Sabtu, 19 Juni 2021

makalah ulumul hadits

 

KATA PENGANTAR

 

 

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat  menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah UMMUL HADITS yang berjudul “Ulumul Hadits“ .

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik  dan saran demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah UMMUL HADITS.

            Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .

 

 

Parigi, Juni 2021

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I   PENDAHULUAN.................................................................................... 1

1.1. Latar belakang.................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 1

1.3. Tujuan................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

2.1.Hadits Mutawatir................................................................................ 3

2.2.Hadits Mashur..................................................................................... 8

2.3.Hadits Aziz.......................................................................................... 10

2.4.Hadits Ahad........................................................................................ 11

2.5. Hadits Shahih..................................................................................... 13

2.6. Hadits Dha’if...................................................................................... 17

2.7. Inkarusunnah di Indonesia................................................................. 21

BAB III PENUTUP................................................................................................ 22

3.1.Kesimpulan.......................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 23

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.       Latar belakang

Mempelajari sejarah perkembangan hadits baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya amat diperlukan karena dipandang satu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan. Sungguh gelap jalan yang dilalui oleh mereka yang mempelajari hadits tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.

Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum di bukukan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan untuk menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.

 

1.2.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yakni antara lain :

a.         Bagaimana penjelasan dari Hadits Mutawatir ?

b.        Bagaimana penjelasan dari Hadits Mashur?

c.         Bagaimana penjelasan dari Hadits Aziz?

d.        Bagaimana penjelasan dari Hadits Ahad?

e.         Bagaimana penjelasan dari Hadits Shahih?

f.         Bagaimana penjelasan dari Hadits Dha’if.?

g.        Bagaimana penjelasan dari Inkarusunnah di Indonesia?

 

1.3.       Tujuan

a.       Untuk mengetahui Hadits Mutawatir

b.      Untuk mengetahui Hadits Mashur

c.       Untuk mengetahui Hadits Aziz

d.      Untuk mengetahui Hadits Ahad

e.       Untuk mengetahui Hadits Shahih

f.       Untuk mengetahui Hadits Dha’if.

g.      Untuk mengetahui Inkarusunnah di Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1.       Hadits Mutawatir

Salah satu sumber rujukan penetapan hukum Islam adalah hadits. Selain Alquran, hadits berperan menjabarkan ajaran-ajaran Islam, disamping menjelaskan maksud Alquran yang masih samar. Tidak semua hadits dapat menjadi pedoman dalam menentukan kebijakan hukum. Hanya hadits-hadits tertentu yang bisa dijadikan sandaran. Dari sekian banyak nama dan jenis hadits, hadits mutawatir lah yang menjadi sumber terkuat setelah Alquran. Karena banyak diriwayatkan oleh para sahabat.

A.         Pengertian Hadits Mutawatir

Mutawatir berasal dari bahasa arab tawatara "تَوَاتَرَ" yang berarti berturut-turut, atau sesuatu yang datang secara beriringan tanpa disela antara satu dengan lainnya. Sedang menurut istilah, Hadits Mutawatir ialah:

اَلْحَدِ يْثُ اْ لمُتَوَاتِرُاهُوَاْلحَدِيْثُ عَنْ مَحْسُوْسٍ ا لذِّيْرَوَاهُ عَدَدٌجَمٌّ فِيْ اْلعَادَةِاحَالَةٌاجْتِمَاعِهِمْ وَ تَوَاطٌئِهِمْ عَلَى اْلكَذِبْ

Artinya:’’Hadits mutawatir adalah hadits tentang sesuatu yang mahsus(yang dapat ditangkap oleh panca indra),yang di sampaikan oleh sejumlah besar rawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta.’’

Muhammad ‘Alawy ‎dalam kitab Al-Minhal al-Lathif fi Ushulil Hadits asy-Syarif menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu:

ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك ‏في جميع الطبقات ان تعددت.‏

Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan ‎sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk ‎berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra.‎

Sedangkan menurut imam Taqyuddin Abu Amr Utsman bin Abdirrahman asy-Syahrazury yang lebih di kenal  dengan Ibn ash-Shalah,Hadits Mutawatir yaitu:

مَارَوَاهُ جَمْعٌ تَحِيْلُ ا لعَادَةُ تَوَاطُئَهُمْ عَلَى اْكِذْبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أوَّ لِ لِسَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَاهُ عَلَى أَنْ لاَ يَخْتَلُ هذَا الْجَمْعُ فِيْ أَ يَّ طَبَقَةٍ مِنْ ضَبَقَا تٍ السَّنَدِ

Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari jumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya.

Jenis  ini bersifat qath’i al-tsubut (absah secara mutlak) dan disejajarkan dengan wahyu yang wajib di amalkan dan dinilai kafir orang yang mengingkarinya. Hadits mutawatir merupakan tingkat riwayat tertinggi.

Sedangkan menurut Dr. Nuruddin ‘Itr pengertian hadits mutawatir adalah sebagai berikut:

ا لحَدِيْثُ المُتَوَاتِرُ هُوَالَّذِى رَ وَاهُ جَمْعُ كَثِيْرٌ يُؤْمَنُ تَوَا طُؤُهُمْ عَلَى الكِذْبِ عَنْ مِثْلَهُمْ اِ لَى انْتِهَا السَّنَدِ وَكَا نَ مُسْتَنَدٌ هُمْ الحِسَّ

Kata-kata jam’a katsir (sejumlah banyak rawi) artinya jumlah itu tidak di batasi dengan jumlah bilangan, melainkan dibatasi dengan jumlah yang rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Demikian pula, mustahil mereka berdusta atau lupa secara serentak.

Jadi, Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir sanad dan cara penyandarannya melalui panca indra. jumlah minimal periwatannya adalah 10 orang.

B.     Syarat – Syarat Hadits Mutawatir

Berdasarkan definisi tersebut, sebuah hadits dapat disebut hadits mutawatir jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:

1. Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi yakni adanya konsistensi jumlah perawi pada setiap thabaqat, artinya jika salah satu dari tingkatan sanad tersebut ada yang tidak mencapai jumlah minimal yang telah disepakati, maka sanad tersebut tidak dikategorikan sebagai sanad yang mutawatir, tetapi disebut sebagai sanad yang ahad.

2. Menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan suatu perkumpulan untuk berdusta, atau dipaksa oleh penguasa untuk berdusta karena rawi-rawi itu orang banyak yang berbeda-beda dari berbagai kalangan dan profesi.

3. Rawi banyak yang meriwayatkan dari rawi yang banyak pula, mulai dari permulaan sampai pada akhir sanadnya.

4. Sandaran akhir (hadits yang diriwayat) dari rawi-rawi itu  harus berdasarkan sesuatu yang indrawi (diterima mulai dari indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).

Dan jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka sudah tentu akan diperoleh pengetahuan akan adanya kepastian kebenaran hadits tersebut.

Mengenai jumlah banyaknya jalur perawi, para ulama’ bebrbeda pendapat, ada yang berpendapat sekurang-kurangnya empat sanad, bahkan ada yang mengatakan dua puluh sanad, bahkan ada yang mengatakan empat puluh sanad, tetapi yang paling ideal, sekurang-kurangnya hadits itu diriwayatkan oleh sepuluh sanad.

Mengingat begitu sulitnya terpenuhi syarat kemutawatiran suatu hadits, maka tidak banyak periwayatan hadits mutawatir, oleh karena begitu ketatnya persyaratan hadits mutawatir tersebut, maka hukum hadits mutawatir adalah maqbul (dapat diterima dan diamalkan). 

Hadits mutawatir merupakan suatu ilmu dharuri yaitu ilmu yang tidak membutuhkan suatu observasi karena sudah jelas dan didukung oleh keyakinan yang kuat. Orang yang mengingkari hadits mutawatir dihukumi kafir.

C.     Macam-Macam Hadits Mutawatir

Hadits Mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu:

1.      Mutawatir lafdzi

Yaitu mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan menggunakan lafadz satu atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda tapi satu pengertian, yaitu tetap dalam satu konteks masalah itu, yakni hadits yang sama lafadz, hukum, dan maknanya. Seperti contoh hadits:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمد فليتبوأ مقعده من النار

Barang siapa yang berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka hendakalah dia menempati tempat duduknya di neraka. (H.R. Bukhari)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh segolongan banyak sahabat. Menurut sebagian ulama' hadits, hadits tersebut diriwayatkan dari Nab Saw oleh enam pulu dua sahabat, dan diantara mereka terdapat sepuluh orang sahabat yang sudah diakui oleh Nabi Saw masuk surga. Hadits tersebut terdapat pada sepuluh kitab, yaitu Al-Bukhari, Muslim, ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, ath-Thabrani, dan al-Hakim, Menurut Ibnu Al-Shalah, bahwa hadits mutawatir lafdzi itu langka.

2.      Mutawatir Maknawi

Yaitu hadits yang mutawatir dalam kejadian yang berbeda-beda, tetapi ada suatu kesamaan yang ditujukan oleh hadits itu, baik dari segi isi maupun makna yang tersirat, yakni hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, akan teapi dapat diambil maknanya. Diantara contoh-contoh hadits mutawatir maknawi ialah seperti hadits yang menerangkan danau Nabi Saw di akhirat. Hadits yang menerangkan hal ini diriwayatkan oleh lebih dari lima puluh sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Ba'tsu wa Al-Nusyur. Bahkan Imam Al-Dhiya' Al-Maqdiri telah menghimpun hadits-hadits tersebut dalam kitab Al-Jam'u. Diantaranya lagi ialah hadits-hadits yang menerangkan syafa'at. Menurut Al-Qhadi'Iyadh, bahwa kuantitas rawi dari hadits-hadits tentang syafa'at ini mencapai tingkat mutawatir, sebagaimana hadits-hadits yang menjelaskan tentang mengusap sepatu. Menurut Ibnu Abdi Al-Bar, hadits tentang hal ini tingkat mutawatir

Diantara contoh hadits mutawatir lainnya ialah

مارفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض في شيء من دعا ئه إلا في الإستسقاء

Rasulullah Saw. Tidak menganangkat kedua tangan ketika dalam berdo’anya selain dalam shalat istisqa’ (shalat minta hujan), dan beliau mengangkat kedua tangannya sehingga tampak putih kedua ketiaknya.

seperti hadits diatas. Hadits tentang hal ini dari Nabi kurang lebih dari seratus hadits. Dimana masing-masing dalam hadits itu tersirat makna Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a.

Imam Al-suyhuti mengatakan, bahwa hadits-hadits ini telah dihimpunnya dalam satu juz namun dalam pembahasan yang berbeda-beda, setiap masalah secara kuantitatif tidak mencapai tingkat mutawatir, namun dari makna yang tersirat dalam dalam hadits-hadits tersebut (Nabi Saw mengangkat kedua tangannya sewaktu berdo'a) ditinjau dari sisi terhimpunnya hadits-hadits, hal itu dapat mencapai tingkat mutawatir maknawi.

Hadits yang semakna dengan hadits diatas antara lain hadits-hadits Yang ditakhrij oleh imam Ahmad, al-Hakim, dan Abu Daud yang berbunyi:

كان يرفع  يديه حذو منكبيه.

Rasulullah Saw mengangkat kedua tangan sejajar kedua dengan kedua pundaknya.

3.      Mutawatir Amali

Yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan Rasulullah Saw, kemudian di ikuti para shahabat, lalu para tabi’in, dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang ini. Contohnya adalah jumlah rakaat dan waktu shalat fardhu. Walaupun periwayatan verbalnya tidak mencapai mutawatir tetapi secara amali telah menjadi ijma’ al-Ummah. dari hadits mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh melalui kesaksian langsung dengan panca indra, oleh karena itu ia berfaidah sebagai ilmu dharuri (pengetahuan yang mesti diterima), sehingga membawa keyakinan yang qath’i. oleh karena itu petunjuk yang diperoleh dari hadits mutawatir wajib diamalkan.

2.2.        Hadits Mashur

A.    Definisi Hadits Mashur

Menurut bahasa, istilah masyhur tentu sudah sering terdengar di telinga kita, yang berarti adalah terkenal atau populer.

Adapun menurut istilah sebagaimana dalam kitab minhatul mughits, hadits mashur adalah :

 

الْحَدِيْثُ الْمَشْهُوْرُ هُوَ مَا رَوَاهُ ثَلَاثَةٌ فَاَكْثَرَ وَلَوْ فِيْ طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتِرِ

 

"Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih meskipun di dalam satu thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai derajat mutawatir".

B.     Macam – Macam Hadits Mashur

1.      Masyhur Mutlaq

Hadits Masyhur Mutlaq adalah hadits yang sudah terkenal di kalangan ulama' ahli hadits dan orang-orang umum. Mengenai contohnya, tentu sangat banyak sekali, salah satunya adalah hadits berikut :

اِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya sempurnanya amal tergantung pada niatnya".

 

Hadits mengenai niat di atas adalah hadits yang jelas diketahui oleh ulama' ahli hadits, tak hanya itu, bahkan orang-orang awam seperti kita pun sering mendengar hadits niat tersebut dari berbagai forum pengajian.

Artinya hadits niat itu secara mutlaq dikenal luas, tak hanya oleh ulama' hadits saja, tetapi juga orang-orang secara umum. Demikian, hadits niat tersebut termasuk golongan Hadits Masyhur Mutlaq jika dilihat dari segi jumlah rawinya.

2.      Masyhur Muqayyad

Muqayyad berasal dari kata qayyada "قَيَّدَ" yang berarti mengikat atau menguatkan, muqayyad berarti sesuatu yang diikat.

Sedangkan Hadits Masyhur Muqayyad berarti hadits yang terkenal di kalangan ulama' ahli hadits saja. Adapun contohnya pun sangatlah banyak, salah satunya adalah hadits yang menerangkan tentang masalah qunut yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik ra berikut ini :

اَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوْعِ يَدْعُوْ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ

"Sesungguhnya Rosulullah SAW melakukan qunut sebulan setelah ruku' (bukan qunut sholat subuh) untuk mendoakan keluarga Ri'lin dan keluarga Dzakwan".


Hadits tentang qunut di atas adalah hadits yang jarang dikenal oleh masyarakat umum, namun hadits tersebut tetap dikenal di antara ulama' hadits, bahkan menjadi perselisihan pendapat oleh beberapa ulama' ahli fiqih mengenai pelaksanan qunut sholat subuh, ada mengatakan sunnah melakukan qunut dan ada pula yang mengatakan tidak perlu qunut.

 

2.3.            Hadits Aziz

A.    Definisi Hadits Aziz

Mahmud Thahan menjelaskan dalam Taisir Musthalah Hadis, bahwa hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan tidak kurang dari dua orang pada tiap tingkatan perawinya.

Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat mubasyabah dari kata kerja azza ya’izzu yang berarti qalla dan nadzara yaitu sedikit dan jarang, atau azza ya’azzu berarti qawiya dan isytadda artinya kuat. Dinamakan hadis aziz karena jarangnya yang meriwayatkan atau kuatnya riwayat dari segi sanadnya.

Misalnya pada tingkatan sahabat hanya terdapat dua perawi, atau pada tingkatan tabiin-nya, meskipun pada tingkatan perawi setelah tabiin terdapat banyak yang meriwayatkan hadis tersebut, hadis itu tetap disebut hadis aziz.         

B.     Contoh Hadits Aziz

Contoh hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang hadis berikut

أن الرسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لايؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

Sesunguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah kalian beriman sampai aku menjadi yang paling ia cintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan semua manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yaitu Anas dan Abu Hurairah. Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib meriwayatkan dari Anas. Dari jalur Qatadah terdapat Syu’bah dan Sa’id meriwayatkan darinya. Sedang dari jalur Abdul Aziz bin Shuhaib terdapat Ismail bin ‘Ulaiyyah dan Abdul Warits. Hingga tingkat tabi’u tabi’in, hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh dua-dua perawi,  Kemudian setelahnya terdapat banyak perawi yang meriwayatkan. Hadis ini disebut hadis ‘aziz.

2.4.            Hadits Ahad

A.      Definisi

Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.

ما لا يجتمع فيه شروط التواتر

“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.”

Adapun yang dimaksud hadis ahad menurut istilah banyak ulama, antara lain sebagai berikut:

ما لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا و اثنين او ثلاثا او اربعة او خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر

“Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlahhadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yangtidak memberi pengertian bahwa hadis itu denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.”

Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadismutawatir, atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber- nya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhannidan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, teapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.

Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqi, hadis ahad didefinisikan sebagai “khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah. Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad, syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. adapun Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.

Golongan qadariyah, rafidah, dan sebagian ahlu zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, Al-Juba’i dari golongan Mu’tazillah menetapkan tidak wajib beramal, kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara, ulama yang lain mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula.

Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayyim mengatakan, “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Alquran. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran.Kedua, menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.” Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Alquran, as-sunnah, dan ijma’.

B.            Macam – Macam Hadits Ahad

Hadis ahad terbagi tiga yaitu :

1.      Hadis Ahad Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis masyhur disebut juga hadis mustafidh walaupun terdapat perbedaan, yaitu hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, mulai dari tabaqat pertama hinggah thabaqat akhir. sedangkan hadis masyhur jumlah rawinya untuk tiap thabaqat tidak harus tiga orang, bahkan sebuah hadis yang diriwayatkan seorang rawi pada awalnya tetapi pada thabaqat selanjutnya diriwayatkan banyak orang, juga termasuk hadis masyhur. Hadis masyhur ada yang shahih dan ada yang dhaif karena ke-shahihan sebuah hadis masyhur tidaklah identik dengan ke-masyhuran-nya tetapi ke-shahih-an hadis ditentukan oleh rawi, sanad dan matannya.

2.      Hadis Ahad ‘Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan dua orang pada setiap thabaqat rawinya, atau hadis yang diriwayatkan oleh kurang dari dua orang dari dua orang perawi pertama. Bahkan menurut Ibn Hibban bahwa jika sebuah hadis terdapat di dalamnya dua orang rawi pada salah satu thabaqatnya maka hadis tersebut juga dinamakan hadis ‘aziz, dengan alasan bahwa tidak satupun hadis yang diriwayatkan oleh dua orang. Dua orang pada setiap thabaqatnya.

3.      Hadis Ahad Gharib, yaitu hadis yang terdapat di antara mata rantai perawinya satu orang (penyendirian). Hadis gharib terbagi dua yaitu :

a.       Hadis Gharib Mutlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian sanad menurut jumlah personilnya.

b.      Hadis Gharib Nusbi, yaitu hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat, tempat tinggal, atau golongan tertentu misalnya antara ayah dan anak.

Hadis ahad dari segi kualitasnya juga dibagi tiga bagian yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dha’if.

2.5. Hadits Shahih                      

A. Definisi Hadits Shahih

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Qur'an.

B. Syarat-Syarat Hadits Shahih

Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

    Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’. Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.

    Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.

    Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)

    Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

C. Klasifikasi Hadits Shahih

    Hadits Shahih li-dzatih yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat diatas.
   Contoh:
    Rasulullah SAW bersabda, "Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan berhajji."
    Hadits Shahih li-ghairih yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
   Contoh:
    Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat (HR Bukhari Muslim)
    Hadits ini bila kita riwayatkan dari Bukhari dan Muslim, menjadi hadits yang shahih dengan sendirinya. Karena keduanya meriwayatkan dari jalan Al-A'raj bin Hurmuz (117 H) dari Abi Hurairah ra. Isnad ini dengan jelas menetapkan keshahihan hadits.

    Namun bila kita lihat lewat jalur periwayatan At-Tirmizy, maka hadits ini statusnya menjadi shahih li ghairihi (menjadi shahih karena ada hadits lainnya yang shahih). Berbeda dengan Bukhari dan Muslim, At-Tirmizy meriwayatkan hadits ini lewat jalur Muhammad bin Amir yang kurang kuat ingatannya. Lalu lewat jalur Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Maka segala riwayatnya dianggap hasan saja. Namun karena ada riwayat yang shahih dari jalur lain, maka jadilah hadits ini shahih li ghairihi.

D. Kedudukan Hadits Shahih

Sebenarnya di dalam sebuah hadits yang berstatus shahih, masih ada level atau martabat lagi. Ada yang tinggi nilai keshahihannya, ada yang menengah dan ada yang agak rendah.

Semuanya disebabkan oleh nilai kedhabitan (kekuatan ingatan) dan keadilan perawinya. Ada sebagian perawi yang punya kekuatan ingatan yang melebihi perawi lainnya. Demikian juga dari sisi 'adalah-nya, masing-masing punya nilai sendiri-sendiri.

Kalau kita susun berdasarkan kriteria itu, maka kita bisa membuat daftar berdasarkan dari yang nilai keshahihannya paling tinggi ke yang paling rendah.
   Ashahhu’l-asanid

    Hadits yang bersanad ashahhu’l-asanid, predikat ini seringkali juga dikatakan dengan istilah silsilatuz-zahab. Diantara yang mencapai level tertinggi adalah:

        Az-Zuhri (Ibnu Syihab Al-Quraisi Al-Madani, seorang tabi'i yang jalil) dari Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar ra).
        Muhammad bin Sirin dari Abidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib ra.
        Ibrahim an-Nakha'i dari 'Alqamah dari Ibnu Mas'ud ra.

Al-Bukhari mengatakan bahwa ashahhul asanid adalah sanad dari Nafi' dari Ibnu Umar ra. Sedangkan Abu Bakar bin Abi Syaibah mengatakan bahwa Ashahhul asanid adalah sanad Az-Zuhri dari Ali bin Al-Nusain dari ayahnya (Al-Husain bin Ali).

  Muttafaq-‘alaihi

 Yaitu hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya oleh kedua imam hadits, Bukhary dan Muslim. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga oleh Muslim dengan riwayat yang satu dan mereka berdua sepakat menshahihkannya. Diantara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits yang berstatus muttafaq alaihi ini adalah 'Umdatul Ahkam karya Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600H).

  Infrada bihi’l Bukhary

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri, sedang Imam Muslim tidak meriwayatkan.

   Infrada bihi’l Muslim

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhary tidak meriwayatkan.

   Shahihun ‘ala syartha’i’l-Bukhary wa Muslim

    Hadits Shahih yang tidak secara langsung dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, melainkan hadits itu telah memenuhi kriteria atau syarat-syarat Bukhari-Muslim. Hadits dengan status seperti ini disebut dengan istilah Shahihun ‘ala syartha’i’l-Bukhary wa Muslim. Meski keduanya tidak meriwayatkan. Syarat-syaratnya yaitu rawi-rawi hadits yang dikemukakan terdapat dalam kedua kitab shahih Bukhary atau Shahih Muslim.

    Dikatakan demikian karena ada hadits tertentu yang tidak terdapat di dalam kitab shahih Bukhari atau kitab Shahih Muslim, namun memiliki perawi yang terdapat di dalam kedua kitab itu. Karena perawinya diterima oleh Bukhari dan Muslim, maka meski hadits itu tidak tercantum di dalam kedua kitab shahih, derajatnya dikatakan sebagai shahih juga, namun dengan tambahan kata 'ala syarti albukari wa muslim.

   Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Bukhary

    Hadits Shahih yang menurut syarat Bukhary sedang beliau tidak meriwayatkannya.

    Shahihun ‘ala syarthi’i’l-Muslim

    Hadits Shahih yang menurut syarat Muslim sedang beliau tidak meriwayatkannya. Hadits Shahih lainnya Yaitu yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim.

2.6.    Hadits Dha’if.

A. Definisi Hadits Dha’if

Menurut bahasa dha’if berarti ‘ajiz yaitu lemah, sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat. Jadi secara bahasa, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Adapun menurut isitlah, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan. Para ulama yang lain mendefinisikan hadits dha’if itu ialah suatu hadits yang terputus sanadnya, atau diantara perawinya ada yang cacat”. Ibnu shalah juga mendefiniskan hadits dhaif yaitu:

مَالَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الحَسَنِ

 

Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”

Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan lawan dari hadits maqbul.

B. Macam – Macam Hadits Dha’if    

Hadits dhaif dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1.             Hadits Maqlub, yang sanad atau matannya berubah karena ada lafal yang mestinya diakhirkan namun didahulukan, atau sebaliknya.

2.             Hadits Mudraf yaitu hadits yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan.

3.             Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang terdapat perubahan ucapan – ucapan huruf di dalam matan atau di dalam sanadnya.

C. Kriteria Hadits Dha’if   

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:

اَلْحَدِيْثُ الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَا تُ الْحَدِ يْثِ الصَحِيْحِ وَلاَ صَفَا تِ الْحَدِ يْثِ

Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.

Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.

D.Status

Mayoritas ulama hadis dan ulama fiqh menggunakan hadits dhaif, selain dalam masalah akidah dan penetapan hukum halal dan haram. Tapi, sebagian ulama hadis juga ada menggunakan hadis dhaif dalam menetapkan hukum, jika tidak ada lagi hadis sahih atau hasan. Namun begitu, hadits itu tidak sangat lemah, dan hadis dhaif itu mendapat dukungan dari dalil umum, dan juga tidak diyakini pernyataan hadits itu suatu yang pasti dari Rasulullah SAW (Abu Zakaria al-Nawawi: al-Azkar:1/5).

Penggunaan ulama hadis dan fiqh akan hadis dhaif itu bisa dilihat dalam sikap mereka menerima hadis mursal, yaitu hadis dari riwayat tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) tanpa menyebutkan sahabat. Dan menurut mereka penggunaan hadis dhaif itu lebih utama daripada menggunakan pendapat akal semata. Bahkan, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, sikap ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Ilam al-Muwaqqiin:1/31).

Misalnya, Imam Abu Hanifah memakai hadits dhaif yang menyatakan mahar itu tidak boleh kurang dari 10 dirham. Imam malik memakai hadits dhaif dengan sanad Abdullah bin Azam pada larangan memegang Alquran tanpa bersuci. Imam al-Syafii memakai hadits dhaif kebolehan salat di Makkah pada waktu terlarang. Imam Ahmad bin Hanbal memakai hadits dhaif yang menyatakan tiada salat bagi jiran masjid kecuali di masjid. Bahkan, para ulama juga sepakat menerima hadits dhaif, apabila hadis itu diterima oleh mayoritas umat Islam. Diantaranya, umat Islam sepakat menerima hadis dhaif yang menyatakan tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.            Perlu diketahui, pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal bahwa hadis dhaif lebih utama dari pendapat akal itu adalah hadis dhaif menurut penilaian ulama hadis. Bukan seperti dugaan Imam Ibnu Taimiyah bahwa hadits dhaif menurut Imam Ahmad itu adalah hadits hasan (Ibnu Taimiyah:Majmu al-Fatawa:1/251). Pernyataan Imam Ibnu Taimiyah ini tidak bisa diterima, karena 853 hadis dhaif yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad itu bukan hadis hasan. Berdoa Setelah Salat Menanggapi masalah ini, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis hasan, menyatakan doa yang didengar Allah SWT itu adalah doa di akhir malam, dan doa setelah selesai salat wajib. (HR. al-Tirmizi).  

Rasulullah SAW juga mengatakan, salat malam itu dua-dua rakaat, baca tasyahhud pada tiap dua rakaat, tenang saat berdoa, dan angkat tanganmu (HR. Abu Dawud). Perintah mengangkat tangan ketika berdoa itu sebagai dalil bahwa waktu berdoa itu setelah selesai salat. Karena berdoa ketika salat tidak ada mengangkat tangan (Muhammad Hasyim al-Tattawi al-Sindi: al-Tuhfah al-Marghubah).

Namun begitu, Mufti Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan bahwa berdoa dengan mengangkat tangan setelah salat wajib itu adalah bidah dan perkara mungkar (Ibnu Baz: Fatawa Nur Ala al-Darb:2/1079). Begitu juga fatwa Syaikh al-Utsaimin (Majmu Fatawa al-Utsaimin:13/389). Tapi, ulama hadits, Syaikh al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat menanggapi masalah berdoa mengangkat tangan setelah salat wajib, atau imam membaca doa dan jamaah di belakang mengaminkannya. Ada ulama yang melarang, dan ada pula yang membolehkannya.

Ulama yang membolehkannya berdalil dengan hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa setelah salam, Rasulullah SAW menghadap kiblat, mengangkat tangan dan berdoa. Hadis Abdullah al-Zubair mengatakan, Rasulullah SAW mengangkat tangannya setelah selesai salat. Hadis Anas bin Malik, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Allah SWT mengabulkan doa hamba-Nya yang mengangkat tangannya berdoa setelah selesai salat. Kemudian, tidak ada larangan mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib, bahkan banyak hadis yang mendukung amalan itu, sekalipun haditsnya dhaif. Maka, mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib itu bukan perkara bidah (Abdul Rahman al-Mubarakfuri: Tuhfah al-Ahwazi: 2/200). Bahkan, ulama fiqh pula berdalil dengan keumuman pernyataan Rasulullah SAW, bahwa tidak berkumpul kaum muslimin, sebagian berdoa, dan yang lain mengaminkan doanya, melainkan Allah SWT mengabulkan doa mereka (HR. al-Hakim).

Perawi hadis ini terdiri dari perawi hadis sahih, kecuali Ibnu Lahiah yang tergolong perawi hadis hasan. Dan perawi dari Ibnu Lahiah dalam hadis ini termasuk orang yang dipercaya, yaitu Abdullah bin Yazid al-Muqri (Ahmad al-Shiddiq al-Ghumari: al-Minah al-Mathlubah). Pernyataan umum dalam hadits ini bisa dijadikan dalil membolehkan imam membaca doa setelah salat wajib dan para jamaah di belakang mengaminkannya. Jadi, tidak bisa secepatnya kita menuduh penggunaan hadis dhaif dan berdoa berjamaah setelah salat wajib itu sebagai bidah terlarang. Karena, tidak mesti setiap masalah itu harus ada dalil khusus dari Alquran atau hadits yang membicarakannya. Tapi, bisa saja menggunakan dalil umum yang tersebut dalam Alquran atau Sunnah Nabi sebagai landasannya. Begitu, diantara usaha ulama fiqh dalam mencari dalil menjawab berbagai persoalan. Kalau tidak begitu, niscaya syariat Islam ini tidak akan sanggup lagi menjawab berbagai masalah baru di era globalisasi ini. Wallahu alam.       

2.7.    Inkarusunnah di Indonesia

Paham inkar al-sunnah merupakan sebuah faham yang bisa merusak akidah seseorang dalam hal meyakini sumber ajaran Islam (al-Qur'an dan al-Sunnah) yang selama ini kita yakini.

Secara literal term inkar sunah bermakna mengingkari atau menolak eksistensi sunah. Namun secara operasional inkar atau pengingkar sunah (munkir al-sunah) yaitu orang-orang yang tidak mengakui al-sunah sebagai sumber hukum dalam Islam, dan menganggap telah cukup dengan al-Qur'an saja.

Penyebab para ingkar sunah menolak sunah sunah adalah karena mereka belum tahu atau tidak tahu. sikap kita menghadapi paham paham ingkar sunah tersebut adalah dengan belajar kepada seorang guru yang tersambung sanadnya.

Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah :

a.       Taufik Sidqi

b.       Ghulam Ahmad Parvez dari India.

c.        Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat

d.       Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia.

e.        Lukman Sa'ad

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1.       Kesimpulan

Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.[Haditst menurut istilah ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al Hadits).

‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits  mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

https://bincangsyariah.com/khazanah/apa-itu-hadis-aziz-ini-pengertian-macam-dan-contohnya/

https://m.gomuslim.co.id/read/belajar_islam/2020/12/12/22712/-p-pengertian-hadits-mutawatir-dan-4-syaratnya-p-.html

 

https://www.pelangiblog.com/2019/04/pengertian-dan-contoh-hadits-masyhur.html?m=1#:~:text=%22Hadits%20Masyhur%20adalah%20hadits%20yang,dan%20belum%20mencapai%20derajat%20mutawatir%22

 

 https://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-hadis-ahad-dan-pembagiannya.html?m=1

 

https://www.inews.id/lifestyle/muslim/macam-macam-hadits

 

 https://www.tongkronganislami.net/hadis-dhaif-pengertian-kriteria-macamnya-beserta-contohnya/

 

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/1759

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...