KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah
SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Politik Hukum Agraria pada
Program Studi Ilmu Pemerintahan dengan ini penulis mengangkat judul “Penyelesaian
Sengketa Tanah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis,
\
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.
Tujuan penulisan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A.
Pengertian sengketa tanah............................................................................ 2
B.
Cara penyelesaian sengketa tanah............................................................... 5
C.
Kekuatan pembuktian dalam
penyelesaian sengketa tanah......................... 6
D.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah................................ 7
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 8
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.
Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan
hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk
penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang
akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka
dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut
timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan
wanprestasi.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini,
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat
sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa
tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala
besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian sengketa
tanah
2. Menjelaskan cara penyelesaian
sengketa tanah
3. Menjelaskan kekuatan pembuktian
dalam penyelesaian sengketa tanah
4. Menjelaskan hal-hal yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah
disamping memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar saya mampu memahami
tentang sengketa tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan
muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara
makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah yang meningkat dengan
cepat.
2.
Kondisi masyarakat yang semakin
sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan
kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa
dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan;
perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat
diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat
dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah
atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :NTimbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.
B. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan
Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang
berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di
bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi
dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk
itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa
macam antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang
menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari
masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini
akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan
tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data
yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang
jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut
telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah
yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan
hukumnya.
Agar kepentingan masyarakat
(perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim
tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah
Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari
keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah
sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan
Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri
Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No
16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di
daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan
penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan
Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan
status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak
hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain
asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di
dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang
bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan
ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha
negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan
adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar
hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/
badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut
langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan
langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan
sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan
diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
yang bersangkutan.
C. Kekuatan Pembuktian dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan
membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan
Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1.
Kekuatan pembuktian formil.
Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
2.
Kekuatan pembuktian materiil.
Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam
akta itu telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat. Membuktikan
antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang
ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan
bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah
dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan
suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan
Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.
Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat
tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2.
Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah
bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai
dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang
pengadilan.
D. Hal – Hal yang Menyebabkan
Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut
Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi
tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang
dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang
tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik
untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan
distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani
atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga
murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah
bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang
sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan
persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena
sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama.
Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhir-akhir ini kasus pertanahan
muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara
makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah yang meningkat dengan
cepat.
2.
Kondisi masyarakat yang semakin
sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.
Iklim keterbukaan yang digariskan
pemerintah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan
Pertanahan Nasional) yaitu : Kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang
berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di
bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang
menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi
tanah yang tidak jelas
2. Distribusi kepemilikan tanah yang
tidak merata.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
John Gilissen , Frits Gorle dan
Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2005
Lili Rasjidi dan B. Arief
Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994
W. Friedmann, Teori dan
Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II),
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono, Hukum Agraria
Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria
& Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar