Selasa, 21 April 2015

Desentralisasi Kabupaten Pangandaran


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Prinsip desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU No.32/2004, pemerintah daerah dan masyarakat di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat laju pembangunan daerah.Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia menitikberatkan pada levelkabupaten/kota dirasakan sudah cukup tepat dengan pertimbangan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari karya tulis ini antara lain :
a.    Mengetahui pengertian desentralisasi
b.    Bagaimana penerapan desentralisasi di kabupaten pangandaran
c.    Apa saja permasalahan - permasalahan yang timbul dengan adanya desentralisasi


BAB II
KERANGKA TEORI

2.I. Konsep Otonomi Daerah
            Otonomi daerah tidak lepas dari konsep desentralisasi, karena otonomi adalah salah satu perwujudan dari desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dalam  Encyclopedia of Social Sciences yang dikutip Sumaryadi (2005 : 43), menjelaskan bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah “the legal self-sufficiencyndan actual independence”. Namun demikian pelaksanaan otonomi tetap dalam batas koridor yang tidak melampaui wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah. Hal ini sesuai dengan pandangan Ryass Rasyid (2002 : 32) yang menyatakan bahwa otonomi daerah bukanlah merupakan hak dari masyarakat dan pemerintah daerah, melainkan kewajiban daerah dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional.
            Jadi pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Pendapat di atas sejalan dengan pengertian otonomi daerah menurut UU No.32/2004 yang menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikan suatu daerah otonom adalah daerah yang self suffiency, self authority,  dan self regulation to its laws and affairs dari daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence.
            Antara desentralisasi dan otonomi daerah memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya dikemukakan oleh Ryaas (2002 : 35) yaitu dalam tataran konsep desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya memiliki tempatnya masing-masing. Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect  (aspek politik kekuasaan), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun demikian dilihat dari konteks sharing of  power (berbagi kekuasaan), dalam prakteknya di lapangan, kedua istilahtersebut berbicara mengenai otonomi daerah,  tentu akan menyangkut pernyataan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah.Sesuai dengan pendapat Sumaryadi (2005 : 16) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling menentukan dan bergantung antara desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasilah yang melandasi suatu daerah dapat dikatakan otonom. Otonomi daerah tidak akan ada jika tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan didaerah. Jadi teori desentralisasi merupakan dasar pijakan otonomi.Untuk konteks Indonesia, maka otonomi daerah menjadi pilihan yang tepat. Menurut Ryaas (2002 : 41) dengan mengatakan bahwa:
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, mungkin merupakan satu-satunya kebijakan yang paling besar peluangnya untuk sukses. Ini didasarkan pada adanya suatu komitmen reformasi yang diterima secara nasional didukung perangkat hukum yang jelas dan komitmen awal yang sangat kuat, serta diterima secara luas oleh pemerintah daerah, partai politik, organisasi masyarakat dan kaum intelektual bahkan pemuka agama.
Di sisi lain, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi (Sarundajang, 2005 : 34). Dari berbagai pemahaman tentang otonomi daerah tersebut beliau menyimpulkan sebagai :
1)    Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom;
2)    Daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar  batas wilayahnya;
3)    Daerah tidak boleh mencanpuri urusan rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
4)    Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain.Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada dasarnya memiliki tujuan dalam memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Berdasarkan ide hakiki yang terkandung dalam konsep otonomi, sehingga Sarundajang (2002 : 35) juga menegaskan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah meliputi 4 aspek :
1)    Dari segi politik adalah mengikut sertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan untuk daerah sendiri, maupununtuk mendukung politik kebijakan nasional;
2)    Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkat daya gunadan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan;
3)    Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat melalui upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat untuk mandiri;
4)    Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat.











BAB III
PEMBAHASAN

Setelah Kabupaten Pangandaran secara resmi memekarkan diri dengan Parigi sebagai pusat pemerintahan dan jumlah kecamatan sebanyak sepuluh kecamatan, Kabupaten Ciamis berkurang wilayahnya dan sekarang menjadi batas utara Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Tasikmalaya di batas barat, Samudera Hindia di batas selatan, dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) di batas timur. Meskipun sudah disetujui sebagai kabupaten baru, namun pemerintahan belum berjalan di Pangandaran, belum ada bupati atau pelaksana eksektif di puncak hierarki pemerintahan Kabupaten Pangandaran. Dalam Bagian Kesatu, Peresmian Daerah Otonom Bary dan Pelantikan Pejabat kepala Daerah, Pasal 9, disebutkan bahwa peresmian Kabupaten Pangandaran dan pelantikan Pejabat Bupati Pangandaran dilakukan oleh Menteri dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 9 (Sembilan) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan. Sebelum Bupati dan Wakil Bupati Pangandaran secara definitive dan konkret terpilih maka tonggak pemerintahan daerah sementara akan dipegang oleh pegawai negeri sipil berdasarkan usul dari Gubernur Jawa Barat. Tata cara penataan ruang pun harus distandarkan dan mengikuti acuan tata ruang kota nasional dan rencana tata ruang yang diputuskan provinsi Jawa Barat maupun tata ruang yang diterapkan di kota-kota terdekat.
Menjadi sebuah kota/kabupaten yang baru saja memekarkan diri merupakan hal yang tidak mudah tetapi juga tidak boleh dijadikan sumber ketidakberdayaan dan ketidakmampuan. Kemandirian suatu daerah akan terlihat kemudian pada bagaimana rakyat memilih pemimpinnya dan gotong royong dalam membangun Kabupaten Pangandaran. Namun begitu, tentu ada masalah -masalah utama yang lumrah maupun yang sifatnya sangat khusus dihadapkan kepada masyarakat Pangandaran saat ini, diantaranya:
Kabupaten Pangandaran yang sudah kemudian diundangkan pengesahannya sampai saat ini masih belum menerima kucuran dana bak dari Kabupaten Ciamis maupun Provinsi Jawa Barat karena dari laporan warga Batukaras, Pangandaran, yang tekah berhasil dihimoun adalah bahwa dana APBD baru akan dikirimkan dalam jangka waktu empat bulan.
Jumlah teknokrat yang ada di Kabupaten Pangandaran bisa dibilang sangat sedikit. Sebagai pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Pangandaran lebih dikenal khalayak luas sebagai objek wisata utama di Provinsi Jawa Barat, baik potensi laut dan wisata laut maupun cagar alam dan hutan lindung yang ada di wilayah Kabupaten Pangandaran. Hal ini membuat sector pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia yang tidak begitu dikembangkan secara komprehensif dan stimulatif sehingga membuat kapasitas berpikir sistem masyarakat tidak begitu mumpuni. Terlebih lagi, kemajuan bidang teknologi merupakan salah satu factor globalisasi yang cepat merambah daerah sebagai salah satu isu pembangunan juga tidak secara berkesinambungan diiringi oleh kemapanan intelektual sumber daya manusianya.
Dalam Undang-undang pengesahan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat juga disertakan penjelasan mengenai kucuran dana yang akan diturunkan kepada Kabupaten Pangandaran untuk menjalankan pemerintahan. Dikatakan bahwa dana APBD yang akan diberikan kepada Kabupaten Pangandaran merupakan sebagian dana APBD Kabupaten Ciamis dan APBD Provinsi Jawa Barat sehingga jumlah dana yang diberikan akan sangat besar. Permasalahannya adalah apakah masyarakat di Pangandaran sudah siap dan bagaimana sistem pengelolaan oleh masyarakat itu sendiri mengingat akan tindak korupsi yang makin merajalela bukan hanya di level pusat namun sudah jauh merambah ke sendi-sendi pemerintahan lokal.
Konflik kepentingan antara pebisnis pasir besi dengan warga Pangandaran “Pemerintah dikalahkan Premanisme” Seperti yang disebutkan dalam situs Regional Investment, Direktorat Pengembangan Potensi daerah BKPM, Kabupaten Tasikmalaya merupakan potensi sumber daya alam pasir besi yang sangat besar di Indonesia dan situs ekploitasi tersebut memang baru sejak 2012 ditemukan dan digunakan. Dilansir oleh situs BKPM, di lokasi Cipatujah dan Cikalong, Tasikmalaya, tersedia cadangan 4.200.000 pasir besi di Cipatujah dan 2.400.000 ton pasir besi di Cikalong. Melihat potensi yang luar biasa melimpah ini, banyak sekali pengusah ayang kemudian berlomba-lomba mendapatkan izin legal eksploitasi pasir besi di Tasikmalaya Selatan. Namun setelah dirasa justru menimbulkan banyak kerugian, pasir besi sementara ditutup oleh pemerintah tasikmalaya karena tidak jelas siapa yang bekerja untuk siapa dan kepada siapa pasir besi dijual, atau pertanyaan tentang kenapa pemasukan daerah justru tidak meningkat signifikan padahal eksploitasinya berlebihan? Masalahnya adalah Kabupaten Pangandaran ada di tengah-tengah konflik kepentingan para penguasa dan pengusaha ini yang mengirim truk-truk pasir besinya dengan tonase yang tidak karuan untuk berbondong-bondong melewati jalan utama jalur selatanm Pangandaran sehingga akibatnya jalanan sangat rusak. Warga sekitar tidak punya kekuatan untuk melawan para penguasa yang berlimpah uang ini karena tiap kali warga berontak maka truk-truk ini akan diboikot dan dihentikan supaya tidak melewati jalur Pangandaran lagi, namun keadaan justru makin memburuk karena bukannya mengalah namun para pengusaha pasir besi itu kemudian malah mengirimkan preman-preman sebagai serigala yang menentang dan menakuti warga agar truk-truk bisa lewat kembali dan dalam hal ini polisi pun tidak berdaya.
Pada kondisi seperti ini, kita bisa melihat bagaimama Kabupaten Pangandaran justru makin dirundung masalah setelah memekarkan diri dari Kabupaten Ciamis. Bukan suatu hal yang mudah bagi para petinggi di Pangandaran untuk bisa keluar dari sekelumit masalah yang dihadapkan tepat didepan muka. Namun, menilik pada optimisme otonomi daerah yang sifatnya terus berkembang dan berproses maka patut rasanya ada kritik terhadap pembangunan yang dilaksanakan di Pangandaran, Provinsi Jawa Barat, dan Indonesia secara luas.
Sebagai upaya untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diungkapkan pada halaman sebelumnya, ada beberapa alternative jalan kaluar yang bisa diaplikasikan dalam pengembangan Kabupaten Pangandaran, dan seluruh daerah secara nasional. Beberapa langkah berikut juga merupakan sebuah bentuk kritik terhadap pelaksanaan pembangunan di Indonesia dan isu-isu yang berkaitan, diantaranya:
1.      Efektivitas birokrasi untuk kesejahteraan masyarakat
Dalam sebuah sistem ketatanegaraan, birokrasi merupakan sebuah kontribusi besar dalam upayanya mengatasi situasi sulit penyelenggaraan Negara oleh pemerintah. Hal ini meliputi fungsi-fungsi birokrasi, antara lain, fungsi administrasi, fungsi kebijakan, artikulasi kepentingan, legitimasi rejim dan menjaga stabulitas pemerintahan. Hubungan antara birokrasi dengan kesejahteraan masyarakat itu sendiri adalah pada bagaimana kemudian efektivitas brokrasi diwujudkan melalui proses politik yang dituangkan dalam agenda maupun dokumen politik. Birokrasi dari sumbernya, Yunani, merupakan segala sesuatu yang diselesaikan di atas meja. Dari segi definisi, kita bisa ambil kesimpulan bahwa sesugguhnya birokrasi menarik garis tegas yang memisahkan antara orang yang berpikir dan bertindak sistematis serta radikal dengan orang yang tidak tersistem. Birokrasi baik level pusat maupun lokal yang baik adalah yang mampu melakukan pendekatan terhadap sistem kinerja outcome yang kemudian menguntungkan dan menjunjung kesejahteraan masyarakat. Dalam birokrasi itu sendiri dikenal erat yang namanya raintai komando yang memperjelas siapa berhak memberi instruksi kepada siapa dan siapa yang mengeksekusi di lapangan dan siapa yang melaporkan seluruh kegiatan pengurusan sebuah Negara.
Birokrasi pun harus bisa menjamin bahwa tindakan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan sesuah dengan nilai-nilai dan pasal yang sudah ditetapkan dalam UUD NRI 1945. Di manapun elemen birokrasi itu berada dan bekerja, sistem yang dijadikan sebagai acuan adalah pilar-pilar berbangsa dan bernegara dan mengacu juga kepada tujuan Negara yang telah dengan sangat jelas dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Birokrasi harus menjamin keutuhan NKRI dengan tetap berpegang teguh pada niat awal para pendiri bangsa ini, untuk mempersatukan seluruh Indonesia.
Jajaran birokrasi dalam suatu Negara, terlebih lagi dalam sebuah daerah yang baru saja memisahkan diri, maka akan sangat penting untuk menerapkan birokrasi yang baik dengan masing-masing aparatur mengetahui fungsi kelembagaan masing-masing dan tugas pokok pokoknya sehingga prinsip check and balances bisa diimplementasikan dengan baik dan fungsi control antara pemerintah (legislative, eksekutif, dan yudikatif) itu tetap ada dan ditunjukkan kepada rakyat agar pemerintah memiliki integritas yang tidak dipandang sebelah mata saja. 
2. Kompetensi lokal sebagai dasar pembangunan daerah
Suatu elemen masyarakat dalam sebuah tatanan kehidupan sosial di suatu daerah sudah sepatutnya mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sebagai upaya untuk mengembangkan dan mempertahankan potensi daerah sebagai nilai jual utama sebuah daerah otonom baru. Masing-masing individu merupakan agen yang akan berpengaruh bagaimana sebuah daerah mengambil dan menetapkan sebuah kebijakan yang digambarkan sebagai kebijakan pro-rakyat.
Perkembangan ekonomi yang juga merupakan salah satu isu terkait pembangungan merupakan hal yang juga harus diperhatikan oleh sebuah daerah otonom baru, p[erlu diperlihatkan keberdayaan dan integritas suatu daerah otonom dalam produk barang dan jasa daerah tersebut yang dimaksudkan untuk pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Budaya demokrasi yang dibentuk pun harus berdasarkan nilai moral yang dikandung dalam prinsip-prinsip berkehidupan masyarakat dalam suatu wilayah. Acapkali prinsip itu didasarkan kepada sentuhan sosial-budaya yang memang diturunkan dan diteruskan dari nenek moyang terdahulu sampai generasi masa kini. Melihat kepada budaya dan karakter sosial masyarakat Pangandaran yang menggambarkan dirinya sebagai sebuah masyarakat yang terpenuhi atau mampu memenuhi kebutuhannya sendiri merupakan suatu hal yang membangkitkan optimisme akan jalannya otonomi daerah di Kabupaten Pangandaran,
Tentu saja Kabupaten Pangandaran tidak sembarangan dan main-main ketika pada akhirnya Pangandaran memutuskan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis. Potensi wisata dan alam yang dimiliki oleh Pangandaran merupakan tonggak utama perekonomian masyarakat di Pangandaran selain dari sector perikanan dan kelautan itu sendiri. Masyarakat harus paham betul dan mengenali karakteristik masyarakat itu sendiri berdasarkan kondisi geografis tempat tinggal maupun sifat egosentrisme masyarakat sunda itu sendiri yang lebih mementingkan ‘hirup sauyunan’ atau secara bersama-sama dan saling gotong royong agar dapat menjalankan seluruh potensi yang sangat besar tersedia di Kabupaten Pangandaran tersebut.
Meskipun ada optimisme, namun masyarakat Pangandaran tetap harus menguatkan potensi lokal daerahnya dengan cara pemberian sarana pendidikan mulai dari peralatan, buku-buku, gedung sekolah dan transportasi itu sendiri agar trcipta iklim ilmu pengetahuan yang baik sehingga mampu mencetak generasi muda yang unggul. Hal ini penting karena kita tentunya tidak mau di kemudian hari Pangandaran akan dikemudi dan dikendalikan oleh teknokrat dari daerah lain yang mungkin saja punya kepentingan probadi atau kelompok sebagai motif yang ia gunakan untuk dapat menolong Kabupaten Pangandaran pada awalnya. Harapannya orang-orang dari Pangandaran lah yang akan menciptakan iklim pembangunan yang kondusif dengan tetap tidak menghilangkan kecirian daerah Pangandaran itu sendiri serta menyeimbangkan antara warisan leluhur berupa lahan dan hutan serta alam yang asri dan penguatan sector ekonomi melalui upaya industrialisasi dan penggunaan instrument berbasis teknologi.
Selain itu, ketika masyarakat sudah tahu sector apa yang akan menjadi senjata unggulan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut maqka harus dibuat daftar anggaran pembelanjaan dan pengembangan yang tentunya dititikberatkan pada sector-sektor yang dirasa unggul tadi. Tak lupa, penguatan infrastruktur merupakan hal yang juga harus diperhatikan pertama kali. Tanpa infrastruktur yang memadai seperti jalan yang bagus untuk memfasilitasi pengunjung objek wisata di Kabupaten Pangandaran maka orang-orang akan enggan untuk dating dan menikmati waktu liburan mereka di Pangandaran karena pelayanan yang kurang memuaskan.
3. Law Enforcement sebagai upaya mengatasi premanisme, dan konflik kepentingan
Melihat kekhawatiran akan maraknya penggelapan dana APBD yang akan dikucurkan ke Pangandaran dalam jumlah yang besar, perlu disadari bahwa hal tersebut hanya akan terjadi ketika tidak ada payung hukum yang jelas yang mengatur bukan lagi dalam skala nasional namun juga lokal. Tidak boleh sampai ada kasus korupsi yang muncul pada masa awal pembentukan Kabupaten Pangandaran karena hal itu akan sangat merusak kredibilitas daerah Pangandaran serta mengurangi kepercayaan rakyat sekaligus kepercayaan Negara sendiri karena Negara merupakan lembaga yang secara langsung mengawasi praktek penggunaan dan pengalokasian dana di level daerah untuk menjalankan fungsi otonomnya. Sistem pengelolaan dan perbendaharaan yang apik, dalam hal ini menyangkut urusan administrasi, untuk benar-benar ditempatkan orang yang mampu dan memiliki catatan yang baik selama ia bekerja. Namun, Provinsi Jawa Barat telah kemudian menginstruksikan kepada pejabat sipil Kabupaten Ciamis yang kemudian daerahnye beririsan dengan daerah yang sekarag telah dipisahkan untuk mengurus segala berkas-berkas dan pendirian kantor utama pemerintahan. Tak hanya itu, mobilisasi pun akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Ciamis terhadap sejumlah empat ratus orang lebih untuk membantu di kantor pemerintahan masa awal Kabupaten Pangandaran agar bisa tercipta kondisi yang stabil dan terbiasa terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan fungsi otonom kea rah yang lebih bersifat lokal.
Bukan hanya dalam hal APBD saja namun pada permasalahan tentang premanisme yang sempat di singgung di bagian rumusan masalah. Premanisme adalah sekumpulan orang yang kemudian melakukan tindakan yang bersifat bebas tetapi digunakan untuk mengintimidasi atau mengambil keuntungan dari hasil orang lain dengan terkadang ditempuh melalui cara yang anarkis. Masyarakat Pangandaran sudah sangat geram dengan ulah dari truk-truk pasir besi yang membawa muatan dengan tonase yang berlenbihan sehingga membuat jalan di sepanjangang Pangandaran – Batukaras rusak parah dan hampir tidak bisa dilewati oleh kendaraan biasa selain truk dan mobil muatan besar lainnya. Kondisi seperti ini telah kemudian membuat rakyat di Pangandaran sengsara karena perekonomian bisa dibilang hampir mati karena rusaknya insfrastruktur jalan. Ini bisa dilihat dengan fakta bahwa dalam jangka waktu beberapa bulan terakhir objek wisata Pangandaran dan batukaras sepi pengunjung, kebanyakan para pedagang setempat menjelaskan bahwa pengunjung malas jika harus menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan membuat kesal untuk sampai di Pangandaran. Distribusi produk pun menjadi lebih sukar dari biasanya dimana pasar tradisional sebagian ditutup karena sulitnya menyalurkan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang terhitung cepat.
Masyarakat pernah memberontak kepada para penguasa dan pengusaha yang telah mengakibatkan kerusakan yang besar pada jalan-jalan di Pangandaran akibat eksploitasi pasir besi yang diangkut oleh truk  bertonase tinggi yang dikirim dari Tasikmalaya, Ciamis, dan Cilacap. Ada anggapan bahwa para pengusaha ini tidak ingin mengambil jalur utama karena takt diperiksa izin produksi pasir besinya. Hal ini disebabkan oleh tidak jelasnya penambangan pasir besi yang dilakukan di Tasikmalaya Selatan karena eksploitasi terus dilakukan namun masyarakat menikmati hasilnya sangat sedikti sekali. Dalam kondisi seperti ini, rakyat lah yang kemudian dikorbankan oleh keadaan, dikorbankan oleh kepentingan beberapa pihak semata yang hanya ingin meraup keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika masyarakat memberontak dan menghentikan truk-truk tersebut agar tidak melewati jalan-jalan di Pangandaran lagi, alih-alih mundur, truk-truk ini malah kemudian dipersenjatai preman-preman yang mampu menggertak warga dan memukul mundur warga yang awalnya bersifat keras menolak adanya penggunaan jalur pasir besi tersebut. Bahkan polisi pun tidak bisa mengatasi masalah ini.
Pemekaran daerah itu sendiri merupakan perwujudan dari Asas Desentralisasi yang sebagaimana dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004. Saya berpendapat bahwa apabila Pemekaran Kabupaten Pangandaran itu terealisasikan, tidak menutup kemungkinan-kemungkinan akan timbul permasalahan-permasalahan terhadap pelaksanaan otonomi daerah apabila mengacu pada asas dan sistem otonomi yang kita kenali. Adapun permasalahan – permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Pangandaran dalam proses desentralisasi ini adalah :
1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
2     Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
3    Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur. Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan  otonomi daerah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi. Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya baik,dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya. Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
  1. Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
  2. Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah
  3. Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
5.  Korupsi di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka. Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten /kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.








BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah bahwa dengan menyadari banyaknya masalah yang akhirnya ditimbulkan setelah Kabupaten Pangandaran mengabil keputusan untuk memekarkan diri dari kabupaten Ciamis maka masyarakat Pangandaran ataupun khalayak umum akan mengetahui tantangan-tantangan pembangunan dan turut serta dalam upaya global untuk menciptakan pembangunan yang efektif yaiitu pembangunan yang berbasis kesejahteraan masyarakat. Dari empat masalah utama yang telah diutarakan, yakni, potensi penyalahgunaan dana APBD, belum adanya pemerintahan aktif, konflik kepentingan, dan lemah dan terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di Pangandaran terdapat tiga alternative atau saran penyelesaian yang ditawarkan, yang pertama adalam penguatan efektivitas birokrasi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, kompetensi lokal sebagai dasar membangun daerah, dan law enforcement untuk mengatasi premanisme serta penyalahgunaan dana.
Pada lingkup otonomi itu sendiri harus diperhatikan bahwa isu pembangunan yang krusial bukan pada penekanan bagaimana akhirnya setiap daerah berlomba-lomba untuk memekarkan diri tapi lebih kepada bagaimana pemisahan diri suatu daerah didasarkan betul-betul pada pertimbangan kesejahteraan masyarakat yang lebih terjamin dan kehidupan yang lebih layak bagi masyarakat. Tak lupa, keinginan untuk menjadi daerah yang mandiri juga harus dibekali dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu dan akan tetap satu sampai akhir hayat. Kesatuan inilah yang harus dipegang teguh oleh setiap pilar bangsa dan terus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai bentuk implementasi pembangunan. 



DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...