Senin, 14 Agustus 2017

jurnal MENYOAL CERITA RAKYAT SEBAGAI BAHAN AJAR DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH



MENYOAL CERITA RAKYAT SEBAGAI BAHAN AJAR
DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Abstrak
Sebagai sebuah materi ajar, cerita rakyat sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra sungguh sangat mengkhawatirkan. Beberapa persoalan yang muncul seputar pembelajaran cerita rakyat ini adalah penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, materi ajar atau bahan ajar mengenai cerita rakyat sedikit, waktu/ kesempatan pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat terbatas,  dan pelaksanaan pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa.
Persoalan-persoalan tersebut muncul sekaitan dengan adanya indikasi gagalnya pembelajaran sastra yang dilakukan di Indonesia. Terlepas dari kebijakan yang nanti akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan, namun perlu adanya upaya untuk menjawab persoalan tersebut, setidaknya dalam tataran praktis, agar guru dapat menggunakan model pembelajaran yang memang dapat merangsang kreatifitas dan minat siswa untuk mempelajarinya.
Kata kunci: cerita rakyat, bahan ajar.
A.    Pendahuluan
Zoetmulder dalam pengantar buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, mengungkapkan “seluruh dunia telah maklum akan hasil gemilang yang dicapai bangsa Indonesia dahulu kala dalam bidang kesenian. Lewat karya-karya seni mereka mengungkapkan  ide-ide religius, beserta pandangan mereka mengenai manusia dan alam semesta” (1994: XI). Bentuk-bentuk kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia banyak rupa, diantaranya karya sastra yang banyak dibuat oleh para mpu, baik sastra lisan maupun tulis, keterampilan hingga menghasilkan arsitektur candi serta hasil budaya lainnya yang menjadi sebuah kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki budaya luhur.
Berpijak dari hal di atas, masyarakat Indonesia seyogyanya menjadi masyarakat yang memiliki kekuatan budaya, sehingga dengan besarnya arus kebudayaan lain yang masuk, masyarakat Indonesia telah memiliki pandangan yang baik untuk dapat memilih, bahkan mengeksplorasi dirinya menjadi individu yang memiliki kontribusi bagi perkembangan bangsa ini.
Namun, kondisi yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya. Dari perspektif kebudayaan, perkembangan masyarakat saat ini justru mengalami kemerosotan. Lemahnya pertahanan budaya saat ini justru mengakibatkan masyarakat Indonesia kelimbungan, sehingga tidak bisa membedakan budaya mana yang seyogyanya dapat dipegang sesuai dengan karakteristik masyarakat timur dan budaya mana yang perlu dicerna. Dengan kondisi ini, maka dapat kita saksikan kemerosotan ekonomi, kericuhan politik, ketegangan dan keretakan sosial sehingga muncul perilaku-perilaku menyimpang, seperti korupsi, tawuran pelajar, emansipasi wanita yang kebablasan, bahkan sekarang ini bangsa Indonesia disibukan dengan maraknya aksi terorisme serta berbagai persoalan lainnya yang seyogyanya dapat dieliminasi oleh kita sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang luhur.
B.    Apa itu Cerita Rakyat?
Rusyana (1978: 17) mengemukakan bahwa cerita rakyat adalah sastra lisan yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat yang berkembang dan menyebar secara lisan pada beberapa generasi dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka cerita rakyat termasuk ke dalam sastra lisan yang berbentuk cerita lisan yang hidup dan bertahan dalam suatu lingkungan masyarakat disebarkan turun-temurun dalam lingkungan masyarakat tersebut secara lisan.
Bascom (Danandjaja, 2002:50), membagi cerita rakyat ke dalam tiga golongan besar, yaitu : (1) Mite (myth), (2) Legenda (legend), dan (3) Dongeng (folktale).
C.    Bahan Ajar Cerita Rakyat dalam Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Meskipun saat ini telah muncul kurikulum baru, yang masih dalam tahap perkenalan, yaitu kurikulum perekat bangsa, namun kurikulum yang sekarang masih berlaku adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih belum berdampak signifikan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Sistem kurikulum di dalam KTSP, yang terdiri dari standar kompetensi dan kompetensi dasar belum dapat terjabarkan secara holistik oleh para guru hingga menjadi satuan kegiatan di kelas. Padahal standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Adapun standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
D.    Persoalan Materi Ajar Cerita Rakyat dalam Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Sebagaimana pembelajaran sastra pada umumnya, berbagai persoalan muncul sekaitan dengan ‘gagalnya’ pembelajaran sastra yang ada di Indonesia.  Ada beberapa yang perlu disoroti terkait persoalan yang muncul ini.
  1. Penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, kalaupun ada kurang dieksplorasi menjadi bahan ajar
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rusyana, bahwa ada dua tujuan pembelajaran sastra yakni untuk kepentingan ilmu sastra dan tujuan untuk kepentingan pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk kepentingan ilmu pengetahuan (ilmu sastra), tujuan pembelajaran sastra lebih diorientasikan pada pengetahuan tentang teori sastra, sejarah sastra, sosiologi sastra dan kritik sastra. Sedangkan untuk kepentingan pendidikan, tujuan pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan pendidikan pada umumnya yakni mengantarkan anak didik untuk memahami dunia fisik dan dunia sosialnya, dan untuk memahami dan mengapresiasi nilai-nilai dalam hubungannya dengan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. (Rusyana, 1984:313).
Pengembangan kesastraan dalam bentuk penelitian (cerita rakyat) pada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki program pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dengan tema local wisdom, sebagai pengejawantahan tujuan pembelajaran sastra di atas, sebetulnya sudah menjadi sebuah tradisi. Penelitian cerita rakyat oleh setiap mahasiswa pada setiap universitas tersebut sebetulnya dapat dijadikan sebuah bahan ajar, sehingga cerita rakyat yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran lebih variatif.
2.      Materi ajar atau bahan ajar mengenai cerita rakyat sedikit
Dalam beberapa buku, termasuk buku BSE yang diterbitkan pemerintah, bahan ajar mengenai cerita rakyat justru kurang variatif. Dari setiap tahunnya materi ajar mengenai cerita rakyat hanya berkisar pada cerita rakyat yang telah diterbitkan sejak dahulu. Dalam arti cerita rakyat yang baru kurang disuguhkan, sehingga kurang merangsang minat siswa.
Cerita rakyat merupakan produk budaya masyarakat setempat, sehingga dalam setiap wilayah pasti akan terdapat cerita rakyat. Terlepas dari buku ajar, guru pun kurang dapat memanfaatkan bahan ajar mengenai cerita rakyat, terutama untuk cerita rakyat daerah setempat.
3.      Waktu/ kesempatan pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat terbatas
Sebagaimana yang tercantum dalam pengembangan silabus Bahasa dan sastra Indonesia, bahwa kesempatan pembelajaran cerita rakyat sangat sedikit. Hal ini dapat terlihat bahwa yang ada dalam SK dan KD hanya pada kelas I (SD) semester 2, kelas V (SD) semester 1, kelas VII (SMP) semester 1, dan X (SMA) semester 2.
Dalam konteks ini, maka hendaknya pemanfaatan pembelajaran cerita rakyat ini dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Siswa diharapkan dapat benar-benar ‘terjun ke dalam lautan‘ yang memang dimiliki cerita rakyat, bukan sekedar ‘cuci muka’.
4.      Pelaksanaan pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa
Dalam konteks pengajaran, fungsi utama sastra (cerita rakyat) bagi siswa  adalah bahwa pembelajaran ini dapat memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan dengan pengembangan imajinasi, pengalaman baru, pengembangan wawasan menjadi perilaku insani, pengalaman, pengembangan bahasa, pengembangan kognitif, pengembangan kepribadian juga pengembangan sosial anak (Tarigan, 1995: 6)
Pelaksanaan pembelajaran di kelas, akan sangat berhubungan dengan penyampaian guru baik model pembelajaran maupun metode yang digunakan oleh seorang guru dalam meyampaikan materi ajar. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa model pembelajaran yang dilakukan kurang memberikan pengalaman apresiasi dan kreativitas yang dapat memacu kreativitas siswa, hal ini salah satunya disebabkan karena kualitas guru yang kurang menguasai bahan ajar sastra (cerita rakyat) dan kurang dapat memanfaatkan sarana, seperti VCD, komputer serta Internet  dan lainnya.
E.    Model yang Dapat Digunakan dalam Pembelajaran Cerita Rakyat
Pembelajaran cerita rakyat hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara cerita rakyat dengan murid, cerita rakyat dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan guru bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial.
Berdasarkan dari konsep di atas, model analisis wacana kritis/ Critical Discourse Analysis (CDA) dapat diterapkan dalam pembelajaran cerita rakyat. Penerapan model CDA dalam pembelajaran sastra, dapat ditempuh tiga tahapan penyajian yang meliputi (1) tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi
Pada tahap pertama, sebagai tahap penjelajahan, guru dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa untuk membacakan wacana cerita rakyat dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk “menerjemahkan” cerita rakyat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan “penerjemahan” ini ialah agar siswa lain yang berasal dan berlatar belakang budaya yang berbeda dapat memahami serta proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Tahap kedua, yang masih dalam tahap penjelajahan, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita rakyat. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yang ada di dalam wacana, karakteristik berbentuk cerita (mite, legenda dan dongeng) beserta keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat-sesuai dengan latar wacana cerita rakyat yang dijadikan bahan pembelajaran, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh guru. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, guru memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh guru ini penting agar “makna” yang diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan konteks sosial-budayanya.
Tahap ketiga, yanga merupakan tahap interpretasi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita rakyat yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru.
Tahap keempat, guru memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan “re-kreasi”, yakni penciptaan kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuk tulisan kreatif. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis.

F.    Simpulan
Dengan dimilikinya berbagai warisan budaya, yang meruapakan sebuah prestasi besar dalam berkesenian, bangsa Indonesia sepatutnya memiliki ketahanan budaya, yang tereksplorasi dalam sistem pendidikan, yang menjadi pola hidup masyarakat sehingga dapat bertahan sehubungan dengan gencarnya perkembangan global.
Cerita Rakyat yang merupakan warisan prestasi besar masyarakat Indonesia, yang termasuk ke dalam bahan ajar pendidikan di Indonesia, kurang mendapat tempat dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra.
Terlepas mengenai kebijakan pemerintah, pembelajaran apresiasi sastra yang menyuguhkan cerita rakyat perlu di poles dengan baik. Setidaknya dalam tataran praktis, guru dapat menerapkan model pembelajaran yang dapat merangsang kreatifitas dan merangsang keinginan siswa untuk dapat menyenangi sastra Indonesia, terutama cerita rakyat.
PUSTAKA RUJUKAN
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama grafiti.
Faruk. 2003. Kebangkitan Kebudayaan. Jurnal Kebudayaan Selarong volume 01, April-juli 2003. Yogyakarta.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
________________. 2001. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro.
______________. 1978. Sastra Lisan Sunda Cerita Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Semi, M. Atar. 1993. Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: ITB.
Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Zoetmulder 1994. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.



UPAYA PEMBIASAN BUDAYA YANG BERKARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Abstrak:

Salah satu upaya mengimplementasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa demi mewujudkan visi pembangunan nasional, dapat dilakukan di sekolah yakni melalui serangkaian kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik di sekolah dasar yang tidak hanya mengandalkan pada ketercapaian tujuan instruksional semaata melainkan lebih kepada keterbentukan pribadi-pribadi yang terampil berbahasa, berbudaya, cakap, mandiri, dan santun dalam berpikir, bertutur kata, serta berperilaku merupakan wahana tepat pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diharapkan. Hal itu mengingat siswa-siswa sekolah dasar adalah generasi penerus bangsa yang wajib dibimbing dan diarahkan agar menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan. Strategi penerapan nilai-nilai udaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik dilakukan guru dengan mengacu pada pembelajaran aktif, menyenangkan, dan bermakna.

Kata-kata kunci: Nilai-nilai budaya dan karakter, pembelajaran bahasa Indonesia.

PEMBAHASAN
Bahasa adalah ungkapan atau ucapan pikiran dan perasaan manusia. Bahasa digunakna secara turun temurun. Meski demikian, kemampuan berbahasa bukanlah kemampuan yang dimiliki seseorang karena factor keturunan, melainkan karena belajar. Seorang anak, tidak dengan sendirinya menguasai bahasa yang dikuasai orang tuanya. Bayi yang dilahirkan dari pasangan orang tua yang berasal dari Jawa misalnya, tidak dengan sendirinya mampu berbahasa Jawa tanpa belajar. Jika dalam proses perkembangannya dia berhadapan dengan bahasa Indonesia dikarenakan keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya berbahasa Indonesia, dia akan menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya atau bahasa ibu dan bukan bahasa Jawa.
Bahasa ibu yang dimaksud mengacu pada bahasa yang diperoleh sejak lahir, secara informal dan alami, tanpa perencanaan dan melalui banyak guru. Guru-guru bahasa ibut tidak menggunakan acuan berupa kurikulum, tidak juga menggunkan metode atau pun berbagai landasan teori. Berbeda jika seseorang belajar bahasa kedua, ktiga, keempat, dan seterusnya. Belajar bahasa kedua dan seterusnya ini. Pada umumnya dilakukan anak setelah mencapai umur tertentu, secara formal, terencana, dalam waktu dan dengan guru tertentu. Belajar bahasa dan berbahasa terjadi di tengah-tengah kehidupan bersosialisasi. Berbicara, menyimak, membaca, dan menulis bermula dan tumbuh dengan subur seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya dari sejak usia dini dalam kehidupannya yang utuh. Keterampilan berbahasa tersebut menjadi penting untuk selalu dikembangkan karena 3 alasan. Pertama, sebagai makhluk social secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan sesamanya. Kedua, belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang menjadi bagian dari kehidupannya. Ketiga, belajar bahasa perlu untuk mengekspresikan diri.

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
            Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.

            Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional- UUSPN).

            Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengejarkan nama yang benar dan mana yang salah. Lebihdari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasrkan nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, implementasi pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (morak knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.

            Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangakn potensi pserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga Negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

            Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multicultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkonstribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga Negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampngan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media masa (Puskur, 2011).

Implementasi Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Mendidik
            Pembelajaran bahasa Indonesia di semua satuan pendidikan menjadi sorotan. Ini terjadi manakala persentase nilai bahasa Indonesia yang diperoleh siswa pada setiap ujian akhir tingkat nasional mengalami penurunan. Sebab dari keadaan itu guru yang selalu ditunjuk sebagai kambing hitamnya. Guru adalah ujung tombak pendidikan, satu-satunya orang dewasa yang berada di garda paling depan yang bertugas membuka pintu kesuksesan bagi siswa,

            Guru merupakan salah satu factor penting di kelas dan kunci sentral terjadi keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran (Borich, 1996; Dick dan Carey 1985). Nosi ini didukung oleh Kundjono (19994-15) dalam pernyataannya sebagai berikut “…the school is not just the building. It is not just a collection of textbooks and blackboards and notebooks. We can get an education without any of these, just as our ancestors did. The most important thing in the school is the teacher”.

            Adanya pandangan baru berkaitan dengan tindakan pembelajaran yang mendidik membawa konsekuensi bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan performansi, karena hasil belajar siswa akan sangat bergantung pada input dan pengalaman belajar yang dicerminkan dalam tindak pembelajaran guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.

            Di samping kompetensi teknis yang memadai, para guru juga harus di lengkapi dengan seperangkat asas kependidikan yang terdiri dari principles of reaction yang bertolak dari gambaran mengenai manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Pada gilirannya, pemilik wawasan kependidikan ini menempatkan guru pada posisi untuk mengambil berbagai keputusan kependidikan yang tepat baik dalam merancang program pembelajaran, namun dalam mengelola lingkungan belajar yang optimal bagi pencapaian tujuan utuh pendidikan (Joni, 2000). Sebagaimana diketahui, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mencetuskan salah satu principle of reaction yang dimaksud secara bijak sebagai asas tut wuri handayani.

            Satu kenyataan yang pasti adalah bahwa tugas dan tanggung jawab guru sekolah dasar berbeda dengan guru di jenjang sekola selanjutnya. Guru sekolah dasar adalah guru kelas. Guru pada jenjang ini selalu dituntut menguasai pengetahuan yang luas mengenai beberapa mata pelajaran dan sejumlah besar keterampilan professional pembelajaran (Wragg, 1997). Guru sekolah dasar dituntut tidak hanya mampu menyajikan satu materi, melainkan mampu membangun kerangka pengajaran yang bermakna yang dalam interaksi kelasnya mampu menyajikan berbagai materi secara integrative berdasarkan kurikulum, serta mampu membangkitkan suasana kelas yang aktif yang mengarah kepada keberhasilan proses pembelajaran. Dalam konteks yang demikian ini, guru harus mengembangkan interaksi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan taraf perkembangan anak (Developmentally-Appropriate Practice, DAP). Ini berati bahwa pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya (Satori, 1995; Semiawan dan Joni, 2000).

            Lebih lanjut disampaikan oleh beberapa pakar pendidikan bahwa dalam setiap interaksi pembelajaran tatap muka, tindakan pembelajaran guru tidak hanya dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi verbal (bahasa verbal) tetapi juga menggunkan pola komunikasi non verbal (bahasa tubuh). Dengan demikian konteks komunikasi yang dikemukakan di dalam kelas sejalan dengan komunikasi sehari-hari (Olivia, 1985; Sanders, 1990; Richmond dkk, 1991). Bahasa verbal dan non verbal yang digunakan guru merupakan alat komunikasi strategis dalam interaksi pembelajaran antara guru dan siswa di kelas juga sarana tepat pengembangan pendidikan karakter bangsa. Dalam pandangan Thompson (1973), tindak verbal yang dikomplementasikan dengan tindakan non verbal dalam proses pembelajaran dapat memperjelas makna pernyataan verbal guru, membangkitkan motivasi, serta memicu berkembangnya rasa percaya diri siswa. Sebagai contoh, etika guru memberikan pujian kepada seroang siswa, dapat digunkan ungkapan verbal tertentu yang diikuti dengan gerakan non verbal, seperti mengacungkan jempol dengan ekspresi wajah yang simpatik, dan mengangguk tanda setuju. Pendapat Thompson ini diperkuat oleh Sadtono (1987) yang dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa proses komunikasi verbal yang dikuatkan dengan isyarat (signal) atau gerakan tertentu yang mereflesikan rasa simpatik dan impresif dapat membantu terciptanya suasana dan impresif dapat membantu terciptanya suasana pembelajaran yang memangkitkan aktivitas belajar siswa.

            Tindak verbal dan non verbal ini pada gilirannya akan dapat membantu siswa dalam membangun konsep berbahasa dalam dirinya. Berbagai konsep tersebut terwdahi dalam kata, frasa, kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, tindakan verbal dan non verbal guru dalam mengelola proses pembelajaran secara langsung akan meningkatkan perbendaharaan bahasa siswa.

            Mengacu pada konteks kemampuan yang diuraikan di atas, Gaies (dalam Ellis, 1988;96) menyarangkan perlu adanya perbedaan pola komunikasi guru-siswa, orang dewasa-anak-anak, guru- teman sejawat. Dalam berkomunikasi dengan siswa sekolah dasar kelas rendah, guru harus menggunakan ragam bahasa yang sederhana, berinteraksi secaral ebih informal dan luwes (flexible) dan adaptif dengan lingkungan siswa. Dengan demikian kebermaknaan komunikasi dapat saling dipahami oleh guru dan siswa yang akhirnya mengarah pada proses pembelajaran yang efektif, yakni pembelajaran bahasa yang bukan saja menghasilkan seroang siswa yang terampil berbahasa baik lisan maupun tulis, melainkan pembelajaran bahasa yang dapat menciptakan siswa yang berkarakter dan cerdas.

            Bila demikian permasalahannya, semakin jelaslah bahwa hasil dari proses pembelajaran di sekolah dasar termasuk pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa yang akan dikuasai lebih baik jika proses pembelajaran yang diwujudkan dalam tindak pembelajaran guru dari hari ke hari mencakup berbagai pengalaman belajar. Berbagai pengalaman belajar yang dimaksud adalah pengalaman belajar yang mendidik dan kreatif yang tidak sebatas mengacu pada substansi GBPP saja, atau yang terjadi secara tradisional hanya dengan mendengarkan ceramah guru di dalam kelas (ruang belajar biasa) naun lebih kepada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, serta niali yang tersurat dan tersirat sebagai utuh pendidikan (Joni, 2000).

            Lebih lanjut pembelajaran di sekolah dasar diupayakan juga dapat memfasilitasi terwujudnya mepat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yakni, belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang (Delors, 1996). Dengan mengacu  empat sendi pendidikan yang dicanangkan UNESCO di atas, Tilaar (2002) mengemukakan empat sendi pendidikan tersebut dengan urutan sebagai berikut: belajar untu mengembangkan pengertian dan kesadaran diri yang siap menghadapi segala tantangan (learning to be), belajar untuk mencari tahu guna menguasai bidang ilmu (Learning to knowi), belajar melatih diri untuk memperoleh ketrampilan dalam menerapkan bidang ilmu (learning to do), dan belajar untuk dapat bermasyarakat (Learning to live together). Urutan keempat pilar tersebut tidaklah baku, melainkan bergantung pada cara pandang dan strategi yang dilakukan dalam mencapai suatu tujuan. Dalam praktik pembelajaran sains misalnya, tidak seharusnya guru memposisikan siswa hanya sebagai pendengar ceramah ibarat botol kosong yang perlu di isi ilmu pengetahuan. Melalui interaksi dengan lingkungannya baik fisik maupun social, siswa dapat membangun kepercayaan diri sekaligus membangun jati diri (learning to bei), sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia disekitarnya (learning to know). Selanjutnya siswa diberdayakan agar mampu dan mau berbuat sesuatu untuk memperkaya dan mempraktikan pengalaman belajarnya tersebut (learning to do). Kesempatan berinteraksi dengan berabgai individu atau kelompok individu yang bervariasi, akan membentuk kepribadiannya untuk memahami serta menghargai kemajukan dan melahirkan sikap positif serta toleransi terhadak keanekaragaman dan perbedaan hidup (learning to live together) (Balitbang). Kesemuanya itu menceriminkan betapa pentingya menanamkan nilai budaya dan karakter bangsa pada setiap siswa.

SIMPULAN

            Pendidikan karakte didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio kulutral pada konteks interaksi pembelajaran di kelas, dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidikan merupakan salah satu media yang dapat dijadikan sebagai wahana dalam mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa. Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunkan pendekatan belajar aktif sepert pendekatan belajar kontekstual, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis malasah, pembelajaran berbasis proyek, dan pembelajaran berbasis kerja. Hal ini perlu dipahami karena nilai budaya dan karakter bangsa tidak untuk diajarkan melainkan dikembangkan.

Daftar Rujukan

Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. New Jersey: Prentice Hall (Edisi Ketiga)

Curran, Charlie, A. 1976. Counseling- Learning in Secon Language. Apple River, III: Apple River Press.

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-garis Besar Program Pengajar. Jakarta: Depdikbud.

Dick, W., and Carey, L. 1985. The Systematic Design of Instruction. England: Scott Foresman and Company.

Ghazali, Syukur. 2003. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Utuh: Kajian Teori dan Aplikasi. Universitas Negeri Malang: LP3.

Goodman, K. 1982. Whats, Whole in Whole Language. Poustmouth: Heinemann Educational ooks, Inc.

Joni, Raka. 2000. Juli-Agustus. Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum. Basis: Edisi Khusus Pendidikan. No 07-08. Tahun ke-49, halaman 41-48.

Koendjono, Th. S. J. 1994. Menggalakkan Intelegensi Mahasiswa dengan Bhasa. Yogyakarta: JBSS Sanata Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...