Kamis, 24 Agustus 2023

makalah TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAAN BARANG

 

KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan RizkiNya sehingga penulis dapat menyelasaikan makalah ini dengan waktu yang telah ditentukan.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan banyak termakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini serta dosen pembimbing yang telah membimbing kami.

Penulis menyadari bahwasanya dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan, untuk itu kami menerima saran maupun kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

 

 

Ciamis, Juni 2022

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

3.1 Latar Belakang

Menurut Kaufmann, pengadaan barang/jasa (PBJ) adalah aktivitas pemerintah yang dianggap paling rentan terhadap korupsi, dan ini terjadi dimanapun di seluruh dunia (OECD, 2007: 9). Hasil penelitian ini sedikit banyak juga terkonfirmasi di Indonesia. Mengutip data statistik penanganan perkara KPK yang tersedia di beberapa laporan tahunan KPK (2012: 72) (2013: 83) (2014: 41);sejak tahun 2004-2014, KPK telah menangani 411 kasus korupsi yang 131 atau sepertiga kasus diantaranya terjadi di bidang pengadaan barang/jasa. Hal ini menempatkan korupsi di bidang ini sebagai kasus terbanyak kedua yang ditangani Komisi setelah kasus penyuapan.

Korupsi yang terjadi secara massif di Indonesia disikapi dengan pendekatan hukum pidana yang bersifat represif dan berorientasi pada penindakan. Di satu sisi, hal ini baik karena memberikan terapi kejut, sehingga membuat orang takut untuk melakukan korupsi. Buktinya adalah perencanaan untuk melakukan korupsi tidak lagi dilakukan secara banal (terang-terangan), namun dilakukan secara sembunyi-sembunyi bahkan menggunakan aneka sandi atau menggunakan bahasa lain, seperti bahasa Arab.

Namun disisi lain, hal ini justru membuat penegakan hukum menjadi kontra produktif, karena energi difokuskan lebih kepada penindakan dan bukan pencegahan (“penyembuhan masalah”) yang terdapat di dalam sistem. Pendekatan represif yang overuse menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi aparatur Negara untuk melakukan tindakan dan/atau inovasi. Dalam konteks PBJ, pendekatan yang represif ini justru membuat aparatur Negara takut untuk terlibat di dalam kegiatan pengadaan, sehingga mereka berupaya untuk membuat diri mereka tidak eligible untuk dipilih sebagai pihak yang terlibat di pengadaan dengan cara menggagalkan diri mereka dalam tes nasional (Suaramerdeka, 08/07/2014) (Hukumonline, 26/05/2008) (Komunikasi personal penulis dengan banyak panitia pengadaan dan pejabat pembuat komitmen sejak tahun 2010 hingga sekarang).

Keadaan semakin runyam karena keberhasilan pemberantasan korupsi kerap dilihat dengan tolak ukur yang matematis: berapa jumlah kasus korupsi yang berhasil diusut oleh lembaga penegak hukum. Padahal, patut dikhawatirkan bahwa tolak ukur ini justru mendorong penegak hukum (sejauh yang diamati penulis, dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian – dan bukan oleh KPK) untuk memaksakan kasus sumir agar diproses dalam bingkai korupsi. Ambil contoh mengenai kasus Pengadaan perbaikan (life time extension) turbin gas GT 2.1 dan GT 2.2 di pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Belawan, Medan, sebagaimana berikut (Majalah Tempo, 16/09/2013) (Majalah Tempo, 07/04/2014). Pada intinya terdapat perbedaan pendapat mengenai output listrik yang dihasilkan oleh perbaikan turbin; ada yang menganggap hasilnya sesuai dengan yang diperjanjikan, ada yang menganggap bahkan hasilnya lebih kecil dari yang diperjanjikan. Kejaksaan meyakini poin yang terakhir. Lalu menganggap bahwa hal tersebut sebagai kerugian negara, dan merangkai kasus ini sebagai kasus korupsi. Menurut penulis, hal ini janggal karena ini adalah isu perdata. Jika katakanlah memang hasil listrik lebih kecil daripada yang diperjanjikan, maka hal tersebut adalah wanprestasi, dan bisa diselesaikan dengan–misalnya mengurangi/ mengembalikan kelebihan biaya, dan bukan memaksakannya sebagai kasus korupsi.

Padahal, strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah mengarahkan agar pemberantasan korupsi mengedepankan pencegahan, dan bukan semata-mata penindakan (Lampiran PP No 5/2012: 23-24). Berkaca dari masalah yang ada, serta menimbang dokumen cetak biru pemberantasan korupsi diatas, maka tulisan ini berikhtiar untuk memberikan sumbang saran terhadap isu pencegahan korupsi khususnya di sektor pengadaan barang/jasa (PBJ).

Untuk memberikan sumbang saran terhadap apa yang perlu diperbaiki dalam sistem pengadaan, tentu juga perlu menguraikan apa yang telah berhasil dilakukan di dalam sistem pengadaan itu sendiri.

 

3.2 Rumusan Masalah

Maka dari itu, tulisan ini mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengenai pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang?

2.      Bagiamana Mengubah struktur organisasi pengadaan barang?

3.      Apa yang dimaksud dengan Electronic purchasing?

4.      Apa yang dimaksud dengan Catatan kritis untuk upaya yang telah dilakukan?

5.      Apa saja Hal penting lain yang perlu dilakukan: perluasan obyek sanggah?

6.      Bagiaman proses Perluasan objek sanggah lelang?

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

 

Merujuk pada konsep yang dikembangkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (Kassem dan Higson, 2012: 192) (Wolfe dan Hermanson, 2004: 38-42), maka relevan untuk menguraikan isu pencegahan korupsi dari teori penyalahgunaan wajik segiempat (fraud diamond theory). Pada intinya, teori ini menyatakan bahwa perilaku koruptif (penyalahgunaan) dapat terjadi karena empat hal: (i) dorongan dari pegawai untuk menyalahgunakan uang dan asset institusi; (ii) keadaan yang memungkinkan pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iii) pola pikir dan etika pegawai yang memungkinkan pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iv) kapasitas pegawai untuk membuat kejahatannya tidak terdeteksi oleh sistem.

Terkait dengan hal di atas, menurut Greyclar dan Prenzler (2013: 72), korupsi dapat dicegah dengan lima cara, yaitu: (i) mempersulit upaya untuk melakukan korupsi; (ii) mengurangi penyebab yang mentolerir/memungkinkan terjadinya korupsi; (iii) meningkatkan resiko terdeteksi; (iv) mengurangi insentif terjadinya korupsi; dan (v) mengurangi provokasi untuk terjadinya korupsi.

Bertolak dari uraian-uraian di atas, penulis meyakini bahwa Hukum Administrasi Negara (HAN) dapat menjadi instrumen untuk melakukan pencegahan korupsi. Menurut Seerdeen (2007: 1), HAN adalah cabang ilmu hukum yang berfokus pada hubungan-hubungan antara administrasi (pemerintah/eksekutif) dengan individu ataupun badan hukum. Secara formil, HAN mengulas tentang hal-hal yang dapat atau wajib dilakukan serta yang dapat atau wajib untuk tidak dilakukan oleh administrasi berdasarkan asas dan peraturan. Selain itu, HAN juga mengulas tentang upaya yang dapat dilakukan oleh individu atau badan hukum untuk melawan keputusan yang dibuat oleh administrasi. Relevansi atas hal ini akan ditemukan pada isu sanggah yang akan diulas di bagian belakang tulisan ini.

Dengan mempertimbangkan definisi HAN diatas dan menghubungkan definisi tersebut dengan fraudulent theory; maka, penulis meyakini bahwa HAN adalah instrument yang potensial guna menambal lubang hukum (loop holes) yang dapat digunakan oleh pegawai untuk melakukan korupsi. Sedangkan apabila definisi tersebut dihubungkan dengan konsep yang disampaikan oleh Greycler dan Prenzler; maka upaya menambal lubang hukum tersebut dapat dilakukan dengan mempersulit upaya melakukan korupsi, serta mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi.

Pola pikir ini dapat digunakan di semua sektor termasuk PBJ. Proses PBJ adalah proses yang panjang, sehingga melibatkan tiga spesialisasi ilmu hukum yang salah satunya adalah HAN. Proses PBJ yang pertama adalah ketika tahapan pembicaraan dan penyepakatan atas APBN, ilmu hukum yang dominan di tahap ini adalah Hukum Tata Negara. Proses PBJ yang kedua terjadi di masing masing badan publik ketika proses perencanaan PBJ hingga pemenang pengadaan ditetapkan (SPPBJ); proses ini digerakkan berdasarkan spesialisasi ilmu HAN. Ketiga, proses yang dimulai sejak penandatanganan kontrak dan pelaksanaan kontrak yang mana spesialisasi ilmu hukum yang dominan disini adalah hukum perdata.

Fokus pembahasan pada tulisan ini adalah untuk pencegahan korupsi administratif, yaitu pada proses PBJ yang kedua. Penulis sadar bahwa banyak kasus-kasus korupsi kakap di bidang pengadaan yang terjadi di proses yang pertama (korupsi politik), misalnya kasus yang melibatkan mafia anggaran (putusan No 1616 K/Pid.Sus/2013 tentang KPK vs Angelina Sondakh, 2013). Namun penulis yakin bahwa dengan meningkatkan pencegahan korupsi di sektor hilir (di level eksekutif), maka juga akan mempersempit peluang korupsi di sektor hulu (di level parlemen). Pendapat penulis ini diperkuat oleh Piga (2011) yang menyatakan bahwa korupsi politik di pengadaan bersandarkan pada kapasitas birokrat untuk melakukan korupsi administratif. Maka dengan mengendalikan korupsi di eksekutif, maka korupsi politik secara otomatis juga akan tertekan.

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1   Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

Ada banyak ikhtiar yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia guna mencegah korupsi di sektor pengadaan, namun ulasan berikut akan berfokus pada dua hal, yaitu perubahan struktur organisasi pengadaan serta melaksanakan sistem pengadaan berbasis elektronik. Berikut adalah snapshots singkat tentang upaya yang telah dilakukan.

 

3.2    Mengubah struktur organisasi pengadaan

Pemerintah Indonesia telah mendesain ulang strukur organisasi pengadaan, dari yang amat vertikal (hierarkis), menjadi lebih horisontal. Struktur yang lama didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) No 80/2003, sedangkan struktur yang lebih horisontal dibentuk oleh Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2010. Struktur yang horisontal, lebih memungkinkan terciptanya saling kontrol pada proses pengadaan.

Menurut Keppres 80/2003, struktur organisasi pengadaan dipilah menjadi tiga petugas: (i) pimpinan badan publik, seperti: Menteri/Panglima TNI/Kapolri/Pemimpin Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota/DewanGubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/ BUMD atau pejabat yang diberi kuasa; (ii) adalah Pengguna Barang dan Jasa; dan (iii) Pejabat atau Panitia Pengadaan.

Setidaknya ada dua kelemahan dari struktur organisasi ini sebagaimana diurai berikut. Struktur Keppres mendesain bahwa petugas pertama memilih petugas kedua, dan petugas kedua memilih petugas ketiga. Dengan kata lain, petugas ketiga bertanggung jawab pada petugas kedua, dan petugas kedua bertanggung jawab pada petugas pertama (Pasal 1, Pasal 9 (2), dan Pasal 9 (3) (b)). Artinya, struktur organisasi pengadaan ini didesain sedemikian hierarkis dan berjenjang, dengan petugas pertama berada di puncak struktur dan petugas ketiga di dasar struktur. Kelemahan dari hal ini adalah, pola kontrol yang mungkin timbul hanyalah dari atasan ke bawahan.

Dari tiga petugas yang ada, petugas kedua (pengguna barang/jasa) adalah petugas yang memiliki kewenangan paling luas. Menurut Pasal 9, pengguna barang/jasa berwenang untuk merencanakan pengadaan; berdasarkan Pasal 26, struktur ini bisa menetapkan pemenang lelang (untuk pengadaan di bawah 50 Miliar); lalu, pada Pasal 32, struktur ini juga berwenang untuk menandatangani kontrak dengan penyedia barang/jasa terpilih. Bahkan, pada Pasal 36 (2), struktur ini juga yang berwenang menyatakan bahwa barang/jasa sudah diterima dengan baik dari penyedia. Kelemahannya adalah, luasnya kewenangan ini tidak hanya merepotkan siapapun yang berada di posisi pengguna barang/jasa; namun juga membuka peluang untuk melakukan penyimpangan.

Description: C:\Users\s424\Downloads\struktur-organisasi.png

Kedua kelamahan tersebut mulai diperbaiki oleh Peraturan Presiden (Perpres) 8/2006. Namun, mengingat Keppres 80/2003 dengan segala perubahannya termasuk Perpres 8/2006 telah mati sejak lahirnya Perpres 54/2010; maka, untuk memudahkan, yang tulisan ini maksudkan dengan struktur pengadaan yang baru adalah struktur yang diatur oleh Perpres 54/2010. Perpres ini masih berlaku, walaupun sudah beberapa kali keluar perubahannya (Perpres 70/2012; Perpres 172/2014, dan terakhir Perpres 4/2015), dan aneka perubahan regulasi ini tidak mengubah struktur organisasi pengadaan yang ada.

Menurut Perpres 54/2010, struktur organisasi pengadaan dipilah menjadi empat lapisan: (i) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA); (ii) adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); (iii) adalah panitia pengadaan (PP); (iv) Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Mengingat tidak semua pembaca mungkin familiar dengan terminologi ini, padahal struktur inilah yang saat ini berlaku, maka relevan kiranya untuk menguraikan kewenangan masing-masing lapisan.

PA adalah pejabat yang bertanggung jawab secara umum untuk total anggaran di Kementerian/Lembaga/Institusi (KLI). Jika rentang kendali terlampau besar, PA dapat mendelegasikan kewenangannya ke KPA. PA (dan juga KPA – jika mendapatkan delegasi kewenangan dari PA) berwenang untuk mengangkat PPK, PP, dan PPHP (Pasal 8 (1) (b), (c), dan (e)).

PPK adalah lembaga yang mirip seperti Pengguna Barang/Jasa dalam struktur sebelumnya, namun dengan kewenangan yang lebih terbatas akibat hal-hal yang akan diulas setelah ini. Adapun PP bertugas untuk melakukan hal-hal yang lebih bersifat teknis namun sangat substansial, seperti mendesain spesifikasi teknis, melakukan publikasi, memberikan bobot penilaian atas penawaran yang masuk, dan merekomendasikan penyedia mana yang perlu dipilih oleh PPK.

Pada stuktur yang baru, PP akan berhimpun di struktur Unit Layanan Pengadaan (ULP) (pasal 130), hal ini memungkinkan mereka untuk bersikap lebih professional serta memungkinkan mereka berada di kantor yang berbeda dengan PPK. Sehingga PP/ULP bisa lebih leluasa menyampaikan pandangannya dan/atau melaksanakan kerjanya walaupun mungkin itu berseberangan dengan PPK, tanpa perlu ewuh pakewuh dengan hal lain yang tidak relevan, misalnya dirinya lebih junior dalam kepangkatan daripada PPK.

Perubahan struktur organisasi pengadaan ini memungkinkan adanya mekanisme saling kontrol diantara PPK dengan PP/ULP. Kesetaraan posisi PP/ULP dengan PPK juga dijamin dengan ketentuan yang menyatakan bahwa jika ada perselisihan dan/atau perbedaan pendapat diantara keduanya, maka yang akan menyelesaikan adalah PA/KPA (Pasal 8 (1) (i)). Selain itu, lahirnya posisi PPHP juga memperkecil kewenangan PPK yang sebelumnya terlampau luas. Posisi ini didesain untuk menjadi “kiper” guna melakukan pengecekan akhir apakah penyedia sudah memenuhi prestasi sebagaimana dalam kontrak ataukah belum. Dengan tereduksi dan terdesentralisirnya kewenangan PPK ditangan PP/ULP dan PPHP, maka internal checks and balances dapat lebih berjalan.

Description: C:\Users\s424\Downloads\perpres54.png

3.3    Electronic purchasing

Menurut Perpres 54/2010 jo. 70/2012, pengadaan secara elektronik terbagi dua: e-tendering dan e-purchasing. E-tendering adalah sistem tender secara elektronik dimana para penyedia berkompetisi untuk mendapatkan kontrak dari badan publik. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa tender secara elektronik lebih mencegah terjadinya korupsi (Haryati, Anditya, Wibowo, 2010: 337) (Djojosoekarto, 2008: 139-143) (Jasin, dkk, 2007: iv). Pada e-tendering, badan publik akan memilih pemenang tender dengan tolak ukur: (i) penawar harga terendah yang memenuhi persyaratan; atau (ii) penawar dengan harga ekonomi terbaik.

Sedangkan konsep e-purchasing adalah badan publik membeli barang secara langsung kepada penyedia melalui sistem elektronik. Caranya, pegawai badan publik mencari dan memilih barang/jasa berdasarkan spesifikasi dan harga yang diinginkan di katalog elektronik.

Harga yang tertera di katalog elektronik dapat dipastikan lebih murah dari harga di pasaran. Harga murah bisa didapatkan karena Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) telah melakukan kontrak payung dengan produsen, distributor tunggal, pemegang lisensi, dlsb. Sisi positif dari hal ini adalah, kemungkinan badan publik untuk berurusan dengan/membeli dari makelar atau re-seller menjadi jauh berkurang.

Setelah menemukan barang yang diinginkan, badan publik mengundang penyedia untuk melakukan negosiasi harga. Untuk banyak kategori barang, seperti pengadaan kendaraan bermotor, badan publik dapat hanya mengundang satu penyedia saja. Negosiasi di atas memungkinkan badan publik untuk menawar harga yang tertera di katalog elektronik.

Dalam pelaksanaannya, sistem ini telah membuktikan banyak hal positif. Pertama, e-purchasing diyakini mampu mencegah penggelembungan anggaran, mengingat harga barang yang diinginkan sudah “dikunci” dengan kontrak payung. Apalagi harga tersebut bersifat transparan karena dipublikasikan di website katalog elektronik (lihat di: https://e-katalog.lkpp.go.id/e-catalogue/).

Selain itu, badan publik bisa mendapatkan barang yang diinginkan dengan jumlah uang yang lebih sedikit atau bisa pula mendapatkan barang yang lebih banyak dengan jumlah uang yang sama. Contohnya adalah keberhasilan Dinas Kebersihan DKI Jakarta sebagaimana berikut (Kompas, 07/12/2013). Dengan anggaran yang ada, mereka awalnya memprediksi hanya mampu membeli 82 truk sampah. Namun karena membeli dengan sistem e-purchasing, mereka bisa mendapatkan 92 truk sampah. Dengan demikian, pelaksanaan e-purchasing juga bermanfaat bagi pembayar pajak, karena bisa memastikan bahwa uang hasil pajak rakyat dibelanjakan secara tepat guna, tidak “menetes” ke pihak broker/perantara.

Terakhir, sistem ini terbukti memangkas rantai birokrasi pengadaan. Merujuk pada keberhasilan dinas kebersihan Jakarta diatas, proses pengadaan yang biasanya membutuhkan waktu bulanan, bisa dipersingkat hanya menjadi mingguan.

 

3.4    Catatan kritis untuk upaya yang telah dilakukan

Sekalipun kedua upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah perlu diapresiasi, namun perlu pula disampaikan bahwa kedua upaya tersebut memiliki catatan kritis, yang akan diuraikan sebagaimana berikut  :

1.    Terkait dengan desain organisasi pengadaan

Perubahan struktur organisasi pengadaan sebagaimana dijelaskan di atas adalah hal yang perlu diapresiasi. Namun, bukan berarti potensi korupsi dapat hilang seutuhnya. Struktur organisasi yang baru efektif untuk mencegah korupsi jika inisiator korupsinya adalah PPK (yang dalam aturan sebelumnya disebut dengan pengguna barang/jasa). Namun jika inisiatif untuk menyimpangi pengadaan dimulai dari PA/KPA yang nota bene berwenang untuk mengangkat tiga struktur organ dibawahnya: PP, PPK, PPHP; maka upaya untuk meng-abuse pengadaan masih bisa dikoordinasikan oleh PA/KPA tersebut. Ada banyak contoh-contoh riil, dua diantaranya adalah kasus pengadaan mesin jahit yang melibatkan Bachtiar Chamsyah yang kala itu adalah Menteri Sosial dan PA. Dialah yang memerintahkan PPK dan PP untuk memenangkan penyedia tertentu (KPK vs. Bachtiar Chamsyah, putusan nomor 22/Pid.B/TPK/2011/PT.DKI). Hal yang sama juga dapat dilihat pada kasus pengadaan simulator surat ijin mengemudi (KPK vs. Djoko Susilo, putusan nomor 48/PID.SUS/TPK/2013/PN.Jkt.Pst, dated 16 January 2014). Irjen Djoko Susilo kala itu menjabat selaku Direktur Lalu Lintas Mabes Polri yang juga merupakan KPA. Namun justru dialah yang aktif memerintahkan PPK dan PP untuk menyimpangi aturan untuk memenangkan peserta tender tertentu.

Untuk menanggulangi hal tersebut, mungkin solusinya tidak lagi terdapat pada perbaikan struktur organisasi pengadaan, melainkan dengan cara yang lainnya, misalnya: mempromosikan sistem whistle blower yang efektif. Selain itu, bisa juga dengan memastikan agar figur yang dipilih oleh badan publik tersebut adalah figur yang berintegritas. Sebagaimana peribahasa bijak dari Eropa, “A fish rots from the heads down”; ikan membusuk dimulai dari kepalanya, maka, jika badan publik dipimpin oleh pemimpin yang buruk, maka badan publik tersebut akan ikut memburuk. Cara yang lain adalah dengan memperkuat kontrol atas sistem dengan cara melibatkan peserta tender. Cara inilah yang akan diulas lebih lanjut dalam sub bagian 3.3 dibawah ini.

2.    Terkait dengan e-purchasing

E-purchasing seperti dijelaskan di atas selain memiliki aneka kemanfaatan, perlu juga dicermati kelemahannya. Sebagaimana diketahui, e-purchasing memfasilitasi pembelian barang di situasi normal, dengan pagu yang besar yang barangnya tersedia secara umum di pasaran, seperti pengadaan ratusan truk yang disebutkan di atas. Padahal, e-purchasing berbeda dengan e-tendering. Jika sistem e-tendering telah memiliki tolak ukur yang jelas dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemenang pengadaan; maka sistem e-purchasing tidak memiliki parameter yang jelas untuk menentukan siapa yang terpilih untuk diundang negosiasi. Apalagi aturan yang ada mengindikasikan bahwa badan publik dapat hanya mengundang satu penyedia saja. Padahal, hilangnya unsur kompetisi dapat berarti berkurangnya pula legitimasi badan publik dalam memilih rekanan.

Memang benar bahwa konsep pengadaan memungkinkan pemerintah untuk memilih penyedia tanpa melalui kompetisi. Namun sependek pengetahuan penulis, secara konseptual, hanya ada beberapa alasan yang menyimpangi kompetisi tersebut. Pertama, untuk menghadapi situasi tertentu, misalnya karena ada keadaan genting yang perlu direspon. Kedua, jika nature pengadaan memang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, misalnya kompetisi terhalang karena barang/jasa yang ingin diperoleh memiliki paten tertentu yang hanya bisa di-supply oleh produsen tertentu; atau jika pengadaan yang ditujukan untuk penelitian dan pengembangan yang mana lembaga yang ditunjuk adalah lembaga yang dianggap memiliki kapasitas. Ketiga, kompetisi juga dapat dikesampingkan dengan alasan efektifitas, yaitu jika jumlah uang yang akan dibelanjakan tergolong sedikit, sehingga jika melakukan proses pengadaan berbasis kompetisi justru akan bertele-tele. Jelas disini bahwa pengadaan truk (atau pengadaan lainnya yang menggunakan e-purschasing) menyimpangi keharusan untuk berkompetisi, dan penyimpangan ini tidak lazim secara konsep pengadaan yang worldly recognised.

Tentu saja penulis tidak memiliki maksud untuk menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengikuti segala kecenderungan global. Namun, ketidaklaziman ini juga bisa menjadi pertanda untuk pemerintah, bahwa jangan-jangan memang ada potensi masalah di konsep e-purchasing yang kita miliki. Misalnya saja, bagaimana jika produsen tertentu mendekati aparatur badan publik agar memilih barang yang diproduksi oleh perusahaannya, sebagai gantinya aparat tersebut akan mendapatkan imbalan? Memang benar bahwa spesifikasi tidak bisa “dimainkan” dan harga tidak bisa di-mark up, karena item telah terkunci oleh kontrak payung. Namun bukankah badan publik kerap membeli dalam jumlah besar, sehingga tetap akan menguntungkan penyedia? Keuntungan tersebut bisa menjadi motivasi untuk mendekati aparatur badan publik. Dengan kata lain, bukankah diskresi untuk memilih penyedia –tanpa melalui kompetisi- bisa menjadi celah yang potensial untuk terjadinya perbuatan sebagaimana diprediksikan di atas?

Jika merujuk di Uni Eropa (UE) misalnya, sekalipun banyak penyedia telah menandatangani kontrak payung, maka badan publik tidak boleh hanya menunjuk satu penyedia untuk melakukan negosiasi. Badan publik harus memilih beberapa penyedia untuk diundang guna melakukan penawaran selanjutnya. Bahkan, jika ada penyedia lain yang telah teken kontrak payung ingin berpartisipasi, maka partisipasi mereka tidak boleh dihalang-halangi (Pasal 34 (1) dan (2) Directive 2014/24/EU).

Lebih dari itu, jika merujuk pengalaman Korea Selatan (Korsel), ternyata mereka dulu pernah memiliki konsep e-purchasing sebagaimana yang pernah dimiliki di Indonesia saat ini, yaitu tanpa kompetisi. Namun, audit board Korsel mengkritik keras pelaksanaan ini, karena dapat membuka peluang terjadinya korupsi (Kim, Nugroho, dan Afifi, 2013, 119). Akhirnya keluarlah aturan, jika pemerintah Korsel ingin melakukan e-purchasing dengan pagu dana di atas dari US$ 50.000; maka mereka wajib mengundang beberapa penyedia yang ada didalam e-katalog agar kompetisi dapat terjadi (Komunikasi personal penulis dengan Dae in Kim, 27/08/2014).

Berdasarkan uraian diatas, maka, baik kiranya jika pemerintah Indonesia berhati-hati dengan sistem dan pelaksanaan e-purchasing yang ada. Jika pengadaan dengan pagu yang besar, mekanisme kompetisi sebaiknya tetap dipertahankan.

3.5    Hal penting lain yang perlu dilakukan: perluasan obyek sanggah

Selain mempertimbangkan untuk memperbaiki kelemahan atas reformasi di bidang pengadaan sebagaimana di atas, Pemerintah hendaknya juga terus meningkatkan aneka upaya untuk mencegah korupsi, termasuk korupsi di bidang pengadaan. Hal ini wajib dilakukan karena –setidaknya- dua alasan.

Secara filosofis yuridis, menurut pembukaan UUD 1945, Negara diamanati untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini dapat diartikan bahwa Negara perlu memastikan agar anggaran pengadaan tidak bocor sehingga hasil pengadaan bisa optimal dan menunjang kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan, secara yuridis substantif, dalam Pasal 9 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dinyatakan bahwa negara peratifikasi diminta untuk senantiasa meningkatkan sistem PBJ untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor pengadaan. Mengingat Indonesia adalah peratifikasi UNCAC melalui UU No 7/2006; maka, Indonesia wajib untuk mematuhi komitmen Pasal 9 tersebut.

Diyakini, masih terdapat banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan sistem pengadaan guna mencegah korupsi, namun penulis ingin berfokus untuk menguraikan satu hal saja, yaitu perluasan objek sanggah lelang, sebagaimana yang dijabarkan berikut ini.

 

3.6   Perluasan objek sanggah lelang

Sebagaimana yang telah disinggung dalam ulasan tentang struktur organisasi pengadaan diatas, sekalipun pada struktur baru sudah lebih baik, namun atasan (PA/KPA) berpotensi mengarahkan bawahannya untuk menyalahgunakan sistem pengadaan. Untuk mencegah hal ini maka mekanisme kontrol tidak bisa hanya mengandalkan pengawasan internal, namun juga dari pengawasan eksternal. Pengawasan ini tidak harus dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal seperti BPK, namun juga dapat dilakukan dengan memberdayakan pengawasan dari peserta tender itu sendiri.

Peserta tender (termasuk calon peserta tender) biasanya adalah orang yang sudah berpengalaman dalam proses pengadaan sekaligus pihak yang paling bersentuhan dengan pegawai badan publik yang terlibat pada proses pengadaan. Know how dan keadaan ini menunjang kemampuan mereka untuk melakukan pengawasan. Lebih dari itu, kemampuan pengawasan mereka semakin tajam karena -berbeda dengan inspektor atau auditor- para peserta tender memiliki motif ekonomi untuk memastikan agar proses pengadaan dilakukan secara fair (Troff, 2005: 118); mereka berkepentingan untuk memastikan agar -jikapun mereka kalah- kekalahan tersebut bukan disebabkan oleh perbuatan curang.

Salah satu cara yang kerap digunakan oleh PP dan PPK yang nakal (atau yang dibawah tekanan PA/KPA) untuk meng-abuse sistem pengadaan adalah dengan menambahkan persyaratan yang tidak relevan dalam dokumen pengadaan bagi para calon peserta tender. Tujuannya untuk memperkecil jumlah partisipasi peserta tender, sehingga memudahkan pihaknya dalam mengkondisikan peserta tender tertentu yang telah berafiliasi dengan dirinya (atau dengan rekannya/atasannya) untuk memenangi kontrak.

Terhadap hal diatas, maka aturan PBJ di Indonesia sebenarnya sudah melarang pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan untuk menambah-nambahi persyaratan yang tidak perlu yang dapat menghambat kompetisi (Penjelasan Pasal 81 (b) Perpres 70/2012).

Namun demikian, aturan ini seperti macan kertas karena hanya bersikap hukum materiil. Tidak terdapat hukum formil yang kuat yang menjelaskan mekanisme untuk memastikan agar hukum materiil tersebut terlaksana.

Jika ada persyaratan pengadaan yang dibuat-buat, maka mekanisme yang tersedia untuk dilakukan oleh calon peserta tender hanyalah bertanya di sesi penjelasan (aanwijzing). Namun sebagaimana namanya, mekanisme ini hanyalah forum untuk meminta penjelasan, dan bukan untuk mengkritisi atau menggugat. Sehingga, sesi ini hanya efektif untuk memperbaiki persyaratan yang dianggap merugikan dalam dokumen tender jika panitia pengadaan memang beritikad baik untuk melakukan self correction ketika menyadari kebenaran poin pernyataan/keberatan yang diajukan oleh calon peserta tender. Sebaliknya, sesi ini tidak akan efektif jika panitia memang sedari awal berniat buruk (atau ditekan atasan untuk mengakali proses pengadaan).

Selain aanwijzing, sebenarnya ada mekanisme yang lain yang disebut dengan mekanisme sanggah. Namun peraturan PBJ mengatur mekanisme sanggah ini secara sumir, sehingga dapat diperdebatkan apakah calon peserta tender yang merasa dirugikan atas dokumen pengadaan dapat menggunakan mekanisme sanggah ini untuk menganulir persyaratan pengadaan yang dianggap merugikan.

Merujuk pada Pasal 81 (1) Perpres 70/2012, mekanisme sanggah diatur sebagaimana berikut:

“Peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan: a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; b. adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau c. adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau Pejabat yang berwenang lainnya” (cetak tebal adalah penekanan yang diberikan penulis).

Kata kata bercetak tebal yang pertama mengindikasikan bahwa mereka yang dapat menggunakan mekanisme sanggah adalah mereka yang telah berpartisipasi dalam tender dengan memasukkan penawaran. Artinya, yang bisa ikut sanggah adalah peserta tender yang merasa dirugikan – dan bukan calon peserta tender yang merasa dirugikan.

Penafsiran tersebut juga berkorespondensi dengan kata-kata bercetak tebal yang kedua, yang dapat diartikan bahwa sanggah dapat dilakukan jika panitia pengadaan dan/atau PPK menyimpangi Perpres dan dokumen pengadaan. Artinya, aturan memandang dokumen pengadaan sebagai alat uji, dan bukan sebagai dokumen yang dapat diujikan keberatannya karena mengandung persyaratan pengadaan yang bersifat tidak fair.

Hal-hal diatas berarti konsep sanggah di Indonesia lebih ditujukan untuk me-review kagiatan hilir yaitu keputusan hasil pemenang lelang, dan tidak ditujukan untuk me-review masalah di sektor hulu: memperkarakan dokumen pengadaan. Sehingga, konsep sanggah di Indonesia masih sempit dan tidak sesuai dengan kebutuhan pencegahan korupsi, mengingat upaya mengakali proses pengadaan sudah dimulai sejak di sisi hulu dengan merekayasa persyaratan tender di dokumen pengadaan. Di negara-negara yang lain, konsep sanggah ini lazim disebut dengan istilah protest pengadaan (bid protest). Berbeda dengan konsep sanggah, mekanisme bid protest memungkinkan calon peserta tender yang merasa dirugikan untuk menuntut review dokumen pengadaan.

Di Belanda misalnya, bid protest dapat diajukan tidak hanya oleh peserta tender, namun juga oleh calon peserta tender. Adapun tahapan-tahapan bid protest yang diakui adalah sbb: (i) mengajukan pertanyaan kepada badan publik yang menyelenggarakan proses tender; (ii) mengajukan keberatan kepada badan publik yang menyelenggarakan proses tender; (iii) melaporkan keberatan kepada commissie van aanbestedings, semacam ombudsman untuk urusan pengadaan; (iv) melakukan gugatan di pengadilan (Manunza dan Telgen, 2013:22). Bahkan, menurut data statistik yang dirilis oleh commissie di atas, kasus yang masuk ke mereka terkait dengan keberatan dokumen pengadaan jauh lebih banyak daripada kasus keberatan tentang keputusan pemenang lelang (Jansen, Janssen, dan Muntz-Beekhuis, 2014: 2).

Konsep sanggah di Indonesia perlu diperbaiki. Hal ini bukan agar Indonesia bisa memiliki substansi hukum yang sama seperti negara lain, namun karena hal ini memang perlu dilakukan. Dua bukti berikut memperkuat poin yang disampaikan penulis di atas.

Pasca kasus pengadaan alat penyimpan daya listrik atau Uninterruptible Power Supply (UPS) di Dinas Pendidikan DKI Jakarta menjadi perbincangan hangat, Majalah Tempo melakukan investigasi jurnalistik dengan mewawancarai beberapa penyedia. Ditemukan informasi bahwa, pada pengadaan scanner yang juga dilaksanakan oleh dinas tersebut, panitia meminta persyaratan pengadaan yang dibuat-buat dengan menuntut calon penyedia untuk melampirkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) (Majalah Tempo, 16 Maret 2015). Padahal, yang dibutuhkan adalah supplier alat alat elektronik dan bukan produsen; sehingga janggal kiranya untuk menuntut supplier memiliki AMDAL.

Jika konsep sanggah yang ada di Indonesia seluas bid protest yang ada di Belanda, mungkin penyedia yang merasa dirugikan tersebut sudah melakukan protes (atau bahkan menggugat) dokumen pengadaan. Pengalaman tersebut tentu akan membuat panitia berpikir berkali-kali untuk melakukan akal-akalan di pengadaan lain, termasuk di pengadaan UPS ini, sehingga amat mungkin kasus korupsi UPS bisa dicegah.

Lebih dari itu, mekanisme sanggah yang tidak memungkinkan review dokumen pengadaan juga menurukan kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan. Karena tidak terakomodir dalam prosedur yang legal, amat mungkin membuat penyedia yang frustasi terhadap sistem pengadaan akan menggunakan cara-cara illegal. Cara yang diketahui kerap terjadi adalah menyewa preman, me-lobby politisi, bahkan menggunakan aparat untuk menekan panitia pengadaan (hal ini disarikan dari penuturan panitia pengadaan di dua badan publik di Surabaya, 15/03/2013 dan 20/12/2013) (van Klinken dan Aspinall, 2011: 153).

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Pemerintah telah melakukan banyak hal untuk mencegah korupsi di Bidang pengadaan. Dua diantaranya adalah membuat struktur organisasi pengadaan dan mendesain pengadaan berbasis elektronik. Organisasi pengadaan yang saat ini berlaku memposisikan Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (PP/ULP) dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam posisi yang sederajat. Sehingga checks and balances bisa terjadi diantara keduanya. Selain itu, dikenalkan pula struktur baru bernama Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) yang berfungsi sebagai pengontrol akhir ketika barang/jasa diserahterimakan. Sebelumnya, kewenangan ini melekat pada PPK. Sehingga, struktur PPHP ini mereduksi kewenangan PPK yang terlampau luas sekaligus mengurangi kemungkinan PPK untuk meng-abuse sistem pengadaan.

Selain itu, Pemerintah juga telah membangun dan menerapkan electronic tendering yang menurut berbagai penelitian telah mempersulit terjadinya korupsi dan persekongkolan tender. Bahkan, inovasi juga dikembangkan dengan mendesain electronic purchasing yang memungkinkan panitia pengadaan membeli barang/jasa yang dibutuhkan secara efektif di electronic catalogue.

Namun demikian, ada catatan yang perlu diperhatikan atas ikhtiar positif di atas. Terkait dengan struktur organisasi pengadaan, ketiga struktur yang ada -PP/ULP, PPK, dan PPHP- berada di bawah struktur Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), sehingga jika PA/KPA berniat untuk mengakali sistem pengadaan, maka masih ada celah dimana PA/KPA tersebut mengintervensi ketiga struktur tersebut.

Sedangkan catatan untuk electronic purchasing adalah hilangnya unsur kompetisi diantara penyedia. Petugas pengadaan dapat memilih barang yang tersedia di electronic catalogue tanpa penyedia barang yang satu berkompetisi dengan penyedia barang yang lain. Sehingga, sistem ini melahirkan pertanyaan fundamental, apa landasan panitia untuk memilih barang yang ditawarkan oleh penyedia yang satu dan bukan penyedia yang lain jika diantara mereka tidak pernah berkompetisi dalam mendapatkan kontrak?

Terhadap masalah organisasi pengadaan, penulis mengusulkan agar pemerintah lebih memberdayakan peserta tender dan calon peserta tender dalam melakukan pengawasan. Mekanisme ini sudah terdapat dalam aturan PBJ yang ada dengan mekanisme sanggah dan sanggah banding. Namun, lingkupnya masih terbatas, yaitu meminta review atas keputusan pemenang lelang. Padahal seharusnya, sanggah juga dapat dilakukan untuk memperbaiki dokumen pengadaan, misalnya karena persyaratan dan/atau kualifikasi PBJ dianggap tidak adil. Dengan merujuk pada aturan di Belanda, pemerintah hendaknya mempertimbangkan untuk memperluas objek cakupan mekanisme sanggah, sehingga dapat digunakan pula untuk me-review keabsahan dokumen pengadaan. Apabila hal ini dapat diatur, maka rekayasa tender sudah dapat dikritisi/dicegah sejak awal.

Adapun terkait dengan e-purchasing, merujuk pada pengalaman membangun sistem pengadaan di Korea Selatan, sistem yang ada di Indonesia perlu disempurnakan. Aneka pengadaan dengan pagu besar perlu tetap mempertahankan mekanisme kompetisi, sehingga terdapat justifikasi dalam memilih penyedia yang satu dan bukan penyedia yang lain, serta mencegah terganggunya integritas birokrat karena potensi godaan dari penyedia. Aneka catatan diatas dapat dipertimbangkan oleh penyusun RUU pengadaan barang/jasa sebagai strategi untuk mereformasi sistem pengadaan nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH FORMAT REKOD BISNIS

  MAKALAH FORMAT REKOD BISNIS           Disusun Oleh : DADANG MAULANA YUSUF D4 KEARSIPAN         UNIVERSITAS...