KORUPSI, TRANSISI DEMOKRASI & PERAN ORGANISASI CIVIL SOCIETY (CSO)
Abstrak
Korupsi adalah masalah di
negara-negara di seluruh dunia. Namun demikian, korupsi ada di ini negara dalam berbagai cara termasuk penyebab, bentuk, derajat dan
konsekuensi. Kemudian, upaya efektif untuk mencegah
korupsi perlu mengakomodasi beberapa konteks sosio-politik yang mungkin
menjadi faktor dalam masalah korupsi, terutama di negara-negara demokrasi
transisi di mana situasi biasanya lebih kompleks. Studi tentang korupsi di negara-negara demokrasi transisi -dan lebih luas
dalam mengembangkan dunia- telah meningkat sejak
dua dekade terakhir menyusul berakhirnya Perang Dingin. ini meningkat perhatian sebagian didorong oleh kesadaran di antara para ahli di seluruh
disiplin ilmu yang korupsi berpotensi menghambat pembangunan ekonomi,
mengurangi kualitas pelayanan publik, dan mendistorsi demokrasi
nilai-nilai secara umum. Di kebanyakan negara berkembang, korupsi merusak dan
membahayakan proses transisi demokrasi yang
sedang berlangsung. Studi terbaru umumnya telah mengakui pentingnya memahami
konteks sosial
korupsi dan mencoba secara eksplisit untuk menentukan situasi sosial yang
membuat korupsi lebih mungkin untuk terjadi di negara-negara demokrasi
transisi. rekomendasi juga, studi tersebut ditawarkan yang cocok spesifik
dinamika sosial dari negara. Banyak penelitian secara umum menganggap bahwa OMS
melaksanakan -jika signifikan tidak posisi
tengah-dalam perjuangan melawan korupsi; karena dua alasan: (1) Sipil pemimpin masyarakat telah menjadi aktor utama dalam mengakhiri rezim
otoriter, sehingga mereka bisa melanjutkan peran mereka dalam
konsolidasi demokrasi, termasuk memerangi korupsi; dan (2) OMS perlu langkah maju dalam memerangi korupsi karena kegagalan negara dalam
menangani masalah.
Kata
kunci : korupsi, demokrasi, masyarakat
sipil
A.
PENDAHULUAN
Terlepas
dari kenyataan bahwa korupsi merupakan masalah universal dan menjadi perhatian
utama dalam manajemen publik, perdebatan terus berlanjut mengenai definisi yang
tepat untuk menganalisisnya. Berbagai definisi itu membawa konsekuensi tentang
pilihan cara melihat korupsi dan kemudian langkah yang perlu disusun dalam
strategi memeranginya. Sejalan dengan hal ini, pengetahuan akan berbagai
definisi bisa membawa pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas upaya
untuk memerangi korupsi. Ini akan membawa suatu pemahaman bahwa program-program
anti korupsi mungkin tidak selalu memiliki bentuk tunggal, tetapi dapat
bervariasi tergantung pada berbagai kondisi, termasuk definisi yang diterapkan.
Secara
umum, korupsi biasanya digambarkan sebagai perilaku yang melibatkan
penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber-sumber kekuasaan untuk
kepentingan
pribadi (Rose-Ackerman 1978; Moodie 1980; Andvig et al 2000: 11;
Huther
& Syah 2000: 1). Dalam spektrum ini, seperti Shah & Schacter (2004)
berpendapat, korupsi bisa meliputi tiga jenis kategori luas: (a) ‘grand
corruption’,
yaitu
sejumlah kecil pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sejumlah besar
sumber daya publik, (b) ‘state or ‘regulatory capture’, yaitu kolusi
yang dilakukan oleh lembaga publik dengan swasta untuk memperoleh keuntungan
pribadi, dan (c) ‘bureaucratic or petty corruption’, yaitu keterlibatan
sejumlah besar pejabat publik dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan
sogokan kecil atau uang semir. ‘Grand corruption’ dan ‘state/
regulatory capture’ biasanya dilakukan oleh para elite politik atau pejabat
pemerintah senior yang merancang kebijakan atau perundang-undangan untuk
keuntungan diri mereka sendiri dengan memungkinkan mereka untuk menyalahgunaan
sejumlah besar pendapatan dan fasilitas umum serta menerima suap dari
perusahaan-perusahaan nasional atau transnasional. Sementara itu,
‘bureaucratic/ petty corruption’ biasanya dilakukan oleh pegawai negeri sipil
biasa sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan. Korupsi seperti ini biasanya
terjadi pada titik pelayanan publik, misalnya, terjadi di layanan imigrasi,
polisi, rumah sakit, pajak, sekolah, atau perizinan (Shah & Schacter 2004:
41).
Terlepas
dari deskripsi umum, ada pula definisi korupsi dari perspektif tertentu
berdasarkan konteks analisis yang digunakan. Perspektif itu bisa dikelompokkan
menjadi tiga: public-office-centred, market-centred, dan public
interest-centred (Heidenheimer 1989b; Collier 2000). Dari kacamata teori
public-office-centred, korupsi dipandang sebagai penyimpangan perilaku dari
tugas-tugas normal pejabat publik atau pelanggaran terhadap aturan untuk
melayani kepentingan pribadi, termasuk penyuapan, nepotisme, dan penyelewengan
(Nye 1967, dikutip dalam Heidenheimer 1989b: 150 ). Dari perspektif
market-centred, korupsi adalah sebuah penyalahgunaan jabatan oleh pejabat
publik dengan memonopoli kantor mereka dan proses membuat kebijakan (seperti
pajak, subsidi, bahkan privatisasi) sebagai sarana memaksimalkan kepentingan
diri mereka sendiri (Van Klaveren 1989, dikutip dalam Heidenheimer 1989b;
Rose-Ackerman 1999: 117). Dari perspektif public interest-centred teori,
korupsi adalah tindakan seorang pemegang kekuasaan yang mengistimewakan siapa
pun yang memberikan imbalan dan dengan demikian membuat kerusakan pada prinsip
persamaan (equality) dalam pelayanan masyarakat umum (Friederick 1966, dikutip
dalam Heidenheimer 1989b). Meskipun definisi-definisi ini bermanfaat untuk
menganalisis korupsi, teori-teori itu tidak bisa memberikan gambaran jelas
tentang jenis tindak 'penyalahgunaan' atau 'penyelewengan' (Johnston 1996).
Secara praktis, kerumitan
terjadi
dalam membedakan apa yang disebut sebagai kepentingan 'publik' dan 'pribadi'
karena pengaruh budaya (Johnston 1996: 321-2). Dalam sebuah masyarakat yang
berbudaya komunal (seperti di sebagian besar negara-negara Asia), pembedaan itu
bahkan lebih kabur. Di Jepang misalnya, karena adanya tradisi pemberian hadiah
(gift giving), garis pemisah antara publik dan pribadi terkadang tidak sejelas
dari sudut pandang Barat. Orang Jepang umumnya menoleransi politisi mereka
menerima berbagai bentuk hadiah dari pelaku bisnis, dengan imbalan berupa
kebijakan yang menguntungkan, asalkan hadiah itu dibagikan kepada konstituen
mereka dan bukan untuk keuntungan pribadi (Pharr 2005: 24-5). Para politisi
Jepang mungkin 'menyalahgunakan kekuasaan' untuk 'kepentingan pribadi', tapi
mungkin untuk kepentingan 'publik', yaitu konstituen mereka, dan budaya ini
tidak dianggap sebagai tindakan korup.
Oleh
karena itu, persepsi tentang korupsi kadang-kadang tergantung pada pandangan
budaya atau opini publik yang tidak memiliki definisi standar universal. Dari
sudut pandang ini, salah satu cara untuk mengukur tinggi rendahnya korupsi
dalam suatu negara adalah menggunakan pendekatan 'subyektif' dengan
mempertimbangkan 'berapa banyak dan bagaimana tindakan yang korup itu
berarti/berpengaruh bagi penduduk atau berbagai kelompok dari mereka' (Johnston
1996: 322). Oleh karena itu, sejumlah survei korupsi menggunakan
'pendapat/persepsi orang' yang menilai terjadinya korupsi menurut penilaian
mereka masing-masing. Sebagai contoh, survei Transparansi Internasional (TI)
tentang Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index, CPI) membuat
peringkat tingkat korupsi di berbagai negara dengan menanyakan persepsi POLITIKA,
Vol. I, No. 1, April 2010 masyarakat
bisnis di negara itu. Survei TI yang lain seperti Global Corruption Barometer
(GCB) juga mengukur tindakan korupsi dengan bertanya bagaimana orang-orang
biasa merasakan dampak korupsi.
Namun,
beberapa ahli percaya bahwa menghasilkan perangkat tujuan umum untuk mengukur
korupsi adalah hal yang bisa dilakukan. Para ahli teori hukum biasanya
berpendapat bahwa peraturan formal bisa menjadi kriteria standar untuk
menentukan apa yang legal dan illegal, dan apa yang bisa dan tidak merugikan
kepentingan umum. Fackler & Lin (1995), misalnya, berpendapat bahwa korupsi
dapat didefinisikan sebagai salah satu dari sebuah 'berbagai tindakan melanggar
hukum oleh aktor-aktor politik.’ Dalam hal ini, korupsi dapat diukur dalam
periode sejarah tertentu dengan menghitung jumlah pejabat publik yang dihukum
di pengadilan negara (Meier & Holbrook 1992). Namun, penggunaan perangkat
hukum untuk menentukan tindakan korup juga kadang-kadang kurang tepat, terutama
di negara-negara dengan sistem hukum yang tidak efektif. Pejabat bisa melakukan
sesuatu yang secara etis tidak benar tapi tetap sah. Di beberapa negara Eropa
Timur, misalnya, para pejabat digunakan untuk mengklaim perjalanan liburan
sebagai studi perbandingan administrasi publik (Sajo 2002: 3). Demikian pula,
pemimpin di berbagai negara otoriter bisa mengubah bagian-bagian peraturan
negara untuk melegalkan mereka menjarah aset publik (Wurfel 1988: 74-130; King
2000). Dalam keadaan seperti itu, peraturan tidak selalu berfungsi sebagai alat
yang objektif, bahkan, sebagaimana dikatakan Collier (2000: 194), dapat
disesuaikan untuk sewa-perangkat untuk melegalkan korupsi. Di sisi lain,
beberapa tindakan ilegal dapat dibenarkan secara moral. Dalam negara dengan
sistem manajemen publik yang buruk, petugas mungkin secara etis dibebaskan dari
melewati prosedur birokrasi yang rumit tertentu jika mereka harus mencapai
tujuan yang menguntungkan kepentingan publik (Szeftel 2000: 300).
Selain
pendekatan legal-formal, ada pula orang yang mendefinisikan korupsi dengan
menganalisis interaksi di antara aktor sesuai dengan konsep
Principal-Agent-Client (PAC). Model ini menawarkan pengakuan realistis mengenai
kompleksitas hubungan antara pejabat dan warga negara dalam kelembagaan dan
pengaturan politik. Model ini menggambarkan korupsi dengan memeriksa cara kerja
lembaga-lembaga publik ke dalam hubungan antara Principal (seorang manajer yang
melaksanakan pelayanan publik), Agent (seorang pegawai yang menjalankan fungsi
operasional organisasi publik), dan Client (pengguna jasa dengan siapa
berinteraksi Agen) (Rose-Ackerman 1978; Klitgaard 1988). Dalam pengertian ini,
model PAC menekankan kepentingan manajer daripada kepentingan umum; korupsi
terlihat dalam hal perbedaan antara manajer (atau di mana berlaku kepentingan umum)
dan para agen atau pegawai negeri. Dalam hal ini Klitgaard (1988: 24)
berpendapat bahwa 'korupsi terjadi ketika seorang agen menghianati principal
untuk mengejar kepentingan sendiri'. Dalam konsepsi yang lebih sempit,
Rose-Ackerman (1978a: 6-7) berpendapat bahwa korupsi adalah pembayaran pihak
ketiga yang tidak diteruskan kepada atasan bahkan jika hal itu mungkin tidak
bertentangan dengan tujuan utama atau secara resmi dinyatakan ilegal.
B. PEMBAHASAN
B.1. Korupsi di Negara Berkembang dan Negara Transisi
Demokrasi
Dari
definisi apapun yang digunakan, situasi di seluruh dunia menunjukkan bahwa
korupsi di negara berkembang cenderung lebih tinggi dibandingkan negara-negara
maju. Hal ini telah menimbulkan pertanyaan mengenai faktor-faktor penyebab yang
mempengaruhi masalah ini. Salah satu cara untuk memahami penyebab korupsi
adalah dengan menggunakan ‘teori ketimpangan distribusi kekayaan’. Teori ini
menjelaskan bahwa semakin besar kesenjangan pendapatan, semakin tinggi tingkat
korupsi di suatu negara (Rothstein & Uslaner 2005; Husted 1999: 342). Hal
ini sebagian karena, seperti yang dikatakan oleh Rothstein & Uslaner
(2005), distribusi sumber daya dan peluang berkontribusi pada pembentukan
keyakinan bahwa orang memiliki kemauan untuk berbagi nasib yang sama dengan
nilai-nilai yang serupa. Orang lebih mungkin untuk berbagi dengan orang lain
dan menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar manakala
ada pemerataan sumber daya dan peluang yang adil.
Sebaliknya,
dalam masyarakat yang sangat timpang, orang cenderung untuk mengutamakan
kepentingan mereka sendiri, dan sangat mungkin menggunakan korupsi sebagai
berarti untuk memenuhi kepentingan (hal. 52). Dalam kasus ini, korupsi lebih
merupakan produk dari suatu proses distribusi kekayaan yang tidak merata dan
bukan sebagai sebuah proyek distribusi kekayaan (Lihat Scott 1972a). Teori lain
menjelaskan bahwa korupsi terjadi di negara berkembang karena tersedianya
kesempatan untuk elite memperkaya diri (Szeftel 2000; Treisman 2000). Teori biasanya
berkorelasi kesempatan untuk memperkaya diri dengan berbagai variabel termasuk
sejauh mana pembangunan ekonomi, khususnya sejarah dan latar belakang budaya,
perkembangan politik, tingkat pendidikan, dan administrasi sistem hukum.
Meskipun bervariasi, madzhab teori ini setuju bahwa kesempatan untuk korupsi
dalam suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat mungkin
menyeimbangkan antara risiko dengan kemungkinan manfaat dari tindakan korupsi
dalam konteks psikologis, sosial dan finansial (Treisman 2000). Negara-negara
yang memiliki system hukum, ekonomi, politik, dan sosial yang dapat
memaksimalkan kemungkinan risiko (seperti risiko tertangkap dan dihukum)
cenderung memiliki lebih sedikit korupsi. Dalam hal ini, korupsi yang tinggi di
negara-negara berkembang sering diasosiasikan dengan adanya dominasi hirarki
dan otoritas dari orang-orang tertentu yang kebal hukum yang mengurangi
efektivitas sistem mereka dalam melestarikan tatanan sosial (Treisman 2000:
400). Selain itu, di negara-negara berkembang, pemerintahan mereka biasanya
dipengaruhi oleh budaya clientelistic yang kuat, miskin penegakan hukum,
intervensi negara yang tinggi dalam kegiatan pribadi, mekanisme akuntabilitas
yang buruk, serta dominasi otoriterisme elite (Heywood 1997; Adsera, Boix &
Payne 2003 ).
Dari
perspektif lain, teori akumulasi modal berpendapat bahwa korupsi di negara-negara
berkembang hanyalah sebuah bentuk akumulasi modal primitif oleh elit domestik
atau kelompok kapitalis (Iyayi 1986). Korupsi dipandang sebagai cara elit dari
negara-negara mengeksploitasi rakyat untuk mengejar akumulasi modal; sama
seperti kelas kapitalis di negara-negara maju pada waktu mereka mengumpulkan
kekayaan melalui kolonialisme (Hicks 2004: 11). Dalam hal ini, Iyayi (1986:
28-9) mengatakan bahwa korupsi terjadi karena elit dan kelompok-kelompok
kapitalis di negara-negara berkembang memiliki kelemahan dan kekurangan
kesempatan untuk melakukan akumulasi modal melalui eksploitasi eksternal
(melalui penjajahan negara lain).
Sementara
itu, lembaga yang bertanggung jawab menegakkan aturan juga masih dipengaruhi
oleh budaya otoriter lama yang korup. Peradilan dan polisi, misalnya, digunakan
sebagai perpanjangan tangan penguasa untuk mengamankan rezim yang korup, bukan
penegakan hukum. Hilangnya tokoh otoriter pasca-demokratisasi justru memberikan
mereka lebih banyak kebebasan untuk mengejar pendapatan yang haram (Lindsey
2002: 2-12). Hubungan antara warga dan politisi biasanya ditandai oleh lemahnya
kapasitas politik di kedua belah pihak. Di satu sisi, seperti dalam kasus
Indonesia, meskipun antusiasme untuk pemungutan suara pada pemilihan umum
tinggi, kebanyakan pemilih tidak tahu bagaiman meminta akuntabilitas para
pejabat yang mereka pilih (Soule 2004: 2). Para pemilih juga tidak memiliki
cukup pengetahuan untuk membuat penilaian tentang politisi yang baik karena
kurangnya informasi tentang sistem politik baru dan track record politisi (hal.
2-3). Di sisi lain, politisi yang tidak berpengalaman kurang kredibel dalam
membuat kebijakan dan bergantung pada penggunaan uang dan 'cara clientelist'
untuk menarik para pemilih (Scott, 1972b: 92; Keefer 2004: 26). Di beberapa
negara, partai yang baru lebih suka memilih sistem perwakilan proporsional
untuk membuat politisi sangat bergantung pada para pemimpin partai politik baik
bukan pada dukungan dari konstituen mereka (Sidel 1996; Carothers 2002: 9-14) .
Akibatnya, pemilihan umum dan bentuk-bentuk persaingan politik tidak berfungsi
dengan tepat. Rantai akuntabilitas antara legislatif, eksekutif dan penyedia layanan
juga terhalang karena kegagalan politisi untuk menyampaikan tujuan pengembangan
kinerja yang harmonis dengan kementerian dan penyedia layanan. Dalam kasus
Argentina misalnya, para politisi tidak mampu berurusan dengan birokrat senior
yang sangat berpengalaman, yang lazim menjalankan kekuasaan yang berlebihan
selama periode otoriter (Eaton 2003). Sementara itu, akibat ketidakpastian
politik, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Indonesia, politisi cenderung
untuk memusatkan perhatian mereka pada kepentingan jangka pendek daripada
isu-isu jangka panjang (Bank Dunia 2003c; vii). Partai-partai politik di
negara-negara demokratis baru biasanya cenderung 'haus kekuasaan': banyak dari
mereka ingin bercokol di kantor eksekutif dan gagal mengembangkan budaya oposisi
yang kuat di parlemen, membuat kontrol mekanisme antara parlemen dan pemerintah
tidak berfungsi. Lebih lanjut, para politisi di parlemen juga cenderung kurang
memperhatikan untuk mengumpulkan informasi secara sistematis tentang kinerja
lembaga pemerintah yang akan meningkatkan akuntabilitas mereka (Bank Dunia
2003c: viii). Praktek pemantauan warga negara terhadap berbagai fungsi
birokrasi juga belum bekerja dengan baik. Dalam negara demokrasi baru, warga
negara masih belajar cara terbaik untuk menyuarakan harapan mereka pada
birokrasi. Sementara, birokrasi pada umumnya masih diliputi oleh budaya
otoriter untuk bekerja sebagai pelindung penguasa, bukannya sebagai penyedia
layanan publik. Di Indonesia, meskipun meningkatnya kesadaran akan hak-hak
publik, ongkos tindakan kolektif untuk menekan birokrasi biasanya tinggi,
sehingga mereka lebih suka untuk membayar uang suap yang jauh lebih nyaman, dan
sering lebih murah, daripada berjuang untuk hak-hak mereka (Bank Dunia 2003c:
viii).
Lebih
lanjut kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa selama masa transisi
demokrasi, lembaga yang khusus dirancang untuk memerangi korupsi belum
dibentuk. Di banyak negara, lembaga-lembaga biasanya terbentuk ketika situasi
korupsi sudah sangat akut, jika tidak lepas kendali.
Pada
saat yang sama, kelompok-kelompok pro-reformasi, masyarakat bisnis, dan media
pada umumnya lemah, sehingga kegiatan untuk memantau pemerintah menjadi sulit
jika tidak mustahil. Kondisi seperti itu memungkinkan pembentukan sistem
monopoli dalam struktur pemerintahan, dan membuat korupsi menjadi dilembagakan
dalam aktifitas politik dan ekonomi (Johnston 2000b: 10). Kondisi ini biasanya
dipelihara dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok super kaya swasta yang
memberikan sogokan kepada pejabat untuk membentuk undang-undang negara,
kebijakan, dan peraturan yang menguntungkan mereka. Bersama dengan para
pengambil keputusan yang kuat, kelompok-kelompok ini menjadi ‘kelompok
kepentingan' dalam korupsi (Kaufmann 2003: 21). Dalam keadaan seperti itu,
korupsi adalah masalah tidak hanya sektor pemerintahan, tetapi juga sektor
swasta/pasar. Dengan kata lain, korupsi berkaitan dengan penetapan struktur
ekonomi-politik dan keterkaitan antara kekuasaan pemerintah dan sektor bisnis
(Kaufmann 2003: 21).
Melihat
realita itu, mengatasi korupsi dalam transisi-negara berkembang merupakan tantangan yang kompleks dan
multidimensi. Akhir sebuah rezim otoriter bukanlah satu-satunya obat mujarab
untuk mengatasi masalah. Walau hal ini sangat perlu dan penting, sejumlah
inisiatif untuk menjadikan demokrasi efektif mencegah korupsi perlu dilakukan.
Di negara-negara demokratis yang matang, perkembangan reformasi tersebut
berlangsung untuk waktu yang sangat lama. Proses itu telah terjadi dari abad
ke-17, dan biasanya dibentuk oleh beberapa momentum sejarah seperti Magna Carta
di Inggris dan revolusi politik di Perancis, bersama dengan proses pembangunan
politik dan perluasan partisipasi publik. Negara demokrasi baru mungkin tidak
perlu mengikuti lintasan panjang ini. Oleh karena itu, pengembangan demokrasi
perlu tindakan untuk mempercepat proses reformasi yang menggerakkan
peningkatkan akuntabilitas (Johnston & Kpundeh 2004: 5).
Untuk
itu, inisiatif reformasi harus dihasilkan oleh pelaku yang kredibel yang mampu
membujuk para elite dan rakyat biasa bahwa reformasi adalah penting dan itu
sesuai dengan kepentingan mereka untuk melakukannya (Johnston & Kpundeh
2004). Di banyak negara-negara yang mengalami transisi demokrasi, organisasi
masyarakat sipil (CSO) dapat diharapkan untuk mengambil peran ini, sebagian
karena di negara-negara ini umumnya masyarakat sipil telah mencatat peran
penting selama, dan menjadi katalis untuk, runtuhnya rezim-rezim otoriter
(Diamond 1994: 5). Sebagaimana diakui dalam banyak sumber, peran aktor-aktor
masyarakat sipil itu sangat penting dalam menjatuhkan rezim-rezim otoriter dan
selanjutnya mempengaruhi proses demokratisasi (lihat O'Donnell & Schmitter
1986; Rueschemeyer, Stephens & Stephens 1992; Haynes 1997).
Anehnya,
meskipun proses demokratisasi telah terjadi di banyak negara berkembang sejak
gelombang ketiga demokratisasi dimulai pada pertengahan 1970-an, banyak negara
demokratis baru tidak bisa melakukan perbaikan dalam
penanganan
korupsi. Seperti beberapa penelitian menunjukkan, situasi di banyak negara bahkan
lebih buruk (Beichelt 2004; Fleischer, 1997; White & White, 1996; Hope
& Chikulo 2000; Nickson 1996; Seligson 2002). Bukti dari Transparency
International Indeks Persepsi Korupsi (CPI) juga menunjukkan bahwa nilai
korupsi di sebagian besar negara demokrasi baru tidak jauh berbeda dari mereka
yang di bawah rezim otoriter sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah
proses demokratisasi sudah cukup untuk membuat perbaikan dalam penanganan
korupsi atau apakah itu hanya mengkonsolidasikan jenis lama korupsi dan memupuk
yang baru?
Banyak
studi empiris menyimpulkan bahwa demokratisasi, sampai taraf tertentu,
sebenarnya telah menciptakan kondisi yang menyuburkan penyebaran korupsi. Moran
(2001) misalnya, berpendapat bahwa transisi menuju demokrasi, baik dalam bentuk
sebuah transisi dari pemerintahan otoriter atau dari komunisme atau dalam
proses dekolonisasi atau munculnya negara-bangsa baru, mempunyai implikasi
untuk perluasan korupsi (p.378-9). Dalam penelitian tentang proses
demokratisasi di berbagai negara, Rose & Shin (2001) juga berpendapat bahwa
proses demokratisasi, sementara di satu sisi dapat menghasilkan keabsahan rezim
demokratis; di sisi lain, ia memiliki potensi untuk mengembangbiakkan korupsi.
Temuan serupa juga dikelola oleh Bank Dunia (2000); ketika menganalisis Eropa
Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet, Bank Dunia menemukan bahwa lingkungan
transisi demokrasi telah menciptakan lahan subur bagi korupsi karena 'proses
transisi memberikan kekuasaan pada lembaga dan pejabat baru di tengah-tengah
redistribusi besar-besaran aset negara.
Selain
itu, Hayden, Court & Mease (2004: 62-3) berpendapat, dampak CSO peran dalam
perumusan kebijakan di negara-negara transisi demokrasi sangat penting karena,
seperti didiskusikan diatas, aktor negara lemah atau tidak mampu memainkan
perannya dalam memerangi korupsi. CSO mengambil peran terdepan karena aktor
pemerintah dan aktor swasta umumnya apatis terhadap agenda anti korupsi karena
mereka adalah kelompok kepentingan dalam korupsi. Partai politik juga mungkin
tidak selalu ingin memulai agenda antikorupsi, terutama ketika agenda itu
berpotensi membahayakan kepentingan mereka sendiri.
Sementara
itu, warga negara biasa biasanya sibuk dengan kepentingan hidup sehari-hari,
sehingga mereka mungkin hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mengambil
tindakan yang signifikan. Dalam hal ini, CSO memiliki posisi sentral dalam
menjembatani kesenjangan. CSO sering memainkan peran sebagai mediator antara
mereka yang memerintah dan mereka diatur dan meningkatkan tanggung jawab serta
respons dari semua pihak (World Bank 2000: 44-5; Cornwall & Gaventa 2001).
Selanjutnya,
dalam perspektif yang lebih luas, CSO memiliki karakteristik khas yang
memungkinkan mereka untuk menjadi efektif dalam melaksanakan peran dalam
memerangi korupsi. Sebagai contoh, sementara partai-partai politik cenderung
mewakili kepentingan tertentu untuk mendapatkan akses ke kekuasaan kelembagaan
yang kadang-kadang membawa mereka ke sikap oportunis; dengan cara yang berbeda,
CSO umumnya tidak mempunyai niat untuk memperoleh kekuasaan politik, dan
karenanya dapat mengungkapkan yang lebih tulus untuk kepentingan publik
(Pietrzyk 2003: 42). Dalam keadaan seperti itu, CSO berfungsi sebagai badan
independen alternatif untuk menerapkan tekanan untuk mekanisme akuntabilitas
dalam struktur hubungan kekuasaan berfungsi.
Dalam
jangka panjang, ketika CSO terus gigih dalam memerangi korupsi, mereka dapat
merangsang proses demokratisasi yang sukses dan mendorong pembentukan
pemerintahan yang baik. Sebagai asosiasi independen, CSO dapat mendorong
lembaga-lembaga negara untuk bertanggung jawab dan efektif dalam melaksanakan
tugasnya.
B.2. Apa Peran Organisasi Masyarakat Sipil?
Seperti
disebutkan di atas, CSO mempunyai potensi besar dalam memimpin perbaikan
mekanisme akuntabilitas dan memberikan kontribusi signifikan pada upaya
pemberantasan korupsi. CSO dapat memberikan kontribusi dengan merangsang
hubungan kekuasaan yang efektif dan rasional antara negara dan warganya
(meningkatkan akuntabilitas vertikal). Mereka dapat meningkatkan tuntutan
publik terhadap kinerja negara dan mengorganisir tekanan rakyat untuk membuat
negara melayani kepentingan publik. CSO dapat juga berkontribusi dengan
mempromosikan checks and balances yang efektif antara lembaga-lembaga negara (meningkatkan
akuntabilitas horizontal). Mereka dapat menginisiasi kerangka kerja
kelembagaan, mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan, dan juga Kegiatan ini
biasanya bisa memperbaiki kinerja lembaga, dan juga memberantas korupsi
sistemik atau distorsi lain dalam kekuasaan (Fox 2000: 1). Lebih khusus,
seperti yang rinci dalam tabel, CSO dapat berfungsi pada dua tingkatan:
Pertama, pada tingkat strategis, dengan memberikan kontribusi bagi penciptaan
kebijakan anti korupsi, membuat kerangka hukum dan institusi yang kuat untuk
memerangi korupsi, serta mendorong kerja yang efektif dari mekanisme
akuntabilitas, dan; Kedua, pada tingkat praktis, dengan mengadakan tindakan
populis untuk memantau pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara dan
lembaga-lembaga, serta memantau pelaksanaan peraturan anti korupsi dan
pekerjaan badan-badan anti korupsi.
Aktifitas
di tingkat strategis adalah kegiatan yang berdampak tidak langsung dan kurang
segera berimplikasi pada penghapusan korupsi. Namun aktifitas dalam level ini
sangat penting untuk menyusun kerangka pemberantasan korupsi. Dalam level ini,
CSO harus mampu menganalisis masalah penyebab korupsi dan menawarkan solusi
alternatif bagi para pembuat kebijakan. Selain itu, harus diingat bahwa upaya
untuk memerangi korupsi memerlukan ketersediaan peraturan perundang-undangan
yang kuat, tanpanya upaya pemberantasan korupsi tidak akan efektif -bahkan
kontraproduktif. Oleh karena itu, CSO harus merangsang (dan kadang-kadang
memberi dukungan) politisi dan pembuat kebijakan untuk membuat peraturan dan
kebijakan antikorupsi. Terlepas dari ini, para CSO juga perlu untuk mendesak
pembentukan lembaga anti korupsi yang kuat yang ditugaskan untuk memeriksa dan
menghukum pemegang kekuasaan yang menyimpang.
Pembentukan
lembaga seperti ini penting karena biasanya kinerja lembaga peradilan
konvensional terlalu buruk dan mereka justru mendukung kelompok-kelompok korup.
Meskipun demikian, aktifitas pada tingkat strategis harus disertai oleh
aktifitas pada level praktis. Penciptaan kerangka hukum dan kelembagaan hanya
akan berhasil jika warga mengorganisir diri secara efektif dalam mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pekerjaan badan-badan anti korupsi. Aktifitas pada
level praktis adalah kegiatan yang secara langsung dan segera dampak pada
korupsi. Pada tingkat ini, CSO dapat berfungsi sebagai badan independen yang
memantau, meneliti dengan cermat, mendeteksi, dan mengungkapkan penyalahgunaan
kekuasaan, dan mereka mungkin merangsang kerja yang efektif rantai
akuntabilitas. Dalam hal ini, seperti yang disarankan oleh Fox (2000), CSO
dapat mendorong akuntabilitas negara dengan mengungkapkan penyalahgunaan
kekuasaan, menaikkan standar dan harapan publik kinerja negara, dan melakukan
tekanan politik. Peran pengawasan yang telah dimainkan oleh CSO di beberapa
negara terbukti telah mampu mengurangi kemungkinan korupsi. Seperti yang
dilaporkan oleh Transparency International dan beberapa peneliti, CSO di
seluruh dunia telah melakukan dengan baik untuk melawan korupsi, dengan
mendeteksi dan mengungkapkan kasus korupsi, serta membawa kasus korupsi itu ke
pengadilan (TI 1997 & 1998; Gonzalez de Asis 2000; Paus 2000).
Dalam
memainkan permainan ini, CSO tidak perlu harus melepaskan diri dari proses
pemerintahan. Sebaliknya, mereka mungkin juga berpartisipasi dalam berbagai
dinamika hubungan antara pemerintah dan warga negara. Sebagai contoh, dalam
studinya pada evaluasi proyek Bank Dunia di beberapa negara, Fox (1997)
menemukan bahwa CSO dapat memberikan kontribusi pada peningkatan efektivitas
anti-kemiskinan, sementara pada saat yang sama mereka juga mengawasi
pelaksanaan proyek. Demikian pula, pemantauan dan partisipasi sosial yang
dirangsang oleh CSO telah terbukti penting dalam mencegah korupsi dalam proyek
Bank Dunia yang lain (Penanggulangan Kemiskinan Strategi-PRS) di beberapa
negara (Barbone & Sharkey 2006).
Meskipun
memiliki potensi, usaha CSO tersebut mungkin menghadapi resistensi dari para elite dan pemimpin
politik. Oleh karena itu, CSO perlu menjadi profesional dan berpengetahuan
untuk dapat melawan tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan itu.
Selain itu, CSO tidak bisa bekerja sendirian dalam memerangi korupsi. Mereka
membutuhkan sebuah koalisi untuk mencapai yang lebih luas dan dampak yang lebih
luas dan signifikan. Untuk alasan ini, CSO harus membuat usaha jangka panjang
upaya berkelanjutan untuk mendorong semua stakeholder untuk membangun tindakan
kolektif. Media, akademisi, sektor bisnis dan kelompok-kelompok agama adalah
partner yang dapat terlibat untuk membangun sebuah fokus anti korupsi. Hal ini
pada gilirannya dapat mendorong para elite dan politisi untuk memiliki
kepentingan dalam reformasi karena semua dari mereka akan mendapatkan
keuntungan dari popularitas, citra internasional yang baik, legitimasi, dan
meningkatkan pembangunan untuk kelangsungan hidup politik mereka sendiri
(Johnston & Kpundeh 2005: 162-3).
C. PENUTUP
Pembahasan
di atas menunjukkan argumen bahwa, demokratisasi sendiri bukanlah obat mujarab
untuk menghentikan korupsi. Negara-negara demokratis baru memiliki sistem
akuntabilitas yang rusak selama masa otoriter dan tidak efektif untuk mencegah
korupsi. Belum selesainya proses konsolidasi demokrasi, bersama dengan lemahnya
fungsi politisi, birokrasi, dan sektor pasar, memberikan kesempatan bagi CSO
untuk memainkan peran penting untuk mengisi kekosongan kepemimpinan dalam
melawan korupsi.
Peran
CSO dalam menangani korupsi tidak terbatas untuk menjadi pengawas untuk setiap
penyelewengan di sektor negara, tetapi juga menjadi pendukung kelancaran setiap
pertanggungjawaban rantai dalam sistem pemerintahan. Dengan kata lain, CSO
tidak hanya dapat meningkatkan resiko korupsi dengan melakukan monitoring
eksternal dan membawa tokoh-tokoh yang korup ke pengadilan, tetapi dapat juga
mengurangi kemungkinan korupsi dengan memulai reformasi system hukum dan
perubahan kebijakan. Hal ini pada gilirannya bisa membuat CSO menjadi faktor
yang kuat sebagai penentu dalam keberhasilan proses konsolidasi demokrasi di
negara-negara demokratis baru.
DAFTAR PUSTAKA
Johnston,
M. (2000a), Corruption and Democracy: Threats to Development, Opportunities for
Reform, Hamilton, NY: Colgate University [online, accessed 15 March 2007,
available at: http://anti-
corr.ru/archive/Corruption%20and%20Democracy.pdf].
Keefer,
P. (2002), The political economy of corruption in Indonesia [Online, accessed
12 April 2007, available at:
Http://www1.worldbank.org/publicsector/anticorrupt/FlagshipCourse2003/KeeferIndonesia.pdf]
http://www.ti.org/TICorruptionPerceptionIndex.htm].
Treisman,
D. (2000), ‘The Causes of Corruption: A Cross National Study’, Journal of
Public
http://www.worldbank.org/wbi/governance/ac_courses.htm].