Rabu, 21 Desember 2016

HUBUNGAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH



HUBUNGAN PEMERINTAHAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH



ABSTRAK

Pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintahan nasional diberdayakan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan daerah. Oleh karena itu, antara pemerintah pusat dan daerah memiliki hubungan sistemik antara sub-sistem sehingga membentuk suatu sistem integral dari pemerintah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ditentukan dalam sistem pengawasannya yang bertumpu pada dua basis: hirarkis dan fungsional. Basis hirarki untuk menentukan sejauh mana otoritas yang lebih tinggi mengawasi pemerintah daerah tersebut disusun berdasarkan fungsional untuk menentukan sejauh mana departemen fungsional/departemen pemerintah sektoral dan lokal mengawasi umum. Berdasarkan pola pengawasan, maka ada empat model hubungan disebut oleh negara-negara di dunia ini dengan banyak varian. Empat model yang model Prancis, model Inggris, model Jerman, dan model Uni Soviet. Orde Baru di Indonesia menganut model Prancis, sementara pada Orde Reformasi lebih merangkul model Jerman.


Kata kunci : Hubungan pemerintah pusat dan daerah, Model Prancis, Model
                    Inggris, Model Jerman, dan Model Uni Soviet.


PENDAHULUAN
Pemerintah daerah adalah subdivisi pemerintahan nasional. Dalam negara kesatuan pemerintah daerah langsung di bawah pemerintah pusat, sedangkan dalam negara serikat pemerintah daerah di bawah negara bagian. Dalam negara kesatuan pemerintah daerah adalah dependent dan subordinat terhadap pemerintah pusat sedangkan dalam negara serikat pemerintah daerah adalah dependent dan subordinat terhadap negara bagian (Bhenyamin Hoessein,1993). Dengan demikian, baik dalam negara kesatuan maupun dalam negara serikat pemerintah daerah tidak lepas sama sekali dari sistem pemerintahan nasional. Pemerintah daerah hanya bagian atau subsistem dari sistem pemerintahan nasional. Karena pemerintah daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional, maka antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdapat hubungan antarpemerintahan yang saling terjalin sehingga membentuk satu kesatuan pemerintahan nasional.
Jika demikian, maka dalam suatu pemerintahan nasional terdapat dua subsistem: (a) subsistem pemerintahan pusat dan (b) subsistem pemerintahan daerah. Dalam subsistem pemerintahan daerah terdapat sub-subsistem pemerintahan daerah yang lebih kecil. Misal, di Indonesia terdapat subsistem pemerintahan pusat yang terdiri atas presiden dan para menteri. Di daerah terdapat sub-subsistem pemerintahan provinsi yang terdiri atas gubernur dan DPRD Provinsi dan sub-subsitem pemerintahan kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota bahkan sub-subsistem pemerintahan desa yang terdiri atas kepala desa dan badan permusyarawatan desa.
Jalinan antarsubsistem dan/atau antarsub-subsistem pemerintahan tersebut membentuk sistem pemerintahan nasional yang merupakan wahana untuk mencapai tujuan negara. Kondisi demikian akan tercapai manakala hubungan antarsubsistem tersebut dapat menghasilkan jalinan sistemik ketika subsistem dan sub-subsistem tersebut bekerja dan berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing secara serasi, selaras, dan harmonis. Jika ia berjalan secara centang perentang yang satu ke kanan yang satu ke kiri, tidak terkoordinasi dengan baik, tidak fokus pada tujuan yang telah ditetapkan, maka penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efisien yang pada gilirannya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat. Untuk dapat membentuk jalinan hubungan pemerintahan yang sistemik dengan hasil guna yang maksimal, setiap negara mengembangkan hubungan antarlembaga negara dan hubungan antarpemerintahan pada semua jenjang pemerintahan. Pada tingkat nasional diatur hubungan antarlembaga tingggi negara dan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Di daerah diatur hubungan antarlembaga daerah dan hubungan antarpemerintah daerah. Tata kerja dan mekanisme hubungan antarpemerintahan demikian diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan pelaksananya.

METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode peneltian kualitatif dengan menjabarkan sumber-sumber data sekunder untuk dianalisis dan diperbandingkan, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan peran wakil pemerintah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka yang terkait dengan topik yang akan dikaji. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis komparatif yang mencoba untuk mengkaji berbagai sistem pemerintahan dari berbagai negara untuk ditarik kesimpulan.

PEMBAHASAN
Menurut Humes IV (1991: 4-7) hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah ditentukan dalam sistem pengawasannya. Berdasarkan sistem pengawasan inilah terbentuk tata hubungan pemerintahan dalam suatu negara. Humes IV menjelaskan bahwa sistem pengawasan terhadap pemerintah daerah didasarkan pada dua dimensi: (a) control hierarchy, pengawasan hirarki dan (b) functional control, pengawasan fungsional. Humes IV menjelaskan kedua dimensi tersebut sebagai berikut:
One is the extent to which hierarchical control is essentially either inter-organizational or intra-organizational. Second is the extent to which such control is focused in a single agency or spread among many functional or specialized hierarchies.
Pengawasan hirarki adalah pola pengawasan yang spektrumnya mulai dari interorganizational, antarorganisasi, sampai ke intraorganisasi (intraorganizational). Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang spektrumnya mulai dari apakah pengawasan dilakukan oleh lembaga fungsional/sektoral (functional basis) ataukah dilakukan secara holistik (kementerian dalam negeri) oleh pemerintah. Pengawasan dilakukan oleh lembaga funsional artinya pengawasan terhadap pemerintah daerah dilakukan oleh agen departemen sektoral (field adminstration/agency) khususnya terhadap urusan-urusan yang menjadi bidang tugasnya. Pengawasan dilakukan secara holistik artinya pengawasan terhadap pemerintah daerah dilakukan oleh agen pemerintah yang bersifat general (general purpose adminisration/agency) atau yang dikenal dengan wakil  pemerintah pusat, misalnya oleh gubernur. Pola pengawasan interorganizational atau antarorganisasi artinya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terdapat pada daerah itu sendiri, terutama DPRD (pengawasan politik).
Di samping pengawasan politik oleh DPRD pemerintah daerah juga mendapat pengawasan dari LSM, pers, organisasi massa, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan yang berada di daerah tersebut. Pola ini memperlihatkan adanya keleluasaan yang besar pada pemerintah daerah dalam arti tidak mendapat pengawasan yang ketat dari otoritas yang lebih tinggi sehingga mempunyai ruang diskresi yang besar untuk mengembangkan otonominya. Pengawasan intraorganizational adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat karena pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintah pusat sehingga pengawasannya tidak lain adalah pengawasan internal semata (Bhenyamin Hoessein; 2005: 38).
Menurut pola pengawasan ini, pemerintah daerah tidak perlu diawasi oleh organisasi-organisasi di luar dirinya atau lembaga yang bertugas mengawasi jalannya pemerintah daerah seperti dewan, council, raad. Dalam pengawasan hirarki, titik beratnya adalah seberapa besar kepala daerah dan dewan yang dipilih rakyat itu mendapat pengawasan dari otoritas yang lebih tinggi. Di sini spektrumnya adalah bahwa pengawasan terhadap organ daerah otonom tersebut mulai dari pengawasan yang paling rendah, longgar, sampai pengawasan yang paling tinggi, sangat ketat.
Dengan peta ini Humes IV mencatat adanya empat variasi:
a. Interorganizational (regulation), yaitu: suatu sistem yang mengatur kepala daerah bertanggungjawab penuh kepada dewan. Kepala daerah tidak secara langsung bertanggungjawab kepada otoritas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak begitu ketat diawasi oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah lebih ketat diawasi oleh dewan dan organisasi-organisasi masyarakat di daerah. Contoh pemerintah daerah yang menganut sistem ini adalah Inggris.
b. Hybrid (Subsidiarization), yaitu: suatu sistem yang mengatur kepala daerah bertanggungjawab kepada dewan mengenai pelaksanaan urusan-urusan daerahnya, tapi juga bertanggungjawab kepada otoritas yang lebih tingggi mengenai pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Jadi, pemerintah daerah mendapat pengawasan dari dua arah: pertama, dari pemerintah pusat yaitu yang berkenaan tentang kebijakan yang berasal dari pemerintah pusat; dan kedua, dari dewan perwakilan daerah yaitu yang berkenaan tentang kebijakan daerah/urusan rumah tangganya sendiri. Contoh pemerintah daerah yang menganut sistem ini adalah Jerman.
c. Hybrid (Supervission), yaitu: suatu sistem yang mengatur kepala daerah bertanggungjawab kepada dewan untuk urusan-urusan rumah tangganya, tapi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ia juga mendapat pengawasan dari pemerintah pusat dan bertanggungjawab secara langsung kepada pemerintah pusat. Dalam sistem ini kepala daerah mempunyai fungsi ganda: satu sisi sebagai alat pemerintah daerah dan di sisi lain sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, ia mendapat pengawasan langsung dari pemerintah pusat. Contoh pemerintah
daerah yang menganut sistem ini adalah Perancis.
d. Intraorganizational (subordination) yaitu sistem yang mengatur kepala daerah adalah bagian dari hirarki pusat dan sepenuhnya sebagai bawahan pusat. Dalam sistem ini pemerintah daerah adalah kantor pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, semuanya diatur dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Contoh pemerintah daerah yang menganut sistem ini adalah Uni Soviet. Selanjutnya dalam pengawasan hirarki, titik beratnya terfokus pada seberapa besar pengawasan pusat terhadap pemerintah daerah dan kewenangan lokalnya diletakkan: apakah diletakkan pada kementerian pusat yang menangani masalah umum seperti kementerian dalam negeri atau wakilnya di daerah, atau disebarkan pada kementerian sektoral/fungsional atau agen-agen lapangannya di daerah secara sama rata.
Spektrumnya adalah mulai dari pengawasan yang diletakkan pada kementerian yang lebih umum sampai pada kementerian yang lebih fungsional/khusus. Berdasarkan peta ini, Humes IV mencatat adanya empat variasi juga:
a. More areal, yaitu: suatu sistem yang meletakkan kementerian pusat yang menangani masalah umum (kementerian dalam negeri) atau agennya di daerah, bertanggungjawab mengawasi badan pemerintah daerah yang bersifat umum (pemerintah daerah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota) dan mengkoordinir agen kementerian-kementerian fungsional. Kementerian fungsional memberitahukan tentang program-programnya di daerah kepada kementerian dalam negeri atau agennya tersebut khusunya yang berkaitan dengan kemajuan dan pengawasannya. Dalam sistem ini, kementerian dalam negeri dan wakilnya di daerah (landrat, gubernur, prefet) mempunyai peran pengawasan yang menonjol. Pejabat ini mengawasi pemerintah daerah dan mengkoordinir semua kepala instansi vertikal diwilayahnya. Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Republik Federasi Jerman.
b. Dual/areal, yaitu: suatu sistem yang meletakkan polit biro pusat partai  mengawasi secara penuh pemerintah daerah. Kementerian fungsional/agennya memberikan pelayanan daerah secara langsung. Dalam sistem ini lembaga yang berperan mengawasi jalannya pemerintah daerah adalah pejabat elit partai di pusat yang juga merangkap sebagai pejabat tinggi negara. Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Uni Soviet. Di negara ini Polit Biro Pusat Partai Komunis mempunyai kewenangan mengawasi pemerintahan daerah melalui struktur partai, biro-biro, yang tersusun secara hirarkis mulai tingkat pusat sampai tingkat yang paling bawah.
c. Dual/fungsional, yaitu: suatu sistem yang meletakkan kementerian sektoral/fungsional mengawasi program-program pelayanan untuk daerah yang bersangkutan sedangkan kementerian umum (dalam negeri atau wakilnya di daerah) mengawasi pelayanan umum. Dalam  mengawasi pelayanan umum tersebut, kementerian dalam negeri atau wakilnya di daerah juga mengawasi dan mengkoordinir pelaksanaan urusan-urusan rumah tangganya. Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Perancis.
d. More fungsional, yaitu: suatu sistem yang meletakkan kementerian sektoral/fungsional atau agennya mengawasi pelayanan yang diletakkan di daerah secara langsung. Kementerian dalam negeri atau agennya di daerah mempunyai fungsi penyelenggaraan rumah tangga daerah. Adapun peran kementerian dalam negeri (general purpose ministry/agency) dalam hal koordinasi dengan kementerian fungsional/sektoral relatif lemah. Jadi, dalam sistem ini peran instansi vertikal dari kementerian sektoral/fungsional dalam pengawasan terhadap daerah sangat kuat. Hampir semua kementerian fungsional/sektoral mempunyai instansi vertikal di daerah dan melakukan pengawasan terhadap program-program daerah. Negara yang melaksanakan sistem ini adalah Kerajaan Inggris.

1. Model-Model Administrasi Sistem Pemerintahan
a. Model Perancis
Negara Perancis dikenal dengan sistem administrasi pemerintahan yang sangat kuat dominasi pemerintah pusatnya. Akan tetapi, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerahnya tidak demikian. Perancis mengembangkan sistem adminstrasi yang kompleks. Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjalin dalam suatu jalinan yang terintegrasi dimana pemerintah pusat tetap mempunyai kontrol yang kuat pada semua tingkatan pemerintah daerah tapi daerah tetap mempunyai kebebasan menyelenggarakan urusan lokalnya. Pemerintah Daerah khususnya commune bertanggungjawab kepada DPRD, concei  municipal, tapi Kepala Daerahnya untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan otonomi daerahnya bertanggungjawab kepada DPRD sedangkan untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan tugas pemerintah Pusat bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. Pemerintah daerah (departement) dikepalai oleh prefet yang diangkat oleh pemerinah pusat dari fungsionaris departement yang paling cakap. Prefet adalah wakil pemerintah pusat sekaligus organ daerah otonom (department). Prefet bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. Prefet atas nama pemerintah pusat dapat membubarkan DPRD commune, conceil municipal dan dapat pula memberhentikan maire, kepala commune. Pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengawasi pemerintah daerah melalui wakil-wakilnya di daerah yang disebut dengan istilah tutelle. Melalui sistem pengawasan ini maire (kepala commune) tunduk pada prefet (kepala departement) dan prefet tunduk pada Menteri Dalam Negeri.
Sistem tutelle ini dibagi menjadi dua (Sarwata, 1981). Pertama, Tutelle atas organ-organ daerah otonom. Pengawasan ini ditujukan pada organ-organ daerah otonom seperti kepala daerah dan dewan daerah. Pemerintah pusat mengawasi tindakan kepala daerah dan dewan daerah. Jika pemerintah pusat menemukan bukti nyata bahwa kepala daerah dan/atau dewan daerah melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka pemerintah pusat dapat melakukan tindakan represif: memberhentikan sementara atau seterusnya kepada kepala daerah dan membubarkan dewan daerah. Jika pemerintah pusat membubarkan dewan daerah, maka daerah harus segera mengadakan pemilihan baru untuk mengisi kekosongan ini. Kedua, Tutelle atas kegiatan-kegiatan daerah otonom. Pemerintah pusat juga mengawasi kegiatan-kegiatan daerah otonom yang dituangkan dalam kebijakan daerah. Jika pemerintah pusat menemukan bukti nyata bahwa kebijakan daerah bertentangan kepentingan umum, kepentingan pemerintah pusat, kepentingan daerah yang lebih tinggi dan kepentingan antardaerah, maka pemerintah pusat dapat melakukan tindakan sebagai berikut: mencabut kebijakan yang bermasalah tersebut; membatalkan kebijakan yang bermasalah tersebut sebelum dijalankan; menunda pemberlakukan kebijakan yang bermasalah tersebut; mengganti kebijakan daerah yang bermasalah dengan kebijakan pengganti yang dibuat oleh pemerintah pusat atau wakilnya.

b. Model Jerman
Negara Jerman adalah negara yang berbentuk federal/serikat. Oleh karena itu, negara Jerman terdiri atas negara-negara bagian. Negara bagian disebut land. Dalam Land terdapat daerah-daerah otonom: county atau kreis dan gemeinde atau municipal. Jadi, pemerintah daerah yang terdiri atas county atau kreis dan municipal atau gemeinde berada dalam negara bagian, land. Dengan demikian, yang mengendalikan pemerintahan daerah di Jerman adalah negara bagian, bukan pemerintah federal/pusat. Sesuai dengan pasal 28 ayat 1 Konstitusi Republik Federal Jerman maka rakyat lander, county, dan municipal harus mempunyai dewan perwakilan yang dipilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.  Selanjutnya pasal 28 ayat 2 mengatur bahwa municipal mempunyai hak untuk menyelenggarakan semua urusan yang menjadi kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hak menyelenggarakan urusannya tersebut juga temasuk dalam bidang keuangan. County dan municipal menyelenggarakan urusan-urusan setempat berdasarkan kepentingan dan aspirasinya. County dan municipal menggodok kebijakan daerah secara demokratis yang selanjutnya dilaksanakan oleh kepala daerah dan dipertanggung-jawabkannya kepada dewan. 
Haschke (1998) menjelaskan bahwa municipal mempunyai kewenangan yang luas di bidang personal, organisasi dan administrasi, perencanaan, keuangan, dan pajak. Semua kewenangan ini merupakan hak municipal untuk melaksanakan dan mempertanggung-jawabkannya. Dalam wilayah ini pemerintah federal dan land tidak boleh membatasi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Humes IV (1991: 61) menjelaskan bahwa enam negara bagian menggunakan satuan administrasi wilayah (Regierungsbezirke) untuk mengkoordinir urusan-urusan lokal. Satuan administrasi ini adalah subdivisi administrasi kementerian dalam negeri. Ia dikepalai oleh pejabat (Regiurungsprasident) yang paling senior dari kepala-kepala wilayah tersebut. Satuan administrasi tersebut terdiri atas beberapa divisi yang bersangkut-paut dengan kementerian fungsional yang mempunyai kedekatan kerja.
Kementerian fungsional tersebut mempunyai beberapa mekanisme kontrol sebagai berikut: Pertama, menyediakan kebijakan pada instansi-instansi negara bagian, khususnya administrasi wilayah. Kedua, membuat standard-standard untuk staf municipal dan pejabat county. Ketiga, memberikan bantuan kepada kantor county dan municipal dengan  pegawai negeri sipil. Keempat, memberikan bantuan dana dengan persyaratan yang wajar. Kelima, dalam beberapa kasus memberikan tugas-tugas pada unit lapangan khusus yang berada di bawah pengendalian kementerian langsung. Jerman dikenal sebagai negara yang kuat sistem demokrasinya dan kuat pula institusi pemerintahannya. Oleh karena itu, di Jerman kebebasan individu sebagai bagian dari budaya liberalisme yang dianut bangsa barat pada umumnya diakomodasi dengan baik dalam sistem pemerintahan Jerman. Humes IV (1991; 60-61) menjelaskan bahwa Jerman sangat dikenal dengan prinsip subsidiarity dalam administrasi publiknya.

c. Model Inggris
Inggris adalah negara kesatuan, bukan federal. Sebagai negara kesatuan maka kedaulatannya berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat  membentuk pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerahnya berada langsung di bawah pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah sebagai kewenangannya secara rinci yang dikenal dengan ultravires doc-trine. Dengan model penyerahan urusan pemerintahan seperti ini maka daerah mengetahui persis urusan-urusan pemerintahan apa yang harus diselenggarakan. Berdasarkan pelimpahan kewenangan secara rinci inilah pemerintah daerah tidak boleh melampui kewenangan yang menjadi miliknya. Inggris menganut demokrasi parlementer. Pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri dari partai yang menang pemilu atau yang menguasasi mayoritas di parlemen. Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen bisa melakukan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri, jika dinilai melakukan kebijakan yang dinilai merugikan negara dan/atau rakyat atau melanggar peraturan perundang-undangan. Praktik pemerintahan daerah di Inggris mirip dengan praktik demokrasi parlementer pada tingkat nasional. Pemerintah daerah dikuasai oleh dewan perwakilan rakyat, council, yang dipilih oleh rakyat secara langsung.
Pemerintah daerah Inggris di mulai dari dewan yang dipilih secara langsung oleh warga county dan district. Dewan lalu memilih salah satu anggotanya menjadi mayor, kepala daerah. Kepala daerah menjalankan fungsi kepala daerah otonom dan fungsi seremonial. Dewan membuat kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya. Untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat tersebut dewan membentuk komisi dan subkomisi yang diberi kewenangan terbatas baik dalam jumlah maupun variasi urusan yang diembannya. commisioner-commisioner membentuk birokrasi lokal untuk melaksanakan kebijakan dewan secara teknis. Kepala daerah dan para commisioner baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama bertanggung jawab kepada dewan.

d. Model Uni Soviet
Uni Soviet sebelum terpecah menjadi negara-negara merdeka seperti sekarang adalah sebuah negara yang dikenal sebagai negara yang menerapkan demokrasi yang sentralistis dan dalam menerapkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menganut dual subordination  (Humes IV, 1991; 81). Meskipun mengklaim sebagai negara yang menganut paham demokrasi tapi dalam praktik Uni Soviet lebih sebagai negara diktator partai daripada sebuah negara demokrasi. Sebagai indikatornya Uni Soviet tidak mempunyai partai selain Partai Komunis dan tidak ada pemilihan yang diselenggarakan secara umum, bebas, dan rahasia. Pemilihan umum yang diselenggarkan hanyalah prosedur memilih orang-orang partai yang sudah ditentukan oleh polit biro, bukan memberi kesempatan kepada rakyat untuk menentukan pilihan berdasarkan aspirasi dan kepentinganya. Uni Soviet tidak mengenal wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas. DPR yang ada bukanlah wakil rakyat dalam arti yang sebenarnya tapi hanyalah badan penasihat pemerintah yang ditentukan oleh partai. Dalam rangka penciptaan masyarakat komunis rakyat dipaksa tunduk pada kekuasaan diktator proletariat yang dijalankan oleh Partai Komunis. Partai akan mengakhiri diktatoriatnya ketika masyarakat sudah sampai pada tahap memasuki masyarakat tanpa kelas: sama rasa dan sama rata. Akan tetapi, sampai Uni Soviet bubar tahapan tersebut tidak pernah terlampui sehingga rakyat tetap hidup dalam sistem diktator partai. Uni Soviet menganut partai tunggal yaitu partai komunis. Partai komunislah yang menentukan semua kebijakan negara dan pemerintahan. Partai komunis merupakan sumber kewenangan semua lembaga negara.

2. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia
a. Model Dual Supervision Rezim Orde Baru
Analisis hubungan pemerintah pusat dan daerah di Indoneisa dibatasi pada rezim Orde Baru dan rezim Reformasi. Hal ini dilandasi oleh fakta bahwa praktik pemerintahan daerah yang mapan dan lama terjadi pada masa Orde Baru dan baru dilakukan perubahan secara mendasar sejak rezim ini digantikan oleh rezim Reformasi. Rezim Orde Baru yang berkuasa mulai 1968 sampai dengan 1998 menyelenggarakan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan secara bersamaan yang satu melengkapi yang lain.
Menurut Undang-Undang ini, pemerintah daerah tersusun secara hirarkis dari pusat sampai ke desa/kelurahan dengan susunan sebagai berikut: pemerintah pusat, pemerintah provinsi daerah tingkat I, pemerintah kabupaten/ kotamadya daerah tingkat II, pemerintah wilayah kota administratif, pemerintah wilayah kecamatan,dan pemerintah desa/kelurahan. Pemerintah pusat terdiri atas Presiden dan DPR, pemerintah propinsi terdiri atas gubernur kepala daerah tingkat I dan DPRD Tingkat I, pemerintah kabupaten/kotamadya terdiri atas bupati/walikota kepala daerah tingkat II dan DPRD tingkat II, pemerintah wilayah kota administratif terdiri atas walikota administratif dan perangkatnya, pemerintah wilayah kecamatan, terdiri atas camat dan perangkatnya, pemerintah desa, terdiri atas kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), dan pemerintah Kelurahan terdiri atas lurah dan perangkatnya. Struktur pemerintahan menggunakan model prefektur terintegrasi untuk semua daerah otonom ditambah dengan wilayah administrasi murni dan satuan pemerintahan terbawah yang bersifat tradisional. Pemerintah daerah otonom (local self government) terdiri atas dua tingkat: 1) Daerah Tingkat I dan 2) Daerah Tingkat II. Bersamaan dengan pemerintah daerah otonom tersebut dalam wilayah yang sama juga berimpit pemerintah wilayah (local state government) dengan nomenklatur Pemerintah Provinsi untuk Daerah Tingkat I dan Pemerintah Kabupaten/Kotamadya untuk Daerah Tingkat II.
Gabungan antara pemerintahan daerah otonom dan pemerintahan wilayah tersebut menciptakan nomenklatur Propinsi Daerah  Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Nomenklatur provinsi dan kabupaten/kotamadya merujuk pada wilayah administrasi sedangkan nomenklatur Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II merujuk pada daerah otonom. Di bawah kabupaten/kotamadya terdapat wilayah administrasi murni yaitu kota administratif dan kecamatan. Di bawah kecamatan yang bersifat perkotaan terdapat wilayah administrasi murni lagi yaitu kelurahan sedangkan di bawah kecamatan yang bersifat perdesaan terdapat wilayah administrasi dengan otonomi tradisional yaitu desa. Bahkan di bawah desa/kelurahan masih ada lagi semi satuan pemerintahan RW dan RT.
Dengan demikian, struktur pemerintahan daerah terdiri atas dua jalur: (a) jalur daerah otonom yang terdiri atas Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang masing-masing berdiri sendiri sebagai daerah otonom (non-hirakis) dan (b) jalur wilayah administrasi yang secara hirarkis dari atas ke bawah adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi (dengan wilayah yang berimpit dengan Daerah Tingkat I), pemerintah kabupaten/kotamadya (dengan wilayah yang berimpit dengan Daerah Tingkat II), pemerintah kota administratif, pemerintah kecamatan, pemerintah desa/kelurahan, semi satuan pemerintahan RW, dan semi satuan pemerintahan RT. Sebagai konsekuensi penggunaan model prefektur terintegrasi untuk semua daerah otonom maka pada setiap daerah otonom ditempatkan wakil pemerintah pusat. Wakil pemerintah pusat di daerah otonom tingkat I adalah gubernur sedangkan wakil pemerintah pusat di daerah otonom tingkat II adalah bupati/walikota. Dengan demikian, kedudukan gubernur dan bupati/walikota adalah ganda: satu sisi sebagai alat daerah otonom dan di sini lain adalah sebagai wakil pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam praktik, gubernur dan bupati/walikota lebih memerankan diri sebagai wakil pemerintah karena yang menentukan pengangkatannya adalah pemerintah pusat walaupun melalui prosedur pengusulan dari DPRD dari calon yang mendapatkan suara terbanyak.

KESIMPULAN
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara baik di negara serikat maupun di negara kesatuan harus tertata dalam jalinan yang sistemtik sehingga menciptakan hubungan tata pemerintahan yang serasi, selaras, harmonis, dan efektif untuk mencapai tujuan negara. Jalinan sistemik tersebut tercermin dalam tata hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah harus menjadi sarana untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan masyarakat menyelenggarakan otonominya, kepentingan integrasi nasional, dan efesiensi administrasi negara.
Penciptaan tata hubungan pemerintahan dengan dampak seperti itu, harus ditata dalam dua pola hubungan pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu pola pengawasan hirarki dan pengawasan fungsional. Baik pola hirarki maupun fungsional, keduanya mengandalkan peran wakil pemerintah (general ministy/agency dan/atau functional ministries/agency) sebagai penjaga kepentingan pemerintah pusat yaitu tetap tegaknya negara dan kelangsungannya, terpeliharanya keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat, jalannya pemerintahan yang stabil, dan kemampuan bertindak cepat mengatasi masalah darurat akibat peristiwa luar biasa demi penyelamatan umum. Pilihan terhadap pola pengawasan inilah yang akan melahirkan sistem hubungan atarpemerintahan: pusat dan daerah dalam jalinan kerja pemerintahan yang sistemik, efektif, dan efesien.
Peran wakil pemerintah bukan sekedar penjaga penyelenggara pemerintahan dalam arti pasif. Wakil pemerintah harus aktif menciptakan kondisi-kondisi sebagaimana melekat dalam tugas dan kewajibannya. Oleh karena itu, wakil pemerintah harus diberi wewenang yang jelas dan cukup untuk bisa melakukan tindakan sesuai dengan beban tugas dan kewajibannya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Asas-Asas Pemerintahan yang Baik. http://mengerjakantugas.blogspot.com/.
Hidyat 2013 hubungan pemerintahan pusat dan daerah. http://hidayatwawan.blogspot.com/2012/03/hubungan-pemerintah-pusat-dan.html
https://gtmulyono.wordpress.com/materi-pkn/hubungan-pemerintah-pusat-dan-
daerah/
http://nurfaradilaa.blogspot.co.id/2013/04/hubungan-pemerintah-pusat-dengan_24.html
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...