POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA
Abstrak
Birokrasi Indonesia dibangun
dalam sejarah panjang, sejak era kerajaan sampai era tersebut pembentukan
negara bernama Indonesia. Namun, karakteristik birokrasi yang terutama
diidentifikasi sebagai patrimonialistic. Karakteristik yang inheritted sampai
di era reformasi saat politik Struktur telah direkonstruksi menjadi lebih
demokratis. The efforst untuk reformasi tampaknya tidak menghasilkan lebih
tipologi hukum-rasionalistik birokrasi. Salah satu alasan adalah birokrasi
yang sangat dipolitisir dalam bentuk
misalnya penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan partties politik tertentu',
politik mobilisasi dalam pemilihan umum, praktik sistem jarahan di birokrasi,
politik berbasis minat promosi untuk pejabat publik, rekrutmen pejabat
pemerintah, dan membongkar petugas karir instansi pemerintah yang sangat
politis. Namun, tidak mudah untuk memberantas politisasi birokrasi karena
keduanya berhubungan erat. Idealnya, hubungan antara birokrasi dan politik
harus berorientasi untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Kata kunci: birokrasi, politik, birokrasi
dipolitisasi
A. PENDAHULUAN
Birokrasi
yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi digambarkan sebagai
organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit, penganut slogan ”kalau bisa
dipersulit mengapa dipermudah?”, tambun yang kian hari kian bengkak jumlah
pegawainya, dan korup. Sebuah gambaran yang membuat kita menjadi tidak respect
dan takut untuk berhubungan dengan birokrasi. Daripada mencari masalah lebih
baik berusaha tidak berurusan dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain,
birokrasi digambarkan sebagai organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi
siapa saja pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan.
Dua
gambaran yang kontradiktif, karena gambaran pertama disampaikan oleh masyarakat
bawah dan gambaran kedua disampaikan oleh penguasa (elit).
Sejatinya
birokrasi adalah "mesin Pemerintahan" yang membantu penguasa dalam
mewujudkan visi dan misi nya yang diwujudkan dalam beberapa kebijaksanaan.
Birokrasi sepantas nya bersifat netral. Birokrasi tidak boleh berpihak.
Birokrasi bukan alat kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaan nya.
Dan birokrasi pun tentu tidak boleh dipolitisasi demi kepentingan politik
tertentu.
Keberadaan
birokrasi yang demikian, sudah seharus nya menjadi acuan bagi siapa pun
penguasa yang telah diberi mandat oleh rakyat guna mengelola negara dan bangsa
ini. Para penguasa sendiri, tentu harus tetap mengindahkan norma-norma
Pemerintahan yang berlaku. Penguasa tidak boleh sesuka hati memaksakan kehendak
hanya untuk memperoleh keuntungan sesaat. Apalagi jika memanfaatkan birokrasi
sebagai mesin pencetak uang Penguasa.
Kondisi
birokrasi seperti itu tidak terlepas dari faktor sejarah yang sangat panjang.
Dimulai dari jaman kerajaan-kerajaan, dimana birokrasi (yang dikuasai oleh
raja) dimanifestasikan sebagai Tuhan yang harus dipatuhi segala perintahnya dan
dijauhi segala larangannya, dan rakyat yang dimanifestasikan sebagai hamba yang
harus mematuhi segala perintah dan larangannya. Hubungan ini menuntut kepatuhan
tanpa syarat dari hamba kepada Tuhannya dengan gambaran ”manunggaling kawula
dan Gusti (bersatunya rakyat dan Tuhan)” (Ngadisah & Darmanto:2008:hlm
3.1). Kemudian berkembang menjadi hubungan yang disebut patron-client (hubungan
bapak-anak), dimana anak harus tunduk dan patuh kepada bapak dan harus selalu
menyenangkan hati bapak.
Pola
hubungan yang seperti digambarkan tersebut, memunculkan tipe birokrasi yang
dikenal dengan tipe birokrasi patrimonial. Hubungan yang jelas-jelas
menguntungkan posisi bapak ini ternyata dilanggengkan oleh pemerintahan
sesudahnya, baik pemerintahan masa penjajahan sampai masa kemerdekaan, bahkan
sampai saat ini. Hubungan patron-client ini mencapai puncaknya pada masa orde
baru. Salah satu indikatornya adalah ketika pada saat itu Presiden Suharto
gencar mensosialisasikan slogan mikul dhuwur mendhem jero ( artinya : apabila
bapak (atasanmu) memiliki jasa meskipun cuma sedikit, maka harus
dipikul/diangkat setinggi mungkin dan sebaliknya, apabila memiliki
kesalahan/dosa maka harus dikubur sedalam mungkin). Slogan ini memang ditujukan
untuk mengingatkan masyarakat Indonesia agar senantiasa memelihara kepatuhan pada
bapak/atasan. Anak/bawahan harus patuh ketika diperintah oleh atasan dan tidak
perlu mempertanyakan apakah perintah itu benar atau salah.
Sebenarnya
usaha untuk merubah tipe birokrasi patrimonial ke arah birokrasi yang rasional
sudah mulai diupayakan sejak tahun 1998 (masa/orde reformasi). Tetapi ternyata
untuk melakukan suatu perubahan dalam kehidupan birokrasi di Indonesia bukanlah
hal yang gampang atau ternyata sangatlah sulit terwujud (Agus Dwiyanto:hlm
8-9). Kepentingan-kepentingan dari partai politik pengusung kekuasaan dalam
mengintervensi organisasi birokrasi pemerintahan masih sangat nyata. Dari
masalah-masalah yang muncul tentang kepentingan-kepentingan politik di dalam
organisasi birokrasi (baca : politisasi birokrasi), tulisan ini akan menjawab
pertanyaan tentang gejala-gejala apa saja yang termasuk dalam kategori
politisasi birokrasi ? Dan bagaimana menyikapinya ?
B. PEMBAHASAN
B.1. Makna Birokrasi dan Politisasi Birokrasi
Bagaimana
birokrasi lahir ? Menurut Budi Setyono (2005:hlm 29-30), pada dasarnya
birokrasi lahir sebagai produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan
kompleks yaitu dari serangkaian prosedur yang berliku dan menyangkut
kontekstualitas sosial yang universal, dan dijelaskan sebagai berikut : manusia
sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial jelas tidak mungkin bisa
hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
dan juga agar bisa tetap eksis. Ketika individu-individu tersebut ternyata
mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, maka mereka berkomitmen untuk
membentuk sebuah komunitas sosial yang selanjutnya komunitas sosial ini disebut
sebagai negara.
Sehingga
Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial, dimana pada kontrak
ini negara diberi kuasa untuk mempunyai beberapa fungsi anatra lain fungsi
keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan pemeliharaan
Sumber Daya Alam dan lingkungan. Dalam perjalanannya, ternyata terjadi perbedaan
keinginan, kebutuhan, dan pendapat antar individu-individu tersebut bahkan
perbedaan pendapat, kebutuhan dan keinginan tersebut mengarah kepada terjadinya
konflik. Untuk mengatasi konflik yang terjadi, maka negara membuat
peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh individu (masyarakat)
tersebut. Menjamin agar peraturan terlaksana, dibutuhkan pemimpin dan
aparaturnya. Peminpin dan aparaturnya ini berfungsi mengatur konflik,
menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Untuk menjamin terlaksananya
fungsi-fungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang
mengoperasionalkan fungsi tersebut secara riil. Disinilah organisasi birokrasi
muncul.
Jadi
birokrasi adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada
negara maka
birokrasipun juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada
negara tanpa ditopang oleh orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam
putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan
masyarakat akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika birokrasi buruk maka
masyarakat juga akan buruk. Jadi birokrasi memiliki akibat ganda yang saling
bertolak belakang bagi masyarakat, yaitu menjadi lembaga yang sangat bermanfaat
atau lembaga yang menyengsarakan bagi masyarakatnya. Dalam perkembangannya
eksistensi dan peran birokrasi inipun menimbulkan perbedaan pendapat.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa eksistensi birokrasi ada karena memang rakyat
menghendaki birokrasi untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
juga untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama.
Dengan demikian yang menentukan apakah organisasi birokrasi itu ada atau tidak
adalah apakah masyarakat membutuhkan lembaga itu yang bertugas menyelenggarakan
pelayanan kepada masyarakat. Pendapat ini dikenal dengan Madzab Kebutuhan
Rakyat. Kebutuhan akan pelayanan publik yang dijalankan organisasi birokrasi
ini berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (bersama) dari anggota
masyarakatnya terhadap jenis-jenis pelayanan tertentu. Sehingga masyarakat dari
satu wilayah mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat dari wilayah
lain. Misalnya, masyarakat pedesaan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan
masyarakat perkotaan, sehingga jenis pelayanannya pun juga berbeda.
Pendapat
kedua mengatakan bahwa seorang penguasa pastilah orang yang kuat. Penguasa yang
kuat harus dilayani oleh pembantu (aparat) yang solid, kuat, loyal dan dapat
dipercaya. Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa
untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan mereka dalam mengatur
kehidupan negara. Pendapat ini dikenal dengan Madzhab Kekuasaan. Sejalan dengan
pemikiran tersebut, kebanyakan pemikiran politik tradisional juga memandang
bahwa organisasi diciptakan sebagai institusi pelayan raja/kaisar. Aparatur
birokrasi memiliki tugas untuk mengejawantahkan titah kekuasaan raja yang
diberikan oleh Tuhan sehingga mereka sepenuhnya bertanggung jawab kepada raja,
dan bukan kepada rakyat. Dalam hal ini aparat birokrasi diangkat, digaji, dan
diberi tunjangan dengan tugas utama untuk melayani dan melindungi kekuasaan
raja dan keluarganya. Penilaian utama tentang sukses dan tidaknya seorang
aparat birokrasi terletak pada apakah mereka memiliki loyalitas, pengabdian,
dan pengorbanan kepada penguasa atau tidak (Ibid: hlm 14-15).
Dari
situ terlihat bahwa organisasi birokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda.
Gejala dalam Madzhab Kekuasaan bertolak belakang dengan gejala dalam Madzhab
Kebutuhan Rakyat. Madzhab yang satu memperhatikan dan melindungi rakyatnya dan
berusaha menyejahterakannya, madzhab yang lain mengorbankan rakyatnya dan
memuja atasannya. Oleh karena itu ada perbedaan pendapat dalam memberikan makna
kepada organisasi birokrasi. Makna-makna itu antara lain :
1. Makna
Positif
Birokrasi
diberi makna positif ketika organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi
legal-rasional yg bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi adalah
organisasi yang membantu masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuannya secara
efektif dan efisien. Makna ini muncul seiring dengan munculnya pendapat dari
Max Weber tentang big organization yang legal rasional. Pendukung makna positif
ini adalah Max Weber dan Harold Laski.
2. Makna
Negatif
Birokrasi
diberi makna negative ketika organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi
yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien
dan tidak efektif, korup, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penguasa untuk
menindas rakyatnya, yang berarti harus selalu tunduk dan patuh pada penguasa
dan tidak perlu memperhatikan rakyatnya. Oleh karena birokrasi dipandang tidak
bermanfaat bagi rakyat, bahkan merugikan rakyat, maka harus digulingkan.
Pendukung makna negatif ini adalah Karl Max dan Hegel.
3. Makna
Netral (value free)
Keseluruhan
pejabat negara pada cabang eksekutif atau setiap organisasi yang berskala besar
yang pegawainya digaji oleh pemerintah (Negara). Birokrasi dipandang sebagai
organisasi yang menjalankan pekerjaan teknis administrative dari kehiudpan
pemerintah (Negara). Pendukung dari makna netral ini adalah generasi Martin M.
Blau, dll.
Sedangkan
politisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal membuat
keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebaginya) bersifat politis.
Juga berarti
membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Politisasi
birokrasi berarti membuat agar orgnisasi birokrasi bekerja dan berbuat (baca:
patuh dan taat) sesuai dengan kepentingan politik yang
berkuasa.
Politisasi birokrasi berada didua sisi; berasal dari sisi partai politik yang
mengintervensi
birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk
kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang
sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan. Mengapa gejala
politisasi birokrasi di Indonesia harus diwaspadai? Menurut pendapat Mahrus
Irsam alam <http://www.indopubs.com/archives>, ada argumentasi yang bisa
diajukan yaitu :
Pertama,
karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun
militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi
politisasi. Minimal melalui politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk
dijadikan basis pendukung bagi partai sang menteri (merangkap pengurus partai)
di dalam pemilihan umum yang akan datang.
Kedua,
politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses
profesionalisasi di dalam birokrasi. Tegasnya sejak dari tahun 1950 hingga
dewasa ini profesionalisasi birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari
para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa
profesionalisasi
hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan
dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut. Kedua faktor tersebut telah
mengakibatkan
birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisasi selama setengah abad.
B.2. Tipe-Tipe Politisasi Birokrasi
Berdasarkan
pengalaman selama setengah abad itu dapat digambarkan adanya tiga tipe
politisasi terhadap birokrasi di Indonesia (Ibid), yaitu :
Pertama, politisasi
secara terbuka. Dikatakan secara terbuka karena ada upaya-upaya yang dilakukan
secara langsung dan tidak ada hal yang harus ditutup-tutupi.
Tipe
politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi Parlementer
(1950-1959), dimana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol)
bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah
kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha
sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya
sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi
anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya
didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai
politik seperti misalnya yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi
secara bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi
secara bergantian oleh PSI dan PNI.
Kedua,
politisasi setengah terbuka. Tipe politisasi ini dijalankan oleh para pemimpin
partai politik pada masa periode Demokrasi Terpimpin. Dikatakan setengah
terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang
mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun
golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk
menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian
melakukan politisasi birokrasi.
Tetapi
di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak tersebut karena
masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain
(nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya
Sukarno juga tidak bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam
banyak hal, Sukarno mengikuti sikap golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah,
Sukarno menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI, misalnya
Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan politisasi.
Dengan demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi
melalui Baperki.
Ketiga,
politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa Orde
Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai ke tingkat
Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi
anggota yang sekaligus pembina Golkar. Memang terdapat dua buah partai lagi,
yaitu PPP dan PDI, akan tetapi sejak mulai diterima menjadi pegawai negeri
setiap orang sudah dihadang untuk membuat pernyataan tertulis di atas kertas
yang bermeterai.
Di
atas kertas tersebut dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk
menjadi anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan
bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam
realitasnya para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan tertulis tersebut
dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya larangan tertulis bagi
para calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI. Kepada kedua partai tersebut
dapat diajukan bukti, justru pegawai negeri sendiri yang tidak menginginkan
masuk parpol. Dapat pula ditambahkan, semua jabatan di bawah menteri yang antara
lain jabatan bagi birokrat karier dijadikan jabatan politik. Akibatnya karier
birokrat tersumbat karena tidak tersedia jalan bagi para birokrat untuk
melakukan mobilitas vertikal menuju posisi-posisi puncak kariernya.
Kondisi
tersebut dipertajam dengan mekanisme rekrutmen pegawai negeri yang dilakukan
secara terbuka dan besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum (pemilu).
Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas birokrasi pada masa
orde baru ikut membantu menciptakan stabilitas dan kemampuan umum pemerintah
yang memungkinkan pemerintah didukung birokrasi melakukan pembangunan di
berbagai bidang tetapi kinerja birokrasi hanya menguntungkan penguasa dan bukan
rakyat. Hal ini berbeda dengan era orde lama yang sangat sulit melakukan pembangunan
karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam berbagai afiliasi politik
(partai-partai politik berbasis Nasakom).
B.3. Fenomena-Fenomena Politisasi Birokrasi
1.
Mempolitisir fasilitas negara
Politisasi
birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa dilihat menjelang
pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas birokrasi telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak
diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi
bagi seorang calon kepala daerah yang incumbent, sangat sulit untuk
mematuhinya. Karena dia berada pada posisi memiliki segalanya, jabatan, uang,
dan kekuasaan. Seperti kata Lord Acton : power tend to corrupt. Siapapun yang
memiliki kekuasaan cenderung korup. Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya
fasilitas negara yang turut dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolodasi,
lobi politik dengan partai politik lain, dan kampanye (mobilisasi massa).
Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan adalah mobil dinas, pakaian dinas,
dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara. Penggunaan fasilitas negara
ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang sedang menjalani proses politik
(pemilu).
2.
Memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada
Politisasi
birokrasi melalui mobilisasi (pengerahan) PNS pada saat pilkada, berarti sekali
lagi berbicara tentang netralitas birokrasi. Beberapa upaya untuk menetralkan
birokrasi sebenarnya pernah dilakukan. Miftah Toha (2007: hlm 156-
159)
mengatakan bahwa netralitas birokrasi di era reformasi sudah banyak berkembang.
Hal ini bermula ketika eksistensi organisasi KORPRI digugat oleh beberapa
pihak, misalnya gugatan yang datang dari UI dan desakan untuk membubarkan
KORPRI atau bersikap netral dalam setiap proses politik. Meskipun saat itu
masih ada juga beda pendapat tentang keharusan pegawai negeri untuk netral dan
tidak menjadi pengurus partai politik atau menganggap bahwa berpolitik itu
adalah hak azasi setiap manusia. Pada kenyataannya, pendapat kedualah yang
masih dilestarikan. Sehingga kenetralan pegawai negeri dalam proses politik
jauh panggang dari api. Dalam setiap pemilu, suara pegawai negeri menjadi salah
satu modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara pegawai negeri ini jelas sangat
mudah bagi kandidat incumbent. Dengan iming-iming janji akan diberi jabatan
atau perintah untuk mendukung atasannya, mobilisasi pegawai negeri pada saat
pemilu dan pilkada sangat banyak terjadi baik proses pemilihan di tingkat
kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.
3. Adanya
Kompensasi Jabatan
Kompensasi
jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat pusat. Pasca gerakan
reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap berbagai
kebiajkan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam
sistem pemerintahan. Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam
kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, dimana disitu terlihat partai-partai yang
bersedia berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet.
Jumlah kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat
pemilihan legislatif, tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di
daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala
kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara partai pemenang dengan
partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari kompensasi jabatan antara
penguasa dan partai politik adalah terganggunya kinerja birokrasi yang
seharusnya memegang teguh merit sistem (berdasar profesionalisme). Karena
sebenarnya banyak birokrat yang profesional, tetapi kalah dengan birokrat lain
yang punya dukungan dari partai-partai politik.
4.
Mempolitisir Rekruitment Pegawai Negeri baru
Selain
kompensasi jabatan, deal-deal yang terjadi antara penguasa dan partai-partai
koalisi adalah pemberian jatah pada saat pemerintah pusat atau pemerintah
daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai negeri baru. Seperti diketahui,
meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya
kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat
gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih
sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu
jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa
(baca: memberi rekomendasi)”. Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah
(atas nama) partai-partai politik.
5. Adanya
Komersialisasi Jabatan
Komersialisasi
jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, bahwa
seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan mengikuti
pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang
cukup besar.
Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi
dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan
komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama
mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan jabatan baru. Dampak yang
muncul adalah seorang birokrat bukannya berusaha mempraktikkan
pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan tetapi
melakukan usaha politisasi untuk memperoleh perlindungan (pengamanan) atas
posisi jabatannya agar tidak tergeser oleh pihak lain.
Kedua, pada
umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa motivasi para birokrat untuk
mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk menguasai keahlian yang
profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan
pangkat dan jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah alternatif untuk
melicinkan jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan
pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai melaksanakan
pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah politisasi
untuk mengamankan posisi jabatannya.
6. Pencopotan
Jabatan Karir (Sekretaris Daerah/Sekda) karena alasan politis
Ketika
jabatan-jabatan di tingkat daerah dipilih (promosi) bukan berdasarkan merit
sistem tetapi karena politisasi birokrasi, maka yang terjadi adalah pencopotan
(depromosi) pun juga karena proses politisasi birokrasi. Hal ini diperkuat
dengan hasil penelitian dari Sjahrazad Masdar dalam disertasi berjudul
”Intervensi Politisi Terhadap Birokrasi (Studi Tentang Pengaruh Politisi
Terhadap Kebijakan Promosi dan Depromosi Birokrat Di Kota Surabaya dan
Kabupaten Situbondo)”, yang memperlihatkan
fenomena umum bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah
menunjukkan adanya pola relasi yang interventif. Kasus di Surabaya menunjukkan
pola pemberhentian sekda yang dilakukan oleh kepala daerah merupakan proses
yang penuh dengan muatan politis, khususnya untuk melanggengkan kekuasaan
kepala daerah itu sendiri. Sedangkan yang terjadi di Kabupaten Situbondo,
ketika sekda tidak bersedia mengakomodir keinginan-keinginan kelompok
mayoritas, berbagai usaha dilakukan untuk menggeser sekda dari jabatannya.
Meskipun kepala daerah pada prinsipnya tidak menyetujui desakan pemberhentian
karena alasan-alasan obyektif dan rasional, namun akhirnya sekda tetap saja
diberhentikan karena kuatnya desakan dari aktor-aktor di luar birokrasi.
B.4. Menyikapi politisasi birokrasi
Politisasi
birokrasi di negara kita melihat fenomena-fenomena yang terjadi benar-benar
dekat dengan aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa
telah banyak aspek kehidupan kita yang dikendalikan oleh politik yang tumbuh
subur dalam tubuh birokrasi, bukannya membawa kebaikan malah memperburuk
keadaan. Maka sangat manusiawi jika banyak orang tidak ingin berurusan dengan
birokrasi. Tetapi, pilihan untuk tidak berurusan dengan birokrasi bukanlah
tindakan yang sepenuhnya dapat dibenarkan, meskipun itu merupakan pilihan yang
sulit dan hampir jarang terjadi. Politisasi yang terjadi di dalam kehidupan
kita sehari-hari seharusnya bukan kita hindari melainkan berusaha untuk membuka
arah keterbukaan pada setiap aspek urusan kita dalam birokrasi.
Sebuah
sikap yang menurut penulis paling penting adalah reformasi birokrasi. Reformasi
birokrasi memang sudah dimulai sejak tahun 1998, namun hingga sekarang belum kita
temukan konsep birokrasi yang matang di negeri ini. Kenapa? Senada dengan
pernyataan Kristian Widya Wicaksono (2006), Penulis juga melihat bahwa tidak
adanya keinginan yang serius dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk
mereformasi birokrasi adalah persoalan pokok politisasi birokrasi. Hal ini kita
bisa saksikan dari berbagai kampanye calon presiden maupun kepala daerah di
Indonesia lebih menonjolkan sisi pembenahan ekonomi melalui peningkatan
kesejahteraan masyarakat sedangkan reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah
dibicarakan dalam kampanye politik mereka. Tidak ada satu pun dari para
kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya birokrasi,
atau simplifikasi prosedural saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya,
tidak ada komitmen yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam.
Oleh
karena itu, menjadi sikap yang bijak jika kita tidak lagi terlalu menutut para
kandidat presiden atau kepala daerah untuk berfokus pada peningkatan
kesejahteraan, tetapi lebih menuntut mereka untuk memperbaiki sistem
pemerintahan dari dalam, mengobati penyakit-penyakit yang sudah membengkak di
dalam tubuh pemerintahan. Karena dengan sembuhnya tubuh pemerintahan akan
secara tidak langsung memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakat
daripada menutut kesejahteraan itu tanpa reformasi dari dalam (birokrasi).
Sehatnya tubuh birokrasi akan mempermudah segala urusan warga negara.
Kematangan sistem birokrasi adalah seharusnya mimpi sebuah negara berkembang
yang harus dengan penuh kepercayaan dapat tercapai dalam waktu yang tidak lama.
Bukannya pergantian sistem setiap terjadi pergantian pemimpin. Seperti juga
dikemukakan Adig Suwandi dalam bukunya Moeljarto Tjokrowinoto yang berjudul
“Birokrasi Dalam Polemik” yang mengatakan bahwa menghilangkan kebijakan
politisasi birokrasi ditubuh birokrasi adalah agenda utama yang perlu
direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi.
Ada
tiga hal yang berkenaan dengan upaya menghilangkan jejak politisasi birokrasi
itu. Pertama, birokrasi harus steril dari orang-orang partai politik, khususnya
untuk posisi jabatan karir mulai dari eselon tertinggi (I.A) sampai eselon
terendah (V.B). Alasannya adalah jabatan-jabatan karir ini merupakan jabatan
strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal
organisasi. Oleh karena prinsip kerja birokrasi adalah memaksimalkan efisiensi
administratif, maka birokrasi yang steril dari kepentingan politis sebuah
partai politik, diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi dalam hal
rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan
semakin meningkat, maka keharusan aparat birokrasi yang capable (ahli)
dibidangnya serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah
kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dengan
prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa
dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk
menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin
terpuruk dimata masyarakat. Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu
dibandingkan masyarakat yang dilayaninya. Tidaklah mungkin karakter birokrasi
yang cenderung lamban dan tidak terspesialisasi itu dapat bertahan dizaman yang
sedang bergerak cepat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Adig Suwandi, refomasi
birokrasi sudah harus berkomitmen untuk meninggalkan watak lama dan warisan
sebagai birokrasi tukang pungut untuk didorong menjadi birokrasi yang
memberdayakan lingkungan (empowering bureaucratic). Secara eksplisit, argumen
ini bisa mewakili banyaknya pandangan sekaligus tuntutan masyarakat yang
seringkali mengeluh terhadap layanan birokrasi.
C. PENUTUP
Politisasi
birokrasi di Indonesia masih banyak terjadi. Politisasi ini bisa datang dari
legislatif maupun dari eksekutif. Tetapi mempunyai tujuan (kepentingan) yang
sama yaitu melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari gejala-gejala
mulai dari penggunaan fasilitas negara, mobilisasi pegawai negeri sipil,
kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, rekruitmen pegawai negeri baru,
sampai pencopotan (depromosi) sekretaris daerah.
Dampak
intervensi politik baik oleh legislatif maupun eksekutif ini menyebabkan merit
sistem menjadi sangat sulit dilaksanakan. Keputusan-keputusan yang seharusnya
diambil melalui pertimbangan objektif tidak jarang berbelok untuk mengakomodir
kepentingan-kepentingan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.indopubs.com/archives> webug@ugm.ac.id
http://www.kompasiana.com/martin-rambe/politisasi-birokrasi-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar