KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas Rahmat dan RizkiNya sehingga penulis dapat menyelasaikan makalah
ini dengan waktu yang telah ditentukan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis
mengucapkan banyak termakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini serta dosen pembimbing yang telah membimbing kami.
Penulis menyadari bahwasanya dalam penulisan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan, untuk itu kami
menerima saran maupun kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
penyusunan makalah dimasa yang akan datang.
Ciamis, Juni 2022
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Latar Belakang
Menurut Kaufmann, pengadaan barang/jasa (PBJ) adalah
aktivitas pemerintah yang dianggap paling rentan terhadap korupsi, dan ini
terjadi dimanapun di seluruh dunia (OECD, 2007: 9). Hasil penelitian ini
sedikit banyak juga terkonfirmasi di Indonesia. Mengutip data statistik
penanganan perkara KPK yang tersedia di beberapa laporan tahunan KPK (2012: 72)
(2013: 83) (2014: 41);sejak tahun 2004-2014, KPK telah menangani 411 kasus
korupsi yang 131 atau sepertiga kasus diantaranya terjadi di bidang pengadaan
barang/jasa. Hal ini menempatkan korupsi di bidang ini sebagai kasus terbanyak
kedua yang ditangani Komisi setelah kasus penyuapan.
Korupsi yang terjadi secara massif di Indonesia disikapi
dengan pendekatan hukum pidana yang bersifat represif dan berorientasi pada
penindakan. Di satu sisi, hal ini baik karena memberikan terapi kejut, sehingga
membuat orang takut untuk melakukan korupsi. Buktinya adalah perencanaan untuk
melakukan korupsi tidak lagi dilakukan secara banal (terang-terangan), namun
dilakukan secara sembunyi-sembunyi bahkan menggunakan aneka sandi atau
menggunakan bahasa lain, seperti bahasa Arab.
Namun disisi lain, hal ini justru membuat penegakan hukum
menjadi kontra produktif, karena energi difokuskan lebih kepada penindakan dan
bukan pencegahan (“penyembuhan masalah”) yang terdapat di dalam sistem.
Pendekatan represif yang overuse menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi
aparatur Negara untuk melakukan tindakan dan/atau inovasi. Dalam konteks PBJ,
pendekatan yang represif ini justru membuat aparatur Negara takut untuk
terlibat di dalam kegiatan pengadaan, sehingga mereka berupaya untuk membuat
diri mereka tidak eligible untuk dipilih sebagai pihak yang terlibat di
pengadaan dengan cara menggagalkan diri mereka dalam tes nasional
(Suaramerdeka, 08/07/2014) (Hukumonline, 26/05/2008) (Komunikasi personal
penulis dengan banyak panitia pengadaan dan pejabat pembuat komitmen sejak
tahun 2010 hingga sekarang).
Keadaan semakin runyam karena keberhasilan pemberantasan
korupsi kerap dilihat dengan tolak ukur yang matematis: berapa jumlah kasus
korupsi yang berhasil diusut oleh lembaga penegak hukum. Padahal, patut
dikhawatirkan bahwa tolak ukur ini justru mendorong penegak hukum (sejauh yang
diamati penulis, dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian – dan bukan oleh KPK)
untuk memaksakan kasus sumir agar diproses dalam bingkai korupsi. Ambil contoh
mengenai kasus Pengadaan perbaikan (life
time extension) turbin gas GT 2.1 dan GT 2.2 di pembangkit listrik tenaga
gas dan uap di Belawan, Medan, sebagaimana berikut (Majalah Tempo, 16/09/2013)
(Majalah Tempo, 07/04/2014). Pada intinya terdapat perbedaan pendapat mengenai
output listrik yang dihasilkan oleh perbaikan turbin; ada yang menganggap
hasilnya sesuai dengan yang diperjanjikan, ada yang menganggap bahkan hasilnya
lebih kecil dari yang diperjanjikan. Kejaksaan meyakini poin yang terakhir.
Lalu menganggap bahwa hal tersebut sebagai kerugian negara, dan merangkai kasus
ini sebagai kasus korupsi. Menurut penulis, hal ini janggal karena ini adalah
isu perdata. Jika katakanlah memang hasil listrik lebih kecil daripada yang
diperjanjikan, maka hal tersebut adalah wanprestasi, dan bisa diselesaikan
dengan–misalnya mengurangi/ mengembalikan kelebihan biaya, dan bukan
memaksakannya sebagai kasus korupsi.
Padahal, strategi nasional pencegahan dan pemberantasan
korupsi sudah mengarahkan agar pemberantasan korupsi mengedepankan pencegahan,
dan bukan semata-mata penindakan (Lampiran PP No 5/2012: 23-24). Berkaca dari
masalah yang ada, serta menimbang dokumen cetak biru pemberantasan korupsi
diatas, maka tulisan ini berikhtiar untuk memberikan sumbang saran terhadap isu
pencegahan korupsi khususnya di sektor pengadaan barang/jasa (PBJ).
Untuk memberikan sumbang saran terhadap apa yang perlu
diperbaiki dalam sistem pengadaan, tentu juga perlu menguraikan apa yang telah
berhasil dilakukan di dalam sistem pengadaan itu sendiri.
3.2 Rumusan
Masalah
Maka dari itu, tulisan ini mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana Upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia mengenai pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang?
2.
Bagiamana Mengubah struktur organisasi
pengadaan barang?
3.
Apa yang dimaksud dengan Electronic purchasing?
4.
Apa yang dimaksud dengan Catatan kritis untuk
upaya yang telah dilakukan?
5.
Apa saja Hal penting lain yang perlu
dilakukan: perluasan obyek sanggah?
6.
Bagiaman proses Perluasan objek sanggah
lelang?
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
Merujuk pada konsep yang dikembangkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (Kassem
dan Higson, 2012: 192) (Wolfe dan Hermanson, 2004: 38-42), maka relevan untuk
menguraikan isu pencegahan korupsi dari teori penyalahgunaan wajik segiempat
(fraud diamond theory). Pada intinya, teori ini menyatakan bahwa perilaku
koruptif (penyalahgunaan) dapat terjadi karena empat hal: (i) dorongan dari
pegawai untuk menyalahgunakan uang dan asset institusi; (ii) keadaan yang
memungkinkan pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iii) pola pikir dan etika
pegawai yang memungkinkan pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iv)
kapasitas pegawai untuk membuat kejahatannya tidak terdeteksi oleh sistem.
Terkait dengan hal di atas, menurut Greyclar
dan Prenzler (2013: 72), korupsi dapat dicegah dengan lima cara, yaitu: (i)
mempersulit upaya untuk melakukan korupsi; (ii) mengurangi penyebab yang
mentolerir/memungkinkan terjadinya korupsi; (iii) meningkatkan resiko
terdeteksi; (iv) mengurangi insentif terjadinya korupsi; dan (v) mengurangi provokasi
untuk terjadinya korupsi.
Bertolak dari uraian-uraian di atas, penulis
meyakini bahwa Hukum Administrasi Negara (HAN) dapat menjadi instrumen untuk
melakukan pencegahan korupsi. Menurut Seerdeen (2007: 1), HAN adalah cabang
ilmu hukum yang berfokus pada hubungan-hubungan antara administrasi
(pemerintah/eksekutif) dengan individu ataupun badan hukum. Secara formil, HAN
mengulas tentang hal-hal yang dapat atau wajib dilakukan serta yang dapat atau
wajib untuk tidak dilakukan oleh administrasi berdasarkan asas dan peraturan.
Selain itu, HAN juga mengulas tentang upaya yang dapat dilakukan oleh individu
atau badan hukum untuk melawan keputusan yang dibuat oleh administrasi.
Relevansi atas hal ini akan ditemukan pada isu sanggah yang akan diulas di bagian
belakang tulisan ini.
Dengan mempertimbangkan definisi HAN diatas
dan menghubungkan definisi tersebut dengan fraudulent
theory; maka, penulis meyakini bahwa HAN adalah instrument yang potensial
guna menambal lubang hukum (loop holes)
yang dapat digunakan oleh pegawai untuk melakukan korupsi. Sedangkan apabila
definisi tersebut dihubungkan dengan konsep yang disampaikan oleh Greycler dan
Prenzler; maka upaya menambal lubang hukum tersebut dapat dilakukan dengan
mempersulit upaya melakukan korupsi, serta mengurangi kemungkinan terjadinya
korupsi.
Pola pikir ini dapat digunakan di semua
sektor termasuk PBJ. Proses PBJ adalah proses yang panjang, sehingga melibatkan
tiga spesialisasi ilmu hukum yang salah satunya adalah HAN. Proses PBJ yang
pertama adalah ketika tahapan pembicaraan dan penyepakatan atas APBN, ilmu
hukum yang dominan di tahap ini adalah Hukum Tata Negara. Proses PBJ yang kedua
terjadi di masing masing badan publik ketika proses perencanaan PBJ hingga
pemenang pengadaan ditetapkan (SPPBJ); proses ini digerakkan berdasarkan
spesialisasi ilmu HAN. Ketiga, proses yang dimulai sejak penandatanganan
kontrak dan pelaksanaan kontrak yang mana spesialisasi ilmu hukum yang dominan
disini adalah hukum perdata.
Fokus pembahasan pada tulisan ini adalah
untuk pencegahan korupsi administratif, yaitu pada proses PBJ yang kedua.
Penulis sadar bahwa banyak kasus-kasus korupsi kakap di bidang pengadaan yang
terjadi di proses yang pertama (korupsi politik), misalnya kasus yang
melibatkan mafia anggaran (putusan No 1616 K/Pid.Sus/2013 tentang KPK vs
Angelina Sondakh, 2013). Namun penulis yakin bahwa dengan meningkatkan
pencegahan korupsi di sektor hilir (di level eksekutif), maka juga akan
mempersempit peluang korupsi di sektor hulu (di level parlemen). Pendapat
penulis ini diperkuat oleh Piga (2011) yang menyatakan bahwa korupsi politik di
pengadaan bersandarkan pada kapasitas birokrat untuk melakukan korupsi
administratif. Maka dengan mengendalikan korupsi di eksekutif, maka korupsi
politik secara otomatis juga akan tertekan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia
Ada banyak ikhtiar yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia guna mencegah korupsi di sektor pengadaan, namun ulasan berikut akan
berfokus pada dua hal, yaitu perubahan struktur organisasi pengadaan serta
melaksanakan sistem pengadaan berbasis elektronik. Berikut adalah snapshots
singkat tentang upaya yang telah dilakukan.
3.2 Mengubah struktur organisasi pengadaan
Pemerintah Indonesia telah mendesain ulang strukur
organisasi pengadaan, dari yang amat vertikal (hierarkis), menjadi lebih
horisontal. Struktur yang lama didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) No
80/2003, sedangkan struktur yang lebih horisontal dibentuk oleh Peraturan
Presiden (Perpres) No 54/2010. Struktur yang horisontal, lebih memungkinkan
terciptanya saling kontrol pada proses pengadaan.
Menurut Keppres 80/2003, struktur organisasi pengadaan
dipilah menjadi tiga petugas: (i) pimpinan badan publik, seperti:
Menteri/Panglima TNI/Kapolri/Pemimpin Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota/DewanGubernur
BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/ BUMD atau pejabat yang diberi kuasa; (ii) adalah
Pengguna Barang dan Jasa; dan (iii) Pejabat atau Panitia Pengadaan.
Setidaknya ada dua kelemahan dari struktur organisasi ini
sebagaimana diurai berikut. Struktur Keppres mendesain bahwa petugas pertama
memilih petugas kedua, dan petugas kedua memilih petugas ketiga. Dengan kata
lain, petugas ketiga bertanggung jawab pada petugas kedua, dan petugas kedua
bertanggung jawab pada petugas pertama (Pasal 1, Pasal 9 (2), dan Pasal 9 (3)
(b)). Artinya, struktur organisasi pengadaan ini didesain sedemikian hierarkis
dan berjenjang, dengan petugas pertama berada di puncak struktur dan petugas
ketiga di dasar struktur. Kelemahan dari hal ini adalah, pola kontrol yang
mungkin timbul hanyalah dari atasan ke bawahan.
Dari tiga petugas yang ada, petugas kedua (pengguna
barang/jasa) adalah petugas yang memiliki kewenangan paling luas. Menurut Pasal
9, pengguna barang/jasa berwenang untuk merencanakan pengadaan; berdasarkan
Pasal 26, struktur ini bisa menetapkan pemenang lelang (untuk pengadaan di
bawah 50 Miliar); lalu, pada Pasal 32, struktur ini juga berwenang untuk
menandatangani kontrak dengan penyedia barang/jasa terpilih. Bahkan, pada Pasal
36 (2), struktur ini juga yang berwenang menyatakan bahwa barang/jasa sudah
diterima dengan baik dari penyedia. Kelemahannya adalah, luasnya kewenangan ini
tidak hanya merepotkan siapapun yang berada di posisi pengguna barang/jasa;
namun juga membuka peluang untuk melakukan penyimpangan.
Kedua kelamahan tersebut mulai diperbaiki oleh Peraturan
Presiden (Perpres) 8/2006. Namun, mengingat Keppres 80/2003 dengan segala
perubahannya termasuk Perpres 8/2006 telah mati sejak lahirnya Perpres 54/2010;
maka, untuk memudahkan, yang tulisan ini maksudkan dengan struktur pengadaan
yang baru adalah struktur yang diatur oleh Perpres 54/2010. Perpres ini masih
berlaku, walaupun sudah beberapa kali keluar perubahannya (Perpres 70/2012;
Perpres 172/2014, dan terakhir Perpres 4/2015), dan aneka perubahan regulasi
ini tidak mengubah struktur organisasi pengadaan yang ada.
Menurut Perpres 54/2010, struktur organisasi pengadaan
dipilah menjadi empat lapisan: (i) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
(PA/KPA); (ii) adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); (iii) adalah panitia
pengadaan (PP); (iv) Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Mengingat tidak
semua pembaca mungkin familiar dengan terminologi ini, padahal struktur inilah
yang saat ini berlaku, maka relevan kiranya untuk menguraikan kewenangan
masing-masing lapisan.
PA adalah pejabat yang bertanggung jawab secara umum
untuk total anggaran di Kementerian/Lembaga/Institusi (KLI). Jika rentang
kendali terlampau besar, PA dapat mendelegasikan kewenangannya ke KPA. PA (dan
juga KPA – jika mendapatkan delegasi kewenangan dari PA) berwenang untuk
mengangkat PPK, PP, dan PPHP (Pasal 8 (1) (b), (c), dan (e)).
PPK adalah lembaga yang mirip seperti Pengguna
Barang/Jasa dalam struktur sebelumnya, namun dengan kewenangan yang lebih
terbatas akibat hal-hal yang akan diulas setelah ini. Adapun PP bertugas untuk
melakukan hal-hal yang lebih bersifat teknis namun sangat substansial, seperti
mendesain spesifikasi teknis, melakukan publikasi, memberikan bobot penilaian
atas penawaran yang masuk, dan merekomendasikan penyedia mana yang perlu
dipilih oleh PPK.
Pada stuktur yang baru, PP akan berhimpun di struktur
Unit Layanan Pengadaan (ULP) (pasal 130), hal ini memungkinkan mereka untuk
bersikap lebih professional serta memungkinkan mereka berada di kantor yang
berbeda dengan PPK. Sehingga PP/ULP bisa lebih leluasa menyampaikan
pandangannya dan/atau melaksanakan kerjanya walaupun mungkin itu berseberangan
dengan PPK, tanpa perlu ewuh pakewuh dengan hal lain yang tidak relevan,
misalnya dirinya lebih junior dalam kepangkatan daripada PPK.
Perubahan struktur organisasi pengadaan ini memungkinkan
adanya mekanisme saling kontrol diantara PPK dengan PP/ULP. Kesetaraan posisi
PP/ULP dengan PPK juga dijamin dengan ketentuan yang menyatakan bahwa jika ada
perselisihan dan/atau perbedaan pendapat diantara keduanya, maka yang akan
menyelesaikan adalah PA/KPA (Pasal 8 (1) (i)). Selain itu, lahirnya posisi PPHP
juga memperkecil kewenangan PPK yang sebelumnya terlampau luas. Posisi ini
didesain untuk menjadi “kiper” guna melakukan pengecekan akhir apakah penyedia
sudah memenuhi prestasi sebagaimana dalam kontrak ataukah belum. Dengan
tereduksi dan terdesentralisirnya kewenangan PPK ditangan PP/ULP dan PPHP, maka
internal checks and balances dapat lebih berjalan.
3.3 Electronic
purchasing
Menurut Perpres 54/2010 jo. 70/2012, pengadaan secara
elektronik terbagi dua: e-tendering dan e-purchasing. E-tendering adalah sistem
tender secara elektronik dimana para penyedia berkompetisi untuk mendapatkan
kontrak dari badan publik. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa tender
secara elektronik lebih mencegah terjadinya korupsi (Haryati, Anditya, Wibowo,
2010: 337) (Djojosoekarto, 2008: 139-143) (Jasin, dkk, 2007: iv). Pada
e-tendering, badan publik akan memilih pemenang tender dengan tolak ukur: (i)
penawar harga terendah yang memenuhi persyaratan; atau (ii) penawar dengan
harga ekonomi terbaik.
Sedangkan konsep e-purchasing adalah badan publik membeli
barang secara langsung kepada penyedia melalui sistem elektronik. Caranya,
pegawai badan publik mencari dan memilih barang/jasa berdasarkan spesifikasi
dan harga yang diinginkan di katalog elektronik.
Harga yang tertera di katalog elektronik dapat dipastikan
lebih murah dari harga di pasaran. Harga murah bisa didapatkan karena Lembaga
Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) telah melakukan kontrak payung dengan
produsen, distributor tunggal, pemegang lisensi, dlsb. Sisi positif dari hal
ini adalah, kemungkinan badan publik untuk berurusan dengan/membeli dari
makelar atau re-seller menjadi jauh berkurang.
Setelah menemukan barang yang diinginkan, badan publik
mengundang penyedia untuk melakukan negosiasi harga. Untuk banyak kategori
barang, seperti pengadaan kendaraan bermotor, badan publik dapat hanya
mengundang satu penyedia saja. Negosiasi di atas memungkinkan badan publik
untuk menawar harga yang tertera di katalog elektronik.
Dalam pelaksanaannya, sistem ini telah membuktikan banyak
hal positif. Pertama, e-purchasing diyakini mampu mencegah penggelembungan
anggaran, mengingat harga barang yang diinginkan sudah “dikunci” dengan kontrak
payung. Apalagi harga tersebut bersifat transparan karena dipublikasikan di
website katalog elektronik (lihat di: https://e-katalog.lkpp.go.id/e-catalogue/).
Selain itu, badan publik bisa mendapatkan barang yang
diinginkan dengan jumlah uang yang lebih sedikit atau bisa pula mendapatkan
barang yang lebih banyak dengan jumlah uang yang sama. Contohnya adalah
keberhasilan Dinas Kebersihan DKI Jakarta sebagaimana berikut (Kompas,
07/12/2013). Dengan anggaran yang ada, mereka awalnya memprediksi hanya mampu
membeli 82 truk sampah. Namun karena membeli dengan sistem e-purchasing, mereka
bisa mendapatkan 92 truk sampah. Dengan demikian, pelaksanaan e-purchasing juga
bermanfaat bagi pembayar pajak, karena bisa memastikan bahwa uang hasil pajak
rakyat dibelanjakan secara tepat guna, tidak “menetes” ke pihak
broker/perantara.
Terakhir, sistem ini terbukti memangkas rantai birokrasi
pengadaan. Merujuk pada keberhasilan dinas kebersihan Jakarta diatas, proses
pengadaan yang biasanya membutuhkan waktu bulanan, bisa dipersingkat hanya
menjadi mingguan.
3.4 Catatan kritis untuk upaya yang telah
dilakukan
Sekalipun kedua upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah perlu diapresiasi, namun perlu pula disampaikan bahwa kedua upaya
tersebut memiliki catatan kritis, yang akan diuraikan sebagaimana berikut :
1.
Terkait dengan desain organisasi pengadaan
Perubahan struktur organisasi pengadaan sebagaimana dijelaskan
di atas adalah hal yang perlu diapresiasi. Namun, bukan berarti potensi korupsi
dapat hilang seutuhnya. Struktur organisasi yang baru efektif untuk mencegah
korupsi jika inisiator korupsinya adalah PPK (yang dalam aturan sebelumnya
disebut dengan pengguna barang/jasa). Namun jika inisiatif untuk menyimpangi
pengadaan dimulai dari PA/KPA yang nota bene berwenang untuk mengangkat tiga
struktur organ dibawahnya: PP, PPK, PPHP; maka upaya untuk meng-abuse pengadaan
masih bisa dikoordinasikan oleh PA/KPA tersebut. Ada banyak contoh-contoh riil,
dua diantaranya adalah kasus pengadaan mesin jahit yang melibatkan Bachtiar
Chamsyah yang kala itu adalah Menteri Sosial dan PA. Dialah yang memerintahkan
PPK dan PP untuk memenangkan penyedia tertentu (KPK vs. Bachtiar Chamsyah,
putusan nomor 22/Pid.B/TPK/2011/PT.DKI). Hal yang sama juga dapat dilihat pada
kasus pengadaan simulator surat ijin mengemudi (KPK vs. Djoko Susilo, putusan
nomor 48/PID.SUS/TPK/2013/PN.Jkt.Pst, dated 16 January 2014). Irjen Djoko Susilo
kala itu menjabat selaku Direktur Lalu Lintas Mabes Polri yang juga merupakan
KPA. Namun justru dialah yang aktif memerintahkan PPK dan PP untuk menyimpangi
aturan untuk memenangkan peserta tender tertentu.
Untuk menanggulangi hal tersebut, mungkin solusinya tidak
lagi terdapat pada perbaikan struktur organisasi pengadaan, melainkan dengan
cara yang lainnya, misalnya: mempromosikan sistem whistle blower yang efektif.
Selain itu, bisa juga dengan memastikan agar figur yang dipilih oleh badan
publik tersebut adalah figur yang berintegritas. Sebagaimana peribahasa bijak
dari Eropa, “A fish rots from the heads down”; ikan membusuk dimulai dari
kepalanya, maka, jika badan publik dipimpin oleh pemimpin yang buruk, maka
badan publik tersebut akan ikut memburuk. Cara yang lain adalah dengan
memperkuat kontrol atas sistem dengan cara melibatkan peserta tender. Cara
inilah yang akan diulas lebih lanjut dalam sub bagian 3.3 dibawah ini.
2.
Terkait dengan e-purchasing
E-purchasing seperti dijelaskan di atas selain memiliki aneka
kemanfaatan, perlu juga dicermati kelemahannya. Sebagaimana diketahui,
e-purchasing memfasilitasi pembelian barang di situasi normal, dengan pagu yang
besar yang barangnya tersedia secara umum di pasaran, seperti pengadaan ratusan
truk yang disebutkan di atas. Padahal, e-purchasing berbeda dengan e-tendering.
Jika sistem e-tendering telah memiliki tolak ukur yang jelas dalam menentukan
siapa yang akan menjadi pemenang pengadaan; maka sistem e-purchasing tidak
memiliki parameter yang jelas untuk menentukan siapa yang terpilih untuk
diundang negosiasi. Apalagi aturan yang ada mengindikasikan bahwa badan publik
dapat hanya mengundang satu penyedia saja. Padahal, hilangnya unsur kompetisi
dapat berarti berkurangnya pula legitimasi badan publik dalam memilih rekanan.
Memang benar bahwa konsep pengadaan memungkinkan
pemerintah untuk memilih penyedia tanpa melalui kompetisi. Namun sependek
pengetahuan penulis, secara konseptual, hanya ada beberapa alasan yang
menyimpangi kompetisi tersebut. Pertama, untuk menghadapi situasi tertentu,
misalnya karena ada keadaan genting yang perlu direspon. Kedua, jika nature
pengadaan memang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, misalnya kompetisi
terhalang karena barang/jasa yang ingin diperoleh memiliki paten tertentu yang
hanya bisa di-supply oleh produsen tertentu; atau jika pengadaan yang ditujukan
untuk penelitian dan pengembangan yang mana lembaga yang ditunjuk adalah
lembaga yang dianggap memiliki kapasitas. Ketiga, kompetisi juga dapat
dikesampingkan dengan alasan efektifitas, yaitu jika jumlah uang yang akan
dibelanjakan tergolong sedikit, sehingga jika melakukan proses pengadaan
berbasis kompetisi justru akan bertele-tele. Jelas disini bahwa pengadaan truk
(atau pengadaan lainnya yang menggunakan e-purschasing) menyimpangi keharusan
untuk berkompetisi, dan penyimpangan ini tidak lazim secara konsep pengadaan
yang worldly recognised.
Tentu saja penulis tidak memiliki maksud untuk
menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengikuti segala kecenderungan global.
Namun, ketidaklaziman ini juga bisa menjadi pertanda untuk pemerintah, bahwa
jangan-jangan memang ada potensi masalah di konsep e-purchasing yang kita
miliki. Misalnya saja, bagaimana jika produsen tertentu mendekati aparatur
badan publik agar memilih barang yang diproduksi oleh perusahaannya, sebagai
gantinya aparat tersebut akan mendapatkan imbalan? Memang benar bahwa
spesifikasi tidak bisa “dimainkan” dan harga tidak bisa di-mark up, karena item
telah terkunci oleh kontrak payung. Namun bukankah badan publik kerap membeli
dalam jumlah besar, sehingga tetap akan menguntungkan penyedia? Keuntungan
tersebut bisa menjadi motivasi untuk mendekati aparatur badan publik. Dengan
kata lain, bukankah diskresi untuk memilih penyedia –tanpa melalui kompetisi-
bisa menjadi celah yang potensial untuk terjadinya perbuatan sebagaimana
diprediksikan di atas?
Jika merujuk di Uni Eropa (UE) misalnya, sekalipun banyak
penyedia telah menandatangani kontrak payung, maka badan publik tidak boleh
hanya menunjuk satu penyedia untuk melakukan negosiasi. Badan publik harus
memilih beberapa penyedia untuk diundang guna melakukan penawaran selanjutnya.
Bahkan, jika ada penyedia lain yang telah teken kontrak payung ingin
berpartisipasi, maka partisipasi mereka tidak boleh dihalang-halangi (Pasal 34
(1) dan (2) Directive 2014/24/EU).
Lebih dari itu, jika merujuk pengalaman Korea Selatan
(Korsel), ternyata mereka dulu pernah memiliki konsep e-purchasing sebagaimana
yang pernah dimiliki di Indonesia saat ini, yaitu tanpa kompetisi. Namun, audit
board Korsel mengkritik keras pelaksanaan ini, karena dapat membuka peluang
terjadinya korupsi (Kim, Nugroho, dan Afifi, 2013, 119). Akhirnya keluarlah
aturan, jika pemerintah Korsel ingin melakukan e-purchasing dengan pagu dana di
atas dari US$ 50.000; maka mereka wajib mengundang beberapa penyedia yang ada
didalam e-katalog agar kompetisi dapat terjadi (Komunikasi personal penulis
dengan Dae in Kim, 27/08/2014).
Berdasarkan uraian diatas, maka, baik kiranya jika
pemerintah Indonesia berhati-hati dengan sistem dan pelaksanaan e-purchasing
yang ada. Jika pengadaan dengan pagu yang besar, mekanisme kompetisi sebaiknya
tetap dipertahankan.
3.5 Hal penting lain yang perlu dilakukan:
perluasan obyek sanggah
Selain mempertimbangkan untuk memperbaiki kelemahan atas
reformasi di bidang pengadaan sebagaimana di atas, Pemerintah hendaknya juga
terus meningkatkan aneka upaya untuk mencegah korupsi, termasuk korupsi di
bidang pengadaan. Hal ini wajib dilakukan karena –setidaknya- dua alasan.
Secara filosofis yuridis, menurut pembukaan UUD 1945,
Negara diamanati untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini dapat diartikan
bahwa Negara perlu memastikan agar anggaran pengadaan tidak bocor sehingga
hasil pengadaan bisa optimal dan menunjang kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan, secara yuridis substantif, dalam Pasal 9
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dinyatakan bahwa negara
peratifikasi diminta untuk senantiasa meningkatkan sistem PBJ untuk mencegah
terjadinya korupsi di sektor pengadaan. Mengingat Indonesia adalah peratifikasi
UNCAC melalui UU No 7/2006; maka, Indonesia wajib untuk mematuhi komitmen Pasal
9 tersebut.
Diyakini, masih terdapat banyak hal yang bisa dilakukan
untuk meningkatkan sistem pengadaan guna mencegah korupsi, namun penulis ingin
berfokus untuk menguraikan satu hal saja, yaitu perluasan objek sanggah lelang,
sebagaimana yang dijabarkan berikut ini.
3.6 Perluasan objek sanggah lelang
Sebagaimana yang telah disinggung dalam ulasan tentang
struktur organisasi pengadaan diatas, sekalipun pada struktur baru sudah lebih
baik, namun atasan (PA/KPA) berpotensi mengarahkan bawahannya untuk
menyalahgunakan sistem pengadaan. Untuk mencegah hal ini maka mekanisme kontrol
tidak bisa hanya mengandalkan pengawasan internal, namun juga dari pengawasan
eksternal. Pengawasan ini tidak harus dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal
seperti BPK, namun juga dapat dilakukan dengan memberdayakan pengawasan dari
peserta tender itu sendiri.
Peserta tender (termasuk calon peserta tender) biasanya
adalah orang yang sudah berpengalaman dalam proses pengadaan sekaligus pihak
yang paling bersentuhan dengan pegawai badan publik yang terlibat pada proses
pengadaan. Know how dan keadaan ini menunjang kemampuan mereka untuk melakukan
pengawasan. Lebih dari itu, kemampuan pengawasan mereka semakin tajam karena
-berbeda dengan inspektor atau auditor- para peserta tender memiliki motif
ekonomi untuk memastikan agar proses pengadaan dilakukan secara fair (Troff,
2005: 118); mereka berkepentingan untuk memastikan agar -jikapun mereka kalah-
kekalahan tersebut bukan disebabkan oleh perbuatan curang.
Salah satu cara yang kerap digunakan oleh PP dan PPK yang
nakal (atau yang dibawah tekanan PA/KPA) untuk meng-abuse sistem pengadaan
adalah dengan menambahkan persyaratan yang tidak relevan dalam dokumen
pengadaan bagi para calon peserta tender. Tujuannya untuk memperkecil jumlah
partisipasi peserta tender, sehingga memudahkan pihaknya dalam mengkondisikan
peserta tender tertentu yang telah berafiliasi dengan dirinya (atau dengan
rekannya/atasannya) untuk memenangi kontrak.
Terhadap hal diatas, maka aturan PBJ di Indonesia
sebenarnya sudah melarang pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan untuk
menambah-nambahi persyaratan yang tidak perlu yang dapat menghambat kompetisi
(Penjelasan Pasal 81 (b) Perpres 70/2012).
Namun demikian, aturan ini seperti macan kertas karena
hanya bersikap hukum materiil. Tidak terdapat hukum formil yang kuat yang
menjelaskan mekanisme untuk memastikan agar hukum materiil tersebut terlaksana.
Jika ada persyaratan pengadaan yang dibuat-buat, maka
mekanisme yang tersedia untuk dilakukan oleh calon peserta tender hanyalah
bertanya di sesi penjelasan (aanwijzing). Namun sebagaimana namanya, mekanisme
ini hanyalah forum untuk meminta penjelasan, dan bukan untuk mengkritisi atau
menggugat. Sehingga, sesi ini hanya efektif untuk memperbaiki persyaratan yang
dianggap merugikan dalam dokumen tender jika panitia pengadaan memang beritikad
baik untuk melakukan self correction ketika menyadari kebenaran poin
pernyataan/keberatan yang diajukan oleh calon peserta tender. Sebaliknya, sesi
ini tidak akan efektif jika panitia memang sedari awal berniat buruk (atau
ditekan atasan untuk mengakali proses pengadaan).
Selain aanwijzing, sebenarnya ada mekanisme yang lain
yang disebut dengan mekanisme sanggah. Namun peraturan PBJ mengatur mekanisme
sanggah ini secara sumir, sehingga dapat diperdebatkan apakah calon peserta
tender yang merasa dirugikan atas dokumen pengadaan dapat menggunakan mekanisme
sanggah ini untuk menganulir persyaratan pengadaan yang dianggap merugikan.
Merujuk pada Pasal 81 (1) Perpres 70/2012, mekanisme
sanggah diatur sebagaimana berikut:
“Peserta pemilihan yang memasukan dokumen kualifikasi
atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila
menemukan: a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam
Peraturan Presiden ini dan yang
telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; b. adanya
rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau c.
adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau Pejabat yang
berwenang lainnya” (cetak tebal adalah penekanan yang diberikan penulis).
Kata kata bercetak tebal yang pertama mengindikasikan
bahwa mereka yang dapat menggunakan mekanisme sanggah adalah mereka yang telah
berpartisipasi dalam tender dengan memasukkan penawaran. Artinya, yang bisa
ikut sanggah adalah peserta tender yang merasa dirugikan – dan bukan calon
peserta tender yang merasa dirugikan.
Penafsiran tersebut juga berkorespondensi dengan
kata-kata bercetak tebal yang kedua, yang dapat diartikan bahwa sanggah dapat
dilakukan jika panitia pengadaan dan/atau PPK menyimpangi Perpres dan dokumen
pengadaan. Artinya, aturan memandang dokumen pengadaan sebagai alat uji, dan
bukan sebagai dokumen yang dapat diujikan keberatannya karena mengandung
persyaratan pengadaan yang bersifat tidak fair.
Hal-hal diatas berarti konsep sanggah di Indonesia lebih
ditujukan untuk me-review kagiatan hilir yaitu keputusan hasil pemenang lelang,
dan tidak ditujukan untuk me-review masalah di sektor hulu: memperkarakan
dokumen pengadaan. Sehingga, konsep sanggah di Indonesia masih sempit dan tidak
sesuai dengan kebutuhan pencegahan korupsi, mengingat upaya mengakali proses
pengadaan sudah dimulai sejak di sisi hulu dengan merekayasa persyaratan tender
di dokumen pengadaan. Di negara-negara yang lain, konsep sanggah ini lazim
disebut dengan istilah protest pengadaan (bid protest). Berbeda dengan konsep
sanggah, mekanisme bid protest memungkinkan calon peserta tender yang merasa
dirugikan untuk menuntut review dokumen pengadaan.
Di Belanda misalnya, bid protest dapat diajukan tidak
hanya oleh peserta tender, namun juga oleh calon peserta tender. Adapun
tahapan-tahapan bid protest yang diakui adalah sbb: (i) mengajukan pertanyaan
kepada badan publik yang menyelenggarakan proses tender; (ii) mengajukan
keberatan kepada badan publik yang menyelenggarakan proses tender; (iii)
melaporkan keberatan kepada commissie van aanbestedings, semacam ombudsman
untuk urusan pengadaan; (iv) melakukan gugatan di pengadilan (Manunza dan
Telgen, 2013:22). Bahkan, menurut data statistik yang dirilis oleh commissie di
atas, kasus yang masuk ke mereka terkait dengan keberatan dokumen pengadaan
jauh lebih banyak daripada kasus keberatan tentang keputusan pemenang lelang
(Jansen, Janssen, dan Muntz-Beekhuis, 2014: 2).
Konsep sanggah di Indonesia perlu diperbaiki. Hal ini
bukan agar Indonesia bisa memiliki substansi hukum yang sama seperti negara
lain, namun karena hal ini memang perlu dilakukan. Dua bukti berikut memperkuat
poin yang disampaikan penulis di atas.
Pasca kasus pengadaan alat penyimpan daya listrik atau
Uninterruptible Power Supply (UPS) di Dinas Pendidikan DKI Jakarta menjadi
perbincangan hangat, Majalah Tempo melakukan investigasi jurnalistik dengan
mewawancarai beberapa penyedia. Ditemukan informasi bahwa, pada pengadaan
scanner yang juga dilaksanakan oleh dinas tersebut, panitia meminta persyaratan
pengadaan yang dibuat-buat dengan menuntut calon penyedia untuk melampirkan
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) (Majalah Tempo, 16 Maret
2015). Padahal, yang dibutuhkan adalah supplier alat alat elektronik dan bukan
produsen; sehingga janggal kiranya untuk menuntut supplier memiliki AMDAL.
Jika konsep sanggah yang ada di Indonesia seluas bid
protest yang ada di Belanda, mungkin penyedia yang merasa dirugikan tersebut
sudah melakukan protes (atau bahkan menggugat) dokumen pengadaan. Pengalaman
tersebut tentu akan membuat panitia berpikir berkali-kali untuk melakukan
akal-akalan di pengadaan lain, termasuk di pengadaan UPS ini, sehingga amat
mungkin kasus korupsi UPS bisa dicegah.
Lebih dari itu, mekanisme sanggah yang tidak memungkinkan
review dokumen pengadaan juga menurukan kepercayaan publik terhadap sistem
pengadaan. Karena tidak terakomodir dalam prosedur yang legal, amat mungkin
membuat penyedia yang frustasi terhadap sistem pengadaan akan menggunakan
cara-cara illegal. Cara yang diketahui kerap terjadi adalah menyewa preman,
me-lobby politisi, bahkan menggunakan aparat untuk menekan panitia pengadaan
(hal ini disarikan dari penuturan panitia pengadaan di dua badan publik di
Surabaya, 15/03/2013 dan 20/12/2013) (van Klinken dan Aspinall, 2011: 153).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemerintah telah melakukan banyak hal untuk
mencegah korupsi di Bidang pengadaan. Dua diantaranya adalah membuat struktur
organisasi pengadaan dan mendesain pengadaan berbasis elektronik. Organisasi
pengadaan yang saat ini berlaku memposisikan Pejabat Pengadaan/Unit Layanan
Pengadaan (PP/ULP) dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam posisi yang
sederajat. Sehingga checks and balances bisa terjadi diantara keduanya. Selain
itu, dikenalkan pula struktur baru bernama Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
(PPHP) yang berfungsi sebagai pengontrol akhir ketika barang/jasa
diserahterimakan. Sebelumnya, kewenangan ini melekat pada PPK. Sehingga,
struktur PPHP ini mereduksi kewenangan PPK yang terlampau luas sekaligus mengurangi
kemungkinan PPK untuk meng-abuse sistem pengadaan.
Selain itu, Pemerintah juga telah membangun
dan menerapkan electronic tendering yang menurut berbagai penelitian telah
mempersulit terjadinya korupsi dan persekongkolan tender. Bahkan, inovasi juga
dikembangkan dengan mendesain electronic purchasing yang memungkinkan panitia
pengadaan membeli barang/jasa yang dibutuhkan secara efektif di electronic
catalogue.
Namun demikian, ada catatan yang perlu
diperhatikan atas ikhtiar positif di atas. Terkait dengan struktur organisasi
pengadaan, ketiga struktur yang ada -PP/ULP, PPK, dan PPHP- berada di bawah
struktur Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), sehingga jika
PA/KPA berniat untuk mengakali sistem pengadaan, maka masih ada celah dimana PA/KPA
tersebut mengintervensi ketiga struktur tersebut.
Sedangkan catatan untuk electronic purchasing
adalah hilangnya unsur kompetisi diantara penyedia. Petugas pengadaan dapat
memilih barang yang tersedia di electronic catalogue tanpa penyedia barang yang
satu berkompetisi dengan penyedia barang yang lain. Sehingga, sistem ini
melahirkan pertanyaan fundamental, apa landasan panitia untuk memilih barang
yang ditawarkan oleh penyedia yang satu dan bukan penyedia yang lain jika
diantara mereka tidak pernah berkompetisi dalam mendapatkan kontrak?
Terhadap masalah organisasi pengadaan,
penulis mengusulkan agar pemerintah lebih memberdayakan peserta tender dan
calon peserta tender dalam melakukan pengawasan. Mekanisme ini sudah terdapat
dalam aturan PBJ yang ada dengan mekanisme sanggah dan sanggah banding. Namun,
lingkupnya masih terbatas, yaitu meminta review atas keputusan pemenang lelang.
Padahal seharusnya, sanggah juga dapat dilakukan untuk memperbaiki dokumen
pengadaan, misalnya karena persyaratan dan/atau kualifikasi PBJ dianggap tidak
adil. Dengan merujuk pada aturan di Belanda, pemerintah hendaknya
mempertimbangkan untuk memperluas objek cakupan mekanisme sanggah, sehingga
dapat digunakan pula untuk me-review keabsahan dokumen pengadaan. Apabila hal
ini dapat diatur, maka rekayasa tender sudah dapat dikritisi/dicegah sejak
awal.
Adapun terkait dengan e-purchasing, merujuk
pada pengalaman membangun sistem pengadaan di Korea Selatan, sistem yang ada di
Indonesia perlu disempurnakan. Aneka pengadaan dengan pagu besar perlu tetap
mempertahankan mekanisme kompetisi, sehingga terdapat justifikasi dalam memilih
penyedia yang satu dan bukan penyedia yang lain, serta mencegah terganggunya
integritas birokrat karena potensi godaan dari penyedia. Aneka catatan diatas dapat
dipertimbangkan oleh penyusun RUU pengadaan barang/jasa sebagai strategi untuk
mereformasi sistem pengadaan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar