BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Prinsip
desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan
otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah
untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat
daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang
berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No.32/2004, pemerintah
daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung
jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah.Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia menitikberatkan pada levelkabupaten/kota dirasakan
sudah cukup tepat dengan pertimbangan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat.
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari karya tulis ini antara lain :
a.
Mengetahui
pengertian desentralisasi
b.
Bagaimana
penerapan desentralisasi di kabupaten pangandaran
c.
Apa
saja permasalahan - permasalahan yang timbul dengan adanya desentralisasi
BAB
II
KERANGKA
TEORI
2.I.
Konsep Otonomi Daerah
Otonomi daerah tidak lepas dari
konsep desentralisasi, karena otonomi adalah salah satu perwujudan dari
desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa yunani, auto yang berarti sendiri
dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dalam Encyclopedia of Social Sciences yang dikutip
Sumaryadi (2005 : 43), menjelaskan bahwa otonomi dalam pengertian orisinil
adalah “the legal self-sufficiencyndan actual independence”. Namun demikian
pelaksanaan otonomi tetap dalam batas koridor yang tidak melampaui wewenang pemerintah
pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah. Hal ini sesuai dengan pandangan
Ryass Rasyid (2002 : 32) yang menyatakan bahwa otonomi daerah bukanlah
merupakan hak dari masyarakat dan pemerintah daerah, melainkan kewajiban daerah
dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional.
Jadi pada hakekatnya otonomi daerah
itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut
melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan
rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab.Pendapat di atas sejalan dengan pengertian otonomi daerah menurut UU
No.32/2004 yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikan suatu daerah otonom adalah daerah yang self suffiency, self
authority, dan self regulation to its
laws and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal
karena daerah otonom memiliki actual independence.
Antara desentralisasi dan otonomi
daerah memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya
dikemukakan oleh Ryaas (2002 : 35) yaitu dalam tataran konsep desentralisasi dan
otonomi daerah sebenarnya memiliki tempatnya masing-masing. Istilah otonomi
daerah lebih cenderung pada political aspect
(aspek politik kekuasaan), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada
administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun demikian dilihat dari
konteks sharing of power (berbagi
kekuasaan), dalam prakteknya di lapangan, kedua istilahtersebut berbicara
mengenai otonomi daerah, tentu akan
menyangkut pernyataan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah.Sesuai
dengan pendapat Sumaryadi (2005 : 16) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang saling menentukan dan bergantung antara desentralisasi dan otonomi daerah.
Desentralisasilah yang melandasi suatu daerah dapat dikatakan otonom. Otonomi
daerah tidak akan ada jika tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan didaerah. Jadi teori desentralisasi merupakan
dasar pijakan otonomi.Untuk konteks Indonesia, maka otonomi daerah menjadi
pilihan yang tepat. Menurut Ryaas (2002 : 41) dengan mengatakan bahwa:
Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, mungkin merupakan satu-satunya kebijakan
yang paling besar peluangnya untuk sukses. Ini didasarkan pada adanya suatu
komitmen reformasi yang diterima secara nasional didukung perangkat hukum yang
jelas dan komitmen awal yang sangat kuat, serta diterima secara luas oleh
pemerintah daerah, partai politik, organisasi masyarakat dan kaum intelektual
bahkan pemuka agama.
Di
sisi lain, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi
(Sarundajang, 2005 : 34). Dari berbagai pemahaman tentang otonomi daerah
tersebut beliau menyimpulkan sebagai :
1) Hak
mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom;
2) Daerah
tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas wilayahnya;
3) Daerah
tidak boleh mencanpuri urusan rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang
pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
4) Otonomi
tidak membawahi otonomi daerah lain.Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk
desentralisasi pemerintahan, pada dasarnya memiliki tujuan dalam memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Berdasarkan
ide hakiki yang terkandung dalam konsep otonomi, sehingga Sarundajang (2002 :
35) juga menegaskan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah meliputi 4
aspek :
1) Dari
segi politik adalah mengikut sertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi
masyarakat, baik untuk kepentingan untuk daerah sendiri, maupununtuk mendukung
politik kebijakan nasional;
2) Dari
segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkat daya gunadan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan;
3) Dari
segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan
kemandirian masyarakat melalui upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat
untuk mandiri;
4) Dari
segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan program pembangunan guna
tercapainya kesejahteraan rakyat.
BAB III
PEMBAHASAN
Setelah
Kabupaten Pangandaran secara resmi memekarkan diri dengan Parigi sebagai pusat
pemerintahan dan jumlah kecamatan sebanyak sepuluh kecamatan, Kabupaten Ciamis
berkurang wilayahnya dan sekarang menjadi batas utara Kabupaten Pangandaran dan
Kabupaten Tasikmalaya di batas barat, Samudera Hindia di batas selatan, dan
Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) di batas timur. Meskipun sudah disetujui
sebagai kabupaten baru, namun pemerintahan belum berjalan di Pangandaran, belum
ada bupati atau pelaksana eksektif di puncak hierarki pemerintahan Kabupaten
Pangandaran. Dalam Bagian Kesatu, Peresmian Daerah Otonom Bary dan Pelantikan
Pejabat kepala Daerah, Pasal 9, disebutkan bahwa peresmian Kabupaten
Pangandaran dan pelantikan Pejabat Bupati Pangandaran dilakukan oleh Menteri
dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 9 (Sembilan) bulan sejak
Undang-undang ini diundangkan. Sebelum Bupati dan Wakil Bupati Pangandaran
secara definitive dan konkret terpilih maka tonggak pemerintahan daerah
sementara akan dipegang oleh pegawai negeri sipil berdasarkan usul dari
Gubernur Jawa Barat. Tata cara penataan ruang pun harus distandarkan dan
mengikuti acuan tata ruang kota nasional dan rencana tata ruang yang diputuskan
provinsi Jawa Barat maupun tata ruang yang diterapkan di kota-kota terdekat.
Menjadi
sebuah kota/kabupaten yang baru saja memekarkan diri merupakan hal yang tidak
mudah tetapi juga tidak boleh dijadikan sumber ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan. Kemandirian suatu daerah akan terlihat kemudian pada bagaimana
rakyat memilih pemimpinnya dan gotong royong dalam membangun Kabupaten Pangandaran.
Namun begitu, tentu ada masalah -masalah utama yang lumrah maupun yang sifatnya
sangat khusus dihadapkan kepada masyarakat Pangandaran saat ini, diantaranya:
Kabupaten
Pangandaran yang sudah kemudian diundangkan pengesahannya sampai saat ini masih
belum menerima kucuran dana bak dari Kabupaten Ciamis maupun Provinsi Jawa
Barat karena dari laporan warga Batukaras, Pangandaran, yang tekah berhasil
dihimoun adalah bahwa dana APBD baru akan dikirimkan dalam jangka waktu empat
bulan.
Jumlah
teknokrat yang ada di Kabupaten Pangandaran bisa dibilang sangat sedikit.
Sebagai pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Pangandaran lebih dikenal khalayak
luas sebagai objek wisata utama di Provinsi Jawa Barat, baik potensi laut dan
wisata laut maupun cagar alam dan hutan lindung yang ada di wilayah Kabupaten
Pangandaran. Hal ini membuat sector pendidikan dan pengembangan sumber daya
manusia yang tidak begitu dikembangkan secara komprehensif dan stimulatif
sehingga membuat kapasitas berpikir sistem masyarakat tidak begitu mumpuni.
Terlebih lagi, kemajuan bidang teknologi merupakan salah satu factor
globalisasi yang cepat merambah daerah sebagai salah satu isu pembangunan juga
tidak secara berkesinambungan diiringi oleh kemapanan intelektual sumber daya
manusianya.
Dalam
Undang-undang pengesahan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat juga
disertakan penjelasan mengenai kucuran dana yang akan diturunkan kepada
Kabupaten Pangandaran untuk menjalankan pemerintahan. Dikatakan bahwa dana APBD
yang akan diberikan kepada Kabupaten Pangandaran merupakan sebagian dana APBD
Kabupaten Ciamis dan APBD Provinsi Jawa Barat sehingga jumlah dana yang
diberikan akan sangat besar. Permasalahannya adalah apakah masyarakat di
Pangandaran sudah siap dan bagaimana sistem pengelolaan oleh masyarakat itu
sendiri mengingat akan tindak korupsi yang makin merajalela bukan hanya di
level pusat namun sudah jauh merambah ke sendi-sendi pemerintahan lokal.
Konflik
kepentingan antara pebisnis pasir besi dengan warga Pangandaran “Pemerintah
dikalahkan Premanisme” Seperti yang disebutkan dalam situs Regional Investment,
Direktorat Pengembangan Potensi daerah BKPM, Kabupaten Tasikmalaya merupakan
potensi sumber daya alam pasir besi yang sangat besar di Indonesia dan situs
ekploitasi tersebut memang baru sejak 2012 ditemukan dan digunakan. Dilansir
oleh situs BKPM, di lokasi Cipatujah dan Cikalong, Tasikmalaya, tersedia
cadangan 4.200.000 pasir besi di Cipatujah dan 2.400.000 ton pasir besi di
Cikalong. Melihat potensi yang luar biasa melimpah ini, banyak sekali pengusah
ayang kemudian berlomba-lomba mendapatkan izin legal eksploitasi pasir besi di
Tasikmalaya Selatan. Namun setelah dirasa justru menimbulkan banyak kerugian,
pasir besi sementara ditutup oleh pemerintah tasikmalaya karena tidak jelas
siapa yang bekerja untuk siapa dan kepada siapa pasir besi dijual, atau
pertanyaan tentang kenapa pemasukan daerah justru tidak meningkat signifikan
padahal eksploitasinya berlebihan? Masalahnya adalah Kabupaten Pangandaran ada
di tengah-tengah konflik kepentingan para penguasa dan pengusaha ini yang
mengirim truk-truk pasir besinya dengan tonase yang tidak karuan untuk
berbondong-bondong melewati jalan utama jalur selatanm Pangandaran sehingga
akibatnya jalanan sangat rusak. Warga sekitar tidak punya kekuatan untuk melawan
para penguasa yang berlimpah uang ini karena tiap kali warga berontak maka
truk-truk ini akan diboikot dan dihentikan supaya tidak melewati jalur
Pangandaran lagi, namun keadaan justru makin memburuk karena bukannya mengalah
namun para pengusaha pasir besi itu kemudian malah mengirimkan preman-preman
sebagai serigala yang menentang dan menakuti warga agar truk-truk bisa lewat
kembali dan dalam hal ini polisi pun tidak berdaya.
Pada
kondisi seperti ini, kita bisa melihat bagaimama Kabupaten Pangandaran justru
makin dirundung masalah setelah memekarkan diri dari Kabupaten Ciamis. Bukan
suatu hal yang mudah bagi para petinggi di Pangandaran untuk bisa keluar dari
sekelumit masalah yang dihadapkan tepat didepan muka. Namun, menilik pada
optimisme otonomi daerah yang sifatnya terus berkembang dan berproses maka
patut rasanya ada kritik terhadap pembangunan yang dilaksanakan di Pangandaran,
Provinsi Jawa Barat, dan Indonesia secara luas.
Sebagai
upaya untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diungkapkan
pada halaman sebelumnya, ada beberapa alternative jalan kaluar yang bisa
diaplikasikan dalam pengembangan Kabupaten Pangandaran, dan seluruh daerah
secara nasional. Beberapa langkah berikut juga merupakan sebuah bentuk kritik
terhadap pelaksanaan pembangunan di Indonesia dan isu-isu yang berkaitan,
diantaranya:
1. Efektivitas birokrasi untuk kesejahteraan
masyarakat
Dalam
sebuah sistem ketatanegaraan, birokrasi merupakan sebuah kontribusi besar dalam
upayanya mengatasi situasi sulit penyelenggaraan Negara oleh pemerintah. Hal
ini meliputi fungsi-fungsi birokrasi, antara lain, fungsi administrasi, fungsi
kebijakan, artikulasi kepentingan, legitimasi rejim dan menjaga stabulitas
pemerintahan. Hubungan antara birokrasi dengan kesejahteraan masyarakat itu
sendiri adalah pada bagaimana kemudian efektivitas brokrasi diwujudkan melalui
proses politik yang dituangkan dalam agenda maupun dokumen politik. Birokrasi
dari sumbernya, Yunani, merupakan segala sesuatu yang diselesaikan di atas
meja. Dari segi definisi, kita bisa ambil kesimpulan bahwa sesugguhnya
birokrasi menarik garis tegas yang memisahkan antara orang yang berpikir dan
bertindak sistematis serta radikal dengan orang yang tidak tersistem. Birokrasi
baik level pusat maupun lokal yang baik adalah yang mampu melakukan pendekatan
terhadap sistem kinerja outcome yang kemudian menguntungkan dan menjunjung
kesejahteraan masyarakat. Dalam birokrasi itu sendiri dikenal erat yang namanya
raintai komando yang memperjelas siapa berhak memberi instruksi kepada siapa
dan siapa yang mengeksekusi di lapangan dan siapa yang melaporkan seluruh
kegiatan pengurusan sebuah Negara.
Birokrasi
pun harus bisa menjamin bahwa tindakan pengambilan keputusan dan pembuatan
kebijakan sesuah dengan nilai-nilai dan pasal yang sudah ditetapkan dalam UUD
NRI 1945. Di manapun elemen birokrasi itu berada dan bekerja, sistem yang
dijadikan sebagai acuan adalah pilar-pilar berbangsa dan bernegara dan mengacu
juga kepada tujuan Negara yang telah dengan sangat jelas dituangkan dalam
Pembukaan UUD NRI 1945. Birokrasi harus menjamin keutuhan NKRI dengan tetap
berpegang teguh pada niat awal para pendiri bangsa ini, untuk mempersatukan
seluruh Indonesia.
Jajaran
birokrasi dalam suatu Negara, terlebih lagi dalam sebuah daerah yang baru saja
memisahkan diri, maka akan sangat penting untuk menerapkan birokrasi yang baik
dengan masing-masing aparatur mengetahui fungsi kelembagaan masing-masing dan
tugas pokok pokoknya sehingga prinsip check and balances bisa diimplementasikan
dengan baik dan fungsi control antara pemerintah (legislative, eksekutif, dan
yudikatif) itu tetap ada dan ditunjukkan kepada rakyat agar pemerintah memiliki
integritas yang tidak dipandang sebelah mata saja.
2.
Kompetensi lokal sebagai dasar pembangunan daerah
Suatu
elemen masyarakat dalam sebuah tatanan kehidupan sosial di suatu daerah sudah
sepatutnya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sebagai upaya untuk
mengembangkan dan mempertahankan potensi daerah sebagai nilai jual utama sebuah
daerah otonom baru. Masing-masing individu merupakan agen yang akan berpengaruh
bagaimana sebuah daerah mengambil dan menetapkan sebuah kebijakan yang
digambarkan sebagai kebijakan pro-rakyat.
Perkembangan
ekonomi yang juga merupakan salah satu isu terkait pembangungan merupakan hal
yang juga harus diperhatikan oleh sebuah daerah otonom baru, p[erlu
diperlihatkan keberdayaan dan integritas suatu daerah otonom dalam produk
barang dan jasa daerah tersebut yang dimaksudkan untuk pemberdayaan sumber daya
manusia dan sumber daya alam.
Budaya
demokrasi yang dibentuk pun harus berdasarkan nilai moral yang dikandung dalam
prinsip-prinsip berkehidupan masyarakat dalam suatu wilayah. Acapkali prinsip
itu didasarkan kepada sentuhan sosial-budaya yang memang diturunkan dan
diteruskan dari nenek moyang terdahulu sampai generasi masa kini. Melihat
kepada budaya dan karakter sosial masyarakat Pangandaran yang menggambarkan
dirinya sebagai sebuah masyarakat yang terpenuhi atau mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri merupakan suatu hal yang membangkitkan optimisme akan
jalannya otonomi daerah di Kabupaten Pangandaran,
Tentu
saja Kabupaten Pangandaran tidak sembarangan dan main-main ketika pada akhirnya
Pangandaran memutuskan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis. Potensi
wisata dan alam yang dimiliki oleh Pangandaran merupakan tonggak utama
perekonomian masyarakat di Pangandaran selain dari sector perikanan dan
kelautan itu sendiri. Masyarakat harus paham betul dan mengenali karakteristik
masyarakat itu sendiri berdasarkan kondisi geografis tempat tinggal maupun
sifat egosentrisme masyarakat sunda itu sendiri yang lebih mementingkan ‘hirup
sauyunan’ atau secara bersama-sama dan saling gotong royong agar dapat
menjalankan seluruh potensi yang sangat besar tersedia di Kabupaten Pangandaran
tersebut.
Meskipun
ada optimisme, namun masyarakat Pangandaran tetap harus menguatkan potensi
lokal daerahnya dengan cara pemberian sarana pendidikan mulai dari peralatan,
buku-buku, gedung sekolah dan transportasi itu sendiri agar trcipta iklim ilmu
pengetahuan yang baik sehingga mampu mencetak generasi muda yang unggul. Hal
ini penting karena kita tentunya tidak mau di kemudian hari Pangandaran akan
dikemudi dan dikendalikan oleh teknokrat dari daerah lain yang mungkin saja
punya kepentingan probadi atau kelompok sebagai motif yang ia gunakan untuk
dapat menolong Kabupaten Pangandaran pada awalnya. Harapannya orang-orang dari
Pangandaran lah yang akan menciptakan iklim pembangunan yang kondusif dengan
tetap tidak menghilangkan kecirian daerah Pangandaran itu sendiri serta
menyeimbangkan antara warisan leluhur berupa lahan dan hutan serta alam yang
asri dan penguatan sector ekonomi melalui upaya industrialisasi dan penggunaan
instrument berbasis teknologi.
Selain
itu, ketika masyarakat sudah tahu sector apa yang akan menjadi senjata unggulan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut maqka harus dibuat
daftar anggaran pembelanjaan dan pengembangan yang tentunya dititikberatkan
pada sector-sektor yang dirasa unggul tadi. Tak lupa, penguatan infrastruktur
merupakan hal yang juga harus diperhatikan pertama kali. Tanpa infrastruktur
yang memadai seperti jalan yang bagus untuk memfasilitasi pengunjung objek
wisata di Kabupaten Pangandaran maka orang-orang akan enggan untuk dating dan
menikmati waktu liburan mereka di Pangandaran karena pelayanan yang kurang
memuaskan.
3.
Law Enforcement sebagai upaya mengatasi premanisme, dan konflik kepentingan
Melihat
kekhawatiran akan maraknya penggelapan dana APBD yang akan dikucurkan ke
Pangandaran dalam jumlah yang besar, perlu disadari bahwa hal tersebut hanya
akan terjadi ketika tidak ada payung hukum yang jelas yang mengatur bukan lagi
dalam skala nasional namun juga lokal. Tidak boleh sampai ada kasus korupsi
yang muncul pada masa awal pembentukan Kabupaten Pangandaran karena hal itu
akan sangat merusak kredibilitas daerah Pangandaran serta mengurangi
kepercayaan rakyat sekaligus kepercayaan Negara sendiri karena Negara merupakan
lembaga yang secara langsung mengawasi praktek penggunaan dan pengalokasian
dana di level daerah untuk menjalankan fungsi otonomnya. Sistem pengelolaan dan
perbendaharaan yang apik, dalam hal ini menyangkut urusan administrasi, untuk
benar-benar ditempatkan orang yang mampu dan memiliki catatan yang baik selama
ia bekerja. Namun, Provinsi Jawa Barat telah kemudian menginstruksikan kepada
pejabat sipil Kabupaten Ciamis yang kemudian daerahnye beririsan dengan daerah
yang sekarag telah dipisahkan untuk mengurus segala berkas-berkas dan pendirian
kantor utama pemerintahan. Tak hanya itu, mobilisasi pun akan dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Ciamis terhadap sejumlah empat ratus orang lebih untuk
membantu di kantor pemerintahan masa awal Kabupaten Pangandaran agar bisa
tercipta kondisi yang stabil dan terbiasa terlebih dahulu sebelum akhirnya
melanjutkan fungsi otonom kea rah yang lebih bersifat lokal.
Bukan
hanya dalam hal APBD saja namun pada permasalahan tentang premanisme yang
sempat di singgung di bagian rumusan masalah. Premanisme adalah sekumpulan
orang yang kemudian melakukan tindakan yang bersifat bebas tetapi digunakan
untuk mengintimidasi atau mengambil keuntungan dari hasil orang lain dengan
terkadang ditempuh melalui cara yang anarkis. Masyarakat Pangandaran sudah
sangat geram dengan ulah dari truk-truk pasir besi yang membawa muatan dengan
tonase yang berlenbihan sehingga membuat jalan di sepanjangang Pangandaran –
Batukaras rusak parah dan hampir tidak bisa dilewati oleh kendaraan biasa
selain truk dan mobil muatan besar lainnya. Kondisi seperti ini telah kemudian
membuat rakyat di Pangandaran sengsara karena perekonomian bisa dibilang hampir
mati karena rusaknya insfrastruktur jalan. Ini bisa dilihat dengan fakta bahwa
dalam jangka waktu beberapa bulan terakhir objek wisata Pangandaran dan
batukaras sepi pengunjung, kebanyakan para pedagang setempat menjelaskan bahwa
pengunjung malas jika harus menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan
membuat kesal untuk sampai di Pangandaran. Distribusi produk pun menjadi lebih
sukar dari biasanya dimana pasar tradisional sebagian ditutup karena sulitnya menyalurkan
barang dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang terhitung cepat.
Masyarakat
pernah memberontak kepada para penguasa dan pengusaha yang telah mengakibatkan
kerusakan yang besar pada jalan-jalan di Pangandaran akibat eksploitasi pasir
besi yang diangkut oleh truk bertonase
tinggi yang dikirim dari Tasikmalaya, Ciamis, dan Cilacap. Ada anggapan bahwa
para pengusaha ini tidak ingin mengambil jalur utama karena takt diperiksa izin
produksi pasir besinya. Hal ini disebabkan oleh tidak jelasnya penambangan
pasir besi yang dilakukan di Tasikmalaya Selatan karena eksploitasi terus
dilakukan namun masyarakat menikmati hasilnya sangat sedikti sekali. Dalam
kondisi seperti ini, rakyat lah yang kemudian dikorbankan oleh keadaan,
dikorbankan oleh kepentingan beberapa pihak semata yang hanya ingin meraup
keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika masyarakat memberontak dan menghentikan
truk-truk tersebut agar tidak melewati jalan-jalan di Pangandaran lagi,
alih-alih mundur, truk-truk ini malah kemudian dipersenjatai preman-preman yang
mampu menggertak warga dan memukul mundur warga yang awalnya bersifat keras
menolak adanya penggunaan jalur pasir besi tersebut. Bahkan polisi pun tidak
bisa mengatasi masalah ini.
Pemekaran
daerah itu sendiri merupakan perwujudan dari Asas Desentralisasi yang
sebagaimana dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004. Saya berpendapat bahwa apabila
Pemekaran Kabupaten Pangandaran itu terealisasikan, tidak menutup
kemungkinan-kemungkinan akan timbul permasalahan-permasalahan terhadap pelaksanaan
otonomi daerah apabila mengacu pada asas dan sistem otonomi yang kita kenali.
Adapun permasalahan – permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Pangandaran
dalam proses desentralisasi ini adalah :
1.
Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah
satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada
alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup
untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus
membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan
skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan
karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah
kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola
peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan
pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
2
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
Desentralisasi
adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola
hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi
daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari,
memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari
padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional
yang bersifat strategis.
Desentralisasi
diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara
keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan
peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan
pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
3
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
Bermula
dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan
pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua
undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada
pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan
lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan
tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di
tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur. Setiap bupati dan walikota
memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas
kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme
kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan
legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang
baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan
gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik
pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah
atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat
langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda
dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa
pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
4.
Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah
Sejak
diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan
amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan
mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah.
Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi,
misi dan program desentralisasi. Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat
dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas yang di
miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah hanya dapat
berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya baik,dalam arti
mentalitas maupun kapasitasnya. Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena
manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi
sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh sebap itu kualitas
mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya
melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi
daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
- Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
- Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah
- Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
5. Korupsi
di Daerah
Fenomena
lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke
daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak
pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar
bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif
untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada
sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota
Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan
alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus
ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran
seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan
kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik
yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan
tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka. Sumber
praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga
sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara
bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas
yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Ada
gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal
yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai
akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama
dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten
/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten
/kota.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah bahwa dengan menyadari
banyaknya masalah yang akhirnya ditimbulkan setelah Kabupaten Pangandaran
mengabil keputusan untuk memekarkan diri dari kabupaten Ciamis maka masyarakat
Pangandaran ataupun khalayak umum akan mengetahui tantangan-tantangan
pembangunan dan turut serta dalam upaya global untuk menciptakan pembangunan
yang efektif yaiitu pembangunan yang berbasis kesejahteraan masyarakat. Dari
empat masalah utama yang telah diutarakan, yakni, potensi penyalahgunaan dana
APBD, belum adanya pemerintahan aktif, konflik kepentingan, dan lemah dan
terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di Pangandaran terdapat tiga
alternative atau saran penyelesaian yang ditawarkan, yang pertama adalam
penguatan efektivitas birokrasi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, kompetensi
lokal sebagai dasar membangun daerah, dan law enforcement untuk mengatasi
premanisme serta penyalahgunaan dana.
Pada
lingkup otonomi itu sendiri harus diperhatikan bahwa isu pembangunan yang
krusial bukan pada penekanan bagaimana akhirnya setiap daerah berlomba-lomba
untuk memekarkan diri tapi lebih kepada bagaimana pemisahan diri suatu daerah
didasarkan betul-betul pada pertimbangan kesejahteraan masyarakat yang lebih
terjamin dan kehidupan yang lebih layak bagi masyarakat. Tak lupa, keinginan
untuk menjadi daerah yang mandiri juga harus dibekali dengan kesadaran bahwa
Indonesia adalah satu dan akan tetap satu sampai akhir hayat. Kesatuan inilah
yang harus dipegang teguh oleh setiap pilar bangsa dan terus diterapkan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai bentuk implementasi pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar