PENGARUH NEGATIF PERKEMBANGAN BUDAYA POPULER
TERHADAP KARAKTER REMAJA INDONESIA
ABSTRAK
Penelitian
ini merupakan penelitian kualtitatif mengenai pengaruh negative budaya populer
pada remaja. Budaya populer yang berkembang di Indonesia –terutama budaya
impor- mulai dari budaya Cina, Jepang, Amerika, sampai budaya Korea yang kini
melanda remaja Indonesia. Menurut penelitian, ternyata budaya populer yang
berkembang membaa pengaruh buruk terhadap karakter remaja Indonesia, dan
berpotensi mengaburkan jati diri bangsa Indonesia. Yang perlu kita lakukan
adalah melakukan pengawasan dan tindak lanjut mengenai budaya populer yang
tengah berkembang di Indonesia.
Kata kunci : budaya populer
I.
PEMBAHASAN
Budaya Populer
Budaya
populer sering digunakan untuk menyebut budaya yang menyenangkan atau banyak
disukai orang. Budaya populer juga dianggap sebagai representasi dari budaya
rendah. Dalam arti, budaya populer bersifat residual dalam mengakomodasi
praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi yang luhur.
Budaya
populer seringkali dianggap sebagai produk atau praktik budaya dengan selera
rendah. Hal ini merujuk pada pandangan yang mengatakan bahwa budaya populer
merupakan budaya komersial sebagai dampak dari produksi massal dan industrialisasi,
sementara budaya tinggi adalah produk budaya hasil intelektualitas dan
kreativitas individu yang lebih sophisticated (adiluhung).
Meskipun beberapa kalangan mengkritik pemisahan budaya populer dengan budaya
tinggi, tetapi perbedaan diantara keduanya tampak jelas. Kritik terutama
ditujukan pada perubahan pandangan masyarakat pada objek budaya yang sama.
Artinya, suatu produk atau praktik budaya bisa ditafsirkan sangat berbeda
ketika berada dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Misalnya, karya-karya
Shakespeare yang saat ini dianggap mewakili budaya tinggi, pada jamannya justru
merupakan praktik budaya populer.
Budaya
populer pada konteks tertentu juga didefinisikan (disamakan) sebagai budaya
massa, yaitu budaya yang diproduksi massa untuk dikomsumsi massa. Budaya massa
adalah budaya populer yang dihasilkan oleh industri produksi massa dan
dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen. Budaya massa
terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, dan lebih
mengabdi pada kepentingan pemuasan selera rendah.
Budaya
populer juga dikaitkan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci, mengacu pada
cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mempengaruhi dan mendapatkan
dukungan dari kelompok subordinat melalui proses kepemimpinan (jika tidak boleh
disebut teladan), intelektual, dan moral atas praktik-praktik budaya. Gramsci
menegaskan terdapat pertarungan ideologis dalam masyarakat, dimana
kelompok-kelompok subordinat melakukan perlawanan secara terus-menerus terhadap
kekuatan dominan, sehingga menghasilkan resistensi dan konsensus yang saling
berkelindan dan tumpang tindih.
Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, pada dasarnya sangat rumit, terutama karena konsep tersebut masih diperdebatkan. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, menyatakan bahwa budaya populer juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah menetapkan apa yang disebut sebagai budaya tinggi. Namun kenyataannya banyak karya dan praktik budaya yang melampaui dikotomi ini, misalnya Shakespeare. Suatu pendekatan post-modernisme pada budaya populer bahkan tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya populer dan budaya tinggi.
Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, pada dasarnya sangat rumit, terutama karena konsep tersebut masih diperdebatkan. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, menyatakan bahwa budaya populer juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah menetapkan apa yang disebut sebagai budaya tinggi. Namun kenyataannya banyak karya dan praktik budaya yang melampaui dikotomi ini, misalnya Shakespeare. Suatu pendekatan post-modernisme pada budaya populer bahkan tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya populer dan budaya tinggi.
Perkembangan Budaya Populer
Pada
awalnya, kajian tentang budaya populer tidak dapat dipisahkan dari peran
Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya Populer. Negara
tersebut telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri budaya populer,
antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood,
dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). Namun,
perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil
menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan
Taiwan. Dadang Rusbiantoro dalam buku Generasi
MTV (Dadang, 2008:190) juga menyatakan bahwa MTV –terutama pada Indonesia-
membawa sangat banyak pengaruh. Budaya MTV yang pada kalanya menjadi bagian
dari budaya populer remaja Indonesia sangat berpengaruh. Baik disadari maupun
tidak, budaya populer dan media massa membawa pengaruh sangat besar terhadap
remaja. Dadang menyatakan bahwa remaja merupakan sebuah bentuk kontradiktif
antara sebagai pengungkapan ekspresi diri sendiri dan juga sebagai padang rumput
yang subur bagi produsen komersial.
Menurut
Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya
populernya. Ia mengemukakan bahwa, “Selama dua dekade terakhir, produk-produk
budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara
besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara”. Manga (komik
Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama
Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang
sukses di berbagai negara.
Setelah
Jepang, menyusul Korea Selatan yang melakukan ekspansi melalui budaya populer
dalam bentuk hiburan. Amerika Serikat sebagai negara asal budaya pop juga
mendapat pengaruh penyebaran budaya pop Korea tersebut. Hal ini dibuktikan
dengan masuknya beberapa artis Korea ke Hollywood. Di samping itu,
film-film Korea juga menjadi magnet bagi sutradara Hollywood untuk
melakukan re-make film Korea, salah satunya Il Mare yang
ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House. Kasus di Amerika
Serikat tersebut menjadi contoh keberhasilan ekspansi budaya populer Korea di
dunia.
Proses penyebaran budaya Korea di dunia dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave (“Gelombang Korea”) adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Pada umumnya Hallyu mendorong masyarakat penerima untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea,hingga akhirnya budaya tersebut masuk ke Indonesia dan melahirkan musisi ternama.
Proses penyebaran budaya Korea di dunia dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave (“Gelombang Korea”) adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Pada umumnya Hallyu mendorong masyarakat penerima untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea,hingga akhirnya budaya tersebut masuk ke Indonesia dan melahirkan musisi ternama.
Budaya Populer di Indonesia
Budaya
sedikit banyak mempengaruhi unsur-unsur manusia dalam menjalani kehidupannya.
Dahulu, orang-orang berpergian menggunakan delman. Dan beberapa tahun kemudian,
orang-orang berpergian menggunakan taksi, mobil atau kendaraan umum. Dahulu
sekali, orang mendengarkan musik menggunakan gramophone atau piringan hitam.
Kini orang-orang mendengarkan musik menggunakan telepon genggam atau mp3
player, dimana segala sesuatunya menjadi mungil dan mudah dibawa kemana-mana.
Demikian
juga dalam dunia pendidikan. Dulu sekali para murid menulis menggunakan papan
hitam kecil berupa batu tulis, kemudian setelah kertas ditemukan mereka menulis
menggunakan buku. Masa dewasa ini, tidak hanya buku saja yang digunakan. Para
siswa bisa menulis menggunakan komputer,
laptop hingga tablet. Bila tidak mengikuti arus perkembangan jaman dan
mengikuti budaya populer, seseorang dikatakan kuno dan ketinggalan jaman. Dan
parahnya lagi, orang tidak memiliki persepsi yang sama mengenai apa itu budaya
populer. Pada umumnya mereka hanya ikut-ikutan semata tanpa memahami segi
positif atau negatif dari suatu budaya populer.
Dalam
kalangan para pelajar, budaya populer sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Setelah demam Korea mewabah,
sapaan,”Annyong Haseiyo!”, mulai merebak dan terdengar dimana-mana. Saat demam
budaya Cina mewabah, semuanya saling menyemangati dalam bahasa Cina yaitu,”Jia
you!”. Saat budaya Jepang mulai dikenal, semuanya lalu mulai mengatakan maaf
dalam bahasa tersebut, yaitu,”Gomenasai!”. Sementara itu bahasa asli, bahasa
ibu dan bahasa daerah negeri sendiri terlupakan. Pembicaraan bahasa Indonesia
yang menggunakan EYD telah lama hilang dan tergantikan dengan bahasa SMS yang
lebih singkat atau dikenal pula dengan bahasa alay. Seperti misalnya,” !tU
T@eMiN mUk4NyA S4m@ aJa……t4p! KL0 y4nG L4!n 4g@K bEd4 D`k!t SaMa MuK@ Y4nG d!
M4kE-Up….T4p! tETep GaNt3nG”, dan lain sebagainya.
Budaya
populer tampak menjadi pedang dengan dua sisi. Satu sisi memperkaya budaya
sendiri dan sisi lain merusak budaya asli itu sendiri.
Pengaruh Budaya Populer Terhadap Remaja
Seperti yang sudah dibahas pada
bagian Budaya Populer di atas,
istilah budaya populer itu sendiri
kadang didefinisikan sebagai “budaya rendahan”, yang berlawanan dengan budaya
tinggi. Hal ini disimpulkan dari tinjauan bahwa budaya populer tidak memiliki
beberapa unsur yang dimiliki budaya tinggi, yaitu intelektualitas, adiluhung,
dan sophisticated.
Seperti yang dibahas oleh Cyntia
Rachmijati dalam artikelnya mengenai pengaruh budaya pop (https://cynantia.wordpress.com/2013/10/21/pengaruh-budaya-populer-pada-pendidikan/), budaya populer memiliki beberapa karakteristik khusus.
Beberapa karakteristik ini –baik mau atau tidak mau, akan terserap pada
individu atau kelompok yang turut mengikuti perkembangan budaya populer,
walaupun tidak kesemuanya.
Beberapa karakteristik yang diungkapkan
oleh Cyntia adalah sebagai berikut:
1.
Pragmatisme: dalam budaya populer
segala sesuatunya diterima meskipun belum tentu menghasilkan suatu manfaat yang
berguna.
2.
Hedonisme: dalam budaya populer
lebih mengacu kepada kepuasan emosi daripada kepuasan secara intelek.
3.
Materialisme: dikenal pula sebagai
budaya McWorld dimana materi, uang dan mencari kekayaan adalah hal yang
terpenting.
4.
Banalisme: dikenal juga sebagai
kedangkalan, dimana teknologi mempermudah segala sesuatunya namun juga menjadi
kehilangan makna hidup.
5.
Konsumerisme: budaya popular erat
kaitannya dengan konsumerisme. Orang lebih mengutamakan nama, merk dan gengsi
daripada kegunaan atau fungsi dari sesuatu.
Sebagian besar dari karakteristik
tersebut, walaupun sebenarnya dapat dihindari, akan mempengaruhi karakter
individu atau kelompok yang mengikuti perkembangan budaya populer. Jika
perkembangan budaya populer di Indonesia
terus berkembang tanpa diawasi, masyarakat –terutama remaja- akan memiliki
karakter-karakter tersebut. Para remaja akan memiliki pola pikir yang banal,
akan menyerap sifat materialistis, konsumerisme, hedonisme, dan banyak pengaruh
–yang menurut penulis-negatif.
Kesimpulan
Seperti
yang kita lihat bahwa perkembangan budaya populer sangat merebak dan sangat
susah dihindari. Salah satu hal yang sangat penulis sayangkan adalah budaya
populer yang berkembang di Indonesia justru merupakan budaya impor yang diimpor
dengan lebih mengutamakan kepentingan materialism, tanpa memikirkan
pengaruh-pengaruh negative dari budaya tersebut. Remaja yang menyerapnya juga
cenderung langsung menyerapnya secara pragmatis dan banal. Jika hal demikian
terus berkembang tanpa pengawasan dan tindak lanjut, pengaruh-pengaruh negative
yang terkandung dalam budaya populer akan terserap ke dalam kepribadian remaja,
dan yang lebih parah lagi, akan berpengaruh buruk terhadap jati diri bangsa
kita, bangsa Indonesia.
Saran
Sebagai
orang yang mengerti perihal budaya populer dan pengaruh buruknya, kita harus
melakukan pengawasan dan tindak lanjut terhadap budaya populer yang diindikasi
akan membawa pengaruh negative yang berkembang di Indonesia. Dengan itu, kita
akan membantu mereduksi pengaruh negative yang terbawa, atau bahkan
menghilangkannya.
Daftar Pustaka
Rusbiantoro, Dadang. (2008).
“Generasi MTV”. Yogyakarta: JALASUTRA.
Rachmijati, Cynantia. (2013).
“Pengaruh Budaya Populer Pada Pendidikan”. [Internet]. Tersedia: https://cynantia.wordpress.com/
Fathulnuddin. (2013). “Pengaruh
Budaya Pop Pada Pergaulan Remaja”. [Internet]. Tersedia: https://fathulnuddin.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar