KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat
dan RizkiNya, tak lupa juga shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan
kepada junjungan Nabi Besar kita Nabi Muhammad SAW, kepada para keluarganya
sahabatnya serta para pengikutnya.
Adapun makalah yang telah penulis susun yaitu Tentang “Solusi Masalah
Kesehatan Lingkungan”. Dalam
penyusunannya penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi materi
maupun dari penulisan.
Saran maupun kritik yang bersifat membangun akan sangat penulis terima
untuk kesempurnaan penyusunan dimasa yang akan datang.
Ciamis, Juni 2022
Penulis
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kesehatan Lingkungan
2.2. Permasalahan Kesehatan Lingkungan di Indonesia
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Illegal Logging, Illegal Mining,
dan Illegal Fishing
BAB IV PENUTUP
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semenjak umat manusia menghuni planet bumi ini, sebenarnya
manusia sudah seringkali menghadapi
masalah-masalah kesehatan serta bahaya kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan hidup yang ada di
sekeliling mereka seperti benda mati, mahkluk
hidup, adat istiadat,
kebiasaan, dan lain-lain
(Budiman, 2007). Dalam suatu wilayah,
kondisi lingkungan merupakan
determinan utama dan terpenting bagi derajat kesehatan masyarakat.
Pencemaran lingkungan akibat perkembangan teknologi
dan pembangunan juga
mempengaruhi ragam dan kualitas pencemarnya, dari masalah sanitasi
dasar, pembuangan limbah rumah
tangga, sampah domestik, dan penyediaan air bersih, bergeser ke berbagai pencemaran partikel debu, bahan dan buangan
kimia, sampai radiasi dan gelombang
elektro magnetik (FKM UI, 2013).
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain. Masalah
kesehatan adalah suatu masalah
yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar
kesehatan sendiri. Kesehatan
lingkungan pada hakikatnya adalah
suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan yang optimal pula
(Notoatmodjo, 2011). Masalah
lingkungan hidup di Indonesia saat ini yaitu
penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan, polusi
air dari limbah industri
dan pertambangan, polusi udara di daerah perkotaan, asap dan kabut dari kebakaran hutan, kebakaran hutan
permanen/tidak dapat dipadamkan, perambahan
suaka alam/suaka margasatwa, perburuan
liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi, penghancuran
terumbu karang, pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan, dan masih banyak lagi.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud
dengan kesehatan lingkungan?
b.
Bagaimana permasalahan kesehatan lingkungan?
c.
Apa saja permasalahan kesehatan lingkungan?
d.
Faktor apa saja yang
menyebabkan permasalahan kesehatan lingkungan?
e.
Bagaimana upaya untuk mengatasi permasalahan kesehatan lingkungan?
1.3
Tujuan
a.
Mengetahui definisi dari kesehatan lingkugan
b.
Mengetahui permasalahan kesehatan lingkungan yang terjadi
c.
Mengetahui macam-macam permasalahan kesehatan lingkungan
d.
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan kesehatan lingkungan
e.
Mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan lingkungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kesehatan Lingkungan
Menurut Notoatmodjo (1996), kesehatan lingkungan pada
hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan
yang optimum pula. Undang-undang RI No. 23 tahun 1992
tentang kesehatan menyebutkan bahwa
kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas,
radiasi dan kebisingan, pengendalian faktor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya.
Moeller (1992), menyatakan “In it broadsense, environmental
health is the segment of public health that is concerned with assessing, understanding, and controlling the impacts
of people on their environment and the impacts of the environment in them.” Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa kesehatan lingkungan merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang memberi perhatian
pada penilaian, pemahaman, dan pengendalian
dampak manusia pada lingkungan dan dampak lingkungan pada manusia.
2.2. Permasalahan Kesehatan Lingkungan di Indonesia
Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari
dinamika hubungan interaktif antara sekelompok umat manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan
komponen lingkungan hidup
manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya.
Pencemaran lingkungan merupakan permasalahan kesehatan yang paling umum. Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan
manusia atau akibat proses
alam sehingga kualitas
lingkungan menurun sampai
ke
tingkatan
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukkannya. Contohnya pembuangan limbah
industri ke sungai dan laut akan menyebabkan perubahan ekosistem pada perairan (Chandra,
2007).
Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk
lebih dari 200 juta jiwa, masalah
kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks terutama di kota-kota besar. Hal tersebut disebabkan
oleh, antara lain:
1.
Urbanisasi penduduk
Di
Indonesia, terjadi perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari desa ke kota. Lahan pertanian yang semakin
berkurang terutama di pulau Jawa dan terbatasnya lapangan pekerjaan mengakibatkan penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota besar mencari
pekerjaan sebagai pekerja
kasar seperti pembantu
rumah tangga, kuli bangunan dan pelabuhan,
pemulung bahkan menjadi pengemis dan pengamen jalanan yang secara tidak langsung membawa
dampak sosial dan dampak kesehatan
lingkungan, seperti munculnya
pemukiman kumuh dimana-
mana.
2.
Tempat pembuangan sampah
Di hampir setiap tempat di Indonesia, sistem pembuangan sampah dilakukan secara dumping tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Sistem pembuangan
semacam itu selain memerlukan lahan yang cukup luas juga menyebabkan pencemaran pada udara, tanah, dan air selain
lahannya juga juga dapat menjadi
tempat berkembangbiaknya agen dan vector penyakit menular.
3.
Penyediaan sarana air bersih
Berdasarkan
survei yang pernah dilakukan, hanya sekitar 60 % penduduk Indonesia mendapatkan air bersih dari
PDAM, terutama untuk penduduk perkotaan,
selebihnya mempergunakan sumur atau sumber air lain. Bila datang musim kemarau, krisis air dapat
terjadi dan penyakit gastroenteritis mulai muncul dimana-mana.
4.
Pencemaran udara
Tingkat pencemaran udara di Indonesia
sudah melebihi ambang batas normal
terutama di kota-kota
besar akibat gas buangan kendaraan
bermotor. Selain itu, hampir setiap tahun asap tebal meliputi
wilayah nusantara bahkan sampai ke negara tetangga
akibat pembakaran hutan
untuk lahan pertanian dan
perkebunan.
5.
Pembuangan limbah industri
dan rumah tangga
Hampir semua limbah cair baik yang berasal dari rumah tangga dan industri dibuang langsung dan bercampur
menjadi satu ke badan sungai atau
laut, ditambah lagi dengan kebiasaan penduduk melakukan kegiatan MCK dibantaran sungai.
Akibatnya, kualitas air sungai menurun
dan apabila digunakan
untuk air baku memerlukan
biaya yang tinggi.
6.
Bencana alam/pengungsian
Gempa bumi, tanah longsor,
gunung meletus, atau banjir yang sering terjadi di Indonesia mengakibatkan
penduduk mengungsi yang tentunya menambah banyak permasalahan kesehatan lingkungan.
7.
Perencanaan tata kota dan kebijakan pemerintah
Perencanaan
tata kota dan kebijakan pemerintah seringkali menimbulkan masalah baru bagi kesehatan lingkungan.
Contoh, pemberian izin tempat pemukiman,
gudung atau tempat industry baru tanpa didahului dengan studi kelayakan yang berwawasan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya banjir, pencemaran udara, air,
dan tanah serta masalah sosial lain.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Illegal Logging, Illegal
Mining, dan Illegal Fishing
3.1.1. Illegal Logging
(Penebangan Liar)
3.1.1.1.Pengertian ilegal logging
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 persenhutan di dunia
dimiliki secara kolektif dimiliki
oleh Indonesia dan 44 negaralain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai
paru-paru dunia.Hutan-hutan Indonesia
memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi
di dunia,meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen
dari luas daratan di
permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11
persen spesies tumbuhan
yang terdapatdi permukaan
bumi. Selain itu, terdapat 10
persen spesies mamalia dari total binatang
mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.Selain itu, Pemerintah juga pernah mengklaim, sampai dengan tahun 2005,Indonesia memiliki
kawasan hutan 126,8 juta hektare
dengan berbagaipembagian fungsi.
Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung(32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare),
hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi
konversi (14,0 juta hektare).Sayangnya
aset negara tersebut dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab melalui
aksi pembalakan liar.Pembalakan liar atau istilah dalam
bahasa inggrisnya illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan
kayu yang tidak sah atau tidak memiliki
izin dari otoritas setempat.Illegal Logging menurut
UU No 41/1999 tentang Kehutanan
adalah perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok
orang atau badanhukum dalam bidang
kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa;
menebang atau memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan hutan
tanpaizin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut
secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan SahnyaSelama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia
mencapai duajuta hektar per
tahun. Penebangan liar (illegal loging) adalah
penyebab terbesar kerusakan hutan.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan
yang rusak dantidak
dapat berfungsi optimal
telah mencapai 59,6 juta
hektar dari 120,35 jutahektar kawasan hutan di
Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai
2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan
seperti inidipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya,maka hutan di
Sulawesi dan Papua akan mengalami hal
yang sama. Menurutanalisis World Bank, hutan
di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
3.1.1.2.Faktor- faktor
penyebab illegal logging
Adapun faktor penyebab
pembalakan liar adalah pembalakan untukmendapatkan kayu dan alih fungsi lahan untuk kegunaan
lain, sepertiperkebunan, pertanian
dan pemukiman. Seiring
berjalannya waktupertambahan penduduk dari
hari ke hari semakin pesat sehingga menyebabkantekanan kebutuhan akan tempat tinggal, pohon-pohon ditebang untuk dijadikan tempat tinggal atau pun
lahan pertanian.
Faktor lainnya yaitu faktor kemiskinan dan faktor lapangan
kerja. Umumnya halini terjadi kepada masyarakat yang berdomisili dekat ataupun di dalam hutan.Ditengah sulitnya persaingan di dunia kerja dan himpitan
akan ekonomi,masyarakat mau tidak mau berprofesi sebagai
pembalak liar dan dari sinimasyarakat dapat menopang kehidupannya. Hal inilah yang terkadang
sukadimanfaatkan oleh cukong-cukong untuk mengeksploitasi hasil hutan tanpa adaperizinan
dari pihak yang berwenang. Padahal apabila dilihat upah tersebutsangatlah tidak seberapa dibandingkan dengan akibat yang akan
dirasakannantinya.
Selain itu juga tentang aspek kinerja aparatur di lapangan, kelestarian hutanmerupakan tanggung jawab bersama. Salah satu
caranya yaitu dengan dibentuksuatu aparatur yang tugasnya bukan hanya menjaga
namun juga mengawasi
tindakan penyalahgunaan fungsi
hutan. Namun pada kenyataan kinerja aparatur.
Di lapangan ini masih belum berjalan dengan baik dikarenakan tidakseimbangnya jumlah personil
aparatur pengawas dengan
jumlah luas hutan diIndonesia sehingga tindakan illegal logging ini
dapat mungkin terjadi karenaluput dari pengawasan petugas tersebut. Tak jarang ada juga petugaspengawas yang masih melakukan
”kompromi” dengan pelaku illegal
loggingsehinggaakan memperparah kondisi yang
ada.
Perkembangan teknologi yang pesat sehingga kemampuan orang
untuk mengeksploitasi hutan khususnya
untuk illegal logging
semasa mudah dilakukan. Dengan semakin berkembangnya teknologi untuk menebang
pohondiperlukan waktu yang tidak lama, karena alat-alatnya semakin canggih.Kayu masih menjadi primadona
Pendapatan Asli Daerah.
Produksi komersialmencakup produksi
kayu dan olahannya, produksi sawit, serta perkebunan lain.
3.1.1.3.Dampak dari ilegal logging
Kerusakan lingkungan dapat terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia, salah satu masalah
kerusakan lingkungan lingkungan
yaitu Illegal logging. Illegallogging pun kian hari kian marak terjadi,
Penelitian Greenpeace mencatattingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun,yang sebagian besar disebabkan
oleh aktivitas illegal logging atau
penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutananmenunjukan angka Rp. 83 milyar perhari
sebagai kerugian finansial
penebangan liar.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan
kehancuran sumber daya hutan yang
tidak ternilaiharganya, kehancuran kehidupan
masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyarsetiap tahun. Kerugian tersebut
belum menghitung hilangnya nilaikeanekaragaman hayati serta
jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber
daya hutan.
Illegal logging berdampak
kepada gangguan/kerusakan pada berbagai ekosistemyang menyebabkan komponen- komponen
yang menyusun ekosistem,yaitukeanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan menjadi
terganggu. Akibatnyaterjadilah kepunahan
pada berbagai varietas
hayati tersebut.Dampak lainnya
adalah bencana banjir. Pohon-pohon ditebangi hinggajumlahnya semakin hari semakin
berkurang menyebabkan hutan
tidak mampulagi menyerap air hujan yang turun
dalam jumlah yang besar,sehingga air tidakdapat meresap ke dalam tanah sehingga bisa menyebabkan banjir,seperti yangterjadi belum lama ini bencana
banjir bandang di Wasior.
Masyarakat tetap hidup miskin dan menjadi korban atas kecurangan perilaku cukong-cukong yang pada akhirnya
merekalah yang menikmati
sebagian besarhasil usaha masyarakat. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan sosial dalammasyarakat.Semakin berkurangnya jumlah cadangan sumber air tanah atau mata air didaerah
hutan. Karena jumlah pohon-pohonnya semakin
berkurang padahalpohon berfungsi
sebagai penyerap air. Hal ini mengakibatkan timbulnya
kekeringan, masyarakat kesulitan untuk mendapatkanair bersih untuk irigasi.
Semakin berkurangnya lapisan
tanah subur. Lapisan ini hanyut terbawa karenatidak adanya penahan tanah apabila hujan,disinilah fungsi pohon sebenarnya.Dampak yang paling kompleks
dari adanya Illegal Logging ini adalah globalwarming yang sekarang sedang mengancam dunia. Global warming
terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperti
hutan sehinggamenyebabkan suhu bumi menjadi
naik dan mengakibatkan kenaikan volume air.
3.1.1.4.Solusi untuk mengatasi ilegal
logging
1)
Reboisasi atau penanaman
hutan yang gundul
2)
Menerapkan system tebang
pilih dalam menebang
pohon
3) Manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit
juga Bisa dilakukukan untuk memulihkanhutan kembali
di Indonesia.
4)
Penanaman hutan secara intensif
menjadi pilihan terbaik
karena bisadiprediksi. Sehingga,
kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak
Habitat hutan alam yang baik
5)
Menerapkan sanksi yang berat bagi
mereka yang melanggar ketentuanmengenai pengelolaan hutan.
Misalkan
dengan upaya pengawasan danpenindakan yang dilakukan di TKP (tempat
kejadian perkara), yaitu di lokasikawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu secara illegal.
Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas dan tidak sebanding
denganjumlah aparat yang ada, sehingga
upaya ini sulit dapat diandalkan, kecualimenjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Ini pun akan mendapat kesulitan jika anggota
masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan aterial dari illegal
logging.
Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan
retribusi yang banyak
terdapat di pinggir-pinggir jalanluar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang daritruk yang membawa kayu, hanya sekedar
itu. Seharusnya di samping melakukan penarikan uang retribusi
juga sekaligus melakukan
pengecekan terhadapdokumen yang melegalkan
pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekanseperti ini,
secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shocktherapy bagi para sopir truk dan pemodal. Selain dari itu, juga
harus dilakukanpatroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan jalur
pengangkutan kayu.
Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir
dari pengangkutankayu illegal, dan
biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yangmembutuhkan bahan baku dari kayu. Upaya ini dirasa cukup efektif
untukmenanggulangi perbuatan-perbuatan illegal
logging. Perusahaan atau industry seperti
ini dapat dituding
telah melakukan “penadahan”.Perbuatanmenampung terhadap
kayu-kayu illegal oleh perusahaan yang dalam bahasahukum konvensional KUHP disebut
sebagai penadahan tersebut,
dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
3.1.2.
Illegal Mining (Penambangan Liar)
Illegal mining adalah istilah lain dari pertambangan ilegal
atau pertambangan tanpa izin (PETI) atau pertambangan liar atau tindak
pidana pertambangan. Illegal
Mining adalah semua aktivitas pertambangan yang tidak taat hukum dapat dikategorikan sebagai
illegal mining. Jadi legal dan ilegal tidak hanya dikategorikan pada ada tidak adanya izin, karena yang berizin pun
berpotensi melakukan illegal mining dalam bentuk lain yang dikriminalisasi dalam UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Illegal mining tidak hanya terbatas
pada pelanggaran regulasi
Peraturan pertambangan saja, tetapi juga pelanggaran terhadap regulasi lain yang terkait
pertambangan, seperti regulasi
kehutanan dan lingkungan hidup. Pertambangan yang
melakukan aktivitasnya di areal hutan larangan,
seperti hutan lindung
atau aktivitasnya merusak
lingkungan juga merupakan illegal mining. Dalam Petunjuk Lapangan (Juklap)
penanganan tindak pidana pertambangan (illegal
mining) POLRI bahkan disebutkan bahwa illegal mining meliputi pula pelanggaran terhadap UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas dan UU Penataan Ruang.
Berdasarkan berbagai regulasi
di atas, baik UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara maupun UU lain yang terkait, jenis-jenis
illegal mining dapat dikategorikan dalam 7 (tujuh)
kelompok, diantaranya adalah:
1.
Pertama, melakukan usaha pertambangan tanpa izin (PETI).
Ancaman sanksi pidananya sangat berat, yakni penjara paling lama 10 tahun
dan denda 10 milyar.
2.
Kedua, memberikan laporan palsu
usaha pertambangan. Misalnya PT. A
pemegang IUP menghasilkan timah 1000 MT, tetapi yang dilaporkan hanya 500 MT. Ancaman
sanksi pidananya sama
beratnya dengan PETI yang pertama tadi.
3.
Ketiga, melakukan eksplorasi tanpa
izin dipidana kurungan paling lama 1
tahun atau denda maksimal 200 juta. Kemudian pemilik Izin Usaha Perusahaan (IUP) eksplorasi tetapi melakukan kegiatan
operasi produksi diancam
penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal
10 milyar.
4.
Keempat, kegiatan menampung, memanfaatkan, mengolah, pemurnian, pengangkutan, penjualan yang bukan dari pemegang
IUP/IUPK diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan dengan denda maksimal 10 milyar. Jenis kejahatan
ini berpotensi terjadinya mining laundering.
5.
Kelima, upaya merintangi/mengganggu kegiatan
usaha pertambangan berizin
juga dapat diancam dengan pidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda maksimal 100 juta.
6.
Keenam, penyalahgunaan kewenangan
pejabat pemberi izin, yang ancamannya
maksimal 2 tahun penjara dan denda 200 juta. Terakhir, setiap usaha pertambangan yang melanggar perundang-undangan lain, seperti UU Kehutanan, Lingkungan Hidup, Perkebunan, dan lain-lain yang sanksinya diancam dalam ketentuan pidananya.
3.1.3.
Illegal Fishing
(Penangkapan Liar)
3.1.3.1.Pengertian
Pengertian Illegal Fishing secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris.
Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak sah, dilarang
atau bertentangan dengan
hukum. “Fish” artinya ikan atau
daging ikan dan ”fishing” artinya
penangkapan ikan sebagai
mata pencaharian atau tempat menangkap
ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut
dapat dikatakan bahwa
”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara
tidak sah. Menurut Divera Wicaksono
sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing
adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu,
tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan
jenis dan ukuran yang dilarang .
Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku, baik aturan hukum nasional
itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi
kepentingannya namun tidak
sampai mengganggu kepentingan pihak
lain.
Penegakan hukum dalam pengertian yustisial
diartikan sebagai suatu proses peradilan
yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan
serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan
dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
dilaut
atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun
nasional.
Delik/ tindak pidana ialah perbuatan
yang melanggar undang-undang pidana, dank arena itu bertentangan dengan undang-undang
yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis
yang harus dimiliki
setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut
SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki
perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan
menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut.
3.1.3.2.Penegakan hukum IUU Fishing
dalam Unclos 1982
Dalam hal penegakan hokum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar
membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki
yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau
perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan
kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan
memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah
ZEE dan Landas Kontinen.
Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak
pada eksistensi hak dan kewajiban
negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat.
Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun
non-hayati.
Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1)
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat
dan memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan;
(3) pembangunan pulau buatan
dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan
penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan
kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak
dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal
ini perikanan; dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable
catch melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama
sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang
IUU Fishing. Wacana tentang illegal
fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing
practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember
1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok:
1)
Illegal fishing yaitu kegiatan
penangkapan ikan secara illegal di perairan
wilayah atau ZEE suatu negara,
atau tidak memiliki
ijin dari negara tersebut;
2)
Unregulated fishing yaitu kegiatan
penangkapan di perairan wilayah atau
ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan
3)
Unreported fishing yaitu kegiatan
penangkapan ikan di perairan wilayah
atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data
kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk
di bawah kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing.
Walaupun tidak mengatur IUU Fishing,
tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut,
UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah
kedaulatan dan ZEE suatu negara.
3.1.3.3. Penegakan hukum di laut yang tunduk
di bawah kedaulatan
Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan
suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan
yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya
bahkan hukum pidananya
terhadap kapal tersebut.
Asalkan pelanggaran tersebut
membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan
negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal
27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya
kewenangan Negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum
di laut territorial, perairan
pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan
pasal 27 ayat 1), adalah
perwujudan dari yurisdiksi
teritorialitas.
3.1.3.4. Penegakan hukum di ZEE
Pasal
27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Laut) dan Bab.V tentang
ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan
eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumber daya perikanan Negara pantai dapat melakukan
tindakan penegakan hukum.
Bertalian
dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS
1982 yang menentukan:
a.
Negara pantai dapat, dalam
melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan
sedemikian, termasuk menaiki
kapal, memeriksa, menangkap
dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini.
b.
Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang
jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
c.
Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh
mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
d.
Dalam hal penangkapan atau
penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada negara bendera, melalui
saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap
hukuman yang kemudian
dijatuhkan”.
Jadi
berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai
di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan
proses pengadilan atas kapal tersebut
dan memberitahu negara
bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut
harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang
jaminan yang layak) yang diberikan
kepada negara pantai. Hukuman yang dijatuhkan
tidak boleh dalam
bentuk hukuman badan yaitu
penjara.
3.1.3.5.Penegakkan Hukum IUU Fishing
di Indonesia
Penegakan hukum terhadap
tindak pidana di Indonesia dilakukan
melalui proses peradilan
pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang
Hukum Pidana ) dimana setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani
melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi.
Pre Ajudikasi: Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak
hukum yang telibat
secara langsung yaitu penyidik (Polisi,
Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak
hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan
mengenai adanya suatu tindak pidana
Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya
tindakan langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen
mereka sendiri, seperti
sering dilakukannya Gelar
Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut.
Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses
pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau
dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga penegak hukum atau
yang sering kita kenal dengan istilah
Integreted Criminal Justice
System(ICSJ).
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih
dipandang belum memadai dalam
menjawab tantangan keamanan laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan
upaya-upaya koordinasi berbagai
pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan
oleh pemerintah di bawah
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan
revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya
untuk diatur kembali melalui
instrument Peraturan Presiden.
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu
penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk
Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan
Presiden Nomor 81 Tahun 2005
tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut.
Untuk menciptakan kondisi
keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal
I melaksanakan operasi
kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang
tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan
kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan
Laut yang diamanatkan dalam
pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia
yaitu :
a.
Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang
pertahanan;
b.
Menegakkan hukum dan menjaga
keamanan di wilayah laut yurisdiksi
nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum
internasional yang telah
diratifikasi;
c.
Melaksanakan tugas diplomasi
Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan
politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
d. Melaksanakan tugas dan
pengembangan kekuatan matra
laut;
e.
Melaksanakan pemberdayaan wilayah
pertahanan laut.
Saat ini penyidik
TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat
dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah
menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik
tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda
dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL
memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai
pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek
illegal fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di
laut mempunyai ciri- ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa
perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan
internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas
transit, pemasangan kabel laut serta
perikanan tradisional negara tetangga.
Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung
penegakkan hukum terhadap
tindak pidana illegal
fishing di Indonesia
antara lain sebagai berikut.
a.
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004
dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan,
b.
UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau
– Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha
Perikanan,
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
e.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
f.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang
Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,
g.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang
Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
h.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang
Usaha Perikanan Tangkap,
Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang
Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang
(Gill Net) di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI).
3.1.3.6.Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU Illegal
Fishing
a.
Obyek Penegak
Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang dimaksud
disini adalah pelaku
yang terlibat dalam kejahatan Illegal
Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut.
Terutama dalam hal ini adalah oknum
Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak
Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan
tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang
mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan
yang turut serta melakukan perbuatan
pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal
Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus
ditanggung secara bersama
dalamterjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas
dan akibat perbuatan
yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan
si pembuat menurut
ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
b. Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak
Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing – masing,
sehingga sangat rawan menimbulkan
konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing.
Proses peradilan
mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat
besar, proses hukum yang sangat panjang
dan sarana / prasarana yang sangat memadai
membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki
semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan
hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal
Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa
yang merupakan salah satu kendala
dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi
yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang
Perubahan Peraturan Menteri
Nomor PER/13/MEN/2005 tentang
Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu
dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses
penegakan hukum kejahatan perikanan
yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kepolisian Republik Indonesia, TNI - Angkatan
Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen
Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Ditjen Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung
dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi antar berbagai Instansi
tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan
hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan
terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan secara ilegal,
tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport
ikan secara ilegal.
Rumusan Sanksi
Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya
Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana
denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan
pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal
Fishing. Ancaman
hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku
yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki
atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang
melakukan pemalsuan dan memakai ijin
palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda
yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang –
Undang ini tidak mengatur rumusan
sanksi paling rendah atau minimum
sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian
juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama
kepada tindak pidana
pembiaran.
Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan
putusan pengadilan dengan adanya praktek
– praktek yang unprofesional oleh aparat penegak
hukum baik PPNS Perikanan, TNI - Angkatan
Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut
harus mempunyai dasar yang
kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri
tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut
terbukti, maka
oknum
Penegak Hukum tersebut harus segera ditindakdengan tegas berdasarkan aturan hukum dan hal ini berarti Lembaga Penegak
Hukum perlu melakukan
pembaharuan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesehatan lingkungan adalah
suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan
yang optimum pula.Permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia antara lain
Illegal logging, illegal mining, illegal fishing.
4.2. Saran
1.
Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami
permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia
2.
Perlu diadakan diskusi, penelitian dan penulisan lebih lanjut mengenai
permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia
DAFTAR RUJUKAN
Adiprawito, 2011. Sistem
Penyediaan Air Bersih. (Online), http://adiprawito.dosen.narotama.ac.id/files/2011/10/BAB_VII_sistem_pe nyedian_air_bersih.pdf, diakses 08 Juni 2022.
Alfian, Magdalia. 2007. Kota dan Permasalahannya. (Online), http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/UrbanMatters/Jogyakarta- Meli.pdf, diakses
08 Juni 2022.
Arief, Arifin. 2001. Hutandan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius
Belantera Indonesia. 2013. Pengertian Konservasi. (Online). http://www.belantaraindonesia.org/2013/06/pengertian-konservasi.html, diakses
08 Juni 2022.
Bintarto.
1989. Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Chandra, Budiman.
2009. IlmuKedokteranPencegahandanKomunitas.
Jakarta: BukuKedokteran EGC
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
FKM UI, 2013. Pendahuluan
Kesehatan Lingkungan. (Online),
http://www.fkm.ui.ac.id/content/kesehatan-lingkungan, diakses 08 Juni 2022.
Mulia, Ricki. M. 2005. KesehatanLingkungan. Yogyakarta: GrahaIlmu
Sarlito, WS. 1992. PsikologiLingkungan.Jakarta: PT. GramediaWidiasarana Indonesia
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar. Jakarta:
Sinar Grafika
Undang-UndangNomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan
mineral danbatubara. (Online). http://prokum.esdm.go.id/uu/2009/UU%204%202009.pdf, diakses 08 Juni 2022.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. (Online).
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-41-1999.pdf, diakses
08 Juni 2022.
Western D. 1993. Memberikan Batasan tentang Ekoturisme. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekotu-risme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola
(terjemahan). Jakarta
WTO, 2004. Pengertian
Pengunjung menurut World Tourism
Organization.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar