Senin, 14 Agustus 2017

jurnal POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA



POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA

Abstrak

Birokrasi Indonesia dibangun dalam sejarah panjang, sejak era kerajaan sampai era tersebut pembentukan negara bernama Indonesia. Namun, karakteristik birokrasi yang terutama diidentifikasi sebagai patrimonialistic. Karakteristik yang inheritted sampai di era reformasi saat politik Struktur telah direkonstruksi menjadi lebih demokratis. The efforst untuk reformasi tampaknya tidak menghasilkan lebih tipologi hukum-rasionalistik birokrasi. Salah satu alasan adalah birokrasi yang  sangat dipolitisir dalam bentuk misalnya penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan partties politik tertentu', politik mobilisasi dalam pemilihan umum, praktik sistem jarahan di birokrasi, politik berbasis minat promosi untuk pejabat publik, rekrutmen pejabat pemerintah, dan membongkar petugas karir instansi pemerintah yang sangat politis. Namun, tidak mudah untuk memberantas politisasi birokrasi karena keduanya berhubungan erat. Idealnya, hubungan antara birokrasi dan politik harus berorientasi untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat.


Kata kunci: birokrasi, politik, birokrasi dipolitisasi


A. PENDAHULUAN
Birokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi digambarkan sebagai organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit, penganut slogan ”kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?”, tambun yang kian hari kian bengkak jumlah pegawainya, dan korup. Sebuah gambaran yang membuat kita menjadi tidak respect dan takut untuk berhubungan dengan birokrasi. Daripada mencari masalah lebih baik berusaha tidak berurusan dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain, birokrasi digambarkan sebagai organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi siapa saja pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan.

Dua gambaran yang kontradiktif, karena gambaran pertama disampaikan oleh masyarakat bawah dan gambaran kedua disampaikan oleh penguasa (elit).
Sejatinya birokrasi adalah "mesin Pemerintahan" yang membantu penguasa dalam mewujudkan visi dan misi nya yang diwujudkan dalam beberapa kebijaksanaan. Birokrasi sepantas nya bersifat netral. Birokrasi tidak boleh berpihak. Birokrasi bukan alat kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaan nya. Dan birokrasi pun tentu tidak boleh dipolitisasi demi kepentingan politik tertentu.
Keberadaan birokrasi yang demikian, sudah seharus nya menjadi acuan bagi siapa pun penguasa yang telah diberi mandat oleh rakyat guna mengelola negara dan bangsa ini. Para penguasa sendiri, tentu harus tetap mengindahkan norma-norma Pemerintahan yang berlaku. Penguasa tidak boleh sesuka hati memaksakan kehendak hanya untuk memperoleh keuntungan sesaat. Apalagi jika memanfaatkan birokrasi sebagai mesin pencetak uang Penguasa.
Kondisi birokrasi seperti itu tidak terlepas dari faktor sejarah yang sangat panjang. Dimulai dari jaman kerajaan-kerajaan, dimana birokrasi (yang dikuasai oleh raja) dimanifestasikan sebagai Tuhan yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala larangannya, dan rakyat yang dimanifestasikan sebagai hamba yang harus mematuhi segala perintah dan larangannya. Hubungan ini menuntut kepatuhan tanpa syarat dari hamba kepada Tuhannya dengan gambaran ”manunggaling kawula dan Gusti (bersatunya rakyat dan Tuhan)” (Ngadisah & Darmanto:2008:hlm 3.1). Kemudian berkembang menjadi hubungan yang disebut patron-client (hubungan bapak-anak), dimana anak harus tunduk dan patuh kepada bapak dan harus selalu menyenangkan hati bapak.
Pola hubungan yang seperti digambarkan tersebut, memunculkan tipe birokrasi yang dikenal dengan tipe birokrasi patrimonial. Hubungan yang jelas-jelas menguntungkan posisi bapak ini ternyata dilanggengkan oleh pemerintahan sesudahnya, baik pemerintahan masa penjajahan sampai masa kemerdekaan, bahkan sampai saat ini. Hubungan patron-client ini mencapai puncaknya pada masa orde baru. Salah satu indikatornya adalah ketika pada saat itu Presiden Suharto gencar mensosialisasikan slogan mikul dhuwur mendhem jero ( artinya : apabila bapak (atasanmu) memiliki jasa meskipun cuma sedikit, maka harus dipikul/diangkat setinggi mungkin dan sebaliknya, apabila memiliki kesalahan/dosa maka harus dikubur sedalam mungkin). Slogan ini memang ditujukan untuk mengingatkan masyarakat Indonesia agar senantiasa memelihara kepatuhan pada bapak/atasan. Anak/bawahan harus patuh ketika diperintah oleh atasan dan tidak perlu mempertanyakan apakah perintah itu benar atau salah.
Sebenarnya usaha untuk merubah tipe birokrasi patrimonial ke arah birokrasi yang rasional sudah mulai diupayakan sejak tahun 1998 (masa/orde reformasi). Tetapi ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam kehidupan birokrasi di Indonesia bukanlah hal yang gampang atau ternyata sangatlah sulit terwujud (Agus Dwiyanto:hlm 8-9). Kepentingan-kepentingan dari partai politik pengusung kekuasaan dalam mengintervensi organisasi birokrasi pemerintahan masih sangat nyata. Dari masalah-masalah yang muncul tentang kepentingan-kepentingan politik di dalam organisasi birokrasi (baca : politisasi birokrasi), tulisan ini akan menjawab pertanyaan tentang gejala-gejala apa saja yang termasuk dalam kategori politisasi birokrasi ? Dan bagaimana menyikapinya ?

B. PEMBAHASAN
B.1. Makna Birokrasi dan Politisasi Birokrasi
Bagaimana birokrasi lahir ? Menurut Budi Setyono (2005:hlm 29-30), pada dasarnya birokrasi lahir sebagai produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks yaitu dari serangkaian prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang universal, dan dijelaskan sebagai berikut : manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk sosial jelas tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan juga agar bisa tetap eksis. Ketika individu-individu tersebut ternyata mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, maka mereka berkomitmen untuk membentuk sebuah komunitas sosial yang selanjutnya komunitas sosial ini disebut sebagai negara.
Sehingga Negara (Pemerintah) dibentuk berdasar pada kontrak sosial, dimana pada kontrak ini negara diberi kuasa untuk mempunyai beberapa fungsi anatra lain fungsi keamanan, ketertiban, keadilan, pekerjaan umum, kesejahteraan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam dan lingkungan. Dalam perjalanannya, ternyata terjadi perbedaan keinginan, kebutuhan, dan pendapat antar individu-individu tersebut bahkan perbedaan pendapat, kebutuhan dan keinginan tersebut mengarah kepada terjadinya konflik. Untuk mengatasi konflik yang terjadi, maka negara membuat peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh individu (masyarakat) tersebut. Menjamin agar peraturan terlaksana, dibutuhkan pemimpin dan aparaturnya. Peminpin dan aparaturnya ini berfungsi mengatur konflik, menegakkan peraturan dan mencapai tujuan. Untuk menjamin terlaksananya fungsi-fungsi itu pemerintahan negara memerlukan organ pelaksana yang mengoperasionalkan fungsi tersebut secara riil. Disinilah organisasi birokrasi muncul.
Jadi birokrasi adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada
negara maka birokrasipun juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk. Jadi birokrasi memiliki akibat ganda yang saling bertolak belakang bagi masyarakat, yaitu menjadi lembaga yang sangat bermanfaat atau lembaga yang menyengsarakan bagi masyarakatnya. Dalam perkembangannya eksistensi dan peran birokrasi inipun menimbulkan perbedaan pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa eksistensi birokrasi ada karena memang rakyat menghendaki birokrasi untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, juga untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Dengan demikian yang menentukan apakah organisasi birokrasi itu ada atau tidak adalah apakah masyarakat membutuhkan lembaga itu yang bertugas menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Pendapat ini dikenal dengan Madzab Kebutuhan Rakyat. Kebutuhan akan pelayanan publik yang dijalankan organisasi birokrasi ini berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (bersama) dari anggota masyarakatnya terhadap jenis-jenis pelayanan tertentu. Sehingga masyarakat dari satu wilayah mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat dari wilayah lain. Misalnya, masyarakat pedesaan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat perkotaan, sehingga jenis pelayanannya pun juga berbeda.
Pendapat kedua mengatakan bahwa seorang penguasa pastilah orang yang kuat. Penguasa yang kuat harus dilayani oleh pembantu (aparat) yang solid, kuat, loyal dan dapat dipercaya. Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan mereka dalam mengatur kehidupan negara. Pendapat ini dikenal dengan Madzhab Kekuasaan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, kebanyakan pemikiran politik tradisional juga memandang bahwa organisasi diciptakan sebagai institusi pelayan raja/kaisar. Aparatur birokrasi memiliki tugas untuk mengejawantahkan titah kekuasaan raja yang diberikan oleh Tuhan sehingga mereka sepenuhnya bertanggung jawab kepada raja, dan bukan kepada rakyat. Dalam hal ini aparat birokrasi diangkat, digaji, dan diberi tunjangan dengan tugas utama untuk melayani dan melindungi kekuasaan raja dan keluarganya. Penilaian utama tentang sukses dan tidaknya seorang aparat birokrasi terletak pada apakah mereka memiliki loyalitas, pengabdian, dan pengorbanan kepada penguasa atau tidak (Ibid: hlm 14-15).
Dari situ terlihat bahwa organisasi birokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda. Gejala dalam Madzhab Kekuasaan bertolak belakang dengan gejala dalam Madzhab Kebutuhan Rakyat. Madzhab yang satu memperhatikan dan melindungi rakyatnya dan berusaha menyejahterakannya, madzhab yang lain mengorbankan rakyatnya dan memuja atasannya. Oleh karena itu ada perbedaan pendapat dalam memberikan makna kepada organisasi birokrasi. Makna-makna itu antara lain :
1. Makna Positif
Birokrasi diberi makna positif ketika organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi legal-rasional yg bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi adalah organisasi yang membantu masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. Makna ini muncul seiring dengan munculnya pendapat dari Max Weber tentang big organization yang legal rasional. Pendukung makna positif ini adalah Max Weber dan Harold Laski.
2. Makna Negatif
Birokrasi diberi makna negative ketika organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korup, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penguasa untuk menindas rakyatnya, yang berarti harus selalu tunduk dan patuh pada penguasa dan tidak perlu memperhatikan rakyatnya. Oleh karena birokrasi dipandang tidak bermanfaat bagi rakyat, bahkan merugikan rakyat, maka harus digulingkan. Pendukung makna negatif ini adalah Karl Max dan Hegel.


3. Makna Netral (value free)
Keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau setiap organisasi yang berskala besar yang pegawainya digaji oleh pemerintah (Negara). Birokrasi dipandang sebagai organisasi yang menjalankan pekerjaan teknis administrative dari kehiudpan pemerintah (Negara). Pendukung dari makna netral ini adalah generasi Martin M. Blau, dll.
Sedangkan politisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebaginya) bersifat politis.
Juga berarti membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Politisasi birokrasi berarti membuat agar orgnisasi birokrasi bekerja dan berbuat (baca: patuh dan taat) sesuai dengan kepentingan politik yang
berkuasa. Politisasi birokrasi berada didua sisi; berasal dari sisi partai politik yang
mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri. Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan. Mengapa gejala politisasi birokrasi di Indonesia harus diwaspadai? Menurut pendapat Mahrus Irsam alam <http://www.indopubs.com/archives>, ada argumentasi yang bisa diajukan yaitu :
Pertama, karena di sepanjang sejarah politik Indonesia para penguasa, baik sipil maupun militer, selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk bagi politisasi. Minimal melalui politisasi, sebuah birokrasi dapat digiring untuk dijadikan basis pendukung bagi partai sang menteri (merangkap pengurus partai) di dalam pemilihan umum yang akan datang.
Kedua, politisasi birokrasi itu menjadi hambatan bagi tumbuhnya proses profesionalisasi di dalam birokrasi. Tegasnya sejak dari tahun 1950 hingga dewasa ini profesionalisasi birokrasi belum pernah menjadi titik perhatian dari para politisi yang memimpin birokrasi. Biasanya para politisi beranggapan bahwa
profesionalisasi hanya akan merugikan atau membatasi ruang gerak politisasi yang akan dilancarkannya di dalam birokrasi tersebut. Kedua faktor tersebut telah
mengakibatkan birokrasi belum terjamah oleh proses profesionalisasi selama setengah abad.

B.2. Tipe-Tipe Politisasi Birokrasi
Berdasarkan pengalaman selama setengah abad itu dapat digambarkan adanya tiga tipe politisasi terhadap birokrasi di Indonesia (Ibid), yaitu :
Pertama, politisasi secara terbuka. Dikatakan secara terbuka karena ada upaya-upaya yang dilakukan secara langsung dan tidak ada hal yang harus ditutup-tutupi.
Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi Parlementer (1950-1959), dimana pada masa ini, para pemimpin partai politik (parpol) bersaing untuk memperebutkan posisi menteri yang langsung memimpin sebuah kementerian. Setelah menduduki kursi menteri, maka sang menteri akan berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kepemimpinannya dan kebijakan yang ditempuhnya sehingga para pegawai di kementerian tersebut tertarik untuk masuk dan menjadi anggota ke dalam partai sang menteri. Dengan kondisi seperti itu maka akhirnya didapati beberapa kementerian menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai politik seperti misalnya yang jelas terlihat adalah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI dan PNI.
Kedua, politisasi setengah terbuka. Tipe politisasi ini dijalankan oleh para pemimpin partai politik pada masa periode Demokrasi Terpimpin. Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun golongan yang terakhir ini di satu pihak secara formal memiliki hak untuk menempatkan beberapa pemimpin atau tokohnya ke dalam kabinet dan kemudian melakukan politisasi birokrasi.
Tetapi di lain pihak, golongan Komunis tidak pernah menikmati hak tersebut karena masuknya PKI ke dalam kabinet selalu ditentang oleh dua golongan yang lain (nasionalis & agama). Selain itu juga ditentang pihak militer. Tampaknya Sukarno juga tidak bisa berbuat apa pun terhadap penolakan itu. Bahkan dalam banyak hal, Sukarno mengikuti sikap golongan nonkomunis. Sebagai jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI, misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan politisasi. Dengan demikian secara tidak langsung PKI dapat melakukan politisasi birokrasi melalui Baperki.
Ketiga, politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa Orde Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai ke tingkat Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi anggota yang sekaligus pembina Golkar. Memang terdapat dua buah partai lagi, yaitu PPP dan PDI, akan tetapi sejak mulai diterima menjadi pegawai negeri setiap orang sudah dihadang untuk membuat pernyataan tertulis di atas kertas yang bermeterai.
Di atas kertas tersebut dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk menjadi anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam realitasnya para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar tidak pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan tertulis tersebut dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya larangan tertulis bagi para calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI. Kepada kedua partai tersebut dapat diajukan bukti, justru pegawai negeri sendiri yang tidak menginginkan masuk parpol. Dapat pula ditambahkan, semua jabatan di bawah menteri yang antara lain jabatan bagi birokrat karier dijadikan jabatan politik. Akibatnya karier birokrat tersumbat karena tidak tersedia jalan bagi para birokrat untuk melakukan mobilitas vertikal menuju posisi-posisi puncak kariernya.
Kondisi tersebut dipertajam dengan mekanisme rekrutmen pegawai negeri yang dilakukan secara terbuka dan besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum (pemilu). Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas birokrasi pada masa orde baru ikut membantu menciptakan stabilitas dan kemampuan umum pemerintah yang memungkinkan pemerintah didukung birokrasi melakukan pembangunan di berbagai bidang tetapi kinerja birokrasi hanya menguntungkan penguasa dan bukan rakyat. Hal ini berbeda dengan era orde lama yang sangat sulit melakukan pembangunan karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam berbagai afiliasi politik (partai-partai politik berbasis Nasakom).

B.3. Fenomena-Fenomena Politisasi Birokrasi
1. Mempolitisir fasilitas negara
Politisasi birokrasi berupa penggunaan fasilitas negara sangat bisa dilihat menjelang pemilihan umum. Meskipun tentang netralitas birokrasi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1999 yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, tetapi bagi seorang calon kepala daerah yang incumbent, sangat sulit untuk mematuhinya. Karena dia berada pada posisi memiliki segalanya, jabatan, uang, dan kekuasaan. Seperti kata Lord Acton : power tend to corrupt. Siapapun yang memiliki kekuasaan cenderung korup. Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya fasilitas negara yang turut dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolodasi, lobi politik dengan partai politik lain, dan kampanye (mobilisasi massa). Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan adalah mobil dinas, pakaian dinas, dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara. Penggunaan fasilitas negara ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang sedang menjalani proses politik (pemilu).

2. Memobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada
Politisasi birokrasi melalui mobilisasi (pengerahan) PNS pada saat pilkada, berarti sekali lagi berbicara tentang netralitas birokrasi. Beberapa upaya untuk menetralkan birokrasi sebenarnya pernah dilakukan. Miftah Toha (2007: hlm 156-
159) mengatakan bahwa netralitas birokrasi di era reformasi sudah banyak berkembang. Hal ini bermula ketika eksistensi organisasi KORPRI digugat oleh beberapa pihak, misalnya gugatan yang datang dari UI dan desakan untuk membubarkan KORPRI atau bersikap netral dalam setiap proses politik. Meskipun saat itu masih ada juga beda pendapat tentang keharusan pegawai negeri untuk netral dan tidak menjadi pengurus partai politik atau menganggap bahwa berpolitik itu adalah hak azasi setiap manusia. Pada kenyataannya, pendapat kedualah yang masih dilestarikan. Sehingga kenetralan pegawai negeri dalam proses politik jauh panggang dari api. Dalam setiap pemilu, suara pegawai negeri menjadi salah satu modal yang menjanjikan. Pemanfaatan suara pegawai negeri ini jelas sangat mudah bagi kandidat incumbent. Dengan iming-iming janji akan diberi jabatan atau perintah untuk mendukung atasannya, mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu dan pilkada sangat banyak terjadi baik proses pemilihan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.

3. Adanya Kompensasi Jabatan
Kompensasi jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat pusat. Pasca gerakan reformasi 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap berbagai kebiajkan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem pemerintahan. Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, dimana disitu terlihat partai-partai yang bersedia berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet. Jumlah kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilihan legislatif, tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di daerah jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor, kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara partai pemenang dengan partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari kompensasi jabatan antara penguasa dan partai politik adalah terganggunya kinerja birokrasi yang seharusnya memegang teguh merit sistem (berdasar profesionalisme). Karena sebenarnya banyak birokrat yang profesional, tetapi kalah dengan birokrat lain yang punya dukungan dari partai-partai politik.

4. Mempolitisir Rekruitment Pegawai Negeri baru
Selain kompensasi jabatan, deal-deal yang terjadi antara penguasa dan partai-partai koalisi adalah pemberian jatah pada saat pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai negeri baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Dan pembagian jatah itu jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa (baca: memberi rekomendasi)”. Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik.

5. Adanya Komersialisasi Jabatan
Komersialisasi jabatan dalam praktek politisasi birokrasi bisa dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, bahwa seorang birokrat di satu sisi, untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan, pelatihan, dan kenaikan pangkat membutuhkan biaya yang
cukup besar. Di sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan jabatan baru. Dampak yang muncul adalah seorang birokrat bukannya berusaha mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan tetapi melakukan usaha politisasi untuk memperoleh perlindungan (pengamanan) atas posisi jabatannya agar tidak tergeser oleh pihak lain.
Kedua, pada umumnya seperti yang diketahui banyak orang bahwa motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan latihan bukan untuk menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi dipandang sebagai sebuah alternatif untuk melicinkan jalan menuju jabatan tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan secara profesional tetapi begitu mulai melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi kembali menempuh langkah-langkah politisasi untuk mengamankan posisi jabatannya.

6. Pencopotan Jabatan Karir (Sekretaris Daerah/Sekda) karena alasan politis
Ketika jabatan-jabatan di tingkat daerah dipilih (promosi) bukan berdasarkan merit sistem tetapi karena politisasi birokrasi, maka yang terjadi adalah pencopotan (depromosi) pun juga karena proses politisasi birokrasi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Sjahrazad Masdar dalam disertasi berjudul ”Intervensi Politisi Terhadap Birokrasi (Studi Tentang Pengaruh Politisi Terhadap Kebijakan Promosi dan Depromosi Birokrat Di Kota Surabaya dan Kabupaten Situbondo)”, yang  memperlihatkan fenomena umum bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah menunjukkan adanya pola relasi yang interventif. Kasus di Surabaya menunjukkan pola pemberhentian sekda yang dilakukan oleh kepala daerah merupakan proses yang penuh dengan muatan politis, khususnya untuk melanggengkan kekuasaan kepala daerah itu sendiri. Sedangkan yang terjadi di Kabupaten Situbondo, ketika sekda tidak bersedia mengakomodir keinginan-keinginan kelompok mayoritas, berbagai usaha dilakukan untuk menggeser sekda dari jabatannya. Meskipun kepala daerah pada prinsipnya tidak menyetujui desakan pemberhentian karena alasan-alasan obyektif dan rasional, namun akhirnya sekda tetap saja diberhentikan karena kuatnya desakan dari aktor-aktor di luar birokrasi.


B.4. Menyikapi politisasi birokrasi
Politisasi birokrasi di negara kita melihat fenomena-fenomena yang terjadi benar-benar dekat dengan aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah banyak aspek kehidupan kita yang dikendalikan oleh politik yang tumbuh subur dalam tubuh birokrasi, bukannya membawa kebaikan malah memperburuk keadaan. Maka sangat manusiawi jika banyak orang tidak ingin berurusan dengan birokrasi. Tetapi, pilihan untuk tidak berurusan dengan birokrasi bukanlah tindakan yang sepenuhnya dapat dibenarkan, meskipun itu merupakan pilihan yang sulit dan hampir jarang terjadi. Politisasi yang terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari seharusnya bukan kita hindari melainkan berusaha untuk membuka arah keterbukaan pada setiap aspek urusan kita dalam birokrasi.
Sebuah sikap yang menurut penulis paling penting adalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memang sudah dimulai sejak tahun 1998, namun hingga sekarang belum kita temukan konsep birokrasi yang matang di negeri ini. Kenapa? Senada dengan pernyataan Kristian Widya Wicaksono (2006), Penulis juga melihat bahwa tidak adanya keinginan yang serius dari pihak masyarakat dan pemerintah untuk mereformasi birokrasi adalah persoalan pokok politisasi birokrasi. Hal ini kita bisa saksikan dari berbagai kampanye calon presiden maupun kepala daerah di Indonesia lebih menonjolkan sisi pembenahan ekonomi melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye politik mereka. Tidak ada satu pun dari para kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya birokrasi, atau simplifikasi prosedural saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya, tidak ada komitmen yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam.
Oleh karena itu, menjadi sikap yang bijak jika kita tidak lagi terlalu menutut para kandidat presiden atau kepala daerah untuk berfokus pada peningkatan kesejahteraan, tetapi lebih menuntut mereka untuk memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam, mengobati penyakit-penyakit yang sudah membengkak di dalam tubuh pemerintahan. Karena dengan sembuhnya tubuh pemerintahan akan secara tidak langsung memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakat daripada menutut kesejahteraan itu tanpa reformasi dari dalam (birokrasi). Sehatnya tubuh birokrasi akan mempermudah segala urusan warga negara. Kematangan sistem birokrasi adalah seharusnya mimpi sebuah negara berkembang yang harus dengan penuh kepercayaan dapat tercapai dalam waktu yang tidak lama. Bukannya pergantian sistem setiap terjadi pergantian pemimpin. Seperti juga dikemukakan Adig Suwandi dalam bukunya Moeljarto Tjokrowinoto yang berjudul “Birokrasi Dalam Polemik” yang mengatakan bahwa menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi ditubuh birokrasi adalah agenda utama yang perlu direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi.
Ada tiga hal yang berkenaan dengan upaya menghilangkan jejak politisasi birokrasi itu. Pertama, birokrasi harus steril dari orang-orang partai politik, khususnya untuk posisi jabatan karir mulai dari eselon tertinggi (I.A) sampai eselon terendah (V.B). Alasannya adalah jabatan-jabatan karir ini merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja birokrasi adalah memaksimalkan efisiensi administratif, maka birokrasi yang steril dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka keharusan aparat birokrasi yang capable (ahli) dibidangnya serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin terpuruk dimata masyarakat. Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu dibandingkan masyarakat yang dilayaninya. Tidaklah mungkin karakter birokrasi yang cenderung lamban dan tidak terspesialisasi itu dapat bertahan dizaman yang sedang bergerak cepat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Adig Suwandi, refomasi birokrasi sudah harus berkomitmen untuk meninggalkan watak lama dan warisan sebagai birokrasi tukang pungut untuk didorong menjadi birokrasi yang memberdayakan lingkungan (empowering bureaucratic). Secara eksplisit, argumen ini bisa mewakili banyaknya pandangan sekaligus tuntutan masyarakat yang seringkali mengeluh terhadap layanan birokrasi.

C. PENUTUP
Politisasi birokrasi di Indonesia masih banyak terjadi. Politisasi ini bisa datang dari legislatif maupun dari eksekutif. Tetapi mempunyai tujuan (kepentingan) yang sama yaitu melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari gejala-gejala mulai dari penggunaan fasilitas negara, mobilisasi pegawai negeri sipil, kompensasi jabatan, komersialisasi jabatan, rekruitmen pegawai negeri baru, sampai pencopotan (depromosi) sekretaris daerah.
Dampak intervensi politik baik oleh legislatif maupun eksekutif ini menyebabkan merit sistem menjadi sangat sulit dilaksanakan. Keputusan-keputusan yang seharusnya diambil melalui pertimbangan objektif tidak jarang berbelok untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.indopubs.com/archives> webug@ugm.ac.id
http://www.kompasiana.com/martin-rambe/politisasi-birokrasi-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH FORMAT REKOD BISNIS

  MAKALAH FORMAT REKOD BISNIS           Disusun Oleh : DADANG MAULANA YUSUF D4 KEARSIPAN         UNIVERSITAS...