KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan waktu yang telah ditentukan.
Adapun penulis menyelesaikan makalah ini yang berjudul
tentang Ulama di Indonesia. Semoga apa yang penulis sampaikan dapat bermanfaat
untuk kita semua khususnya bagi penulis yang masih dalam proses pembelajaran.
Cijulang,
Agustus 2022
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB III PEBAHASAN
BAB IV PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ulama merupakan
figur yang memiliki
peranan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sejak masa lalu ulama selalu
terlibat dalam berbagai kegiatan baik yang berkaitan
dengan peribadatan yang mahdhah41
maupun dalam upacara yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti, kelahiran,
perkawinan, dan kematian.
Ulama
mempunyai posisi tersendiri dalam masyarakat Islam, meskipun telah terjadi beberapa perubahan dalam bidang
penekanan dan bidang garapannya, mereka tetap
memiliki posisi penting sampai sekarang.42 Hal ini dikarenakan
pengetahuan agamanya yang benar-benar
paham dan menguasai, ini juga didukung oleh beberapa ayat Alqur’an dan hadits Nabi yang menunjukkan posisi penting seorang
ulama.43
Ulama dalam ajaran Islam berkedudukan sebagai
waratsah al-anbiya’ (pewaris para Nabi) yang secara historis
sosiologis memiliki otoritas
dalam keagamaan karena itu
ulama sangat dihormati dan disegani baik gagasan maupun pemikirannya. Dalam berbagai
dimensi gagasan dan pemikirannya tersebut dipandang sebagai kebenaran,
dipegang dan diakui secara ketat dan mengikat, dengan kata lain ulama merupakan
kelompok elit keagamaan yang sangat penting.44
B.
Tujuan Pembuatan Makalah
1. Untuk mengetahui pandangan ulama
2. Untuk mengetahui tentang MUI
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Pandangan Ulama
Kata
ulama berasal dari bahasa Arab علماء jamak dari mufrad (kata tunggal) عليم ('alim)
yang bearti orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan. Kata عليم adalah
isim yang diserupakan dengan isim fa'il, Kata عالم adalah isim fa'il dari fi‟il
(kata kerja) علم (alima) yang berarti ia telah berilmu atau telah mengetahui.
Sedangkan kata ulama ( علماء ) berarti orang-orang yang berilmu atau
orang-orang yang mengetahui.1 Di Indonesia, kata Ulama yang menjadi kata jama‟
alim, umumnya diartikan sebagai “orang yang berilmu”. Kata Ulama ini bila
dihubungkan dengan perkataan lain, seperti Ulama hadist, Ulama tafsir dan
sebagainya, mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua orang yang berilmu.
Apa saja ilmunya, baik ilmu agama
Islam maupun ilmu lain.
Menurut
pemahaman yang berlaku sampai sekarang, Ulama adalah mereka yang ahli atau mempunyai
kelebihan dalam bidang ilmu dalam agama Islam, seperti ahli dalam tafsir, ilmu
hadist, ilmu kalam, bahasa Arab dan paramasastranya seperti saraf, nahwu,
balagah dan sebagainya.2 Menurut Ensiklopedia dalam Islam, Ulama adalah orang
yang memiliki ilmu agama dan pengetahuan, keulamaan yang dengan pengetahuannya
tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah Swt. Sebagai orang yang
mempunyai pengetahuan luas, maka Ulama telah mengukir berbagai peran
dimasyarakat, salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam, yang patut dicatat
adalah mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada
masyarakat sekitarnya.
Beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para mufassir salaf (Sahabat dan Tabiin) yang
memiliki ilmu dalam keislaman merumuskan apa yang dimaksud dengan ulama,
diantaranya:
a. Imam Mujahid berpendapat bahwa Ulama adalah
orang yang hanya takut kepada Allah Swt. Malik bin
Abbas pun menegaskan orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah Ulama.
b. Ali Ash shabuni berpendapat bahwa ulama adalah orang
yang rasa takutnya kepada Allah sangat mendalam disebabkan makrifatnya.
c. Ibnu Katsir berpendapat bahwa Ulama adalah yang
benar-benar makrifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepada-Nya. Jika
makrifatnya sudah sangat dalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.
d. Sayyid Quthub berpendapat bahwa Ulama adalah orang
yang senantiasa berpikir kritis akan kitab Al-Qur‟an (yang mendalami maknanya)
sehingga mereka akan makrifat secara hakiki kepada Allah. Mereka makrifat
karena memperhatikan tanda bukti ciptaan-Nya. Mereka yang merasakan pula
hakikat keagungan-Nya melalui segala ciptaan-Nya. Karena itu mereka takwa
kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
e. Syekh Nawawi Al-Bantani berpendapat bahwa Ulama
adalah orang – orang yang menguasai segala hukum syara‟ untuk menetapkan sah
itikad maupun amal syariah lainnya. Sedangkan Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata
“secara naluri, Ulama adalah orang – orang yang mampu menganalisa fenomena alam
untuk kepentingan hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus
kedalam kenistaan. Orang yang maksiat hakikatnya bukan Ulama.
Peran
Ulama merupakan pewaris para nabi, sumber peta
bagi manusia. Barang siapa mengikuti petunjuk mereka, maka ia termasuk
orang yang selamat. Barang siapa yang dengan kesombongan dan kebodohan
menentang mereka, ia termasuk orang yang sesat. Para ulama adalah wali dan
kekasih Allah, dialah manusia yang pengetahuannya tentang Allah bertambah,
mengetahui keagungan-Nya, dan kekuasaan-Nya, maka dalam dirinya akan timbul
rasa takut dan takzim akan keagungan dan ketinggian kekuasaan-Nya. Rasulullah
menerangkan kemuliaan ulama di atas manusia lainnya karena Allah telah memberikan
tempat yang istimewa baginya.5 Maka kita harus mengerti mana ulama‟ yang hanya
sebagai formalitas structural, ulama‟ yang betul – betul pewaris para nabi
ataupun ulama‟ yang ingin dipandang orang lain sebagai tokoh pemuka agama.
Ulama pewaris para Nabi yang harus kita hormati bukanlah sembarang ulama, yang
dimaksud dengan ulama adalah orang yang berilmu, dan dengan ilmunya itu ia
menjadi amat takut kepada Allah SWT. Sehingga, ia bukanlah orang yang durhaka.
Ulama
memang tidak dapat dipisahkan dari agama dan umat. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
menyebut posisi Ulama dari sudut pandang sosiologi sebagai pusat dalam hubungan
Islam dengan umat Islam. Itulah sebabnya Ulama sering ditampilkan diri sebagai
figure yang menentukan dalam pergumulan umat Islam di panggung sejarah,
hubungan dengan masalah pemerintahan, politik, sosial kultural, dan pendidikan.
Pembentukan masyarakat muslim dan kelestariaannnya tidak dapat dipisahkan dari
peran Ulama. Sebaliknya masyarakat muslim memiliki andil bagi terbentuknya
Ulama secara kesinambungan.
BAB
III
PEBAHASAN
A. Pengertian MUI
Majelis Ulama Indonesia atau sering
dikenal dengan istilah MUI terdiri dari tiga suku kata, Majelis yakni wadah
atau perkumpulan, Ulama memiliki makna orang yang memiliki ilmu pengetahuan
atau mengetahui akibat sesuatu.[1]
Majelis Ulama Indonesia adalah
wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim yang kehadirannya
bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah
silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan
ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan mewujudkan kehidupan masyarakat
yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi dan tujuan
diatas MUI melakukan upaya pendekatan yang proaktif, responsive dan reventif
terhadap berbagai problem-problem itu sedini mungkin dapat diatasi, untuk tidak
menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat khusus nya umat islam.[2]
Dengan
demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah lembanga yang
akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan meresahkan dan
memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah masyarakat yang
majemuk seperti di Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa MUI adalah salah satu wadah di Indonesia yang berfungsi menegakkan
syari’at islam ditengah masyarakat yang majemuk. Ketika wacana NKRI bersyari’ah
digulirkan, sudah biasa terdapat sambutan pro dan kontra. Yang Pro adalah umat
yang merindukan pemimpin yang mampu mewujudkan NKRI yang lebih bersih dari
berbagai konflik keagamaan baik disebabkan oleh masalah politik, paham liberal,
aliran sesat dan lain sebagainya,[3]
sehingga dengan hadirnya MUI dapat meminimalisir dan menjadi wadah yang
berfungsi menegakkan syari’at. Syari’at islam tidak hanya berupa akidah dan
akhlak, tetapi meliputi seluruh hukum yang menyangkut hubungan dengan Allah,
dan hukum yang berkaitan dengan muamalah, yakni hubungan sesama manusia dan
alam sekitar. Karena itu syari’at islam diturunkan menjadi rahmat kepada alam
seluruhnya.[4]
Hal ini tentunya sulit ditegakkan apabila tidak ada lembaga yang sah dan
berwenang mengayomi masalah-masalah tesebut. Oleh sebab itu dibentuklah MUI
sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat islam di Indonesia.
B. Sejarah MUI
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7
Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil
dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang
dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU,
AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama Indonesia
menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi
(Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun
masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama
pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam
Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan
teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global
yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama
dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan
umat Islam sendiri.
Akibatnya umat
Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang
berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai
sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kebersamaan umat Islam.
Dalam
perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai
wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan
beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan
bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan
informasi secara timbal balik.
Dalam khitah
pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama
MUI yaitu:
1. Sebagai
pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai
pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai
pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai
gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai
penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini
Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan
kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir
masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Demikianlah
sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia.[5]
Yang memiliki peranan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Tanpa
adanya MUI sebagai lembaga independen yang berwenang mengatasi problem
masyarakat, maka akan sulit menegakkan islam dan hukum islam di Indonesia
disebabkan pengaruh globalisasi dan modernisasi yang membawa Indonesia lebih
kepada kiblat barat yang orientalis dan merusak bangsa.
C. FATWA-FATWA MUI
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 01 Tahun 2001
tentang
HAJI BAGI NARAPIDANA
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya, Sabtu, 27
Muharram 1422 H./21 April 2001 M.,
Setelah
menimbang :
1.
bahwa kedudukan
istitha`ah (الاستطاعة) Narapidana dalam ibadah haji sebagai syarat wajib adalah hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, namun mengenai kriterianya, ulama berbeda pendapat.
2.
bahwa umat
Islam Indonesia, nampaknya beranggapan bahwa setiap orang yang sudah memiliki
sejumlah uang yang cukup untuk biaya pelaksanaan ibadah haji wajib melaksanakan
haji pada saat itu, walaupun kondisi fisiknya tidak lagi memung-kinkan sehingga
mengakibatkan resiko yang tidak kecil.
3.
bahwa atas dasar itu, Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum
Menimbang
:
HAJI BAGI NARAPIDANA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pelaksanaan ibadah haji bagi narapidana untuk dijadikan pedoman
oleh umat Islam umumnya dan pihak terkait lainnya. Firman Allah SWT:
“...Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sangggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah..” (QS.
Ali Imran [3]: 97).
Ayat
ini menyatakan bahwa ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang telah
sanggup mengadakan perjalanan untuk haji, yang lazim disebut dengan istitha’ah Dengan
arti bahwa istitha’ah adalah syarat wajib haji. Pendapat Imam Syafi`i dan Ahmad
bin Hanbal bahwa istitha’ah hanya menyangkut kemampuan dalam bidang biaya
(mãl); sehingga orang sakit yang tidak dapat melaksanakan haji sendiri tetapi ia
mempunyai biaya untuk melaksanakan haji dipandang sudah memenuhi kriteria
istitha’ah. Oleh karena itu, ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya
(pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua imam mazhab ini lihat
lampiran). Pendapat Imam Maliki bahwa criteria istitha’ah hanya me-nyangkut
kesehatan badan. Menurutnya, orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan
haji sendiri tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istitha’ah, walaupun ia
memiliki sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk
menghajikannya. Karena itu, ia belum berkewajiban menunaikan haji, baik sendiri
maupun dengan membiayai orang lain (pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh imam mazhab ini lihat lampiran).
Mengingat
:
1. Surat dari
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI
2. Pendapat
peserta Sidang Komisi Fatwa MUI
3. Makalah
Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
Memperhatikan
:
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG IBADAH HAJI BAGI
NARAPIDANA
1.
Orang yang
sudah mempunyai biaya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi situasi dan kondisi
tidak memungkinkannya untuk melaksanakan ibadah haji, baik karena sudah terlalu
tua, karena suatu penyakit, maupun karena dilarang oleh peraturan
perundangundangan seperti narapidana, dipandang telah memenuhi syarat
istitha’ah. Karena itu, ia sudah kewajiban menunaikan haji.
2.
Orang
sebagaimana tersebut pada point 1 tidak dibolehkan melaksanakan haji pada saat
itu tetapi ia wajib membiayai orang lain yang sudah menunaikan haji untuk menghajikannya
jika diduga kuat ia tidak mlagi memiliki kesempatan haji sendiri. Fatwa Komisi
Fatwa ini disampaikan kepada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia untuk
diketahui dan di-tanfiz-kan sebagaimana mestinya.[6]
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 27 Muharram 1419 H.
21 April 2001 M
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Majelis Ulama Indonesia adalah
wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim yang kehadirannya
bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah
silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan
ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan mewujudkan kehidupan masyarakat
yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk menjalankan fungsi dan tujuan
diatas MUI melakukan upaya pendekatan yang proaktif, responsive dan reventif
terhadap berbagai problem-problem itu sedini mungkin dapat diatasi, untuk tidak
menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat khusus nya umat islam.
Dengan
demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah lembanga yang
akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan meresahkan dan
memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah masyarakat yang
majemuk seperti di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7
Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil
dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang
dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU,
AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta
musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’luf, Luis. Al-Munjid
fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah al-Katulikiyah.
Tim Penulis MUI
Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di Indonesia.
Jakarta; FORMAS.
Shihab, Habib
Rizieq. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta Selatan;
Suara Islam Press.2013
Syahputra, Akmaluddin.
Butir –Butir Pemikiran Islam Prof. Dr.H.Abdullah Syah MA. Bandung; Cipta
Pustaka Media. Cet 2; 2014
Situs Web :
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html.diakses
21/8/2022 pukul 18.08
PDF
:
Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2
[1]
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah
al-Katulikiyah. H. 527
[2]
Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di
Indonesia. Jakarta; FORMAS. Hal 15
[3]
Habib Rizieq Shihab. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta
Selatan; Suara Islam Press. H. v
[4]
Akmaluddin Syahputra. Butir –Butir Pemikiran Islam Prof. Dr.H.Abdullah Syah
MA. Bandung; Cipta Pustaka Media. H. 24
[6]
Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2 h.194-196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar