ANALISIS
NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Judul buku
: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Penulis buku : Hamka
Penerbit buku : PT Bulan Bintang
Tebal buku
: 224 Halaman, 21 cm
Harga buku : Rp.
4.500,-
Tahun terbit :
1876-1992
Cetakan
: 21
Keunggulan buku:
Suatu cerita roman fiksi, yang
digubah sedemikian menarik, dijalin dengan menggunakan bahasa sastera yang
indah. Jalan ceritanya dilatar belakangi dengan peraturan-peraturan adat pusaka
yang kokoh dan kuat, dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum
kerabat dan berninik mamak. Ceritanya menyentuh ke hati. Surat-suratnya sangat
romantis.
Kelemahan buku:
Pada zaman dahulu buku roman ini
ditentang kalangan agama, karena dianggap menyalahi kebiasaan yang umum dan
lazim pada waktu itu. Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya
heninglah serangan dan tantangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa
perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia.
Jenis buku : Roman
Latar belakang pengarang:
Di dalam usia 31 tahun (1938). Masa
darah muda masih cepat mengalir dalam dirinya dan khayal serta sentimennya
masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” “:Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” ini mulai di susunnya.
Identifikasi unsur-unsur intrinsik novel:
Tema.
Suatu kisah cinta yang tak
kesampaian antara dua muda mudi yang berakhir dengan kematian.
Alur.
alur longgar. Karena tokoh yang ada
dalam cerita ini lebih dari 4 orang
Latar/setting.
a.
Waktu
: Mulai Zainudin lahir sampai Zainudin wafat. Kira-kira 30 tahun yang lalu
b.
Tempat
: Kota Mengkasar, Kampung Batipuh, Padang Panjang, Tanah jawa
c.
Suasana
: Sedih, mengharukan
d.
Peristiwa :
Menyedihkan, tragis
Penokohan.
1.
Zainudin
: Sopan santun, iba hati, sabar, baik hatinya, tidak sombong
2.
Hayati
: Cantik, mudah tersentuh hatinya
3. Pandekar
Sutan : Sopan santun, tegar, penyabar,
berani, penyayang
4. Daeng
Habibah : Setia, lemah lembut
5. Mak
Base
: sabar, baik, setia, amanah,
Datuk Mantari
Labih: Serakah, tidak adil
7.
Dt..
: wibawa, bijaksana
8.
Muluk
: Setia, baik, mudah bergaul
9.
Azis
: Gagah, gaul, kaya
10.
Mamak
: peduli
11. Daeng
Manippi : Baik
12.
Khadijah
: Mata duitan, suka menghasut
Identifikasi isi novel:
Paparan/narasi:
Pada
zaman dahulu ada seorang anak bernama Zainudin, dia dari kecil hingga besar
selalu dirundungi kemalangan. Dia anak dari Pandekar Sutan dan Daeng Habibah.
Ibunya
meninggal dunia ketika dia baru berumur 9 bulan. Ayahnya adalah anak buangan.
Dia dibuang dari negerinya yang bersuku, berlembaga serta berninik mamak.
Negerinya itu berkaum kepada kaum perempuan. Malang nasib seorang anak
laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan. Inilah nasib Pandekar Sutan.
Ketika Ibunya meninggal hartanya menjadi milik mamaknya. Hidupnya jadi
terlantar karena mamaknya Datuk Mantari Labih adalah seorang yang serakah dan
tidak adil.
Sinopsis (menceritakan kembali)
Pada
zaman dahulu ada seorang anak bernama Zainudin, dia dari kecil hingga besar
selalu dirundungi kemalangan. Dia anak dari Pandekar Sutan dan Daeng Habibah.
Ibunya
meninggal dunia ketika dia baru berumur 9 bulan. Ayahnya adalah anak buangan.
Dia dibuang dari negerinya yang bersuku, berlembaga serta berninik mamak.
Negerinya itu berkaum kepada kaum perempuan. Malang nasib seorang anak
laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan. Inilah nasib Pandekar Sutan.
Ketika Ibunya meninggal hartanya menjadi milik mamaknya. Hidupnya jadi
terlantar karena mamaknya Datuk Mantari Labih adalah seorang yang serakah dan
tidak adil.
Malang
nasib Zainudin karena dalam negeri ibunya dia dianggap sebagai orang asing dan
didalam negeri ayahnya dia juga dianggap orang asing pula.
Zainudin
penasaran dengan keindahan negeri ayahnya. Ia pun memutuskan untuk pergi
merantau ke negeri ayahnya. Dengan berat hati Mak Base melepaskannya.
Di
sana ia bertemu dengan seorang wanita bernama Hayati. Mereka saling mencintai
dan sering berkirim-kiriman surat. Namun sayangnya di sana orang-orang belum
mengenal dengan percintaan suci. Mereka memandang perbuatan Zainudin dan Hayati
adalah suatu perbuatan yang menyalahi adat. Para kaum hawa yang belum kawin
sangat marah dengan Hayati karena mereka merasa dipermalukan dan direndahkan
derajatnya seakan-akan kampung tak berpenjaga. Terlebih-lebih persukuan Hayati
yang merasa dihinakan. Mamak Hayati Dt.. sangat marah.
Dengan
cara halus Zainudin diusir dari Batipuh. Dia pergi ke Padang Panjang. Di sana
ia tinggal di rumah seorang janda tua ber-anakkan satu. Tak berapa lama dia
tinggal di Padang Panjang dia mendapatkan surat dari Mengkasar yang isinya
memberitahukan bahwa Mak Basenya telah meninggal dunia dan dalam surat itu
terdapat uang sebanyak Rp.3000,- yaitu uang ayahnya untuknya yang disimpankan
oleh Mak Basenya.
Dia
tidak terlalu lama terlarut dalam kesedihan. Dengan uang Rp3000,- ia berani
untuk meminang Hayati. Dia tuliskan surat untuk mamak Hayati Dt.. tetapi tidak
diberitahukannya bahwa dia sudah ber-uang. Sayangnya niat baiknya ditolak oleh
keluarga hayati. Namun dia masih tegar karena di benaknya Hayati masih
mencintainya. Namun pikirannya itu hilang ketika teman Hayati Khadijah
mengirimkan surat kepada Zainudin yang isinya memberitahukan bahwa Hayati telah
bertunangan dengan kakaknya Azis. Hati Zainudin sangat terpukul mendengar hal
itu.
Zainudin
terlihat sangat pucat, mamak pun menanyakan ada apa dengan Zainudin namun tak
mau jujur. Mamak pun menyarankan agar Zainudin bertemu dengan Muluk anaknya,
mungkin dapat menolong masalahnya. Zainudin pun setuju. Zainudin dan Muluk
menjadi teman akrab sehidup semati.
Muluk
banyak memberikan informasi tentang calon suami Hayati yang ternyata
berperangai kurang baik. Zainudin tidak rela jika Hayati disakiti oleh orang
lain. Zainudin memberitahukan Hayati tentang hal ini namun Hayati tidak
memperdulikannya. Ketika hari pernikahan Hayati dengan Azis tiba Zainudin sakit
keras sehingga tak ada kemungkinan lagi untuknya hidup. Namun ternyata 2 bulan
kemudian penyakitnya mulai sembuh. Ternyata Allah masih sayang kepadanya.
Semangat
hidupnya mulai bangkit lagi. Dia menjalani hidupnya yang baru bersama Muluk.
Dia merantau dengan Muluk ke tanah Jawa. Usut punya usut ternyata Hayati dan
suaminya juga berpindah ke Jawa. Kehidupan rumah tangganya mulai kacau ketika
sudah berpindah. Azis sering minta uang kepada Zainudin. Tak berapa lama
kemudian Azis dan Hayati menjadi gelandangan. Mereka dibawa Zainudin tinggal di
rumahnya.
Beberapa
saat kemudian Azis berpamitan untuk pergi jauh mencari pekerjaan dan menitipkan
Hayati kepada Zainudin. Tak berapa lama kemudian terdengar kabar bahwa Azis
tewas karena bunuh diri dan mengirimkan surat kepada Hayati dan Zainudin agar
mereka menikah. Namun karena emosi dan sakit hati Zainudin menolaknya dan
memilih memulangkan Hayati ke kampungnya.
Hayati
pulang menumpangi Kapal Van Der Wijck. Alangkah malangnya nasib Hayati ternyata
kapal yang ditumpanginya tenggelam. Walaupun dia selamat namun tak bertahan
berapa lama dia pun meninggal dunia. Zainudin sangat terpukul dan menyesal atas
keputusannya tadi karena dia sebenarnya masih mencintai Hayati. Tak berapa lama
setelah Hayati wafat Zainudin pun menyusul dan kuburannya berada disamping
kuburan Hayati.
Aspek keislaman dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wjick
Apabila membaca karya-karya Hamka, termasuk dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wjick, aspek-aspek keislaman dan dakwah keislaman
dapat kita rasakan. Dalam novel tersebut, dakwah keislaman itu terasa dari
penokohan yang dilakukan pengarang. Sebagai contoh, ada pernyataan dalam novel
bahwa tokoh Zainuddin, setelah berpisah dengan Hayati, berniat dan bercita-cita
untuk memper dalam ilmu dunia dan akhirat supaya kelak menjadi seorang yang
berguna. Angan-angan Zainuddin adalah menjadi orang alim, sehingga apabila
kembali kekampungnya dapat membawa ilmu. Zainuddin sendiri adalah turunan dari
ayah dan ibu ahli ibadah.
Apa yang dilakukan Hamka dalam penokohan diatas, menurut
saya adalah salah satu cara dakwah yang dilakukanya, suatu upaya untuk
menumbuhkan kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli
ibadah. Dakwah yang dilakukan itu sangat halus. Adapun aspek-aspek religius itu
yakni, Aqidah, Syari’ah, dan akhlak. Adapun yang penjelasan mengenai aspek-aspek
tersebut sebagai berikut:
1. Aqidah
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wjick karya Hamka aqidah atau
kepercayaannya sangat kental dengan budaya islami untuk lebih jelasnya
penulis memaparkan penggalan ceritanya sebagai berikut :
“………….lepaskan saya berangakat kepadang. Kabarnya konon,
disana hari ini telah ada sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan
sebagus-bagusnya apalagi, puncak singgalang dan merapi sangat keras seruannya
kepada ku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku
dilahirkan hadulunya. Mak Base banyak orang memuji daerah Padang, banyak orang
yang bilang agama islam masuk kemaripun dari sanah. Lepaskan saya berangkat
kesana”.(1986:22)
2. Syari’ah
Kata syari’ah adalah bahasa Arab yang diambil dari rumpum
kata syari’ah. Dalam bahasa Indonesia artinya jalan raya. Kemudian bermakna
jalannya hokum, dengan kata lain perundang-undangan. Karena itu pula dengan
perkataan atau istilah “Syari’ah Islam” memberi arti hidup yang harus dilalui
atau perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh seorang yang beragama islam.
Hokum Tuhan itu adalah Syari’ah itu mengandung kebenaran mutlak, artinya tidak
ada kelemahan dan pertentanagan dalam dirinya sendiri.
3. Akhlak
Akhlak islam adalah suatu sikap mental dan perbuatan yang
luhur. Dan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wjickkarya Hamka, penulis menemukan
berbagai akhlak yang sangat mulia terutama dari pemeran utama yakni tokoh
Zainuddin. Kebaikan moral Zainuddin bias kita lihat pada penggalan cerita
berikut ini:
“Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didik ahli
seni, ahli syair, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang
lain”.(1986:27)
Struktur Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka
Analisis karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan
dengan mengakji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik
fiksi yang bersangkutan. Analisis
strukturalnya sebagai berikut:
Tema
Dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka ini tanyang kisah cinta yang taksampai antara
Zainuddin dengan Hayati karena dihalangi oleh tembok besar yang disebut adat.
Tema cinta tak sampai adalah tema pokok dari Roman Tenggelamnya Kapal Van der
wijck. Karena masalah yang menyaran pada tidak sampainya cinta Zainuddin kepada
Hayati. Selain ada tema utama dalam roman Tenggelamnya Kapal Vander Wijch juga
ada tema bawahan atau tema minor yakni kawin paksa antara tokoh Hayati dengan
tokoh Aziz, masalah adat dan lain sebagainya.
Sangat kental dengan budaya Minang yang sangat patuh akan peraturan adat.
Adapula penggalan ceritanya:
“…….apa yang dikerjakannya, padahal
cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu
dicabut, kemana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan
tak nampak, pulau kelihatan. Demikianlah nasib anak muda yang maksudnya tiada
sampai”.(1986:123)
Alur/Plato
Dalam roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan alur maju mundur,
karena menceritakan hal-hal yang sudah lampau atau masa lalu dan kembali lagi
membahas hal yang nyata atau kembali ke cerita baru dan berlanjut. Ada lima
tingkatan alur yakni:
Penyituasian
Tahap
penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar
dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, memberikan
informasi awal dan lain-lain.
Berikut ini merupakan tahap awal dari
roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka yang berkaitan dengan tahap
penyituasian.
“Di tepi pantai, di antara kampong Bara
dan kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Makasar, yang salah satu
jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia
kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut.
Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan
alam di lautan Makasar, rupanya pikiranya telah melayang jauh sekali, ke balik
yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khaya”.(1986: 10)
Konflik
Tahap
pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya. Kejadian dan konflik yang dialami tokoh
Hayati dan Zainuddin dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka
bisa dilihat dari penggalan cerita berikut ini:
“Sesungguhnya persahabatan yang rapat
dan jujur diantara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarkan dalam dudun
kecil itu. Di dusun belumlah orang dapat memendang
kejadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal
percintaan suci yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah
bahwa Hayati, kemenakan Dt……..telah ber “intaian” bermain mata, berkirim-kirim
surat dengan anak orang Makasar itu. Gunjing, bisik dan desus perkataan yang
tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang
lain, jadi pembicaran dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelatar lepau
petang hari.Hingga akhirnya telah menjadi rahasia umum.
Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi, kelak bila
kelihatan Hayati mandi di sana, mereka pun berbisik dan mendaham, sambil
melihat kepadanya dengan sudut mata.Anak-anak muda yang masih belum kawin dalam
kampung sangat naik darah.Bagi mereka adalah perbuatan demikian merendahkan
derajat mereka seakan -akan kampung tak berpenjaga.yang terutama sekali yang
dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Dt…yang
dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu, melangkahi
kepala ninik –mamak”.(1986:57)
Tahap
Peningkatan Konflik
Konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan
kadar intensitasnya. Tahap peningkatan konflik dalam roman Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck karya Hamka terjadi ketika Zainuddin dan Aziz sama-sama
mengirimkan surat kepada orang tua Hayati, dari lamaran kedua pemuda itu,
ternyata lamaran Aziz yang diterima karena orang tua Hayati
mengetahui latar belakang pemuda yang kaya raya itu, sedangkan lamaran Zainuddin ditolak karena orang tua Hayati tidak ingin anaknya bersuamikan orang
miskin. Hal ini bisa terlihat dari penggalan cerita berikut ini:
”Kalam dia tertolak lantaran dia tidak
ber-uang maka ada tersedia uang Rp.3000,- yang dapat dipergunakan untuk
menghadapi gelombang kehidupan sebagai seorang makhluk yang
tawakkal”.(1986:118)
Klimaks
Klimaks sebuah
cerita akan dialami oleh tokoh (tokoh utama) yang berperan sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik utama. Dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Hamka, tahap klimaks terjadi ketika Aziz meminta supaya Zainuddin
menikahi Hayati. Sekalipun dalam hati Zainuddin masih mencintai Hayati,
Zainuddin menolak permintaan Aziz. Bahkan Zainuddin memulamgkan Hayati ke
kampung halamannya dengan menggunakan Kapal Van Der Wijck. Hal ini bisa dilihat
pada pernyataan berikut:
“Bila terjadi akan itu, terus dia
berkata: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam
keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya
, orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !.....Besok hari senin, ada
Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau
boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”.(1986:198)
Penyelesaian
Tahap
penyelasaian dalam novel Tenggelamya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka ketika Zainuddin mendapat kabar bahwa Kapal yang ditumpangi Hayati
tenggelam, sedangkan Hayati dirawat di Rumah Sakit Tuban. Dengan diterima Muluk
sahabatnya Zainuddin menengok wanita yang sangat dicintainya itu. Rupanya
pertemuan mereka itu adalah pertemuan yang terakhir karena Hayati menghembuskan
nafasnya yang terakhir dalam pelukan Zainuddin. Kejadian itu membuat Zainuddin
merasakan penyesalan yang berkepanjangan hingga Zainuddin jatuh sakit dan
meninggal dunia. Zainuddin dimakamkan di sebelah makam Hayati.
Sudut Pandang
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan sudut pandang
orang ketiga tunggal karena menyebutkan dan menceritakan secara langsung
karakter pelakunya secara gamblang. Penggalan cerita pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka sebagai berikut:
“Mula-mula datang, sangatlah gembira
hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenagannya”.(1986:26)
Karakter
Pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka terdapat beberapa karakter
diantaranya:
Karakter utama (mayor karakter,
protagonis) adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai
pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh karakter utama yang ada
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka adalah tokoh Zainuddin, yang memiliki sopan santun dan kebaikan pada
semua orang. Sedangkan yang lainnya yang menjadi tokoh protagonisnya adalah
tokoh Hayati yang menjadi kekasih Zainuddin. Penggalan
cerita yang menunjukkan Zainuddin adalah karakter yang baik adalah:
“Zainuddin seorang yang terdidik lemah
lembut, didikan ahli seni, ahli sya’ir, yang lebih suka mengalah untuk
kepentingan orang lain”.(1986:27)
Karakter pendukung (minor karakter,
antagonis) sosok tokoh antagonis dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya Hamka adalah tokoh Aziz, karena tokoh Aziz di sini mempunyai sikap yang
kasar dan sering menyakiti istrinya, dan tidak mempunyai tanggung jawab dalam
keluarga dan selalu berbuat kejahatan karena sering main judi dan main
perempuan.
“…..ketika akan meninggalakan rumah itu
masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam kesudut hati
Hayati…..sial”. (1986:180)
Sedangkan yang menjadi karakter
pelengkap adalah Muluk dan Mak Base karena keduanya adalah sosok yang bijak dan
selalu berada di samping tokoh utama untuk memberi nasehat dan sangat setia
menemani tokoh utama sampai akhir
cerita.
Gaya Bahasa
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan
kalimat yang sangat kompleks karena menggunakan bahasa melayu yang baku.
Seperti dalam penggalan cerita berikut ini:
“Lepaskan Mak, jangan bermenung juga,”
bagaimana Mamak tidak akan bermenung, bagaimana hati mamak tidak akan
berat………..”. (1986:22)
Amanat
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka mengandung
nilai moral yang tinggi ini terlihat dari para tokoh yang ada seperti
Zainuddin. Hal tersebut bisa kita lihat dari panggilan cerita berikut ini:
“Demikian penghabisan kehidupan orang
besar itu. Seorang di antara Pembina yang menegakkan batu pertama dari
kemuliaan bangsanya; yang hidup didesak dan dilamun oleh cinta. Dan sampai
matipun dalam penuh cinta. Tetapi sungguhpun dia meninggal namun riwayat tanah
air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup
menghilangkan jasanya. Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita
tinggi kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak”. (1986:223)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data tentang novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Struktur novel terdiri dari tema, alur/plot,
setting/latar, sudut pandang, karakter, gaya bahasa, dan amanat, di mana
hubungan antar unsur dalam novel ini menunjukkan
hubungan yang begitu padu sehinggga menghasilkan jalinan cerita yang sangat menarik.
2. Unsur religiusitas novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karya Hamka mengandung aspek aqidah, syari’ah, dan akhlak yang tergambar dalam setiap perilaku tokoh yang dimainkan,
di samping itu pengarang sendiri sebagai seorang agamawan yang begitu kental
memasukkan unsur–unsur agama ke dalam novel ini.