HUBUNGAN PEMERINTAHAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
ABSTRAK
Pemerintah
daerah adalah bagian dari pemerintahan nasional diberdayakan untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan daerah. Oleh karena itu, antara
pemerintah pusat dan daerah memiliki hubungan sistemik antara sub-sistem
sehingga membentuk suatu sistem integral dari pemerintah. Hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah ditentukan dalam sistem pengawasannya yang bertumpu
pada dua basis: hirarkis dan fungsional. Basis hirarki untuk menentukan sejauh
mana otoritas yang lebih tinggi mengawasi pemerintah daerah tersebut disusun
berdasarkan fungsional untuk menentukan sejauh mana departemen
fungsional/departemen pemerintah sektoral dan lokal mengawasi umum. Berdasarkan
pola pengawasan, maka ada empat model hubungan disebut oleh negara-negara di
dunia ini dengan banyak varian. Empat model yang model Prancis, model Inggris,
model Jerman, dan model Uni Soviet. Orde Baru di Indonesia menganut model
Prancis, sementara pada Orde Reformasi lebih merangkul model Jerman.
Kata kunci : Hubungan pemerintah pusat
dan daerah, Model Prancis, Model
Inggris, Model Jerman, dan Model Uni
Soviet.
PENDAHULUAN
Pemerintah daerah adalah
subdivisi pemerintahan nasional. Dalam negara kesatuan pemerintah daerah
langsung di bawah pemerintah pusat, sedangkan dalam negara serikat pemerintah
daerah di bawah negara bagian. Dalam negara kesatuan pemerintah daerah adalah
dependent dan subordinat terhadap pemerintah pusat sedangkan dalam negara
serikat pemerintah daerah adalah dependent dan subordinat terhadap negara
bagian (Bhenyamin Hoessein,1993). Dengan demikian, baik dalam negara kesatuan
maupun dalam negara serikat pemerintah daerah tidak lepas sama sekali dari
sistem pemerintahan nasional. Pemerintah daerah hanya bagian atau subsistem
dari sistem pemerintahan nasional. Karena pemerintah daerah merupakan bagian
dari sistem pemerintahan nasional, maka antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah terdapat hubungan antarpemerintahan yang saling terjalin sehingga
membentuk satu kesatuan pemerintahan nasional.
Jika demikian, maka dalam
suatu pemerintahan nasional terdapat dua subsistem: (a) subsistem pemerintahan
pusat dan (b) subsistem pemerintahan daerah. Dalam subsistem pemerintahan
daerah terdapat sub-subsistem pemerintahan daerah yang lebih kecil. Misal, di
Indonesia terdapat subsistem pemerintahan pusat yang terdiri atas presiden dan
para menteri. Di daerah terdapat sub-subsistem pemerintahan provinsi yang
terdiri atas gubernur dan DPRD Provinsi dan sub-subsitem pemerintahan
kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota bahkan
sub-subsistem pemerintahan desa yang terdiri atas kepala desa dan badan
permusyarawatan desa.
Jalinan antarsubsistem
dan/atau antarsub-subsistem pemerintahan tersebut membentuk sistem pemerintahan
nasional yang merupakan wahana untuk mencapai tujuan negara. Kondisi demikian
akan tercapai manakala hubungan antarsubsistem tersebut dapat menghasilkan jalinan
sistemik ketika subsistem dan sub-subsistem tersebut bekerja dan berjalan
sesuai dengan fungsi masing-masing secara serasi, selaras, dan harmonis. Jika
ia berjalan secara centang perentang yang satu ke kanan yang satu ke kiri,
tidak terkoordinasi dengan baik, tidak fokus pada tujuan yang telah ditetapkan,
maka penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efisien yang pada gilirannya
hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat. Untuk dapat membentuk jalinan hubungan
pemerintahan yang sistemik dengan hasil guna yang maksimal, setiap negara
mengembangkan hubungan antarlembaga negara dan hubungan antarpemerintahan pada
semua jenjang pemerintahan. Pada tingkat nasional diatur hubungan antarlembaga
tingggi negara dan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Di daerah diatur hubungan antarlembaga daerah dan hubungan antarpemerintah
daerah. Tata kerja dan mekanisme hubungan antarpemerintahan demikian diatur
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan pelaksananya.
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan
metode peneltian kualitatif dengan menjabarkan sumber-sumber data sekunder
untuk dianalisis dan diperbandingkan, sehingga dapat diperoleh gambaran
mengenai hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dan peran wakil pemerintah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
telaah pustaka yang terkait dengan topik yang akan dikaji. Teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis komparatif yang mencoba untuk mengkaji berbagai
sistem pemerintahan dari berbagai negara untuk ditarik kesimpulan.
PEMBAHASAN
Menurut Humes IV (1991:
4-7) hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ditentukan dalam sistem pengawasannya.
Berdasarkan sistem pengawasan inilah terbentuk
tata hubungan pemerintahan
dalam suatu negara. Humes IV menjelaskan bahwa sistem pengawasan terhadap pemerintah daerah didasarkan pada dua dimensi: (a) control hierarchy, pengawasan hirarki dan (b) functional control, pengawasan fungsional. Humes IV menjelaskan kedua dimensi tersebut sebagai berikut:
One is the extent to which hierarchical control is essentially
either inter-organizational or intra-organizational. Second
is the extent to which
such control is focused in a single agency or spread among many functional
or specialized hierarchies.
Pengawasan
hirarki adalah pola pengawasan yang spektrumnya mulai dari interorganizational, antarorganisasi, sampai ke intraorganisasi
(intraorganizational). Pengawasan fungsional
adalah pengawasan yang
spektrumnya mulai dari apakah pengawasan dilakukan oleh lembaga
fungsional/sektoral (functional basis) ataukah
dilakukan secara holistik (kementerian dalam
negeri) oleh pemerintah. Pengawasan dilakukan oleh lembaga funsional artinya pengawasan terhadap pemerintah daerah
dilakukan oleh agen departemen sektoral (field adminstration/agency) khususnya terhadap urusan-urusan yang menjadi bidang tugasnya.
Pengawasan dilakukan secara holistik
artinya pengawasan terhadap pemerintah daerah dilakukan oleh agen pemerintah yang bersifat general (general
purpose adminisration/agency) atau yang dikenal dengan wakil
pemerintah pusat, misalnya oleh gubernur. Pola pengawasan interorganizational atau antarorganisasi
artinya
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah dilakukan oleh
organisasi-organisasi yang terdapat pada daerah itu sendiri, terutama
DPRD (pengawasan politik).
Di samping
pengawasan politik oleh DPRD
pemerintah daerah juga mendapat pengawasan dari LSM, pers, organisasi
massa, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan yang berada di
daerah tersebut. Pola ini memperlihatkan adanya keleluasaan yang besar pada pemerintah daerah dalam arti tidak mendapat pengawasan yang ketat dari
otoritas yang lebih tinggi sehingga
mempunyai ruang diskresi
yang besar untuk
mengembangkan otonominya. Pengawasan intraorganizational
adalah pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat karena
pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintah pusat sehingga
pengawasannya tidak lain adalah pengawasan internal semata (Bhenyamin Hoessein; 2005: 38).
Menurut pola pengawasan ini, pemerintah daerah tidak perlu diawasi oleh organisasi-organisasi di luar dirinya
atau lembaga yang bertugas mengawasi jalannya pemerintah daerah seperti dewan,
council, raad. Dalam pengawasan hirarki, titik beratnya adalah
seberapa besar kepala daerah dan dewan yang dipilih rakyat
itu mendapat pengawasan dari otoritas yang lebih tinggi. Di sini spektrumnya adalah bahwa pengawasan terhadap organ daerah otonom tersebut mulai dari pengawasan yang paling rendah, longgar, sampai pengawasan yang paling tinggi, sangat ketat.
Dengan peta ini Humes IV
mencatat adanya empat variasi:
a.
Interorganizational
(regulation), yaitu: suatu sistem yang mengatur
kepala daerah bertanggungjawab penuh kepada dewan. Kepala daerah tidak
secara langsung bertanggungjawab kepada otoritas
yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak begitu ketat diawasi
oleh pemerintah pusat. Pemerintah
daerah lebih ketat diawasi oleh dewan dan organisasi-organisasi masyarakat di daerah. Contoh
pemerintah daerah yang menganut sistem ini adalah Inggris.
b. Hybrid (Subsidiarization), yaitu: suatu sistem yang mengatur kepala daerah bertanggungjawab kepada dewan mengenai pelaksanaan urusan-urusan daerahnya, tapi juga bertanggungjawab kepada
otoritas yang lebih tingggi mengenai
pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Jadi, pemerintah daerah mendapat pengawasan dari dua arah: pertama, dari pemerintah pusat yaitu yang berkenaan tentang
kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat; dan kedua, dari dewan perwakilan daerah yaitu yang
berkenaan tentang kebijakan daerah/urusan rumah tangganya sendiri. Contoh pemerintah
daerah yang menganut sistem ini adalah
Jerman.
c. Hybrid (Supervission), yaitu: suatu sistem yang mengatur
kepala daerah bertanggungjawab kepada dewan untuk urusan-urusan rumah
tangganya, tapi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ia juga mendapat pengawasan dari pemerintah
pusat dan bertanggungjawab secara langsung
kepada pemerintah pusat. Dalam sistem ini kepala
daerah mempunyai fungsi ganda: satu sisi sebagai alat pemerintah
daerah dan di sisi lain sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam
kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, ia mendapat
pengawasan langsung dari pemerintah
pusat. Contoh pemerintah
daerah yang menganut
sistem ini adalah Perancis.
d. Intraorganizational (subordination) yaitu sistem yang mengatur kepala daerah adalah bagian dari hirarki pusat dan sepenuhnya sebagai
bawahan pusat. Dalam sistem ini pemerintah daerah adalah kantor pemerintah pusat di daerah.
Oleh karena itu, semuanya diatur
dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Contoh pemerintah daerah yang menganut
sistem ini adalah Uni Soviet. Selanjutnya dalam pengawasan hirarki, titik beratnya
terfokus pada seberapa
besar pengawasan pusat terhadap pemerintah daerah dan
kewenangan lokalnya diletakkan: apakah diletakkan pada kementerian
pusat yang menangani
masalah umum seperti kementerian dalam negeri
atau wakilnya di daerah, atau disebarkan pada kementerian sektoral/fungsional atau agen-agen lapangannya di daerah secara sama rata.
Spektrumnya adalah mulai dari pengawasan yang diletakkan pada kementerian
yang lebih umum sampai pada kementerian yang lebih
fungsional/khusus. Berdasarkan peta ini, Humes IV mencatat
adanya empat variasi juga:
a. More areal, yaitu: suatu
sistem yang meletakkan kementerian pusat yang menangani masalah umum (kementerian dalam negeri) atau agennya
di daerah, bertanggungjawab mengawasi badan pemerintah daerah
yang
bersifat umum (pemerintah daerah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota) dan mengkoordinir agen kementerian-kementerian
fungsional. Kementerian fungsional memberitahukan tentang program-programnya di daerah kepada
kementerian dalam negeri
atau agennya tersebut
khusunya yang berkaitan dengan kemajuan dan
pengawasannya. Dalam sistem ini, kementerian
dalam negeri dan
wakilnya di daerah (landrat, gubernur, prefet) mempunyai peran pengawasan yang menonjol. Pejabat ini mengawasi pemerintah daerah dan mengkoordinir semua kepala instansi vertikal diwilayahnya. Negara yang
melaksanakan sistem ini adalah Republik Federasi Jerman.
b. Dual/areal, yaitu: suatu sistem yang
meletakkan polit biro pusat partai mengawasi secara penuh pemerintah daerah. Kementerian fungsional/agennya memberikan pelayanan daerah secara
langsung. Dalam sistem ini lembaga yang berperan
mengawasi jalannya pemerintah daerah adalah pejabat elit partai di pusat yang juga merangkap sebagai pejabat tinggi negara.
Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Uni Soviet. Di negara ini Polit Biro Pusat
Partai Komunis mempunyai kewenangan mengawasi pemerintahan daerah melalui
struktur partai, biro-biro, yang tersusun secara hirarkis mulai tingkat
pusat sampai tingkat
yang paling bawah.
c. Dual/fungsional, yaitu: suatu sistem yang meletakkan kementerian sektoral/fungsional mengawasi program-program pelayanan untuk
daerah yang bersangkutan sedangkan kementerian umum (dalam negeri atau wakilnya di daerah) mengawasi pelayanan umum. Dalam mengawasi pelayanan umum tersebut,
kementerian dalam negeri atau wakilnya di daerah juga mengawasi
dan mengkoordinir pelaksanaan urusan-urusan rumah tangganya. Negara
yang melaksanakan sistem ini adalah Perancis.
d. More fungsional, yaitu: suatu sistem yang meletakkan kementerian sektoral/fungsional atau agennya mengawasi pelayanan yang diletakkan di daerah secara langsung.
Kementerian dalam negeri atau agennya di daerah mempunyai fungsi penyelenggaraan rumah tangga daerah. Adapun peran kementerian dalam negeri (general purpose ministry/agency) dalam hal
koordinasi dengan kementerian fungsional/sektoral relatif lemah. Jadi, dalam sistem ini peran instansi
vertikal dari kementerian sektoral/fungsional dalam pengawasan terhadap daerah sangat kuat. Hampir semua kementerian fungsional/sektoral mempunyai instansi vertikal
di daerah dan melakukan pengawasan terhadap program-program daerah.
Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Kerajaan Inggris.
1. Model-Model Administrasi Sistem Pemerintahan
a. Model Perancis
Negara Perancis dikenal dengan sistem administrasi pemerintahan yang sangat
kuat dominasi pemerintah
pusatnya. Akan tetapi, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerahnya tidak demikian. Perancis mengembangkan sistem adminstrasi yang kompleks. Hubungan
antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah terjalin
dalam suatu jalinan yang terintegrasi dimana pemerintah pusat tetap mempunyai kontrol yang kuat pada semua tingkatan pemerintah daerah tapi daerah tetap
mempunyai kebebasan menyelenggarakan urusan lokalnya. Pemerintah
Daerah khususnya commune bertanggungjawab kepada DPRD, concei municipal, tapi Kepala Daerahnya untuk urusan-urusan yang berkaitan
dengan otonomi daerahnya
bertanggungjawab kepada DPRD sedangkan
untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan tugas pemerintah Pusat
bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. Pemerintah daerah (departement) dikepalai oleh prefet yang diangkat oleh pemerinah pusat dari fungsionaris departement
yang paling cakap. Prefet adalah wakil
pemerintah pusat sekaligus organ daerah otonom (department). Prefet bertanggungjawab kepada
pemerintah pusat. Prefet atas nama pemerintah pusat dapat membubarkan DPRD commune, conceil
municipal dan dapat pula memberhentikan maire, kepala commune.
Pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengawasi pemerintah daerah melalui wakil-wakilnya di daerah yang disebut dengan istilah tutelle. Melalui sistem pengawasan ini maire (kepala commune) tunduk pada prefet (kepala departement) dan prefet tunduk pada Menteri Dalam Negeri.
Sistem tutelle ini dibagi menjadi dua (Sarwata, 1981). Pertama, Tutelle atas organ-organ daerah otonom. Pengawasan ini ditujukan pada organ-organ daerah otonom seperti kepala daerah dan dewan daerah. Pemerintah pusat
mengawasi tindakan kepala daerah dan dewan daerah. Jika pemerintah pusat menemukan bukti nyata bahwa kepala daerah
dan/atau dewan daerah melakukan
tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan maka pemerintah pusat dapat melakukan tindakan represif: memberhentikan sementara atau seterusnya kepada kepala
daerah dan membubarkan dewan daerah. Jika pemerintah pusat
membubarkan dewan daerah,
maka daerah harus
segera mengadakan pemilihan baru untuk mengisi kekosongan ini. Kedua, Tutelle atas kegiatan-kegiatan daerah otonom. Pemerintah pusat juga mengawasi kegiatan-kegiatan daerah otonom yang dituangkan dalam kebijakan daerah. Jika pemerintah
pusat menemukan bukti nyata bahwa kebijakan daerah
bertentangan kepentingan umum, kepentingan pemerintah pusat,
kepentingan daerah yang
lebih tinggi dan kepentingan antardaerah, maka pemerintah pusat dapat melakukan tindakan
sebagai berikut: mencabut kebijakan yang bermasalah tersebut; membatalkan kebijakan yang
bermasalah tersebut sebelum dijalankan; menunda pemberlakukan
kebijakan yang bermasalah tersebut; mengganti
kebijakan daerah yang bermasalah dengan kebijakan pengganti
yang dibuat oleh pemerintah
pusat atau wakilnya.
b. Model Jerman
Negara Jerman
adalah negara yang berbentuk federal/serikat. Oleh karena itu,
negara Jerman terdiri
atas negara-negara bagian.
Negara bagian disebut land. Dalam Land terdapat
daerah-daerah otonom: county atau kreis dan gemeinde atau municipal. Jadi, pemerintah daerah
yang terdiri atas county atau kreis dan municipal atau gemeinde berada dalam negara bagian, land. Dengan demikian, yang mengendalikan pemerintahan daerah di Jerman adalah negara bagian, bukan pemerintah federal/pusat. Sesuai dengan pasal 28 ayat 1 Konstitusi Republik
Federal Jerman maka rakyat lander, county, dan municipal harus mempunyai dewan
perwakilan yang dipilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Selanjutnya
pasal 28 ayat 2 mengatur bahwa municipal
mempunyai hak untuk menyelenggarakan semua urusan yang menjadi kewenangannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Hak menyelenggarakan
urusannya tersebut juga temasuk dalam bidang keuangan.
County dan municipal menyelenggarakan urusan-urusan setempat berdasarkan
kepentingan dan aspirasinya. County dan municipal menggodok kebijakan
daerah secara demokratis yang selanjutnya dilaksanakan oleh kepala daerah dan dipertanggung-jawabkannya kepada dewan.
Haschke (1998) menjelaskan bahwa municipal mempunyai kewenangan yang luas di bidang personal, organisasi
dan administrasi, perencanaan, keuangan, dan pajak. Semua kewenangan ini merupakan hak municipal untuk
melaksanakan dan mempertanggung-jawabkannya. Dalam wilayah
ini pemerintah federal
dan land tidak
boleh membatasi dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Humes IV (1991: 61) menjelaskan bahwa enam negara bagian menggunakan satuan administrasi wilayah (Regierungsbezirke) untuk
mengkoordinir urusan-urusan lokal. Satuan administrasi ini adalah
subdivisi administrasi kementerian dalam negeri. Ia dikepalai oleh pejabat (Regiurungsprasident) yang paling senior dari kepala-kepala wilayah tersebut. Satuan administrasi tersebut
terdiri atas beberapa divisi yang bersangkut-paut dengan kementerian fungsional
yang mempunyai kedekatan
kerja.
Kementerian fungsional tersebut mempunyai beberapa mekanisme kontrol sebagai
berikut: Pertama, menyediakan kebijakan pada instansi-instansi negara bagian, khususnya
administrasi wilayah. Kedua, membuat standard-standard untuk staf municipal dan pejabat county. Ketiga, memberikan bantuan kepada kantor county dan municipal dengan pegawai negeri sipil. Keempat, memberikan bantuan dana dengan
persyaratan yang wajar. Kelima, dalam beberapa kasus memberikan tugas-tugas pada unit lapangan
khusus yang berada
di bawah pengendalian kementerian
langsung. Jerman dikenal sebagai
negara yang kuat
sistem demokrasinya dan
kuat pula institusi pemerintahannya. Oleh karena itu, di Jerman kebebasan
individu sebagai bagian dari budaya liberalisme yang dianut bangsa barat pada umumnya
diakomodasi dengan baik dalam sistem
pemerintahan Jerman. Humes IV (1991;
60-61) menjelaskan bahwa
Jerman sangat dikenal dengan prinsip subsidiarity dalam administrasi publiknya.
c. Model Inggris
Inggris adalah
negara kesatuan, bukan
federal. Sebagai negara
kesatuan maka kedaulatannya berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat membentuk pemerintah daerah. Oleh
karena itu, pemerintah daerahnya berada langsung di bawah pemerintah
pusat. Pemerintah pusat
menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah sebagai kewenangannya secara rinci yang dikenal
dengan ultravires doc-trine. Dengan model penyerahan
urusan pemerintahan seperti ini maka daerah mengetahui persis urusan-urusan pemerintahan apa yang harus
diselenggarakan. Berdasarkan pelimpahan kewenangan secara rinci
inilah pemerintah daerah tidak boleh melampui kewenangan yang menjadi
miliknya. Inggris menganut demokrasi parlementer. Pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri dari partai yang menang pemilu atau yang menguasasi mayoritas di parlemen.
Perdana Menteri bertanggung jawab kepada
parlemen. Parlemen
bisa melakukan mosi tidak percaya kepada Perdana
Menteri, jika dinilai melakukan kebijakan yang dinilai
merugikan negara dan/atau rakyat atau melanggar
peraturan perundang-undangan. Praktik pemerintahan daerah di Inggris mirip dengan praktik demokrasi parlementer pada tingkat nasional.
Pemerintah daerah dikuasai oleh
dewan perwakilan rakyat, council, yang dipilih oleh rakyat secara langsung.
Pemerintah daerah Inggris
di mulai dari dewan yang dipilih secara
langsung oleh warga county dan district. Dewan lalu memilih
salah satu anggotanya menjadi
mayor, kepala daerah.
Kepala daerah menjalankan fungsi kepala daerah otonom
dan fungsi seremonial. Dewan membuat kebijakan
yang berkaitan dengan pengaturan dan pengurusan rumah
tangganya. Untuk melaksanakan kebijakan
yang dibuat tersebut dewan
membentuk komisi dan subkomisi yang diberi kewenangan terbatas baik dalam jumlah maupun variasi urusan yang diembannya.
commisioner-commisioner membentuk birokrasi lokal untuk
melaksanakan kebijakan dewan secara teknis. Kepala
daerah dan para commisioner baik
sendiri- sendiri maupun bersama-sama bertanggung jawab kepada dewan.
d. Model Uni Soviet
Uni Soviet sebelum terpecah menjadi negara-negara merdeka seperti sekarang adalah sebuah negara yang dikenal sebagai negara yang menerapkan demokrasi yang sentralistis dan dalam menerapkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah menganut dual subordination
(Humes IV, 1991; 81). Meskipun
mengklaim sebagai negara yang
menganut paham demokrasi
tapi dalam praktik Uni Soviet lebih sebagai negara diktator
partai daripada sebuah negara demokrasi. Sebagai indikatornya Uni Soviet tidak mempunyai partai selain Partai Komunis
dan tidak ada pemilihan yang diselenggarakan secara umum, bebas, dan
rahasia. Pemilihan umum yang diselenggarkan hanyalah prosedur memilih orang-orang partai
yang sudah ditentukan oleh polit biro,
bukan memberi kesempatan kepada rakyat untuk menentukan pilihan berdasarkan aspirasi dan kepentinganya. Uni Soviet tidak mengenal wakil-wakil rakyat yang dipilih secara
bebas. DPR yang ada bukanlah
wakil rakyat dalam
arti yang sebenarnya tapi hanyalah badan penasihat pemerintah
yang ditentukan oleh partai.
Dalam rangka penciptaan masyarakat komunis rakyat
dipaksa tunduk pada kekuasaan
diktator proletariat yang dijalankan oleh Partai
Komunis. Partai akan mengakhiri diktatoriatnya ketika masyarakat sudah sampai pada tahap
memasuki masyarakat tanpa kelas: sama rasa dan sama
rata.
Akan tetapi, sampai
Uni Soviet bubar tahapan tersebut
tidak pernah terlampui sehingga
rakyat tetap hidup dalam sistem diktator partai. Uni Soviet menganut partai tunggal yaitu partai komunis.
Partai komunislah yang menentukan semua kebijakan negara dan pemerintahan. Partai komunis merupakan sumber kewenangan
semua lembaga negara.
2. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
a. Model Dual Supervision Rezim Orde
Baru
Analisis hubungan
pemerintah pusat dan daerah di Indoneisa dibatasi pada rezim Orde Baru dan
rezim Reformasi. Hal ini dilandasi oleh fakta bahwa praktik pemerintahan daerah
yang mapan dan lama terjadi pada masa Orde Baru dan baru dilakukan perubahan
secara mendasar sejak rezim ini digantikan oleh rezim Reformasi. Rezim Orde
Baru yang berkuasa mulai 1968 sampai dengan 1998 menyelenggarakan pemerintahan
daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 5/1974 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-Undang ini menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan secara bersamaan yang satu melengkapi yang lain.
Menurut Undang-Undang
ini, pemerintah daerah tersusun secara hirarkis dari pusat sampai ke
desa/kelurahan dengan susunan sebagai berikut: pemerintah pusat, pemerintah
provinsi daerah tingkat I, pemerintah kabupaten/ kotamadya daerah tingkat II,
pemerintah wilayah kota administratif, pemerintah wilayah kecamatan,dan
pemerintah desa/kelurahan. Pemerintah pusat terdiri atas Presiden dan DPR,
pemerintah propinsi terdiri atas gubernur kepala daerah tingkat I dan DPRD
Tingkat I, pemerintah kabupaten/kotamadya terdiri atas bupati/walikota kepala
daerah tingkat II dan DPRD tingkat II, pemerintah wilayah kota administratif
terdiri atas walikota administratif dan perangkatnya, pemerintah wilayah
kecamatan, terdiri atas camat dan perangkatnya, pemerintah desa, terdiri atas
kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), dan pemerintah Kelurahan terdiri
atas lurah dan perangkatnya. Struktur pemerintahan menggunakan model prefektur
terintegrasi untuk semua daerah otonom ditambah dengan wilayah administrasi
murni dan satuan pemerintahan terbawah yang bersifat tradisional. Pemerintah daerah
otonom (local self government) terdiri atas dua tingkat: 1) Daerah Tingkat I
dan 2) Daerah Tingkat II. Bersamaan dengan pemerintah daerah otonom tersebut
dalam wilayah yang sama juga berimpit pemerintah wilayah (local state
government) dengan nomenklatur Pemerintah Provinsi untuk Daerah Tingkat I dan
Pemerintah Kabupaten/Kotamadya untuk Daerah Tingkat II.
Gabungan antara
pemerintahan daerah otonom dan pemerintahan wilayah tersebut menciptakan
nomenklatur Propinsi Daerah Tingkat I
dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Nomenklatur provinsi dan
kabupaten/kotamadya merujuk pada wilayah administrasi sedangkan nomenklatur
Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II merujuk pada daerah otonom. Di bawah kabupaten/kotamadya
terdapat wilayah administrasi murni yaitu kota administratif dan kecamatan. Di
bawah kecamatan yang bersifat perkotaan terdapat wilayah administrasi murni
lagi yaitu kelurahan sedangkan di bawah kecamatan yang bersifat perdesaan
terdapat wilayah administrasi dengan otonomi tradisional yaitu desa. Bahkan di
bawah desa/kelurahan masih ada lagi semi satuan pemerintahan RW dan RT.
Dengan demikian, struktur
pemerintahan daerah terdiri atas dua jalur: (a) jalur daerah otonom yang
terdiri atas Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang masing-masing berdiri
sendiri sebagai daerah otonom (non-hirakis) dan (b) jalur wilayah administrasi
yang secara hirarkis dari atas ke bawah adalah pemerintah pusat, pemerintah
provinsi (dengan wilayah yang berimpit dengan Daerah Tingkat I), pemerintah
kabupaten/kotamadya (dengan wilayah yang berimpit dengan Daerah Tingkat II),
pemerintah kota administratif, pemerintah kecamatan, pemerintah desa/kelurahan,
semi satuan pemerintahan RW, dan semi satuan pemerintahan RT. Sebagai
konsekuensi penggunaan model prefektur terintegrasi untuk semua daerah otonom
maka pada setiap daerah otonom ditempatkan wakil pemerintah pusat. Wakil
pemerintah pusat di daerah otonom tingkat I adalah gubernur sedangkan wakil
pemerintah pusat di daerah otonom tingkat II adalah bupati/walikota. Dengan
demikian, kedudukan gubernur dan bupati/walikota adalah ganda: satu sisi
sebagai alat daerah otonom dan di sini lain adalah sebagai wakil pemerintah
pusat. Akan tetapi, dalam praktik, gubernur dan bupati/walikota lebih
memerankan diri sebagai wakil pemerintah karena yang menentukan pengangkatannya
adalah pemerintah pusat walaupun melalui prosedur pengusulan dari DPRD dari
calon yang mendapatkan suara terbanyak.
KESIMPULAN
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara baik di negara
serikat maupun di negara kesatuan harus tertata dalam jalinan yang
sistemtik sehingga menciptakan hubungan tata pemerintahan yang serasi, selaras, harmonis, dan efektif untuk mencapai tujuan
negara. Jalinan sistemik tersebut tercermin dalam tata hubungan
antara pemerintah
pusat dan pemerintah
daerah. Hubungan pemerintahan antara pemerintah
pusat dan daerah harus menjadi sarana untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan masyarakat menyelenggarakan otonominya, kepentingan integrasi nasional, dan efesiensi
administrasi negara.
Penciptaan tata hubungan pemerintahan dengan dampak seperti itu, harus ditata dalam dua pola hubungan
pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu pola pengawasan hirarki dan pengawasan fungsional. Baik pola hirarki maupun fungsional, keduanya
mengandalkan peran wakil pemerintah (general ministy/agency dan/atau
functional ministries/agency) sebagai
penjaga kepentingan pemerintah pusat yaitu tetap tegaknya negara dan kelangsungannya, terpeliharanya keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat, jalannya pemerintahan
yang stabil, dan kemampuan bertindak cepat mengatasi masalah darurat akibat
peristiwa luar biasa demi penyelamatan umum. Pilihan terhadap pola pengawasan
inilah yang akan melahirkan sistem hubungan atarpemerintahan: pusat dan daerah
dalam jalinan kerja pemerintahan yang sistemik, efektif, dan efesien.
Peran wakil pemerintah
bukan sekedar penjaga penyelenggara pemerintahan dalam arti pasif. Wakil
pemerintah harus aktif menciptakan kondisi-kondisi sebagaimana melekat dalam
tugas dan kewajibannya. Oleh karena itu, wakil pemerintah harus diberi wewenang
yang jelas dan cukup untuk bisa melakukan tindakan sesuai dengan beban tugas
dan kewajibannya tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2009. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik. http://mengerjakantugas.blogspot.com/.
Hidyat 2013 hubungan
pemerintahan pusat dan daerah. http://hidayatwawan.blogspot.com/2012/03/hubungan-pemerintah-pusat-dan.html
https://gtmulyono.wordpress.com/materi-pkn/hubungan-pemerintah-pusat-dan-
daerah/
http://nurfaradilaa.blogspot.co.id/2013/04/hubungan-pemerintah-pusat-dengan_24.html
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar