BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu dari kesenian,
bahasa, agama, mata pencaharian. Khususnya dalam kesenian Indonesia memiliki ciri
khas yaitu seni tradisional. Seni tradisional setiap daerah memiliki ciri khas, untuk
cakupan Jawa Barat saja kesenian tradisional sangatlah bermacam-macam.
Seni tradisional khas Bandung, Cirebon, Tasik, Garut, Ciamis dan daerah
lainnya. Kesenian yang dijadikan sebagai objek penelitian di sini adalah kesenian
khas Jawa barat khususnya Kabupaten Ciamis yang merupakan salah satu
kesenian tradisional yaitu Ronggeng
Gunung. Kesenian Ronggeng Gunung merupakan kesenian
tradisional berupa tarian
yang berasal dari
Banjarsari Kabupaten Ciamis.
Berbicara mengenai kesenian tradisional khususnya
Ronggeng Gunung pada saat
ini keberadaanya mulai tergeser oleh kesenian modern. Saat
ini masyarakat pada
umumnya baik dari kalangan muda atau
tua lebih mengenal
dengan kesenian modern dibandingkan dengan kesenian
tradisional, padahal kesenian
tradisional merupakan aset
yang sangat berharga
bagi masyarakat. Berharga di sini adalah dimana kesenian tradisional
merupakan hasil cipta, karsa dan karya masyarakat daerah yang harus dijaga dan
dilestarikan.
B.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui makna nyanyian dan pengiring ronggeng gunung
2.
Untuk
mengetahui makna Gerakan Tari Ronggeng Gunung
3.
Untuk
mengetahui Fungsi dan Makna Tari Ronggeng Gunung
4.
Untuk
mengetahui Pertunjukan Tari Ronggeng
Gunung
5.
Untuk
mengetahui Kostum Penari Ronggeng Gunung
6.
Untuk
mengetahui Musik Pengiring Tari Ronggeng
Gunung
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Nyanyian & Pengiring Ronggeng Gunung
Kesenian Ronggeng Gunung
merupakan sebuah seni berbentuk tarian dan didalamnya memiliki struktur
atau bagian seperti nayaga dan penari. Nayaga terbagai menjadi tiga bagian
pertama pemukul kendang, pemukul kenong, pemukul gong
dan sinden. Setiap
bagian tersebut memiliki
fungsinya masing- masing seperti
pemukul kendang berfungsi
untuk memukul kendang
begitupun yang lainnya, hanya saja ada satu bagian yang tidak memegang
alat yaitu sinden, sinden disini berfungsi
untuk menyanyi. Lagu
yang biasanya dinyanyikan
oleh sinden dalam Ronggeng Gunung
ada 18 lagu, hanya saja masyarakat Banjarsari menyebut lagu
ronggeng gunung itu adalah sisindiran dan wangsalan.
wangsalan itu diantaranya
adalah kudupturi, ladrang, sisigaran, golewang, kawungan banter,
parut, dengdet, ondai,
liring, kawungan kulonan,
manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar burung,
kidung, raja pulang, wangsalan ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu
pembuka,inti dan penutup, untuk bagian pembuka yaitu wangsalan ladrang dan
kudupturi, bagian inti adalah wangsalan
golewang, kawungan banter, parut, ondai, liring, kawungan
kulonan, manangis, mangonet, urung-urung, tunggul kawung, trondol, cacar
burung, kidung dan bagian penutup adalah wangsalan dengdet, raja pulang
dan sisigaran.
Setiap wangsalan menurut BR selaku sinden
Ronggeng Gunung, memiliki makna tetapi
jika dilihat maknanya hampir
sama yaitu berisi
tentang kehidupan sehari-hari,
mulai dari percintaan, humor, keagamaan, kejujuran, keadilan, kasih sayang,
saling menghormati, nasionalisme. Wangsalan dalam Ronggeng Gunung tidak pernah
menggunkan bahasa yang terlalu sulit akan tetapi lirik dalam wangsalan adalah
lirik yang menggambarkan kehidupan masyarakat. Seperti salah satu wangsalan
berjudul Kawung Pugur di bawah ini :
Malela dianggo pala
Dianggo pager jayanti
Rek bela ulah kapalang
Urang silih beuli ati
Manuk sepuh manu haur
Euntreup dina luhur
pager
Hirup anu jadi paur
Laku lampah anu teu
bener
Wayang mana wayang mana
Wayang teh wayang
ponggawa
Palay mana palay mana
Palay jembar anu bela
Itu seueur parapatan
Jalanna ka alun alun
Bilih seueur kalepatan
Hapunten anu kasuhun
Isi dan makna dari
wangsalan ini adalah kita sebagai manusia tidak boleh takut dengan
kesalahan, selalu membela
pada kebenaran. Nilai
yang ada dalam wangsalan tersebut adalah
nilai kebenaran, keadilan
dan kebijaksanaan. Selain wangsalan kawung pugur ada wangsalan
lain yang merupakan gambaran kehidupan masyarakat sekitar yaitu kawungan,
liriknya seperti di bawah ini :
Kawung
pugur sisi lembur
Ditinggur
ku dadap ngora
Bujang
guyur salelembur
Kaedanan
ku rangda ngora
Isuk
iwung sore iwung
Ti
beurang longgaranana
Isuk
bingung sore bingung
Hoream
mikiranana
Isi dari wangsalan ini
adalah seorang pemuda yang tergila-gila oleh janda, pemuda tersebut selalu
memikirkan janda tersebut sepanjang waktu. Dari 18 wangsalan dua diantaranya
tertera di atas. Ke dua wangsalan tersebut telah menggambarkan bahwa isi dari
wangsalan tidak pernah lepas dari gambaran kehidupan sehari-hari, untuk
wangsalan yang pertama menggambarkan nilai yang sifatnya positif
dan untuk wangsalan kedua lebih
pada ke nilai
humoris dan hiburan.
B.
Makna Gerakan Tari Ronggeng Gunung
Bagian selanjutnya selain
nayaga yang memiliki nilai adalah penari, menurut N yang merupakan penari dalam
Ronggeng Gunung menyebutkan bahwa tarian dalam ronggeng lebih fokus pada
gerakan kaki dan gerakan tangan, gerakan kaki ini seperti maju dan mundur saja
tidak ada gerakan yang rumit. N menegaskan bahwa dalam tarian Ronggeng Gunung
itu tidak erotis seperti ronggeng lainnya hal ini didukung dengan bentuk tarian
serta baju yang biasa N kenakan
yaitu baju yang
sopan. Tarian Ronggeng
Gunung menurut N
terbagimenjadi dua yaitu
tarian yang bentuknya
memutar dimana tarian
ini dilakukanoleh perempuan
dan tarian yang
menyerupai gerakan pencak
silat atau dikenal dengan istilah
eredan dalam Ronggeng Gunung ini biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Gerakan memutar
ini dimulai dengan
pertama-tama sinden memanggil salah seorang dan digaet oleh sang
penari, lalu si orang yang digaet diajari bagaimana caranya menari, lalu satu
persatu orang maju kedepan dan melakukan bergerak dengan
cara memutar, lamanya
putaran dalam Ronggeng
Gunung ini tergantung dari penari
apakah ia sanggup untuk berapa jam serta kesanggupan dari si sinden ketika
menyanyi wangsalan. Hal ini menurutnya ketika dalam pementasan ronggeng,
terkadang menari itu
dilakukan beberapa jam
tergantung dengan kondisi lapangan yang dipakai penari, cuaca dan fisik
sang penari. Menurut N biasanya
dalam Ronggeng Gunung
dibagi menjadi beberapa babak. Jika penari seperti yang
dikatakan di atas yaitu ketika keadaan yang mendukung beberapa babakpun
dilakukan tanpa berhenti akan tetapi jika kondisi tidak mendukung menari dalam
satu babak hanya dengan waktu sekitar 30 menit. Menurut N ketika menari dengan
gerakan memutar ia merasakan kedekatan antar satu sama
lain. Selain merasakan
kedekatan dari banyak
orang yang mengikuti gerakan memutar
ini N sering
mendapatkan saweran dari
para pangibing yang ikut menari di depan. Menurutnya sawer itu merupakan
hadiah atau penghargaan bagi si penari. Berbeda pandangan dengan masyarakat
dimana masyarakat menganggap bahwa ketika ada yang meberikan sawer maka antara
pemberi sawer dan penerima sawer memiliki maksud tertentu, seperti sesuatu yang
berhubungan dengan seksual.
Gerakan yang
kedua adalah gerakan
yang menyerupai gerakan
pencak silat. Gerakan ini
menurut narasumber ke
dua yaitu O
yang merupakan penari laki-laki khusus di gerakan eredan,
menurutnya gerakan yang meyerupai pencak silat
tidak berubah
dari mulai adanya
seni Ronggeng Gunung
ada, karena pada awalnya seni Ronggeng Gunung gerakannya
seperti pencak silat untuk mengalahkan para bajo,
hal ini dilakukan
dengan cara dimana
penari laki-laki ditutupi kepalanya dengan sarung atau iket. Gerakan
pencak silat ini disebut juga dengan eredan, ngered atau dalam bahasa Indonesia
adalah bertarung. Gerakan ini mula-mulanya masyarakat dijadi menjadi dua bagian
yaitu bagian A dan bagian B, sebagai contoh bagian Dadang dan bagian Eko,
ketika eredan ini mulai mereka layaknya penonton bola atau suporter bola saling
menjagokan bagiannya masing-masing, saling beradu mulut tetapi ada yang menjadi
kelebihannya adalah ketika tarian yang sifatnya bertarung ini tidak memiliki
ekor permasalahan yang berkelanjutan.
Gerakan eredan berubah
semenjak jaman G30 S PKI, perubahannya adalah
dimana pada jaman
dulu untuk gerakan
ini menggunakan senjata
tajam dalam gerakannya sedangkan
sekarang tidak menggunakan
senjata tajam, dan untuk krubun semapat dilarang
ketika G 30
S PKI, tetapi
setelah itu krubun dipakai lagi
ketika eredan hingga sekarang. Ke dua
bagian tersebut seperti nayaga dan penari merupakan satu kesatuan, dan telah
disebutkan sebelumnya bahwa wangsalan dalam nayaga memiliki nilai
begitu juga dengan
penari dan dua-duanya
memiliki nilai postif.
Akan tetapi jika melihat
kondisi Ronggeng Gunung sekarang sangat mengkhawatirkan, maka dari itu peneliti
mewawancarai beberapa masyarakat yang dibagi menjadi beberapa kategori yaitu
sesepuh, anak muda dan kaum terpelajar. Mereka dimintai pendapat mengenai
keadaan ronggeng pada saat ini, dari beberapa
jawaban dari setiap
informan memiliki simpulan
bahwa mereka sam-sama menyadari
bahwa Ronggeng Gunung memiliki manfaat bagi kehidupannya, seperti untuk
mendekatkan, sebagai tempat silaturahmi dan seperti datang ke pengajian karena
banyak nasehat yang ada pada wangsalan Ronggeng Gunung, akan
tetapi pada saat
ini sangat disayangkan
bahwa ronggeng Gunung telah kalah oleh kesenian modern,
walaupun Ronggeng Gunung kalah oleh kesenian modern mereka sangat menantikan
setiap pementasan Ronggeng Gunung karena mereka sadara bahwa Ronggeng Gunung
memiliki manfaat untuk kehidupan.
C.
Fungsi dan Makna Tari Ronggeng Gunung
Fungsi dari tari ronggeng
berfungsi sebagai tari hiburan masyarakat di Jawa Barat, khususnya daerah
Ciamis dan Pangandaran sebagai tempat asal usul terlahirnya kesenian rakyat
ini. Tari ronggeng gunung biasanya digelar di halaman rumah pada saat ada acara
perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan
untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan
Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai
menjelang subuh.
Dalam perkembangannya
tari ronggeng gunung dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sebagai tari
hiburan dan tari ronggeng gunung untuk acara adat. Pada acara Ronggeng Gunung
sebagai tarian hiburan biasanya lebih fleksibel tanpa adanya pakem tertentu.
Sebaliknya untuk acara adat, tari ronggeng gunung ini dikenai pakem-pakem
tertentu seperti urutan lagu yang dibawakan.
D.
Pertunjukan Tari Ronggeng Gunung
Tari Ronggeng Gunung ini
dibawakan oleh grup / kelompok kesenian ronggeng. Orang-orang yang tergabung
dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai
sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam
pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh
pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi
mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas
membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa.
Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung
adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang.
Sebagai catatan, untuk
menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat
melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan
pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga
rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng
harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus
seorang gadis atau janda.
Ronggeng Gunung dibawakan
oleh 5 orang penari wanita dengan 1 penari utama. Dalam pertunjukannya tarian
ini dibawakan berbaur antara penari ronggeng dan penonton, tanpa adanya batasan
yang jelas.
E.
Kostum Penari Ronggeng Gunung
Para penari wanita dalam tarian
Ronggeng Gunung ini mengenakan busana khas Jawa Barat untuk menari. Busana
wanita tersebut terdiri dari dodot samping, ikeut sarung, karembong, kabaya dan
sampur.
Para penari ronggeng
gunung juga masing-masing membawa sebuah selendang sebagai properti dalam
menari.
F.
Musik Pengiring Tari Ronggeng Gunung
Adapun musik pengiring
tari ronggeng gunung ini terdiri dari beberapa alat musik Jawa Barat yaitu
gong, kendang dan bonang. Iringan pada lagu tidak bisa lepas dari lagu Ladrang
dan Sisigaran. Karena iringan tidak berhenti ketika perpindahan lagu dari Kudup
Turi ke Ladrang dan dari Ladrang ke Sisigaran. Salah satu unsur musikal dalam
penyajian kesenian Ronggeng Gunung
adalah iringan atau musik pengiring
yang berfungsi untuk mengiringi
lagu Kudup Turi.
Iringan ini dihasilkan
dari bunyi waditra yang dimainkan. Jumlah
waditra/instrumen pengiring dalam penyajian kesenian rongeng Gunung sangat
sederhana sekali bila dibandingkan dengan Wayang Golek atau Ronggeng Kaler.
Instrumen pengiring ini
terdiri dari satu buah kendang, tiga buah ketuk, dan satu buah goong. Setelah
kita ketahui bersama, ketuk yang digunakan pada penyajian kesenian
Ronggeng Gunung terdiri
dari tiga buah
ketuk, akan tetapi
ketika peneliti malakukan penelitian dan melakukan rekaman,
ketuk yang digunakan hanya dua buah. Hal tersebut kemungkinan karena nayaga
yang memainkan instrumen Ketuk merangkap sebagai nayaga pada
instrumen goong. Oleh
karena itu, yang
akan diungkap adalah
instrumen kendang, ketuk 1, ketuk 2 dan goong.
BAB
III
KESIMPULAN
Pertama nilai
fungsional struktural nayaga
dalam kehidupan masyarakat Banjarsari ada
pada sinden dan wawangsalan, disebut
ada pada sinden
karena dalam nayaga terdapat
bagian-bagian lain seperti
pemukul kendang, gong dan kenong atau yang disebut ketuk tilu serta
sinden, tetapi bagian yang memiliki nilai fungsional struktural disini adalah
sinden. Nilai tersebut ada pada lagu atau
orang Banjarsari menyebutnya sisindiran (wawangsalan), dalam wawangsalan
ini terdapat nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman atau penasehat bagi masyarakat Banjarsari
dimana nilai-nilai itu
diantaranya nilai kejujuran,
religi, nasionalisme,
keadilan, kebijaksanaan, humor,
kasih sayang yang
secara tidak sadar sisindiran
tersebut sebagai pengendali perilaku masyarakat Banjarsari.
Kedua nilai fungsional
struktural bagian penari dalam kehidupan masyarakat Banjarsari
dilihat dari gerakan
ronggeng gunung yang
memutar dan dilakukan secara
rampak membuat bertambahnya kekerabatan dan kedekatan yang meningkat
atau yang disebut
solidaritas. Gerakan satu
lagi eredan dimana gerakan ini lebih seperti pertarungan dimana terdapat
dua kubu yang mendukung jagoannya
masing-masing, mereka eredan
dan diakhir jika
sudah diketahui ada pemenang bukan berbuntut masalah akan
tetapi lebih ke meningkatkan kedekatan dan keakraban mereka karena pada akhir
eredan ini dari ke dua kubu berkumpul dan menari bersama, kesolidaritasan ini
dirasakan oleh masyarakat Banjarsari.
Ketiga nilai fungsional
struktural kesenian ronggeng gunung dalam kehidupan masyarakat
baik itu nayaga
dan penari adalah
nilai solidaritas dan kontrol sosial, untuk kontrol sosial
terdapat dalam isi dari sisindiran yang merupakan bagian dari nayaga, sedangkan
nilai solidaritas terdapat pada gerakan ronggeng gunung yaitu gerakan memutar
dan gerakan eredan.
Terakhir cara untuk
mempertahankan nilai fungsional struktural ronggeng gunung adalah dengan
melestarikan terlebih dahulu kesenian
tersebut, karena tidak akan ada nilai fungsional struktural jika ronggeng
gunung sudah tidak ada. Maka dari itu cara untuk melestarikan kesenian ronggeng
gunung adalah dengan didirikannya sanggar Panggugah Rasa sebagai sarana atau
wadah untuk melestarikan ronggeng gunung sekaligus nilai yang terkandung di
dalammnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
http://sosiologi.upi.edu
3. http://a-research.upi.edu/operator/upload/s_c0951__060185_chapter3