BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Letak
geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini,
menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah.
Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya
berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri
tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Hal tersebut
sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman terhadap keutuhan
NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di
Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya
suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang
harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat
suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut otonomi
daerah untuk mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkannya.
Oleh karena
itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang Otonomi Daerah dan
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
II. PERUMUSAN
MASALAH
þ Apa
pengertian Otonomi Daerah?
þ Apa
tujuan dari Otonomi Daerah tersebut?
þ Bagaimana
Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah?
þ Bagaimana
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia?
þ Apa
permasalahan atau kendala dalam penerapan Otonomi Daerah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari
bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat,1985).
Otonomi dalam makna sempit
dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan
sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu
daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan
daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan
daerah maka dapat dikatakan bahwa daerah sudah berdaya (mampu) untuk melakukan
apa saja secara mandiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak luar dan tentunya
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
Beberapa pendapat ahli yang
dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1.
F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2.
Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan
atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung
kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau
kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.
3.
Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh
Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk
rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar
pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi
daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas (kekuasaan atau wewenang) yang diserahkan
oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial
(sesunggguhnya atau yang inti) tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Berbagai definisi tentang
Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan dapat disimpulkan
bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa (inisiatif) sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
1.
Tujuan Otonomi Daerah
Menurut pengalaman dalam
pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik tidak dapat
menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di
daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem
Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri
dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri
yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim, flora-fauna,
adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan lain
sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah
untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya
masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis
aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya, maksud
dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas
pemerintahan.
Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah ini bersifat mandiri
dan bebas. Pemerintah daerah bebas dan mandiri untuk membuat peraturan
bagi wilayahnya. Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara
dan pemerintahan pusat.
Selain tujuan diatas, masih terdapat beberapa point sebagai tujuan dari otonomi
daerah. Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari
segi politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
a) Dilihat
dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk
menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan
hak-hak demokrasi.
b) Dilihat
dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
c)
Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar
perhatian lebih fokus kepada daerah.
d)
Dilihar dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Untuk mencapai tujuan otonomi
daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Para pejabat harus
memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya merupakan sebuah amanah
yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita semua juga
memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam rangka tercapainya tujuan otonomi
daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah karena
tidak mungkin dilakukan secara instan. Butuh proses dan berbagai upaya serta
partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan serta
kerjasama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan ini.
2.
Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar pencapaian tujuan
diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah
adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004) :
a)
Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah
diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
b)
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya,
adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
C.
Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah
Pembagian antara pusat dan
daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat
federalisme. Jenis kekusaan yang ditangani pusat hampir sama dengan yang
ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan
yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat,
seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi
pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya
manusia.
1. Kewenangan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan
umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
2. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu
perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang
alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah
provinsi dan perencanaan tata ruang provinsi.
3. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan
administratif, penegakan hukum dan bantuan penegakan keamanan, dan kedaulatan
negara.
4. Kewenangan yang tidak atau belum dapat
ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan
pernyataan dari daerah otonom kabuapaten atau kota tersebut.
Selain sebagai daerah otonom,
provinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani
provinsi atau gubernur akan mencakup kewenangan desentralisi dan dekonsentrasi.
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi
mencakup :
D.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan
dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Termasuk diharapkannya penerapan otonomi
daerah karena kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di
jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan.
Disamping itu pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata di setiap
daerahnya. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah,
seperti:Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan dan Sulawesi ternyata tidak
menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat serta kesenjangan
sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.
Otonomi Daerah memang dapat
membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur
diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan
yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang
tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk
masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan
potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan.
Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses
pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari
pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah
keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan
dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat
lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk
merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara
dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di
Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat
serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil
mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat
mereka.
Kedua contoh di atas
menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa dampak positif
bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat adanya
Otonomi Daerah di daerah terebut. Pada
tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan
kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya,
daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera
diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya
akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika
Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain karena kurangnya
kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan berlakunya
otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena
adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
E.
Permasalahan atau Kendala dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia.
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik
demokratis yang dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan
diberlakukannya Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999
sejak tanggal 1 Januari 2010, memang masih
ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat
permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada
melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya
disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :
1.
Pembagian Urusan
Contoh permasalahan yaitu dalam pembuatan kebijakan pusat
untuk daerah (FTZ). Permasalahan yang paling sering dialami oleh daerah adalah
banyaknya aturan yang saling tumpang tindih antara pusat dan daerah. Akibatnya
banyak aturan pusat yang akhirnya tidak bisa diterapkan di daerah.
Salah satu sebab itu karena pusat tidak memahami keadaan yang sedang dialami
daerah tersebut. Kondisi inilah yang diduga menjadi kendala utama belum maksimalnya
pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kepri ini. Daerah selalu menunggu aturan
dari pusat atau kebijakan dari pusat sehingga setelah ditunggu ternyata
hasilnya selalu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seharusnya hal
tersebut dapat diatasi apabila pembagian urusan antara daerah dan pusat
tidak tumpang tindih. Artinya, dalam pengusulan suatu konsep aturan daerah
harus terlibat langsung. Atau dengan kata lain sebelum pemerintah pusat membuat
aturan, daerah memiliki tugas seperti mengajukan konsep awal yang tidak
bertentangan dengan aturan yang ada di daerah. Sehingga pemerintah pusat dalam
menyusun aturan, memiliki landasan yang kuat mengacu pada konsep daerah.
2.
Pelayanan Masyarakat
Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada pemerintah daerah
memiliki sumber informasi dan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan
dengan sumber daya pada Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin diakibatkan oleh
sistem kepegawaian yang masih tersentralisasi sehingga Pemerintah Daerah
memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola Sumber Daya Manusianya
sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu daerah.
Sehingga pelayanan yang diberikan hanya standar minimum.
3.
Lemahnya Koordinasi Antar Sektor dan Daerah
Koordinasi antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan
dalam suatu kerjasama yang bersifat operasional tetapi juga koordinasi dalam
pembuatan aturan. Dua hal ini memang tidak serta merta menjamin terjadinya
sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi peraturan dan kebijakan
tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan
akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematisdan tidak
bertubrukan satu sama lain. Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai
Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai
Badan Legislatif Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan
sejajar dengan Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah. Masalah
seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri yang lebih
kuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh
masyarakat luas. Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif
dan eksekutif dalam menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap
dan pola tindak. Pola pikir yang harus sama adalah kita sadar terhadap apa yang
harus kita pertahankan dan kita upayakan, yaitu integritas dan identitas bangsa
serta berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuan bangsa. Pola
sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dan kontribusi
seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi dan
terkomunikasikan.
4.
Pembagian Pendapatan
UU 25/1999 pada dasarnya menganut paradigma baru, yaitu
berbeda dengan paradigma lama, maka seharusnya setiap kewenangan diikuti dengan
pembiayaannya, sesuai dengan bunyi pasal
8 UU 22/1999. Pada saat sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh
tentang tidak proporsionalnya jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima,
baik oleh Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Banyak daerah yang
DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji pegawai daerah dan pegawai eks kanwil,
Kandep/Instansi vertikal di daerah. Disamping itu, kriteria penentuan
bobot setiap daerah dirasakan oleh banyak daerah kurang transparan.
Kriteria potensi daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang
representatif secara langsung terhadap pembiayaan daerah. Dengan demikian
perhitungan DAU yang transparan sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU
25/1999 jo PP 104/2000 tentang perimbangan keuangan terutama pasal-pasal
yang menyangkut perhitungan DAU dan faktor penyeimbangan, kiranya perlu
ditata kembali. Kemudian, pembagian bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan
kurang mengikuti prinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan
pemberian kewenangan Kepala Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti
halnya dalam paradigma lama, melalui paradigma baru pun bagian daerah
selalu jauh dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial
(seperti: perkebunan, kehutanan, pertambangan umum dan sebagainya), sedangkan
disektor minyak dan gas alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian bagi
hasil di bidang ini perlu diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat bagian
yang proporsional sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.
5.
Anatisme Daerah (Ego Kedaerahan)
Sifat seperti ini sangat tidak baik jika ada disuatu
wilayah/daerah atau dimanapun, karena hal ini dapat menimbulkan kesenjangan
atau kecemburuan terhadap daerah-daerahlain.
Contoh pemasalahannya kejadian yang terjadi di daerah kabupaten Anambas
dalam penerimaan CPNS. Bagi pelamar CPNS minimal mempunyai 1 ijazah yang
dikeluarkan oleh disdik kabupaten. Anambas baik SD, SMP, dan SMA. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa terlalu egoisnya suatu daerah yang mengutamakan putra daerah
untuk dapat menjadi CPNS dalam mengembangkan daerahnya sendiri sehinnga untuk
warga daerah lain tidak diberikan peluang untuk menjadi CPNS dan hal ini
juga dapat menimbulkan kerugian bagi warga Anambas karena dapat mengurangi pendapatan
mereka ( yang berjualan atau yang membuka tempat-tempat kos) Solusinya
sebaiknya dalam hal ini daerah Anambas tidak terlalu egois
dalam penerimaan CPNS ini. Sehingga warga lain yang bukan berasal dari
Anambas dapat bekerja dan dan bersaing demi memajukan daerah tersebut dan
membuka peluang bagi siapapun yang memiliki kemampuan dan skiil serta
pengetahuan mereka dalam berkopetensi untuk bersaing demi kebaikan dan
memajukan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatan untuk
penghasilan bagi warga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang dan yang
memiliki rumah-rumah kos. Jika dibandingkan dengan adanya fanatisme.
6.
Disintegrasi
Hal ini dapat menimbulkan perpecahan atau terganggunya
stabilitas keamanan nasional dalam penyelenggaraan sebuah negara. Hal ini dapat
disebabkan olek keegoisan suatu kelompok masyarakat atau daerah dalam
mempertahankan suatu pendapat yang memiliki unsur kepentingan-kepentingan
kelompok satu dengan yang lain. Yang dapat merugikan atau kecemburuan terhadap
kelompok-kelompok yang lain untuk mendapatkan hak yang sama sehingga dapat
memecahkan rasa persatuan dan kesatuan kita dan dapat menimbulkan berbagai
pertikaian dalam sebuah negara atau daerah tersebut. Contohnya: GAM, RMS, dan
lain-lain. Solusinya sebaiknya kita sebagai warga negara yang baik harusnya
tidak egois dalam mempertahankan suatu hak atau pendapat antara kelompok yang
satu dengan yang lain dapat menimbulkan pertikaian dan mengganggu keamanan
didaerah tersebut. Namun kita harus bersatu demi memajukan daerah atau negara
yang kita cintai.
BAB III
PENUTUP
Otonomi
daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggungjawab dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Hal itu bertujuan untuk mencegah pemusatan
kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi masyarakat.
Sehingga di Indonesia sudah mulai diterapkan Otonomi Daerah
Demikian
makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai
Otonomi Daerah sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami
menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak
terkecuali dengan makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar