Kamis, 24 Agustus 2023

makalah tentang ULAMA

 

KATA PENGANTAR

 

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yang telah ditentukan.

Adapun penulis menyelesaikan makalah ini yang berjudul tentang Ulama di Indonesia. Semoga apa yang penulis sampaikan dapat bermanfaat untuk kita semua khususnya bagi penulis yang masih dalam proses pembelajaran.

 

 

 

 

Cijulang, Agustus 2022

 

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

A.   Latar Belakang Masalah. 1

B.    Tujuan Pembuatan Makalah. 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA.. 2

A. Pandangan Ulama. 2

BAB III PEBAHASAN.. 5

A.  Pengertian MUI. 5

B. Sejarah MUI. 6

C.  FATWA-FATWA MUI. 9

BAB IV PENUTUP. 12

A.   KESIMPULAN.. 12

DAFTAR PUSTAKA.. 14

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.        Latar Belakang Masalah

Ulama merupakan figur yang memiliki peranan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sejak masa lalu ulama selalu terlibat dalam berbagai kegiatan baik yang berkaitan dengan peribadatan yang mahdhah41 maupun dalam upacara yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti, kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Ulama mempunyai posisi tersendiri dalam masyarakat Islam, meskipun telah terjadi beberapa perubahan dalam bidang penekanan dan bidang garapannya, mereka tetap memiliki posisi penting sampai sekarang.42 Hal ini dikarenakan pengetahuan agamanya yang benar-benar paham dan menguasai, ini juga didukung oleh beberapa ayat Alqur’an dan hadits Nabi yang menunjukkan posisi penting seorang ulama.43

Ulama dalam ajaran Islam berkedudukan sebagai waratsah al-anbiya’ (pewaris para Nabi) yang secara historis sosiologis memiliki otoritas dalam keagamaan karena itu ulama sangat dihormati dan disegani baik gagasan maupun pemikirannya. Dalam berbagai dimensi gagasan dan pemikirannya tersebut dipandang sebagai kebenaran, dipegang dan diakui secara ketat dan mengikat, dengan kata lain ulama merupakan kelompok elit keagamaan yang sangat penting.44

 

B.       Tujuan Pembuatan Makalah

 

1.      Untuk mengetahui pandangan ulama

2.      Untuk mengetahui tentang MUI

 

 

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

A.   Pandangan Ulama

 

Kata ulama berasal dari bahasa Arab علماء jamak dari mufrad (kata tunggal) عليم ('alim) yang bearti orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan. Kata عليم adalah isim yang diserupakan dengan isim fa'il, Kata عالم adalah isim fa'il dari fi‟il (kata kerja) علم (alima) yang berarti ia telah berilmu atau telah mengetahui. Sedangkan kata ulama ( علماء ) berarti orang-orang yang berilmu atau orang-orang yang mengetahui.1 Di Indonesia, kata Ulama yang menjadi kata jama‟ alim, umumnya diartikan sebagai “orang yang berilmu”. Kata Ulama ini bila dihubungkan dengan perkataan lain, seperti Ulama hadist, Ulama tafsir dan sebagainya, mengandung arti yang luas, yakni meliputi semua orang yang berilmu. Apa saja ilmunya, baik  ilmu agama Islam  maupun ilmu  lain.

Menurut pemahaman yang berlaku sampai sekarang, Ulama adalah mereka yang ahli atau mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu dalam agama Islam, seperti ahli dalam tafsir, ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa Arab dan paramasastranya seperti saraf, nahwu, balagah dan sebagainya.2 Menurut Ensiklopedia dalam Islam, Ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan pengetahuan, keulamaan yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah Swt. Sebagai orang yang mempunyai pengetahuan luas, maka Ulama telah mengukir berbagai peran dimasyarakat, salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam, yang patut dicatat adalah mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para mufassir salaf (Sahabat dan Tabiin) yang memiliki ilmu dalam keislaman merumuskan apa yang dimaksud dengan ulama, diantaranya:

a.       Imam Mujahid berpendapat bahwa Ulama adalah orang   yang   hanya takut kepada Allah Swt. Malik bin Abbas pun menegaskan orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah Ulama.

b.      Ali Ash shabuni berpendapat bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada Allah sangat mendalam disebabkan makrifatnya.

c.       Ibnu Katsir berpendapat bahwa Ulama adalah yang benar-benar makrifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepada-Nya. Jika makrifatnya sudah sangat dalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.

d.      Sayyid Quthub berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang senantiasa berpikir kritis akan kitab Al-Qur‟an (yang mendalami maknanya) sehingga mereka akan makrifat secara hakiki kepada Allah. Mereka makrifat karena memperhatikan tanda bukti ciptaan-Nya. Mereka yang merasakan pula hakikat keagungan-Nya melalui segala ciptaan-Nya. Karena itu mereka takwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

e.       Syekh Nawawi Al-Bantani berpendapat bahwa Ulama adalah orang – orang yang menguasai segala hukum syara‟ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syariah lainnya. Sedangkan Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata “secara naluri, Ulama adalah orang – orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk kepentingan hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus kedalam kenistaan. Orang yang maksiat hakikatnya bukan Ulama.

Peran Ulama merupakan pewaris para nabi, sumber peta   bagi manusia. Barang siapa mengikuti petunjuk mereka, maka ia termasuk orang yang selamat. Barang siapa yang dengan kesombongan dan kebodohan menentang mereka, ia termasuk orang yang sesat. Para ulama adalah wali dan kekasih Allah, dialah manusia yang pengetahuannya tentang Allah bertambah, mengetahui keagungan-Nya, dan kekuasaan-Nya, maka dalam dirinya akan timbul rasa takut dan takzim akan keagungan dan ketinggian kekuasaan-Nya. Rasulullah menerangkan kemuliaan ulama di atas manusia lainnya karena Allah telah memberikan tempat yang istimewa baginya.5 Maka kita harus mengerti mana ulama‟ yang hanya sebagai formalitas structural, ulama‟ yang betul – betul pewaris para nabi ataupun ulama‟ yang ingin dipandang orang lain sebagai tokoh pemuka agama. Ulama pewaris para Nabi yang harus kita hormati bukanlah sembarang ulama, yang dimaksud dengan ulama adalah orang yang berilmu, dan dengan ilmunya itu ia menjadi amat takut kepada Allah SWT. Sehingga, ia bukanlah orang yang durhaka.

Ulama memang tidak dapat dipisahkan dari agama dan umat. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut posisi Ulama dari sudut pandang sosiologi sebagai pusat dalam hubungan Islam dengan umat Islam. Itulah sebabnya Ulama sering ditampilkan diri sebagai figure yang menentukan dalam pergumulan umat Islam di panggung sejarah, hubungan dengan masalah pemerintahan, politik, sosial kultural, dan pendidikan. Pembentukan masyarakat muslim dan kelestariaannnya tidak dapat dipisahkan dari peran Ulama. Sebaliknya masyarakat muslim memiliki andil bagi terbentuknya Ulama secara kesinambungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEBAHASAN

 

A.  Pengertian MUI

 

Majelis Ulama Indonesia atau sering dikenal dengan istilah MUI terdiri dari tiga suku kata, Majelis yakni wadah atau perkumpulan, Ulama memiliki makna orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau mengetahui akibat sesuatu.[1]

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim yang kehadirannya bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menjalankan fungsi dan tujuan diatas MUI melakukan upaya pendekatan yang proaktif, responsive dan reventif terhadap berbagai problem-problem itu sedini mungkin dapat diatasi, untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat khusus nya umat islam.[2]

Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah lembanga yang akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan meresahkan dan memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa MUI adalah salah satu wadah di Indonesia yang berfungsi menegakkan syari’at islam ditengah masyarakat yang majemuk. Ketika wacana NKRI bersyari’ah digulirkan, sudah biasa terdapat sambutan pro dan kontra. Yang Pro adalah umat yang merindukan pemimpin yang mampu mewujudkan NKRI yang lebih bersih dari berbagai konflik keagamaan baik disebabkan oleh masalah politik, paham liberal, aliran sesat dan lain sebagainya,[3] sehingga dengan hadirnya MUI dapat meminimalisir dan menjadi wadah yang berfungsi menegakkan syari’at. Syari’at islam tidak hanya berupa akidah dan akhlak, tetapi meliputi seluruh hukum yang menyangkut hubungan dengan Allah, dan hukum yang berkaitan dengan muamalah, yakni hubungan sesama manusia dan alam sekitar. Karena itu syari’at islam diturunkan menjadi rahmat kepada alam seluruhnya.[4] Hal ini tentunya sulit ditegakkan apabila tidak ada lembaga yang sah dan berwenang mengayomi masalah-masalah tesebut. Oleh sebab itu dibentuklah MUI sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat islam di Indonesia.

 

B. Sejarah MUI

 

Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.

Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.

Demikianlah sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia.[5] Yang memiliki peranan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Tanpa adanya MUI sebagai lembaga independen yang berwenang mengatasi problem masyarakat, maka akan sulit menegakkan islam dan hukum islam di Indonesia disebabkan pengaruh globalisasi dan modernisasi yang membawa Indonesia lebih kepada kiblat barat yang orientalis dan merusak bangsa.

C.  FATWA-FATWA MUI

 

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor: 01 Tahun 2001

tentang

HAJI BAGI NARAPIDANA

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya, Sabtu, 27

Muharram 1422 H./21 April 2001 M.,

 

Setelah menimbang :

 

1.      bahwa kedudukan istitha`ah (الاستطاعة) Narapidana  dalam ibadah haji sebagai syarat wajib adalah hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, namun mengenai kriterianya, ulama berbeda pendapat.

 

2.      bahwa umat Islam Indonesia, nampaknya beranggapan bahwa setiap orang yang sudah memiliki sejumlah uang yang cukup untuk biaya pelaksanaan ibadah haji wajib melaksanakan haji pada saat itu, walaupun kondisi fisiknya tidak lagi memung-kinkan sehingga mengakibatkan resiko yang tidak kecil.

 

3.       bahwa atas dasar itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum

Menimbang :

 

HAJI BAGI NARAPIDANA

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

 

Pelaksanaan ibadah haji bagi narapidana untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam umumnya dan pihak terkait lainnya. Firman Allah SWT:

 

“...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sangggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..” (QS. Ali Imran [3]: 97).

 

Ayat ini menyatakan bahwa ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang telah sanggup mengadakan perjalanan untuk haji, yang lazim disebut dengan istitha’ah Dengan arti bahwa istitha’ah adalah syarat wajib haji. Pendapat Imam Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal bahwa istitha’ah hanya menyangkut kemampuan dalam bidang biaya (mãl); sehingga orang sakit yang tidak dapat melaksanakan haji sendiri tetapi ia mempunyai biaya untuk melaksanakan haji dipandang sudah memenuhi kriteria istitha’ah. Oleh karena itu, ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya (pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua imam mazhab ini lihat lampiran). Pendapat Imam Maliki bahwa criteria istitha’ah hanya me-nyangkut kesehatan badan. Menurutnya, orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan haji sendiri tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istitha’ah, walaupun ia memiliki sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menghajikannya. Karena itu, ia belum berkewajiban menunaikan haji, baik sendiri maupun dengan membiayai orang lain (pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh imam mazhab ini lihat lampiran).

 

Mengingat :

1. Surat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI

2. Pendapat peserta Sidang Komisi Fatwa MUI

3. Makalah Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A.

 

Memperhatikan :

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG IBADAH HAJI BAGI

NARAPIDANA

1.      Orang yang sudah mempunyai biaya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi situasi dan kondisi tidak memungkinkannya untuk melaksanakan ibadah haji, baik karena sudah terlalu tua, karena suatu penyakit, maupun karena dilarang oleh peraturan perundangundangan seperti narapidana, dipandang telah memenuhi syarat istitha’ah. Karena itu, ia sudah kewajiban menunaikan haji.

 

2.      Orang sebagaimana tersebut pada point 1 tidak dibolehkan melaksanakan haji pada saat itu tetapi ia wajib membiayai orang lain yang sudah menunaikan haji untuk menghajikannya jika diduga kuat ia tidak mlagi memiliki kesempatan haji sendiri. Fatwa Komisi Fatwa ini disampaikan kepada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia untuk diketahui dan di-tanfiz-kan sebagaimana mestinya.[6]

 

 

Ditetapkan di : J A K A R T A

Pada tanggal : 27 Muharram 1419 H.

21 April 2001 M

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

A.   KESIMPULAN

 

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim yang kehadirannya bermanfaat untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga sebagai wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah, demi untuk mencapai dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menjalankan fungsi dan tujuan diatas MUI melakukan upaya pendekatan yang proaktif, responsive dan reventif terhadap berbagai problem-problem itu sedini mungkin dapat diatasi, untuk tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat khusus nya umat islam.

Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas bahwa MUI merupakan sebuah lembanga yang akan sedia mengayomi masyarakat dari berbagai isu-isu yang akan meresahkan dan memberikan fatwa untuk menc\jawab persoalan ditengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ma’luf, Luis. Al-Munjid fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah al-Katulikiyah.

Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di Indonesia. Jakarta; FORMAS.

Shihab, Habib Rizieq. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta Selatan; Suara Islam Press.2013

Syahputra, Akmaluddin. Butir –Butir Pemikiran Islam Prof. Dr.H.Abdullah Syah MA. Bandung; Cipta Pustaka Media. Cet 2; 2014

 

 

Situs Web :

http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html.diakses 21/8/2022 pukul 18.08

 

PDF :

Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2

 



[1] Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Luhah wal Adab wal Ulum, Beirut, Al-Maktabah al-Katulikiyah. H. 527

[2] Tim Penulis MUI Pusat. Mengenal dan mewaspadai penyimpangan syi’ah di Indonesia. Jakarta; FORMAS. Hal 15

[3] Habib Rizieq Shihab. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyari’ah. Jakarta Selatan; Suara Islam Press. H. v

[4] Akmaluddin Syahputra. Butir –Butir Pemikiran Islam Prof. Dr.H.Abdullah Syah MA. Bandung; Cipta Pustaka Media. H. 24

[6] Himpunan Fatwa MUI, Maktabah Syamilah Nahdlatul Ulama. Juz 2 h.194-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...