PERANG DIPONEGORO
Latar
Belakang Perang Diponegoro
Pada awalnya, perang ini
hanya bersumber dari persoalan internal keraton. Pada Juli 1825, Patih Danu
reja IV yang merupakan antek Belanda yang setia, telah memerintahkan para
pejabat Kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan. Pembuatan jalan tersebut
ternyata menembus tanah milik Diponegoro, yang juga masih kerabat Kesultanan
Yogyakarta, dan neneknya di Tegalrejo. Bahkan tanpa sepengetahuannya, pembuatan
jalan tersebut sampai menggusur pemakaman milik keluarga Diponegoro. Hal ini
jelas mendapatkan perlawanan keras dari Diponegoro.
Untuk
itu, pangeran Diponegoro kemudian memerintahkan pegawainya untuk mencabut semua
patok yang tertancap sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danu reja IV.
Tidak hanya itu, Diponegoro juga mengumumkan protes keras dan menuntut supaya
Patih Danu reja IV dipecat dari jabatannya. Tetapi, A.H. Smisaerr dan menekan
sultan untuk tetap mepertahankan Patih Danu reja IV. Suasana tegang inilah yang
menjadi pemicu meletusnya Perang Diponegoro. Sebenarnya, permasalahan ini
hanyalah penyulut dari sekian banyak persoalan yang menjadi latar belakang
perang Diponegoro.
Menurut
Abdul Qadir Djaelani (1999), masalah utama dari Perang Diponegoro adalah karena
adanya campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan
kesultanan Yogyakarta, yang kemudian tersirat dalam kebijakan dan peraturan
kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan, sah atau tidaknya kedudukan
seorang sultan harus mendapat persetujuan dari penjajah. Kondisi ini diperparah
lagi dengan disingkirkannya orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan
pihak Belanda. Akibatnya beberapa pangeran yang disingkirkan tersebut, termasuk
Diponegoro, kemudian memberontak dan secara terang-terangan melakukan perlawanan,
yaitu menentang setiap kebijakan kesultanan dan Belanda.
Kronologi Perang Diponegoro
Pangeran
Diponegoro menyusun barisan dengan nama Perlawanan Rakyat terhadap penjajah.
Dalam barisan ini, perlawanan difokuskan pada gerakan rakyat agar perjuangannya
bersifat meluas dan lama. Bentuk perlawanan ini dipilih Diponegoro untuk
menghindari tuduhan Belanda bahwa ia hanya ingin merebut kekuasaan, meski
akhirnya tuduhan tersebut tetap dilanyangkan kepadanya.
Dalam
perjuangan tersebut, Diponegoro menggunakan langkah jitu. Ia mengeluarkan
seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang
penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat.
Seruan itu, sebagai mana dikutip dari Abdul Qadir Djaelani (1999), antara lain
berbunyi, "Saudara-saudara ditanah dataran! Apabila saudara-saudara
mencintai saya, datang lah bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa
saja yang mencintai saya, datang lah segera dan bersiap-siap untuk
bertempur."
Seruan
ini kemudian disebarluaskan di seluruh tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah
dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Akhirnya,
daerah Selarong penuh sesak karena dipenuhi oleh pasukan rakyat. Perang untuk
menentang penguasa kolonial Belanda meledak dan membakar hampir seluruh tanah
Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.
Akhirnya,
peperangan pun tidak dapat dihindarkan. Pasukan belanda kewalahan menghadapi
pasukan Diponegoro selama bertahun-tahun lamanya. Dalam beberapa pertempuran,
pasukan Belanda selalu kalah. Hal ini membuat pasukan Belanda dari Madura dan
daerah-daerah lain berdatangan untuk membantu pasukan di Yogyakarta yang sedang
terserang. Akibatnya, pasukan Diponegoro banyak yang menderita kekalahan dan
gugur di medan perang.
Akhir Perang Diponegoro
Dalam
menangani perlawanan Diponegoro tersebut, lagi-lagi Belanda menggunakan siasat
yang licik. Diponegoro disergap setelah sebelumnya di iming-iming untuk
melakukan perundingan. Pada posisi tidak siap perang, pangeran diponegoro serta
pengawalnya dengan mudahnya di sergap, dilucuti dan dimasukan ke dalam
kendaraan khusus residen. Kendaraan ini sudah terlebih dahulu disiapkan oleh
pihak Belanda. Dengan pengawalan yang ketat, pasukan Belanda kemudian membawa
pangeran Diponegoro menuju Ungaran.
Akhir
Perang Diponegoro - Diponegoro kemudian akan dibawa ke Batavia, sebelum itu dia
dibawa terlebih dahulu ke kota Semarang. Tepat pada tanggal 3 Mei tahun 1830,
pangeran Diponegoro dan stafnya dibawa ke daerah pembuangan, yaitu di Manado.
Pangeran diponegoro beserta 19 orang termasuk keluarga dan stafnya juga ikut
dibuang. Kemudian pada tahun 1834 pangeran Diponegoro dan yang lainnya
berpindah ke daerah pembuangan lain, yaitu Makassar. Setelah menjalani masa
tawanan selama 25 tahun, Pangeran Diponegoro kemudian meninggal pada tanggal 8
Januari tahun 1855 tepatnya saat berusia 70 tahun.
Perang Puputan / Perang Bali - Perlawanan Rakyat Bali (1846 - 1849)
Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Rakyat Bali
1. Pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai Bali. Yaitu berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja Klungkung, Bandung, dan Buleleng dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaannya berada di bawah kekuasaan negara Belanda. Raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
2. Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah menjadi tradisi rakyat Bali. Hak Tawan Karang adalah hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.
Jalannya Perlawanan
Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di Buleleng bagian timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan. Buleleng dapat menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.
1. Pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai Bali. Yaitu berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Perjanjian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja Klungkung, Bandung, dan Buleleng dinyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaannya berada di bawah kekuasaan negara Belanda. Raja memberi izin pengibaran bendera Belanda di daerahnya.
2. Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah menjadi tradisi rakyat Bali. Hak Tawan Karang adalah hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.
Jalannya Perlawanan
Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di Buleleng bagian timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan Belanda. Belanda menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan. Buleleng dapat menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.
Raja Buleleng (Bali) beserta
penulisnya. Dalam rangka perlawanan terhadap Belanda, raja-raja Bali
melancarkan hukum adat hak tawan karang. Dan dalam perang melancarkan semangat
puputan.
I Gusti Ketut
Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat perlawanan
ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang bernama
desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di
lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat
strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk ”supit urang”. Benteng
dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu (bahasa Bali : sungga)
untuk menghambat gerakan musuh. Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun
gagal karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat
pertahanan supit urang laskar Jagaraga. I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh
laskarnya setelah memperoleh kemenangan, bertekad untuk mempertahankan benteng
Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi kehormatan kerajaan Buleleng dan
rakyat Bali.
Akhir perlawanan Rakyat Bali
Pada 1849, Belanda kembali mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka menyerang Benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga menyerang Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung. Raja dan rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Perang yang dilakukan sampai titik darah peng habisan dikenal dengan puputan. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.
Pada 1849, Belanda kembali mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka menyerang Benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga menyerang Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung. Raja dan rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Perang yang dilakukan sampai titik darah peng habisan dikenal dengan puputan. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.