MENYOAL
CERITA RAKYAT SEBAGAI BAHAN AJAR
DALAM
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Abstrak
Sebagai sebuah materi ajar, cerita
rakyat sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra sungguh sangat
mengkhawatirkan. Beberapa persoalan yang muncul seputar pembelajaran cerita
rakyat ini adalah penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, materi
ajar atau bahan ajar mengenai cerita rakyat sedikit, waktu/ kesempatan
pelaksanaan pembelajaran cerita rakyat terbatas, dan pelaksanaan
pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa.
Persoalan-persoalan tersebut muncul
sekaitan dengan adanya indikasi gagalnya pembelajaran sastra yang dilakukan di
Indonesia. Terlepas dari kebijakan yang nanti akan dikeluarkan oleh pemerintah
dalam bidang pendidikan, namun perlu adanya upaya untuk menjawab persoalan
tersebut, setidaknya dalam tataran praktis, agar guru dapat menggunakan model
pembelajaran yang memang dapat merangsang kreatifitas dan minat siswa untuk
mempelajarinya.
Kata
kunci: cerita rakyat, bahan ajar.
A. Pendahuluan
Zoetmulder dalam pengantar buku Kalangwan,
Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, mengungkapkan “seluruh dunia telah
maklum akan hasil gemilang yang dicapai bangsa Indonesia dahulu kala dalam
bidang kesenian. Lewat karya-karya seni mereka mengungkapkan ide-ide
religius, beserta pandangan mereka mengenai manusia dan alam semesta” (1994:
XI). Bentuk-bentuk kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia banyak rupa,
diantaranya karya sastra yang banyak dibuat oleh para mpu, baik sastra lisan
maupun tulis, keterampilan hingga menghasilkan arsitektur candi serta hasil
budaya lainnya yang menjadi sebuah kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki
budaya luhur.
Berpijak dari hal di atas,
masyarakat Indonesia seyogyanya menjadi masyarakat yang memiliki kekuatan
budaya, sehingga dengan besarnya arus kebudayaan lain yang masuk, masyarakat
Indonesia telah memiliki pandangan yang baik untuk dapat memilih, bahkan
mengeksplorasi dirinya menjadi individu yang memiliki kontribusi bagi
perkembangan bangsa ini.
Namun, kondisi yang terjadi dewasa
ini justru sebaliknya. Dari perspektif kebudayaan, perkembangan masyarakat saat
ini justru mengalami kemerosotan. Lemahnya pertahanan budaya saat ini justru
mengakibatkan masyarakat Indonesia kelimbungan, sehingga tidak bisa membedakan
budaya mana yang seyogyanya dapat dipegang sesuai dengan karakteristik
masyarakat timur dan budaya mana yang perlu dicerna. Dengan kondisi ini, maka
dapat kita saksikan kemerosotan ekonomi, kericuhan politik, ketegangan dan keretakan
sosial sehingga muncul perilaku-perilaku menyimpang, seperti korupsi, tawuran
pelajar, emansipasi wanita yang kebablasan, bahkan sekarang ini bangsa
Indonesia disibukan dengan maraknya aksi terorisme serta berbagai persoalan
lainnya yang seyogyanya dapat dieliminasi oleh kita sebagai masyarakat yang
memiliki budaya yang luhur.
B. Apa itu Cerita
Rakyat?
Rusyana (1978: 17) mengemukakan
bahwa cerita rakyat adalah sastra lisan yang telah lama hidup dalam tradisi
suatu masyarakat yang berkembang dan menyebar secara lisan pada beberapa
generasi dalam suatu masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut,
maka cerita rakyat termasuk ke dalam sastra lisan yang berbentuk cerita lisan
yang hidup dan bertahan dalam suatu lingkungan masyarakat disebarkan
turun-temurun dalam lingkungan masyarakat tersebut secara lisan.
Bascom (Danandjaja, 2002:50),
membagi cerita rakyat ke dalam tiga golongan besar, yaitu : (1) Mite (myth),
(2) Legenda (legend), dan (3) Dongeng (folktale).
C. Bahan Ajar
Cerita Rakyat dalam Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Meskipun saat ini telah muncul
kurikulum baru, yang masih dalam tahap perkenalan, yaitu kurikulum perekat
bangsa, namun kurikulum yang sekarang masih berlaku adalah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) masih belum berdampak signifikan bagi perkembangan
pendidikan di Indonesia.
Sistem kurikulum di dalam KTSP, yang
terdiri dari standar kompetensi dan kompetensi dasar belum dapat terjabarkan
secara holistik oleh para guru hingga menjadi satuan kegiatan di kelas. Padahal
standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk
mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian.
Adapun standar kompetensi mata
pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta
didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan
sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini
merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal,
regional, nasional, dan global.
D. Persoalan
Materi Ajar Cerita Rakyat dalam Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Sebagaimana pembelajaran sastra pada
umumnya, berbagai persoalan muncul sekaitan dengan ‘gagalnya’ pembelajaran
sastra yang ada di Indonesia. Ada beberapa yang perlu disoroti terkait
persoalan yang muncul ini.
- Penelitian mengenai cerita rakyat setempat kurang, kalaupun ada kurang dieksplorasi menjadi bahan ajar
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Rusyana, bahwa ada dua tujuan pembelajaran sastra yakni untuk kepentingan ilmu
sastra dan tujuan untuk kepentingan pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
untuk kepentingan ilmu pengetahuan (ilmu sastra), tujuan pembelajaran sastra
lebih diorientasikan pada pengetahuan tentang teori sastra, sejarah sastra,
sosiologi sastra dan kritik sastra. Sedangkan untuk kepentingan pendidikan,
tujuan pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan pendidikan pada umumnya
yakni mengantarkan anak didik untuk memahami dunia fisik dan dunia sosialnya,
dan untuk memahami dan mengapresiasi nilai-nilai dalam hubungannya dengan
kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. (Rusyana, 1984:313).
Pengembangan kesastraan dalam bentuk
penelitian (cerita rakyat) pada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki
program pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dengan tema local wisdom,
sebagai pengejawantahan tujuan pembelajaran sastra di atas, sebetulnya sudah
menjadi sebuah tradisi. Penelitian cerita rakyat oleh setiap mahasiswa pada
setiap universitas tersebut sebetulnya dapat dijadikan sebuah bahan ajar,
sehingga cerita rakyat yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran lebih
variatif.
2.
Materi ajar atau bahan ajar mengenai
cerita rakyat sedikit
Dalam beberapa buku, termasuk buku
BSE yang diterbitkan pemerintah, bahan ajar mengenai cerita rakyat justru
kurang variatif. Dari setiap tahunnya materi ajar mengenai cerita rakyat hanya
berkisar pada cerita rakyat yang telah diterbitkan sejak dahulu. Dalam arti cerita
rakyat yang baru kurang disuguhkan, sehingga kurang merangsang minat siswa.
Cerita rakyat merupakan produk
budaya masyarakat setempat, sehingga dalam setiap wilayah pasti akan terdapat
cerita rakyat. Terlepas dari buku ajar, guru pun kurang dapat memanfaatkan
bahan ajar mengenai cerita rakyat, terutama untuk cerita rakyat daerah
setempat.
3.
Waktu/ kesempatan pelaksanaan
pembelajaran cerita rakyat terbatas
Sebagaimana yang tercantum dalam
pengembangan silabus Bahasa dan sastra Indonesia, bahwa kesempatan pembelajaran
cerita rakyat sangat sedikit. Hal ini dapat terlihat bahwa yang ada dalam SK
dan KD hanya pada kelas I (SD) semester 2, kelas V (SD) semester 1, kelas VII
(SMP) semester 1, dan X (SMA) semester 2.
Dalam konteks ini, maka hendaknya
pemanfaatan pembelajaran cerita rakyat ini dapat dilakukan secara efisien dan
efektif. Siswa diharapkan dapat benar-benar ‘terjun ke dalam lautan‘ yang
memang dimiliki cerita rakyat, bukan sekedar ‘cuci muka’.
4.
Pelaksanaan pembelajaran sastra,
khususnya cerita rakyat, kurang meningkatkan minat siswa
Dalam konteks pengajaran, fungsi
utama sastra (cerita rakyat) bagi siswa adalah bahwa pembelajaran ini
dapat memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan dengan pengembangan
imajinasi, pengalaman baru, pengembangan wawasan menjadi perilaku insani,
pengalaman, pengembangan bahasa, pengembangan kognitif, pengembangan
kepribadian juga pengembangan sosial anak (Tarigan, 1995: 6)
Pelaksanaan pembelajaran di kelas,
akan sangat berhubungan dengan penyampaian guru baik model pembelajaran maupun
metode yang digunakan oleh seorang guru dalam meyampaikan materi ajar. Dalam
beberapa penelitian menyebutkan bahwa model pembelajaran yang dilakukan kurang
memberikan pengalaman apresiasi dan kreativitas yang dapat memacu kreativitas
siswa, hal ini salah satunya disebabkan karena kualitas guru yang kurang
menguasai bahan ajar sastra (cerita rakyat) dan kurang dapat memanfaatkan
sarana, seperti VCD, komputer serta Internet dan lainnya.
E. Model yang Dapat Digunakan dalam Pembelajaran Cerita Rakyat
Pembelajaran cerita rakyat hendaknya
dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar
mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara cerita rakyat dengan murid,
cerita rakyat dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid
dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan tujuan
yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan,
sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung
hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang
demikian itu, murid dan guru bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta
yang dipelajarinya termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan
model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat
mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial.
Berdasarkan dari konsep di atas,
model analisis wacana kritis/ Critical Discourse Analysis (CDA) dapat
diterapkan dalam pembelajaran cerita rakyat. Penerapan model CDA dalam
pembelajaran sastra, dapat ditempuh tiga tahapan penyajian yang meliputi (1)
tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi
Pada tahap pertama, sebagai tahap
penjelajahan, guru dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa untuk
membacakan wacana cerita rakyat dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai
variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk “menerjemahkan”
cerita rakyat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan “penerjemahan” ini
ialah agar siswa lain yang berasal dan berlatar belakang budaya yang berbeda
dapat memahami serta proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Tahap kedua, yang masih dalam tahap
penjelajahan, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita rakyat.
Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yang ada di dalam
wacana, karakteristik berbentuk cerita (mite, legenda dan dongeng) beserta
keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat-sesuai dengan
latar wacana cerita rakyat yang dijadikan bahan pembelajaran, dan berbagai hal
yang dipandang penting oleh guru. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan
wacana cerita yang dipilih, guru memberikan informasi yang secukupnya tentang
latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang
diberikan oleh guru ini penting agar “makna” yang diperoleh siswa benar-benar
tepat sesuai dengan konteks sosial-budayanya.
Tahap ketiga, yanga merupakan tahap
interpretasi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi,
yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita rakyat
yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya
menjadi perhatian guru.
Tahap keempat, guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan “re-kreasi”, yakni penciptaan
kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuk tulisan kreatif.
Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai
manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan
pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan
menulis.
F. Simpulan
Dengan dimilikinya berbagai warisan
budaya, yang meruapakan sebuah prestasi besar dalam berkesenian, bangsa
Indonesia sepatutnya memiliki ketahanan budaya, yang tereksplorasi dalam sistem
pendidikan, yang menjadi pola hidup masyarakat sehingga dapat bertahan
sehubungan dengan gencarnya perkembangan global.
Cerita Rakyat yang merupakan warisan
prestasi besar masyarakat Indonesia, yang termasuk ke dalam bahan ajar
pendidikan di Indonesia, kurang mendapat tempat dalam pelaksanaan pembelajaran
apresiasi sastra.
Terlepas mengenai kebijakan
pemerintah, pembelajaran apresiasi sastra yang menyuguhkan cerita rakyat perlu
di poles dengan baik. Setidaknya dalam tataran praktis, guru dapat menerapkan
model pembelajaran yang dapat merangsang kreatifitas dan merangsang keinginan
siswa untuk dapat menyenangi sastra Indonesia, terutama cerita rakyat.
PUSTAKA
RUJUKAN
Danandjaya, James. 2002. Folklor
Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama
grafiti.
Faruk. 2003. Kebangkitan
Kebudayaan. Jurnal Kebudayaan Selarong volume 01, April-juli 2003.
Yogyakarta.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
________________. 2001. Penilaian
dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan
Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro.
______________. 1978. Sastra
Lisan Sunda Cerita Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Semi, M. Atar. 1993. Rancangan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan
Massa. Bandung: ITB.
Tarigan, H.G. 1995. Dasar- dasar
Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Zoetmulder 1994. Kalangwan,
Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
UPAYA PEMBIASAN BUDAYA YANG BERKARAKTER DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Abstrak:
Salah satu
upaya mengimplementasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa demi
mewujudkan visi pembangunan nasional, dapat dilakukan di sekolah yakni melalui
serangkaian kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik
di sekolah dasar yang tidak hanya mengandalkan pada ketercapaian tujuan
instruksional semaata melainkan lebih kepada keterbentukan pribadi-pribadi yang
terampil berbahasa, berbudaya, cakap, mandiri, dan santun dalam berpikir,
bertutur kata, serta berperilaku merupakan wahana tepat pengembangan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diharapkan. Hal itu mengingat
siswa-siswa sekolah dasar adalah generasi penerus bangsa yang wajib dibimbing
dan diarahkan agar menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi
tantangan. Strategi penerapan nilai-nilai udaya dan karakter bangsa dalam
pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik dilakukan guru dengan mengacu pada
pembelajaran aktif, menyenangkan, dan bermakna.
Kata-kata
kunci: Nilai-nilai budaya dan karakter,
pembelajaran bahasa Indonesia.
PEMBAHASAN
Bahasa adalah ungkapan atau ucapan pikiran dan
perasaan manusia. Bahasa digunakna secara turun temurun. Meski demikian,
kemampuan berbahasa bukanlah kemampuan yang dimiliki seseorang karena factor
keturunan, melainkan karena belajar. Seorang anak, tidak dengan sendirinya
menguasai bahasa yang dikuasai orang tuanya. Bayi yang dilahirkan dari pasangan
orang tua yang berasal dari Jawa misalnya, tidak dengan sendirinya mampu
berbahasa Jawa tanpa belajar. Jika dalam proses perkembangannya dia berhadapan
dengan bahasa Indonesia dikarenakan keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya
berbahasa Indonesia, dia akan menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya
atau bahasa ibu dan bukan bahasa Jawa.
Bahasa ibu yang dimaksud mengacu pada bahasa
yang diperoleh sejak lahir, secara informal dan alami, tanpa perencanaan dan
melalui banyak guru. Guru-guru bahasa ibut tidak menggunakan acuan berupa
kurikulum, tidak juga menggunkan metode atau pun berbagai landasan teori.
Berbeda jika seseorang belajar bahasa kedua, ktiga, keempat, dan seterusnya.
Belajar bahasa kedua dan seterusnya ini. Pada umumnya dilakukan anak setelah
mencapai umur tertentu, secara formal, terencana, dalam waktu dan dengan guru
tertentu. Belajar bahasa dan berbahasa terjadi di tengah-tengah kehidupan
bersosialisasi. Berbicara, menyimak, membaca, dan menulis bermula dan tumbuh
dengan subur seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya dari sejak
usia dini dalam kehidupannya yang utuh. Keterampilan berbahasa tersebut menjadi
penting untuk selalu dikembangkan karena 3 alasan. Pertama, sebagai makhluk
social secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan sesamanya. Kedua,
belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang menjadi bagian dari
kehidupannya. Ketiga, belajar bahasa perlu untuk mengekspresikan diri.
Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa
Pembangunan
karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan
yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai
Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai
Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
memudarnya kesadaran terhadap nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa;
dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa 2010-2025). Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan
karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah
menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan
nasional.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter, sesungguhnya hal yang
dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional- UUSPN).
Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya
sekedar mengejarkan nama yang benar dan mana yang salah. Lebihdari itu,
pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan yang baik (habituation)
sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasrkan nilai yang telah
menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, implementasi pendidikan karakter yang
baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (morak knowing), perasaan yang baik
atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action)
sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai yang membentuk karakter
bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangakn potensi pserta didik agar
menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2)
membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga
Negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta
mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang
multicultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan
mampu berkonstribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia;
mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga Negara yang cinta damai,
kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampngan dengan bangsa lain dalam suatu
harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media masa (Puskur,
2011).
Implementasi
Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang
Mendidik
Pembelajaran bahasa Indonesia di semua satuan pendidikan menjadi sorotan. Ini
terjadi manakala persentase nilai bahasa Indonesia yang diperoleh siswa pada
setiap ujian akhir tingkat nasional mengalami penurunan. Sebab dari keadaan itu
guru yang selalu ditunjuk sebagai kambing hitamnya. Guru adalah ujung tombak
pendidikan, satu-satunya orang dewasa yang berada di garda paling depan yang
bertugas membuka pintu kesuksesan bagi siswa,
Guru merupakan salah satu factor penting di kelas dan kunci sentral terjadi
keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran (Borich, 1996; Dick dan Carey 1985).
Nosi ini didukung oleh Kundjono (19994-15) dalam pernyataannya sebagai berikut
“…the school is not just the building. It is not just a collection of
textbooks and blackboards and notebooks. We can get an education without any of
these, just as our ancestors did. The most important thing in the school is the
teacher”.
Adanya pandangan baru berkaitan dengan tindakan pembelajaran yang mendidik
membawa konsekuensi bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan performansi,
karena hasil belajar siswa akan sangat bergantung pada input dan pengalaman
belajar yang dicerminkan dalam tindak pembelajaran guru. Guru yang kompeten
akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih
mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat
optimal.
Di samping kompetensi teknis yang memadai, para guru juga harus di lengkapi
dengan seperangkat asas kependidikan yang terdiri dari principles of
reaction yang bertolak dari gambaran mengenai manusia dan masyarakat masa
depan yang dikehendaki. Pada gilirannya, pemilik wawasan kependidikan ini
menempatkan guru pada posisi untuk mengambil berbagai keputusan kependidikan
yang tepat baik dalam merancang program pembelajaran, namun dalam mengelola
lingkungan belajar yang optimal bagi pencapaian tujuan utuh pendidikan (Joni,
2000). Sebagaimana diketahui, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia,
mencetuskan salah satu principle of reaction yang dimaksud secara bijak sebagai
asas tut wuri handayani.
Satu kenyataan yang pasti adalah bahwa tugas dan tanggung jawab guru sekolah
dasar berbeda dengan guru di jenjang sekola selanjutnya. Guru sekolah dasar
adalah guru kelas. Guru pada jenjang ini selalu dituntut menguasai pengetahuan
yang luas mengenai beberapa mata pelajaran dan sejumlah besar keterampilan
professional pembelajaran (Wragg, 1997). Guru sekolah dasar dituntut tidak
hanya mampu menyajikan satu materi, melainkan mampu membangun kerangka
pengajaran yang bermakna yang dalam interaksi kelasnya mampu menyajikan
berbagai materi secara integrative berdasarkan kurikulum, serta mampu
membangkitkan suasana kelas yang aktif yang mengarah kepada keberhasilan proses
pembelajaran. Dalam konteks yang demikian ini, guru harus mengembangkan interaksi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan taraf perkembangan anak (Developmentally-Appropriate
Practice, DAP). Ini berati bahwa pendidikan yang demokratis harus
memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan
secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan
belajar, sifat, sikap, dan minatnya (Satori, 1995; Semiawan dan Joni, 2000).
Lebih lanjut disampaikan oleh beberapa pakar pendidikan bahwa dalam setiap
interaksi pembelajaran tatap muka, tindakan pembelajaran guru tidak hanya
dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi verbal (bahasa verbal) tetapi juga
menggunkan pola komunikasi non verbal (bahasa tubuh). Dengan demikian konteks
komunikasi yang dikemukakan di dalam kelas sejalan dengan komunikasi
sehari-hari (Olivia, 1985; Sanders, 1990; Richmond dkk, 1991). Bahasa verbal
dan non verbal yang digunakan guru merupakan alat komunikasi strategis dalam
interaksi pembelajaran antara guru dan siswa di kelas juga sarana tepat
pengembangan pendidikan karakter bangsa. Dalam pandangan Thompson (1973),
tindak verbal yang dikomplementasikan dengan tindakan non verbal dalam proses
pembelajaran dapat memperjelas makna pernyataan verbal guru, membangkitkan
motivasi, serta memicu berkembangnya rasa percaya diri siswa. Sebagai contoh,
etika guru memberikan pujian kepada seroang siswa, dapat digunkan ungkapan
verbal tertentu yang diikuti dengan gerakan non verbal, seperti mengacungkan
jempol dengan ekspresi wajah yang simpatik, dan mengangguk tanda setuju. Pendapat
Thompson ini diperkuat oleh Sadtono (1987) yang dalam hasil penelitiannya
menemukan bahwa proses komunikasi verbal yang dikuatkan dengan isyarat (signal)
atau gerakan tertentu yang mereflesikan rasa simpatik dan impresif dapat
membantu terciptanya suasana dan impresif dapat membantu terciptanya suasana
pembelajaran yang memangkitkan aktivitas belajar siswa.
Tindak verbal dan non verbal ini pada gilirannya akan dapat membantu siswa
dalam membangun konsep berbahasa dalam dirinya. Berbagai konsep tersebut
terwdahi dalam kata, frasa, kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, tindakan
verbal dan non verbal guru dalam mengelola proses pembelajaran secara langsung
akan meningkatkan perbendaharaan bahasa siswa.
Mengacu pada konteks kemampuan yang diuraikan di atas, Gaies (dalam Ellis,
1988;96) menyarangkan perlu adanya perbedaan pola komunikasi guru-siswa, orang
dewasa-anak-anak, guru- teman sejawat. Dalam berkomunikasi dengan siswa sekolah
dasar kelas rendah, guru harus menggunakan ragam bahasa yang sederhana,
berinteraksi secaral ebih informal dan luwes (flexible) dan adaptif
dengan lingkungan siswa. Dengan demikian kebermaknaan komunikasi dapat saling
dipahami oleh guru dan siswa yang akhirnya mengarah pada proses pembelajaran
yang efektif, yakni pembelajaran bahasa yang bukan saja menghasilkan seroang
siswa yang terampil berbahasa baik lisan maupun tulis, melainkan pembelajaran
bahasa yang dapat menciptakan siswa yang berkarakter dan cerdas.
Bila demikian permasalahannya, semakin jelaslah bahwa hasil dari proses
pembelajaran di sekolah dasar termasuk pengembangan nilai budaya dan karakter
bangsa yang akan dikuasai lebih baik jika proses pembelajaran yang diwujudkan
dalam tindak pembelajaran guru dari hari ke hari mencakup berbagai pengalaman
belajar. Berbagai pengalaman belajar yang dimaksud adalah pengalaman belajar
yang mendidik dan kreatif yang tidak sebatas mengacu pada substansi GBPP saja,
atau yang terjadi secara tradisional hanya dengan mendengarkan ceramah guru di
dalam kelas (ruang belajar biasa) naun lebih kepada proses keterbentukan
berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, serta niali yang tersurat dan
tersirat sebagai utuh pendidikan (Joni, 2000).
Lebih lanjut pembelajaran di sekolah dasar diupayakan juga dapat memfasilitasi
terwujudnya mepat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yakni, belajar
mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi
seseorang (Delors, 1996). Dengan mengacu empat sendi pendidikan yang
dicanangkan UNESCO di atas, Tilaar (2002) mengemukakan empat sendi pendidikan
tersebut dengan urutan sebagai berikut: belajar untu mengembangkan pengertian
dan kesadaran diri yang siap menghadapi segala tantangan (learning to be),
belajar untuk mencari tahu guna menguasai bidang ilmu (Learning to knowi),
belajar melatih diri untuk memperoleh ketrampilan dalam menerapkan bidang ilmu
(learning to do), dan belajar untuk dapat bermasyarakat (Learning to
live together). Urutan keempat pilar tersebut tidaklah baku, melainkan bergantung
pada cara pandang dan strategi yang dilakukan dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam praktik pembelajaran sains misalnya, tidak seharusnya guru memposisikan
siswa hanya sebagai pendengar ceramah ibarat botol kosong yang perlu di isi
ilmu pengetahuan. Melalui interaksi dengan lingkungannya baik fisik maupun
social, siswa dapat membangun kepercayaan diri sekaligus membangun jati diri (learning
to bei), sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia
disekitarnya (learning to know). Selanjutnya siswa diberdayakan agar
mampu dan mau berbuat sesuatu untuk memperkaya dan mempraktikan pengalaman
belajarnya tersebut (learning to do). Kesempatan berinteraksi dengan
berabgai individu atau kelompok individu yang bervariasi, akan membentuk kepribadiannya
untuk memahami serta menghargai kemajukan dan melahirkan sikap positif serta
toleransi terhadak keanekaragaman dan perbedaan hidup (learning to live
together) (Balitbang). Kesemuanya itu menceriminkan betapa pentingya
menanamkan nilai budaya dan karakter bangsa pada setiap siswa.
SIMPULAN
Pendidikan karakte didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas
sosio kulutral pada konteks interaksi pembelajaran di kelas, dalam keluarga,
satuan pendidikan serta masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang
mendidikan merupakan salah satu media yang dapat dijadikan sebagai wahana dalam
mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa. Kegiatan pembelajaran dalam
kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunkan pendekatan
belajar aktif sepert pendekatan belajar kontekstual, pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis malasah, pembelajaran berbasis proyek, dan pembelajaran
berbasis kerja. Hal ini perlu dipahami karena nilai budaya dan karakter bangsa
tidak untuk diajarkan melainkan dikembangkan.
Daftar Rujukan
Borich, G.D.
1996. Effective Teaching Methods. New Jersey: Prentice Hall (Edisi
Ketiga)
Curran,
Charlie, A. 1976. Counseling- Learning in Secon Language. Apple River,
III: Apple River Press.
Depdikbud.
1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-garis Besar Program Pengajar.
Jakarta: Depdikbud.
Dick, W., and
Carey, L. 1985. The Systematic Design of Instruction. England: Scott
Foresman and Company.
Ghazali,
Syukur. 2003. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Utuh: Kajian
Teori dan Aplikasi. Universitas Negeri Malang: LP3.
Goodman, K.
1982. Whats, Whole in Whole Language. Poustmouth: Heinemann Educational
ooks, Inc.
Joni, Raka.
2000. Juli-Agustus. Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum. Basis:
Edisi Khusus Pendidikan. No 07-08. Tahun ke-49, halaman 41-48.
Koendjono, Th.
S. J. 1994. Menggalakkan Intelegensi Mahasiswa dengan Bhasa. Yogyakarta:
JBSS Sanata Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar