Kamis, 14 September 2017

kumpulan cerpen (singkat)




UJUNG TOMBAK SEHATKU

Ketika ayam jantan berkokok subuh itu, aku tahu banyak aktifitas yang menungguku hari ini. Sekolah, ekstrakurikuler, belum lagi les privat yang menyita waktuku beradu tawa dengan ayah dan ibu. Sambil menggeliat aku masih sesekali memejamkan mata,  “Indahnya kalau setiap pagi aku lepas dari rutinitas bersepeda menuju sekolah, belajar, dan belajar”, gumamku dalam hati. Sambil terbangun dan bergegas menuju kamar mandi sebelum kakakku masuk mendahului, aku mengingat apa yang perlu kubawa. Setibanya aku di ruang makan, mataku terbelalak karena hanya aku yang ada disana. Sementara Ibu tengah memasak didapur. Tidak seperti biasanya pemandangan yang tampak kali ini. Sampai pertanyaan ibu menyadarkanku. “Tumben hari Minggu begini kamu rajin bangun pagi Edo?” Hah! Ternyata hari memang tengah libur, dan aku sudah dibangunkan dengan guyuran air yang begitu dingin efek hujan semalaman.
Kecewa. Tapi aku mencoba berpikir lain. Alangkah baiknya kalau hari ini aku berlibur, bermain sepuasnya, sambil olahraga pagi. Rasanya sudah lama sekali kebiasaan itu tidak aku jamah lagi. “Ibu, aku pergi ke taman kota saja ya.” Saat ibu mengangguk, itu artinya izin sudah kudapatkan. Aku bergegas mengambil sepeda gunung hadiah dari ayah saat aku juara melukis. Sambil membawa bekal makanan ringan aku berangkat menuju balai kota. Taman kota Surabaya sekarang sudah jauh berbeda dari sepuluh tahun lalu, saat aku masih kecil. Diusiaku yang sudah belasan tahun akhirnya aku dapat menikmati satu hari dimana ada area aman dari ancaman polusi udara. Ya. Polusi udara merupakan musuh buatku. Andai saja semua bisa kembali pada zaman dulu, zaman kerajaan. Dimana semua kendaraan tidak ada dan hanya tersedia dokar yang ditarik oleh kuda. Menyenangkan dan tanpa asap-asap yang mengganggu pernapasan dan membawa penyakit. Tapi tanpa kemajuan peradaban jelas itu bukan sebuah kehidupan. Mencoba menikmati apa yang ada saat ini mungkin lebih baik sambil tetap menjaga alam.
Bicara soal menjaga alam, aku sambil menengok sebagian besar taman yang sudah diperbaiki, dibenahi, dan dipercantik oleh Bu Risma. Walikota terbaik Asia itu ternyata memang peduli pada dampak lingkungan akibat pembangunan dan pengrusakan disana-sini.Surabaya yang dikenal sebagai kota pahlawan agaknya memang memiliki kondisi yang cukup memprihatinkan beberapa tahun lalu. Selain polusi dari asap motor, banyak pabrik yang didirikan diwilayah ini. Semakin sesak rasanya. Udara sejuk pun, tak ada. Pemerintah kota Surabaya saat ini sedang gencarnya membangun semua infrastuktur yang ramah bagi warganya. Mulai dari taman kota, ruang terbuka hijau, mangrove dan beberapa fasilitas umum menarik lainnya. “Aku bangga jadi warga Surabaya”, celotehku sendiri.
Pandanganku sedikit terganggu saat beberapa petugas kebersihan membersihkan sisa sampah dipinggir jalan. Sampah bekas adik-adik yang kebetulan mengadakan pertemuan, entah apa yang dibicarakan mereka saat itu. Aku hanya sempat memandangi sesekali mata mereka melirik sekeliling dan sambil memainkan lirikan itu mereka membuang bungkus plastik bekas es yang dikonsumsi. Disinilah aku tergugah, kalau saja laskar kuning itu tidak ada. Kemana perginya sampah-sampah itu? Sungai? Banjir akibat dari kelalaian manusia. Aku menghela napas panjang, semerbak bau sampah masih mampir ke hidungku. “Busuuukkk”, aku bergegas mengambil sepedaku dan menuju rumah karena hari sudah semakin siang.
Melewati tingkah pola masyarakat di perkotaan membuatku rindu suasana desa. Ya, aku kangen dengan kakek dan nenek. Belum lagi persawahan yang hijau dengan rimbun daun dan bunyi kerbau yang membajak. Pemandangan yang hanya aku dapat saat mudik lebaran saja. Aku tetap bersyukur hidup di kota, dengan pembangunan yang semakin menunjukan tingginya kualitas sumber daya manusia di Indonesia.  Dari ujung jalan menuju perumahan tempat tinggalku, ramai sekali. Kukira ada kampanye atau semacamnya, mengingat tahun ini adalah tahun pilkada serentak. Ada ayah, kakak, dan Ibu juga ada disana sambil membawa teko berisi minuman.
Semakin bangga saja aku tinggal di tempat ini. Warga yang cepat tanggap serta lingkungan yang akan selalu bersih karena warganya peduli sampah. Alhasil, sepertinya tidak ada banjir di wilayah rumahku. Rombongan kampung berjalan menuju taman yang berjarak sekitar dua kilometer. Dipasangnya bak sampah tersebut secara permanen agar terhindar dari pencurian. Maklum kawasan kota sebesar ini pasti rawan hal semacam itu. Aku ikut menyaksikan dan membantu ayah memasang paku di sudut-sudut bak sampah untuk dikaitkan dengan papan. Senangnya jika semua warga seperti ini, sosialisasi dimana-mana, membangun silahturahmi dengan tetangga. Apalagi dengan kegiatan positif. Mulai saat ini aku akan lebih peka dan belajar bahwa semua hal yang baik harus segera direalisasikan. Memulainya dari diri sendiri itu lebih baik, daripada hanya mengomel dan mencaci dalam hati saat ada prilaku orang yang tidak sesuai dengan keinginan kita. TAMAT
SATU ORANG SATU POHON

Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.
Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan.
Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang. Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.
Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek ‘basah’ dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.
Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.
Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.
Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.
TAMAT

Kisah Seorang Penjual Koran
Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari menjadi dingin. Alam pun masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalur yang masih lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjaja Koran, yang bernama Ipiin.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di area agen koran berasal dari lebih dari satu penerbit. “Ambil berapa Ipiin?” bertanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai, ia pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu dikerjakannya bersama gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Ipiin tengah mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan bersama sebuah benda. Benda selanjutnya adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda apakah itu? Ia ragu-ragu dan menjadi kekhawatiran gara-gara akhir-akhir ini kerap berlangsung peledakan bom dimana-mana. Ipiin cemas benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia coba membuka bungkusan tersebut. Tampak di didalam bungkusan itu terkandung sebuah kardus.
“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya didalam hati. Ipiin langsung membuka bungkusan bersama hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, gara-gara di dalamnya terkandung kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya didalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin dan kalung yang ada di didalam kardus. Ia makin terperanjat ulang gara-gara ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan punya Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya didalam hati.
Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan maling tadi malam. Karena pencuri selanjutnya terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya terjatuh. Ipiin bersama langsung memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan apa yang berlangsung dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison gara-gara perhiasan punya istrinya telah kembali. Ia terlalu bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur.
Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison menambahkan modal kepada Ipiin untuk membuka kios di rumahnya. Kini Ipiin tidak ulang harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia memadai tunggu kastemer datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum membawa pekerjaan. Itulah akhir berasal dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.








Sahabat Terbaik
“Persahabatan bukan hanya hanyalah kata, yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci, yang ditoreh diatas dua hati, ditulis bersama dengan tinta kasih sayang, dan suatu sementara akan dihapus bersama dengan tetesan darah dan barangkali nyawa”.. ***
“Key… sini dech cepetan, saya ada sesuatu buat kamu”, panggil Nayra suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau saya gak sanggup melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.
Keynaya Wulandari, begitulah nama gadis tadi, walaupun lahir bersama dengan keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menekuni bahtera hidup tak pernah padam. Lahir bersama dengan kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak sanggup melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya sanggup melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, bersama dengan keterbatasannya, Key selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.
Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Keynaya tidak pernah absen capai peringkat dikelas, apalagi guru-gurunya termotivasi bersama dengan pembawaan pantang menyerah Key.
Sejak baru berusia 3 tahun, Keynaya sudah bersahabat bersama dengan anak tetangganya yang bernama Nayra Amrita, Nayra anak seorang direktur bank swasta di kota mereka. Nayra cantik, pinter dan secara fisik Nayra nampak sempurna.
***
Seperti sore ini, Nayra sudah nangkring di tempat tinggal Key. Dia berbincang-bincang bersama dengan Key, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Key, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar seluruh orang tau bakat kamu”, kata Nayra terhubung pembicaraan.
“Hah”, Key mendesah pelan selanjutnya terasa bicara, “Seandainya saya sanggup Nay, pasti sudah saya lakukan, tapi apa daya, saya ini gak sempurna, jika saya mendapat donor kornea, dan saya sanggup melihat, barangkali saya puas dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Keynaya bersama dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberi tambahan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Nayra akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah jadi kendala di dalam hubungan persahabatan antara Nayra dan Keynaya, kemana pun Nayra pergi, dia selalu mengajak Key, jikalau sekolah tentunya, sebab sekolah mereka berdua kan berbeda.
Sedang asik-asiknya dua kawan akrab ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Nayra mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa Nay, sakit??” bertanya Keynaya.
“Oh, ngga saya gak apa-apa Key, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Nayra sambil tersenyum.
“Minum obat ya Nay, saya gak senang kamu kenapa-napa, nada berkata Key terdengar begitu khawatir.
“aku ijin pulang pernah ya Key, senang minum obat” ujar Nayra sambil berpamitan pulang.
Di kamarnya yang terkesan terlalu elegan, nuansa coklat mendominasi di tiap-tiap sudut ruangan, Nayra terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama kembali usiaku di dunia ini?? Berapa lama kembali malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu?” erang hati Nayra.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan selanjutnya dan tidak akan berumur lama kembali sungguh

Semangat Roti Isi Keju

Bayangan itu menghampiri Vania dengan perlahan. Lagi-lagi bayangan itu datang. Dengan ketakutan, Vania tetap berlari menghindari berasal dari bayangan itu. Ia tetap berlari dan berlari tanpa arah. Yang mutlak cuma satu, ia jauh berasal dari bayangan itu.
“Pergi kamu!! Pergii..!!” Vania tetap berteriak. Vania terbangun. Mimpi itu selalu datang. Untuk kesekian kalinya mimpi itu datang menghampirinya. Ia tak paham apa maksud berasal dari mimpi itu. Ia risih dengan kedatangan mimpi itu yang tetap datang dalam tidurnya.
“Vania, ayo bangun, selanjutnya mandi, udah pagi,” ucap Mama Vania berasal dari luar kamar Vania. “Iya, Ma,” sahut Vania. Vania beranjak berasal dari tidurnya dan menuju ke kamar mandi. “Syalalalaa…” Vino, kakak Vania, mengalunkan sebuah nada. Diambilnya selembar keju dan meletakkannya salah satu dua roti tawar.“Siapa cepat, dia dapat!” Vania menyita roti isikan keju kakaknya itu secepat kilat. “Vaniaa..!! Lu pagi-pagi udah bikin rese’! balikin gak roti gue??” ancam Vino yang jengkel kepada adiknya itu. Vania tak menggubris ancaman kakaknya itu, ia melahap roti isikan keju yang tersedia ditangannya.“Nyam nyam nyaamm, delicious…” Vania menyindir sang kakak. Mama Vania yang baru saja keluar berasal dari dapur sesudah itu bertanya kepada ke-2 anaknya itu, “Kalian itu tersedia apa sih? Pagi-pagi udah bertengkar.”
“Itu Ma, Vania noh, roti isikan kejuku diambil,” adu Vino, selanjutnya ia menjulurkan lidahnya ke arah Vania. “Bisanya cuma ngadu doang! Huh,” gumam Vania. “Vania, jangan begitu mirip kakakmu ini, kasihan dia,” ujar Mama Vania. “Tapi Maa…” “Sudahlah, anda jangan ngebantah terus. ‘Kan tetap tersedia banyak roti dan keju, jadi anda bisa bikin roti isikan sendiri ‘kan?” bertanya Mama Vania keras. “Bisa, Ma…” ucap Vania pelan. “Ya sudah, jangan jahil kembali mirip kakakmu.” Vania duduk dengan raut muka kesal. Berkacak pinggang, bibir manyun, dan menatap sang kakak dengan tatapan kesal, itu yang Vania lakukan. Dengan tenangnya, Vino menyita lebih dari satu lembar keju dan dua potong roti, sesudah itu dijadikan satu dan ia lahap. Di tengah-tengah pas ia melahap roti isinya, Vino menjulurkan lidahnya kembali ke arah Vania. Vania pun semakin kesal.
***
“Ndin, gue nyontek tugas Matematika lu! Cepetan!!” “Rickooo… balikin sisir guee!!” “Ara, ayah anda hakim yaa??” “Eh eh, yang no 2 ini gimana caranya?” “Fa, lu belum bayar pulsa, cepetan bayar!” “Dindaa, ke kantin yuk?” “Fi, turut gue ke kelas sebelah yuk? Biasaa… apel, haha,” “Yang dingin, yang dingin, yang dingin…” “Eh, gue tempo hari ketemu si dia loh. Dia kembali jalur ama kakaknya, dia blablabla…” “Ela, tersedia pacar lu noh di depan!”
“Aku tempo hari diputusin Gio, Dit…huhuhu,”
“Aku galauu…”
“Eh, yang belum bayar nasi pecel gue, cepetan bayar!!”
Hiruk pikuk di kelas VIII-2 terdengar paham dan ramai dan juga meriah berasal dari luar kelas. Vania tetap berjalan dengan hati yang tetap kesal dengan sang kakak. Lagi-lagi ia perlu kena ceramah berasal dari sang mama karena Vino.




Ketika Sahabat Menjadi Pengkhianat

Riuh angin berhembus menjatuhkan daun. Daun daun jatuh yang tak pernah menyalahkan angin. Jalan jalan dipenuhi daun. Aku bersekolah hari ini seperti biasanya. Aku memiliki seorang sahabat bernama Fanya. Semua cerita tentang Aku sudah cukup banyak. Dia adalah orang yang selalu menjadi tempat curhatku selama ini. Aku menyukai seorang lelaki dengan tubuh yang tinggi, putih, serta ganteng. Tentunya menjadi salah satu laki-laki populer di sekolahku.
Semua tentang dia kuceritakan kepada sahabatku Fanya. Dia selalu memberiku semangat setiap hari dalam mendapatkan Reno si cowok populer di sekolah. Aku memang tidak terlalu cantik. Aku sempat tidak yakin dengan perasaanku ini. Karena aku takut, jika cinta ini bertepuk sebelah tangan, hanya patah hati yang kuterima. Fanya juga memiliki seorang cowok yang ia kagumi. Hingga suatu hari ada peristiwa yang tak pernah aku lupakan.
Hari demi hari Aku memperhatikan tingkah laku Fanya. Aku merasa janggal. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Yang tak kuketahui. Aku mencoba mencari tahu. Fanya sempat bilang kepadaku bahwa ia sempat mengobrol via chat dengan Reno. Aku mencoba tak berburuk sangka kepada Fanya, namun pikirian ini tetap menggerayangi otakku. Hingga suatu hari Aku dan Fanya pergi untuk hangout bersama. Kami berdua sering dibilang anak kembar oleh teman-teman. Aku dan Fanya berada di sebuah cafe. Aku meminjam ponsel miliknya. Aku berpikir berjuta kali untuk melakukan hal ini. Aku mencoba membuka chat antara Fanya dan Reno di ponsel. Kubaca dengan runtut percakapan demi percakapan.
Perhatian. Fanya perhatian kepada Reno. Sontak Aku kaget melihat percakapan itu. Aku yang suka pun tak pernah berani untuk memulai percakapan dengannya. Aku bingung saat ini. Aku tak berhak cemburu atas semua itu, namun Aku juga sakit hati.
Di sekolah, aku hanya diam memikirkan semuanya. Hingga Fanya sadar. “Kamu kenapa Via, kok dari tadi diem mulu nggak kaya biasanya.” “Haa.. eng enggak papa” jawabku agak kaget. Aku ingin sekali menanyakan hal itu kepadanya. “Cerita aja Vi, ada apa, ada masalah sama Reno ya?”. “Nggak kok, nggak papa”. “Jujur aja vi jujur sama aku”, mohon Fanya kepadaku. “Kamu suka ya sama Reno?” tanyaku dengan spontan. “haa.. ma maksud kamu apa Via?”, jawab Fanya agak terbata bata. “Udah ngaku aja nggak papa kok, Aku udah tau, aku liat chat kamu sama Reno”, ujarku. “Oke via, maafin aku, aku sebenernya suka sama Reno”, jelas Fanya
Sejak kejadian itu, Aku menjaga jarak dengan Fanya. Meski beda rasanya jika hari tanpa ada Fanya. Aku masih tak percaya akan semua itu. Satu bulan ini, Aku tak berbincang dengan Fanya walaupun terkadang ia mengajakku untuk pergi. Tapi Aku menolaknya. Aku mungkin harus merelakan demi sahabatku, walau terlalu sulit untuk dilakukan. Walau begitu, Fanya masih tetap menjadi sahabat terbaikku. Akan tetapi, aku harus menjaga jarak dengannya.
Suatu hari, Aku mendengar berita bahwa Fanya dan Reno baru saja jadian. Itu menjadi pecutan bagiku dalam hati. Aku pikir ia tak akan melakukan itu, karena ia mengerti bagaimana perasaanku jika mereka jadian. Dari sana, Aku berpikir mungkin Sahabat terbaikku selama ini bisa saja menjadi musuh terburukku dan pengkhianat bagi hatiku. Aku berharap memiliki teman yang tulus bersamaku.





Kisah Lebah dan Bunga

Suatu hari ada lebah yang bernama popo. Ia merasa lapar. Ia berkeliling taman untuk mencari madu. Sebenarnya ia sudah menemukan bunga yang di dalamnya banyak sari madu, tetapi bunga bunga itu menolak popo karena popo tubuhnya kecil dan menjijikkan.
Krrryyyykkkkk, suara perut popo.
“Ahhhh, aku merasa lapar” kata popo lemas.
“Hai popo mengapa engkau lemas?” tanya bunga matahari.
“Aku kelaparan, matahari” jawab popo lemas.
“Kalau begitu ambil saja maduku” tawar matahari.
“Benarkah, engkau tidak jijik kepadaku wahai matahari?” tanya popo tidak percaya.
“Tidak, ayo ambil maduku supaya engkau tidak kelaparan” kata bunga matahari.
“Baiklah terimakasih bunga matahari” ucap popo.
“Sama sama” jawab bunga matahari.
Popo pun segera mengambil madu bunga matahari. Popo pun kenyang.
“Ngomong ngomong namamu siapa wahai lebah?” tanya bunga matahari.
“Namaku popo, kalu kamu?” tanya popo.
“Aku Mhita” jawab mitha.
“Salam kenal mitha” ucap popo manis.
“salam kenal juga popo” mitha tersenyum.
“Sudah dulu ya mitha, besok aku ke sini lagi aku takut dimarahi oleh ratu lebah” pamit popo sambil melambaikan tangan.
“Dah popo” jawab mitha sambil melambaikan tangannya (tangannya daun ya teman).
Keesokan harinya…
“Hai mitha apa kabar, mitha! Kenapa kau?” tanya popo saat melihat mitha layu.
“Aku sakit popo” jawab mitha tertunduk.
Tiba tiba popo ingat bahwa ia pernah menolongnya saat ia kelaparan.
“Tenang mitha aku akan mengambilkan air untukmu” ucap popo.
Popo segera menuju sungai dekat taman, dan mengambil air untuk mitha. Untung popo membawa ember jadi ia bisa menampung air menggunakan ember itu. Sedikit demi sedikit popo menyiramkan air ke tubuh mitha. Mitha pun kembali segar.
“Terimakasih popo” ucap mitha tersenyum.
“Sama sama mitha” jawab popo tersenyum juga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...