber mendefinisikan kebudayaan sebagai “suatu bentuk Ekspresional Spiritual dan Intelektual dalam subtansi kehidupan, atau suatu sikap spiritual dan Intelektual terhadap Substansi itu.” Dalam Basam Tibi 1999;73”.
Dalam pemakaan sehari-hari perkataan “Kebudayaan” berarti Kwalitas tang wajar yang dapat diperoleh dengan mungunjungi, cukup banyak sandiwara dan konsep tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Sedangkan menurut Palph Linton, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tnggi atau lebih diinginkan.
Kebudayaan itu terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan dan Persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik prilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku , semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara Biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Para Antropologi mempunyai pendapat bahwa untuk anak-anak dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan mengalaminya dan dengan berbicara tentang kebudauyaan dangan orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya.
Sedangkan ahli Antropologi lebih sistematis dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan melalui Observasi dan diskusi yang teliti dengan informan-informan yang mengetahui tata cara kebudayaan mereka dengan baik sekali. Ahli Antropologi juga Mengabstraksikan sejumlah peraturan untuk menerangkan perilaku orang didalam kebudayaan tertentu.
Untuk konsep kebudayaan pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli Antropologi menjelang abad ke-19. devinisi pertama yang sungguh-sungguh jelas dan Komprehensif tersebut sudah disebutkan diatas.
1. Latar belakang
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tetntang manusia dan kebudayaannya kembali pada sejarah. Di universitas-universitas Amerika Serikat, dimana Antropologi telah mencapai suatu ruang lingkup dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit 5 masalah penelitian khusus yaitu:
1) Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (Evolusi) secara Biologis.
2) Masalah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
3) Masalah sejarah asal, perkembangan, penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia diseluruh dunia.
4) Masalah perkembangan, penyebaran, dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia diseluruh dunia.
5) Masalah mengenai asas-asas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi masa ini.
Dari masalah penelitian yang didalami dalam Antropologi, banyak menyangkut-pautkan dengan kebudayaan, dan dalam Antropologi sendiri banyak mempelajari dari pada kebudayaan. Memang benar bahwa Antropologi mempelajari manusia, tetapi untuk mempejari manusia, pastilah akan mempelajari tentang kebudayaan yang berkembang dimasyarakat itu, sehingga disini merupakan pemacu dalam menulis tentang kebudayaan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditemukan berbagai permasalahan :
a) Apa pengertian kebudayaan?
b) Bagaimana karakteristik kebudayaan sebenarnya?
c) Apa tujuan adanya suatu kebudayaan?
d) Apa hubungan kebudayaan masyarakat dan individu?
Daftar Isi
Daftar isi
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
1. Pengertian Kebudayaan
2. Karakteristik kebudayaan
3. Fungsi Kebudayaan
4. Hubungan Kebudayaan, Masyarakat, dan Individu.
BAB III : Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebudayaan
Dalam Pendefinisian keudayaan para Antropolog memiliki devinisi yang berbeda-beda tentang kebudayaan. Berdasarkan Literature yang ada, definisi kebudayaan yang dihasilkan Antropolog sudah mencapai lebih dari 170 definisi, namun demikian tidak memiliki hak Eksklusif untuk melakukan klaim atas istilah kebudayaan.
Istilah kebudayaan atau Culture (bahasa inggris) berasal dari kata Colere (kata kerja bahasa latin) yang berarti bercocok tanam (Cultivation) Cultivation atau kultivasi yang berarti pemeliharaan ternak hasil bumi, dan upacara-upacara religius yang darinya diturunkan istilah kultus atau “Kult” (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto,2005:7). Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal dari kata Buddhi (budi atau akal), kata budaya juga ditafsirkan merupakan perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, rasa. Menurut Raymond Williams, kata kebudayaan merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaanya dalam bahasa inggris.
Definisi kebudayaan yang paling tua dikemukakan oleh Edward B. Tyloy pada tahun 1871. kebudayayan oleh Tylor didefinisikan sebagai “keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum ,moral adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”, Alfret Weber mendefinisikan kebudayaan sebagai “suatu bentuk Ekspresional Spiritual dan Intelektual dalam subtansi kehidupan, atau suatu sikap spiritual dan Intelektual terhadap Substansi itu.” Dalam Basam Tibi 1999;73”.
Dalam pemakaan sehari-hari perkataan “Kebudayaan” berarti Kwalitas tang wajar yang dapat diperoleh dengan mungunjungi, cukup banyak sandiwara dan konsep tarian dan mengamati karya seni pada sekian banyak gedung kesenian. Sedangkan menurut Palph Linton, kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tnggi atau lebih diinginkan.
Kebudayaan itu terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan dan Persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik prilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku , semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima dalam masyarakat. Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara Biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Para Antropologi mempunyai pendapat bahwa untuk anak-anak dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan mengalaminya dan dengan berbicara tentang kebudauyaan dangan orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya.
Sedangkan ahli Antropologi lebih sistematis dalam mempelajari kebudayaan yaitu dengan melalui Observasi dan diskusi yang teliti dengan informan-informan yang mengetahui tata cara kebudayaan mereka dengan baik sekali. Ahli Antropologi juga Mengabstraksikan sejumlah peraturan untuk menerangkan perilaku orang didalam kebudayaan tertentu.
Untuk konsep kebudayaan pertama kalinya dikembangkan oleh para ahli Antropologi menjelang abad ke-19. devinisi pertama yang sungguh-sungguh jelas dan Komprehensif tersebut sudah disebutkan diatas.
B. Karakteristik kebudayaan
Melalui Study perbandingan terhadap sejumlah kebudayaan, para ahli Antropologi telah berhasil memperoleh pengertian tentang Karakteristik-karakteristik pokok yang dimiliki bersama oleh semua kebudayaan. Study yang teliti tentang karakteristik tersebut membantu untuk melihat kepentingan dan fungsi kebudayaan itu sendiri, dan karakteristik kebudayaan adalah:
a. Kebudayaan adalah milik bersama
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standart perilaku; kebudayaan adalah sebutan persamaan (Common Denominator), yang menyebabkan perbuatan para individu dapat difahami oleh kelompoknya. Karena mamiliki kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan perbuatan orang yang lain dalam situasi tertentu, dan mengambil tindakan yang sesuai.
Jika hanya seseorang yang memikirkan atau melakukan hal tertentu, maka hal itu adalah kebiasaan pribadi, bukan suatu pola kebudayaan.
Agar dapat secara tepat tercakup dalam kebudayaan ia harus dimiliki bersama agar suatu bangsa atau oleh sekelompok orang-orang, jadi para Antropologi barulah berpendapat bahwa suatu bangsa mempunyai kebudayaan, jika para warganya memiliki bersama pola-pola berfikir dan berkelakuan yang didapat melalui proses belajar.
Masyarakat (Society) dapat di devinisikan sebagai kelompok manusia yang mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu sama lain, dan yang memiliki kebudayaan bersama.
Dari sini sudah jelas bahwa tidak mungkin ada masyarakat tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal yang tidak berbudaya.
Meskipun kebudayaan adalah milik bersama anggota masyarakat pentinglah disadari bahwa semua itu adalah seragam. Dalam setiap masyarakat setidak-tidaknya ada beberapa perbedaan peranan diantaranya pria dan wanita. Ini berarti bahwa ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian wanita, tetapi tidak bagi pria dan sebaliknya, ini menandakan ada beberapa perbedaan antara kebudayaan pria dan kebudayaan wanita.
b. Kebudayaan adalah hasil proses belajar
Kebudayaan adalah cara berlaku yang dipelajari; kebudayaan tidak tergantung dari Transmisi Biologis atau pewarisan dari unsure Genetic. Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, tapi itu merupakan bagian dari kebudayaan, dan kelakuan Instingtif itu tidak dipelajari karena akan muncul dengan sendirinya.
Semua kebudayaan adalah hasil belajar, orang mempelajari kebudayaannya dengan menjadi besar didalamnya. Ralph Linton menyebut kebudayaan sebagai warisan sosial umat manusia. Proses penerusan kebudayaan dari generasi satu kepada generasi yang lain, disebut Enkulturasi.
Melalui Enkulturasi orang mengetahui cara yang secara sosial tepat untuk memenuhi kebutuhannya yang ditentukan secara Biologis adalah penting untuk membedakan antara kebutuhan yang bukan hasil belajar, dan cara-cara yang dipelajari untuk memenuhinya.
Contoh bentuk Enkulturasi adalah kebanyakan binatang makan dan minum kapan saja timbul keinginanya, akan tetapi manusia biasanya makan dan minum pada waktu-waktu tertentu yang ditentukan menurut kebudayaan dan mereka merasa lapar menjelang waktu itu.
c. Kebudayaan didasarkan pada lambing
Ahli Antropologi Lesle White berpendapat bahwa semua perilaku manusia mulai dengan penggunaan lambang. Seni, agama dan uang dan melibatkan pemakain lambang. Aspek Simbolik yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa-penggantian objek dengan kata-kata. Stanley Salthe menegaskan “bahasa Simbolik adalah Fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun.” Pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama, kesenian, organisasi, ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang.
d. Integrasi kebudayaan
Untuk keperluan menjadi sejumlah bagian (Unsur) yang kelihatannya sendiri-sendiri, tetapi perbedaan-perbedaan seperti itu bersifat sembarang (Arbritary) ahli Antropologi yang menyelidiki salah satu aspek kebudayaan selalu merasa perlu untuk juga menyelidiki aspek-aspek lainny. Toleransi semua aspek kebudayaan untuk berfungsi sebagi kesatuan yang saling berhubungan disebut Integrasi.
Contoh gambaran Integrasi aspek-aspek ekonomi, politik dan sosial dari mayarakat diperlihatkan oleh masyarakat papua kapauku, sebuah suku bangsa pegunungan di Irian Jaya (Western New Guenia). Ekonomi mereka bersandar pada pembudidayaan tanama, bersama-sama dengan penangkaran (Breeding) babi, memburu dan menangkap ikan.
C. Fungsi kebudayaan
Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu para anggotanya. Seberapa jauh kebudayaan tersebut memenuhi kebutuhan dan itulah yang menentukan kesuseksanya dan sukses itu diukur dari nilai-nilai kebudayan itu sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kebudayaan harus mampu Memproduksi dan Mendistribusikan barang-barang dan jasa yang dipandang perlu untuk hidup. Kebudayan harus ,menjamin kelestarian Biologis, dan memproduksikan anggota-anggotanya. Kebudayaan harus memberi motivasi kepada para anggotanya untuk bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan hidup itu.
D. Hubungan kebudayaan, masyarakat dan individu
Masyarakat tidak lebih dari pada persatuan individu-individu yang semuanya masing-masing mempunyai kebutuhan dan kepentingannya sendiri-sendiri. Kalau ingin lestari, masyarakat harus berhasil menciptakan keseimbangan antara kepentingan pribadi para anggotanya dan tuntunan masyarakat sebagai keseluruhan, oleh karena itu harus ada keseimbangan yang diteliti diantara kepentingan pribadi individu dan tuntutan kelompok atas tiap-tiap individu.
Jadi demikian, semua kebudayaan harus menemukan keseimbangan yang teliti diantara kebutuhan individu dan masyarakat. Kalau kepentingan masyarakat menjadi dominant, individu mengalami tekanan yang terlalu berat. Manifestasinya dapat meliputi segala macam kegiatan anti social, kejahatan, penyalagunaan narkotika, dll. Kalau ini berjalan terlalu jauh, akibatnya dapat berupa keruntuhan kebudayaan, dengan perubahan yang disertai kekerasan.
Dewasa diatas menunjukkan bahwa jika kebudayaan tidak sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat, maka akan menimbulkan kesenggangan sosial.
Bab III
Penutup
1. kesimpulan
Dari hasil paparan yang telah dipaparkan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa :
a) Karakteristik suatu kebudayaan adalah, bahwa kebudayaan merupakan milik bersama, dan kebudayaan juga muncul dari suatu pross belajar.
b) Tujuan kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara Kompleks.
c) Hubungan kebudayaan dengan masyarakat serta individu adalah, bahwa kebudayaan muncul dengan adanya individu-individu yang ada dalam masyarakat dan berkembang dimasyarakat tersebut.
2. Saran
Dari uraian diatas, penyusun mengharapkan pembaca mengetahui bagaimana kebudayaan itu dan disamping mengetahui bagaimana kebudayaa juga dapat menambah pengetahuan terhadap para pembaca.
Ilmu budaya dasar
Ilmu budaya dasar adalah suatu ilmu yang mempelajari dasar dasar kebudayaan, pada perkuliahan jurusan sosiologi juga ada salah stu mata kuliah ini , namun jika untuk mengingat terlalu sulit bisa di ambil intinya saja agar tidak terlalu membebani pikiran otak. Budaya memang merupakan salah satu jiwa dari nilai nllai yang ada di dalam masyarakat cara membuat blog kali ini agak melenceng sedikit karena membahas masalah budaya dan bukan blog,Secara umum pengertian kebudayaan adalah merupakan jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani.
Pokok-pokok yang terkandung dari beberapa devinisi kebudayaan
1. Kebudayaan yang terdapat antara umat manusia sangat beragam
2. Kebudayaan didapat dan diteruskan melalui pelajaran
3. Kebudayaan terjabarkan dari komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
4. Kebudayaan berstruktur dan terbagi dalam aspek-aspek kesenian, bahasa, adat istiadat, budaya daerah dan budaya nasional
Latar belakang ilmu budaya dasar
latar belakang ilmu budaya dasar dalam konteks budaya, negara, dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan permasalahan sebagai berikut:
1. Kenyataan bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, dan segala keanekaragaman budaya yang tercermin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yang biasanya tidak lepas dari ikatan-ikatan (primodial) kesukuan dan kedaerahan.
2. Proses pembangunan dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga dengan sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya. Akibat lebih jauh dari pembenturan nilai budaya ini akan timbul konflik dalam kehidupan.
3. Kemajuan ilmu pengetahuan dalam teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan manusia, menimbulkan konflik dengan tata nilai budayanya, sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yang telah diciptakannya. Hal ini merupakan akibat sifat ambivalen teknologi, yang disamping memiliki segi-segi positifnya, juga memiliki segi negatif akibat dampak negatif teknologi, manusia kini menjadi resah dan gelisah.
Tujuan Ilmu Budaya Dasar
1. Mengenal lebih dalam dirinya sendiri maupun orang lain yang sebelumnya lebih dikenal luarnya saja
2. Mengenal perilaku diri sendiri maupun orang lain
3. Sebagai bekal penting untuk pergaulan hidup
4. Perlu bersikap luwes dalam pergaulan setelah mendalami jiwa dan perasaan manusia serta mau tahu perilaku manusia
5. Tanggap terhadap hasil budaya manusia secara lebih mendalam sehingga lebih peka terhadap masalah-masalah pemikiran perasaan serta perilaku manusia dan ketentuan yang diciptakannya
6. Memiliki penglihatan yang jelas pemikiran serta yang mendasar serta mampu menghargai budaya yang ada di sekitarnya dan ikut mengembangkan budaya bangsa serta melestarikan budaya nenek moyang leluhur kita yang luhur nilainya
7. Sebagai calon pemimpin bangsa serta ahli dalam disiplin ilmu tidak jatuh kedalam sifat-sifat kedaerahan dan kekotaan sebagai disiplin ilmu yang kaku
8. Sebagai jembatan para saran yang berbeda keahliannya lebih mampu berdialog dan lancar dalam berkomunikasi dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan diberbagai bidang mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang sedang membangun serta mampu memenuhi tuntutan perguruan tinggi khususnya Dharma pendidikan
Ilmu Budaya Dasar Merupakan Pengetahuan Tentang Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia
Unsur-unsur kebudayaan
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi
Fungsi, Hakekat dan Sifat Kebudayaan Fungsi Kebudayaan
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan berbehubungan dengan orang lain didalam menjalankan hidupnya.
kebudayaan berfungsi sebagai:
1. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok
2. Wadah untuk menyakurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya
3. Pembimbing kehidupan manusia
4. Pembeda antar manusia dan binatang
Hakekat Kebudayaan
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia
2. Kebudayaan itu ada sebelum generasi lahir dan kebudayaan itu tidak dapat hilang setelah generasi tidak ada
3. Kebudayan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang memberikan kewajiban kewajiban
Sifat kebudayaan
1. Etnosentis
2. Universal
3. Alkuturasi
4. Adaptif
5. Dinamis (flexibel)
6. Integratif (Integrasi)
Aspek-aspek kebudayaan
1. Kesenian
2. Bahasa
3. Adat Istiadat
4. Budaya daerah
5. Budaya Nasional
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan kebudayaan faktor-faktor pendorong proses kebudayaan daerah
1. kontak dengan negara lain
2. sistem pendidikan formal yang maju
3. sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
4. penduduk yang heterogen
5. ketidak puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
Faktor-faktor penghambat proses perubahan kebudayaan
1.faktor dari dalam masyarakat
* betambah dan berkurangnya penduduk
* penemuan-penemuan baru
* petentangan-pertentangan didalam masyarakat
* terjadinya pemberontakan didalam tubuh masyarakat itu sendiri
2. faktor dari luar masyarakat
* berasal dari lingkungan dan fisik yang ada disekitar manusia
* peperangan dengan negara lain
* pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Kebudayaan atau budaya
menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koenjtaraningrat, adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut
merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga
’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni
kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.
Mengacu
pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita yang ada di kehidupan bangsa
Indonesia,
kiranya kita bisa memilah setiap wujud kebudayaan yang ada, minimal dari yang
kita temui setiap harinya. Sejalan dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan
klasik -”apakah ada yang namanya budaya Indonesia?” Jika Jepang memiliki
identitas budaya dalam wujud idenya yang terangkum dalam Bushido (moral
samurai) yang berisikan ajaran tentang kejujuran, kerelaan berkorban, kerja
keras dsb. Lantas, apakah konsep gotong royong adalah budaya Indonesia? Atau
ada istilah lain?
Ada beberapa budaya besar (bukan dalam
konteks baik dan buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam
pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan
pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan
mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan
nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai
turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi
nasional. Namun, ada baiknya jika kita terlebih dahulu analisis ketiganya untuk
menguatkan argumentasi kita tentang budaya nasional.
Kebudayaan
Nasional dan Pengaruh Tiga Budaya
Budaya
timur. Penggolongan barat dan timur banyak mengalami perdebatan secara
sosiologis maupun secara politis, budaya timur, yang mana sebagian besar secara
demografis adalah wilayah budaya Asia, identik dengan nilai-nilai ’kolot’ hal
ini ditenggarai atas perbandingannya dengan budaya barat yang direpresentasikan
sebagai budaya modern bahkan posmodern.
Dari
prinsip pengelompokan tersebut, kita tidak sepenuhnya bisa sepakat bahwa Budaya
Indonesia adalah sama dengan Budaya Timur, apalagi secara nilai yang
terkandung, ada yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan, salah
satunya pada nilai budaya timur tentang kesopanan dalam berpakaian, sudut
pandang atau budaya dalam wujud ide ini tidak berlaku pada seluruh kelompok
budaya di Indonesia. Secara prinsipnya, jika berangkat dari pancasila, UUD 45
ataupun konteks kebangsaan. Budaya Indonesia sekali lagi, tidak sama
dengan Budaya Timur.
Budaya
lokal. Maksudnya, budaya nasional merupakan perwujudan dari sebuah budaya lokal
yang dianggap memiliki nilai paling luhur, superioritas sebuah budaya kelompok.
Jika memang demikian, benturan yang terjadi kembali pada konteks keragaman yang
ada. Apakah ada budaya yang paling kuat dalam keragaman budaya di Indonesia yang
bisa mengendalikan budaya lainnya? Misalnya Budaya Jawa atau Sunda
mengendalikan budaya yang tersebar di Bali, Papua, Aceh, Sulawesi, Kalimantan dll. Tentu saja, kita pun kembali harus
mengaca pada cermin pancasila dan konsep pluralisme yang ada dan menjawab
tidak.
Budaya
Islam. Apakah budaya nasional diambil dari budaya Islam? Karena Islam adalah
agama mayoritas. Pertentangan yang muncul adalah pada keragaman agama yang ada
di Indonesia.
Walaupun semua agama mengandung inti ajaran yang sama yakni kebaikan, akan
tetapi pada prakteknya tentu memiliki perbedaan, dan kenyataannya di Indonesia tidak
hanya berkembang agama Islam, tapi juga agama Kristen, Hindu, Budha dan
kepercayaan lainnya yang juga ada dan dijamin secara hukum. Dan lagi-lagi
cermin pancasila dan UUD 45 serta konsep pluralisme mengajak kita untuk
bercermin dan mengatakan tidak.
Jika
bukan berangkat atau mengadopsi budaya timur, bukan juga memakai salah satu
budaya lokal ataupun menginduk pada budaya Islam, lantas seperti apakah budaya
nasional bangsa Indonesia
secara umum?
Untuk
menjawab pertanyaan diatas, mari kita artikan apa yang disebut Kebudayaan Indonesia.
Dalam kamus Wikipedia, kebudayaan Indonesia
didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang
telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Pengertian ini diperkuat juga
oleh pendapat Wahyudi Ruwiyanto (2002), dimana menurutnya - Visi
kebudayaan nasional harus memuat semangat integrasi nasional, karena pada
hakekatnya kebudayaan nasional adalah akumulasi dari kebudayaan lokal yang
tersebar di Indonesia.
Jika
mengacu pada pengertian diatas, maka jelas bahwa Indonesia bukanlah terdiri dari
budaya tunggal (monokultural) akan
tetapi terdiri dari banyak budaya (multikultural).
Monokulturalisme
dan Setting Kapitalisme
Monokulturalisme
merupakan sebuah idelogi atau konsep yang memiliki kehendak akan adanya
penyatuan kebudayaan (homogentitas). Dalam monokulturalisme, ditandai adanya
proses asimilasi, yakni percampuran dua kebudayaan atau lebih untuk membentuk
kebudayaan baru. Sebagai sebuah ideologi, monokulturalisme dibeberapa negara dijadikan
landasan kebijakan dan atau strategi pemerintah menyangkut kebudayaan dan
sistem negara.
Perkembangan
dewasa ini, dimana adanya usaha untuk menciptakan budaya tunggal sebagai
identitas budaya Indonesia
yang sebagian besar dilakoni oleh media, khususnya televisi dengan setting
Jakarta-isme adalah sebuah hal yang bertolak berlakang dengan semangat
pluralisme. Kita banyak menemui misalnya di sinetron-sinetron dimana adanya
proses monokulturalisme, bahwa yang gaul itu adalah yang ’gue-elo’, bahwa yang
ndeso itu yang tidak mengikuti apa yang berkembang di Jakarta. Sentralisme
semacam ini mau tidak mau adalah semata-mata hanyalah setting dari kapitalisme
untuk mengarahkan agar masyarakat terpolakan pada sistem yang sudah dibangun
oleh modal. Semakin homogen masyarakat, maka semakin mudah sebuah produk untuk
dipasarkan dengan selera yang sama. Sebaliknya, semakin kompleks atau heterogen
masyarakat, maka semakin sulit sebuah produk untuk menyentuh pasar secara
holistik.
Upaya-upaya
monokulturalisme yang dicontohkan diatas pada prosesnya bisa mengancam
kelangsungan entitas-entitas budaya lokal yang ada. Kecenderungan untuk
mengikuti trend yang ditawarkan media dikalangan generasi muda adalah sejalan
lurus dengan tawaran ’gaul’ tadi.
Seorang
anak merasa lebih asyik memainkan game perang di playstation dibandingkan
bermain permainan tradisional. Seorang ibu akan merasa lebih bermartabat jika
berbelanja di mall dibandingkan di pasar tradisional. Seorang ayah merasa hebat
jika bisa mengajak anaknya untuk makan hamburger ataupun pizza dibandingkan
memberi makanan tradisional. Seorang remaja akan merasa lebih gaul jika
menggunakan bahasa gaul ala Jakarta
dengan elo-gue-nya dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar apalagi bahasa daerah.
Kecenderungan-kecenderungan
sikap diatas kebanyakan dipengaruhi oleh pola hidup yang ditawarkan oleh
setting kapitalisme. Bahwa gaya adalah yang dikedepankan daripada kualitas
hidup, tidak peduli bahwa kualitas pakaian di mall tidak berbeda dengan yang
dijual di pasar tradisional, tidak peduli bahwa ternyata Hamburger memiliki
patogen yang bisa mengancam kesehatan dibanding makanan tradisional seperti
serabi ataupun martabak, tidak peduli bahwa game perang dapat mendorong ke arah
kriminalitas, tidak peduli bahwa bahwa bahasa gaul itu telah merusak bahasa
ibu. Yang lebih berbahaya, ketika ternyata ketidak pedulian ini diakibatkan
oleh ketidak tahuan.
Multikulturalisme
dan Identitas Budaya Nasional
Integrasi
Nasional selalu terkait dengan penyatuan atau pengakomodiran kepentingan dari
ragam kelompok didalamnya. Integrasi sendiri menurut Kuntowijoyo dalam bukunya
Budaya dan Masyarakat, adalah masalah sosial yang tidak pernah selesai, selalu
menghadapi kekuatan disintegrasi. Adanya konflik kepentingan ini menurut
Kuntowijoyo adalah sebuah hal yang alamiah, dimana integrasi tersebut memiliki
makna yang berbeda dalam persfektif setiap kelompok budaya, ketika sebuah
kelompok berhasil menancapkan persfektifnya terhadap integrasi yang terbentuk,
maka Ia mempunyai kecenderungan untuk mempertahankannya, diluar itu kelompok
dengan persfektif atau makna lain sebaliknya menginginkan disintegrasi, merasa
kepentingannya tidak terakomodir.
Dominasi
dan subordinasi adalah hal yang memang telah berlaku lama di Indonesia, terutama
dengan positivistiknya Orde Baru yang menganggap satu kebijakan akan berlaku
mutlak bagi semua lapisan bangsa. Hampir, hal ini terulang ketika pada isu
pornografi dan pornoaksi belakangan dimana kelompok mayoritas menginginkan
terbentuknya UU Anti Pornogafi dan Pornoaksi, yang mana akan mengancam
kelangsungan banyak budaya, misalnya kaum adat di Papua yang masih
mempertahankan koteka.
Dalam
hal ini ada baiknya kita mengacu pada gagasan Drs. S Sumarsono dkk yang
terangkum dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan (2001). Drs. S Sumarsono dkk
memandang bahwa solusi untuk mengatasi persoalan integrasi yang melibatkan
kompleksnya golongan budaya di Indonesia
membutuhkan persamaan persepsi diantara segenap masyarakat mengenai adanya
keragamanan tersebut, dan harus dimunculkan semangat untuk membina kehidupan
bersama secara harmonis.
Kesamaan
persepsi tersebut dalam pandangan penulis adalah sebuah solusi yang tepat,
namun sungguh sulit untuk dicapai, karena hal ini melibatkan pertarungan ego
yang sungguh rumit. Ketika kita mengatakan ‘kesamaan persepsi’ maka sebenarnya
kita telah melakukan suatu proses yang begitu ‘hebat’ dan melelahkan-
meruntuhkan bangunan ego yang berangkat dari sukuisme yang mengakar.
Konsep
tersebut, sesungguhnya sudah bisa terjamin dengan adanya sistem parlementer di Indonesia,
dimana sistem keterwakilan rakyat di DPR dan MPR adalah buah dari sistem
demokrasi yang sejatinya membawa aspirasi rakyat untuk ikut menentukan
nasib negara. Namun, pada prakteknya hal ini belum terlaksana, karena adanya
benturan ego dan kepentingan yang kompleks juga, terutama aspek politik dan
ekonomi yang cenderung mengalahkan aspek sosio budaya, hal ini dibuktikan
dengan tidak adanya UU sebagai produk dari parlemen yang membahas atau mengatur
secara khusus tentang kelangsungan budaya bangsa yang beragam.
Solusi
kedua, seperti yang disinggung diatas adalah membuat regulasi atau UU khusus
kebudayaan nasional. Tidak adanya regulasi atau UU kebudayaan selama ini,
disinyalir oleh banyak kalangan sebagai salah satu penyebab banyaknya terjadi
konflik dimasyarakat yang dilandasi oleh kesalahan tafsir antar kelompok
berbeda budaya. Adapun semangat inti, dari regulasi yang menyangkut budaya
bangsa itu tentu bukan untuk meleburkan semua budaya menjadi satu (monokulturalisme),
tapi lebih kepada arahan tentang pengakuan dan pentingnya pemahaman masyarakat
akan aneka ragam budaya, hingga terbentuknya kesadaran pluralisme di
masyarakat.
Solusi
lainnya, adalah mengubah bentuk negara dari kesatuan ke federal seperti Amerika
dengan adanya negara bagian, dimana setiap wilayah budaya dalam kelompok besar
memiliki otonomi yang khusus, hal ini berbeda dengan kondisi sekarang yang juga
dengan konsep otonomi namun selalu berbenturan dalam prakteknya, karena posisi
pusat masih menjadi sentral yang positivistik. Perubahan sistem negara ini,
jika melihat pada kesiapan bangsa kita tentu bukan solusi yang harus
dikedepankan, karena nantinya akan cenderung menciptakan disintegrasi yang
subur. Amerika Serikat membutuhkan periode sejarah yang panjang untuk menjadi
negara yang kuat walaupun terbagi kedalam negara bagian, dan kita tidak punya
banyak waktu untuk mengalami periode sejarah yang akan berlangsung dengan
konflik yang beragam lagi, yang kita butuhkan adalah maju setahap demi setahap dengan
optimisme ditengah arus globalisasi yang mengancam dengan muatan
kapitalismenya.
Adanya
regulasi (UU) yang mengatur kehidupan antar budaya adalah salah satu solusi
yang penulis nilai paling tepat untuk mengatasi persoalan integrasi nasional,
dalam hal ini memberikan pemahaman atas budaya nasional yang harus dimaknai
sebagai pemahanan akan pluralitas atau keragaman. Pada intinya budaya nasional
mengandung semangat bhineka tunggal ika, walaupun berbeda namun satu jua, yang
merupakan cerminan dari prinsip muktikulturalisme.
Pada
dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan dari berbagai
kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam
masyarakat modern (Wikipedia). Hal ini berbeda dengan monokulturalisme yang
lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung homogen, bukan
persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas. Sila kedua
Pacasila, ”Persatuan Indonesia”,
adalah jawaban sebenarnya atas persoalan ’pelik’ mengenai kebudayaan Indonesia.
HUBUNGAN ANTROPOLOGI DENGAN ILMU LAINNYA
Diposkan oleh kulingetik Senin, 12
April 2010
1. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Politik
Antropologi menyumbang pengertian dan
teori tentang kedudukan serta peranan-peranan dan satuan-satuan sosial budaya
yang lebih kecil dan sederhana.
Hasil penyelidikan antropologi yang
menyangkut aspek cultural termasuk dalam gagasan dan lembaga politik yang dapat
menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan politik.
2. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Etika
Etika memberikan dasar moral kepada
antropologi mana yangtidak boleh dikerjakan.
Karena untuk penelitian antropologi
sering para peneliti tidak mengutamakan etika sehingga dapat kaedah-kaedah yang
diatur pemerintah.
Dengan adanya ilmu etika diharapkan
penelitian atua praktek antropologi dapat memperhatikan dan mengindahkan
peraturan-peraturan yang berlaku.
3. Ilmu
Antropologi dengan Sejarah
Sejarah menyumbang bahan yang berupa
fakta dan data masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pola ulang dalam
menentukan proyeksi masa depan.
Sejarha dan antropologi merupakan
satu kesatuan yang mana antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan
kebudayaan. Sedangkan sejarah sudah termasuk di dalamnya.
4. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Filsafat
Filsafat merupakan usaha untuk secara
rasional dalam mencari pemecahan atau jawaban atas pertanyaan yang menyangkut
mengenai kehidupan manusia.
Untuk menunjang antropologi, filsafat
juga dibutuhkan sebagia pandangan hidup bagi kehidupan bermasyarakat.
5. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Psikologi
Psikologi mempelajari dan menyelidi
pengalaman dan tingkah laku individu manusia yang dipengaruhi oleh
situasi-situasi sosial.
Sebagaimana yang diketahui
antropologi mempelajari tentang manusia dan psikologi menyelidiki pengalaman
dan tingkah laku manusia. Adanya hubungan yaitu dengan menggunakan analisa
psikologi, maka ilmu antropologi dapat menganalisa secar amendalam apa saja
yang terjadi di masa lalu.
6. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Hukum
Hubungan antara ilmu antropologi
dengan ilmu hukum terletak di dalam peranan hukum sebagai pembentuk
peraturan-peraturan dalam mengkaji antropologi agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
7. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi membantu ilmu antropologi
dalam mempelajari susunan kemasyarakatan, latar belakang, serta kebudayaan
manusia dan pola kehidupan manusia. Sehingga dengan adanya sosiologi dapat
mempermudah sarjana dalam mengkaji ilmu antropologi.
8. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu antropologi dengan ilmu ekonomi
saling berkaitan dan saling mempengaruhi.
Kekuasaan ekonomi bersifat universal dalam membentuk
wujud yang bermacam-macam, karena perubahan dalam hidup masyarakat lebih cepat
dirasakan oleh manusia itu sendiri. Sedangkan antropologi yang mempelajari
manusia dimana manusia itu sendiri tidak dapat lepas dari pengaruh ekonomi.