PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti keyakinan da pengakuan yang
diekspresikan dalam bentuk perbuatan terhadap Dzat Yang Maha Tunggal tiada
duanya. Yang sempurna sebagai Penyebab Pertama (Kausa Prima). Ekspresi dari
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut manusia Indonesia untuk bersikap hidup,
berpandangan hidup "taat" dan "taklim" kepada Tuhan dengan
dibimbing oleh ajaran-ajaran-Nya. Taat mengandung makna setia, menurut apa yang
diperintahkan dan hormat/cinta kapada Tuhan. Sedangkan taklim mengandung makna
memuliakan Tuhan teragung, memandang Tuhan tertinggi, memandang Tuhan terluhur.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada pemeluk agama
sesuai dengan keyakinannya, tak ada paksaan, dan antar penganut agama yang
berbeda harus saling hormat menghormati dan bekerjasama. Bahkan penganut aliran
Keperayaan Tuhan Yang Maha Esa, esensinya tidak kontradiktif dengan nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang
berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana nilai-nilai ketuhanan yang ada di negara
Indonesia?
2.
Bagaimana penerapan dan permasalahan nilai-nilai
ketuhanan di kalangan pelajar?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui nilai-nilai ketuhanan yang ada di Negara Indonesia
2.
Untuk
mengetahui penerapan dan permasalahan nilai-nilai ketuhanan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nilai-Nilai
Ketuhanan
Perkataan Ketuhanan berasal dari Tuhan. Siapakah Tuhan
itu? Jawabannya ialah Pencipta segala yang ada dan semua makhluk. Yang Maha Esa
berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagiNya, Esa dalam zatNya, dalam sifatNya
maupun dalam perbuatanNya.
Pengertian zat Tuhan disini hanya Tuhan sendiri yang
Maha Mengetahui, dan tidak mungkin dapat digambarkan menurut akal pikiran
manusia, karena zat Tuhan adalah sempurna yang perbuatan-Nya tidak mungkin
dapat disamakan dan ditandingi dengan perbuatan manusia yang serba terbatas.
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaan dari makhluk hidup dan
siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari makhluk dan siapapun justru
disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan adalah prima causa,
yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang lain.
Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan
alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa
yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan
Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selain-Nya adalah terbatas. Negara
Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada warga negara
dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya, seperti pengertiannya terkandung dalam:
a.
Pembukaan UUD 1945 aline ketiga,
yang antara lain berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ….“. Dari
bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia tidak menganut paham
maupun mengandung sifat sebagai negara sekuler. Sekaligus menunjukkan bahwa
negara Indonesia bukan merupakan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas
landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan
Pancasila atau negara Pancasila.
b.
Pasal 29 UUD 1945 (1)Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2)Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Oleh karena itu di dalam negara
Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap
atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan
sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan dan
dihidupsuburkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam
batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntunan agama masing-masing, agar
terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama. Untuk
senantiasa memelihara dan mewujudkan 3 model kerukunan hidup yang meliputi :
1.
Kerukunan hidup antar umat
seagama
2.
Kerukunan hidup antar umat
beragama
3.
Kerukunan hidup antar umat
beragama dan Pemerintah.
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu
faktor perekat kesatuan bangsa. Di dalam memahami sila I yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, hendaknya para pemuka agama senantiasa berperan di depan dalam
menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma
kehidupan beragama yang dianutnya, misalnya : bagi yang beragama Islam
senantiasa berpegang teguh pada kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, bagi
yang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) berpegang teguh pada kitab
sucinya yang disebut Injil, bagi yang beragama Budha berpegang teguh pada kitab
suci Tripitaka, bagi yang beragama Hindu pada kitab sucinya yang disebut Wedha. Sila ke I, Ketuhanan Yang Maha
Esa ini menjadi sumber utama nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, yang
menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan dan Sila II sampai dengan
Sila V.
Pengamalan Sila kesatu yang berbunyi Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam lingkungan masyarakat sekitar meliputi berbagai bidang, terutama
kalau ditinjau menurut Agama yang menjadi mayoritas lingkungan masyarakat yaitu
menurut ajaran agama Islam, antara lain:
a.
Bidang Keagamaan.
Menyangkut bidang keagaaman itu sendiri, masyarakat
kita sudah tidak meyakini apa yang menjadi tuntunan dan melaksanakan apa yang
menjadi tuntutan serta kewajiban yang sudah disyariatkan sesuai agama dan
kepercayaannya masing-masing. Contoh dalam ajaran Islam bahwa sholat 5 waktu
itu adalah wajib, dan semua orangpun tahu apa hukuman serta pahala yang
diperoleh, ketika seseorang itu melanggar atau melaksanakan apa yang menjadi
tuntutan tersebut. Namun tidak sedikit orang Islam yang belum bisa melakukan
hal yang menjadi tuntutan tersebut. Ini membuktikan bahwa pengamalan sila
pertama ini belum menjiwai masyarakat itu
sendiri. Sehingga apa yang menjadi keyakinannya akan terkikis habis oleh
perubahan zaman. Hal tersebut baru merupakan pelaksanaan ibadah secara Hablum
Minnallah (hubungan dengan Alloh), belum bagaimana pelaksanaan
ibadah secara Hablum Minannas (hubungan dengan manusia). Dan ini akan
mempengaruhi terhadap berbagai pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa ini, menjadikan kegiatan
ibadah-ibadah keagamaan kita dapat dirasakan oleh pribadi dan dapat bermanfaat
untuk masyarakat luas, yang akan membentuk suatu ketentraman dalam masyarakat
itu sendiri.
Bangsa kita menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kita juga meyakini bahwa Tuhan adalah maha kuasa
atas segalanya. Dalam seluruh aspek kehidupan sangatlah penting menempatkan
bahwa Tuhan Maha kuasa atas segala hal, termasuk dalam menjalankan roda
pemerintahan, sehingga akan merasa ada control yang tidak pernah lepas dan
lengah dalam melakukan berbagai kebijakan pemerintahan. Dalam menjalankan roda
pemerintahan pada kenyataannya, tenyata belum cukup mengakui bahwa Pancasila
sila, sila ke satu, yang berarti merasa bahwa setiap diri kita tidak ada yang
mengawasi atau lupa bahwa Tuhan Melihat kita. Para oknum pejabat pemerintahan
kita serta pelaksana pemerintahan kita sudah tidak lagi melaksanakan Pengamalan
sila kesatu. Dibuktikan bahwa disekitar kita masih banyak prilaku–prilaku yang
seolah–olah Tuhan tidak mengetahui dan tidak ada. Prilaku Korupsi adalah
prilaku yang seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang yang berkeyakinan dan
menyatakan ketaqwaannya. Seandainya kita tahu bahwa prilaku tersebut adalah
prilaku yang tidak sesuai dengan bangsa kita yang menyatakan kepercayaan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Maka tindakan tersebut tidak mungkin
dilakukan. Seolah Sila Kesatu dari Pancasila tersebut hanyalah sebagai symbol
saja, atau identitas bangsa saja yaitu bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,
tanpa meyakini dan menjalankan apa yang menjadi landasan Sila Kesatu tersebut. Korupsi adalah kata halus dari mencuri, merampok dan
lain–lain. Sehingga apa yang bukan haknya menjadikan sesuatu tersebut menjadi
milik pribadi dengan tujuan memperkaya diri. Yang akibatnya pembengunan suatu
bangsa tidak mengalami perubahan yang signifikan, atau bahkan mengalami
kemunduran, baik dari segi materi ataupun moral.
Politik dalam pengertiannya adalah bermacam–macam
kegiatan dalam suatu Negara yang menyangkut proses menentukan tujuan–tujuan
dari sistem itu dan melaksanakan tujuan–tujuan itu, dengan kata lain politik
adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Politik identik dengan upaya
mendapatkan kekuasaan, jabatan, wewenang. Dalam prakteknya jika perpolitikan di
negara kita berpedoman pada Sila ketuhanan yang Maha Esa, maka segala proses
perpolitikan di negara kita ini tidak perlu melakukan tindakan diluar ketentuan
Perundang-undangan atau aturan agama itu sendiri. Tidakan Money Politic dalam sebuah pesta demokrasi merupakan suatu tindakan
yang secara nyata tidak meyakini bahwa Tuhan akan memberikan kekuasaan sesuai
apa yang di kehendakiNya. Kalau dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan kaidah
yang berlaku maka berakibat pula dalam melahirkan sebuah penguasa atau
penyelenggara Negara yang berkualitas atau tidak.
Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakini. Namun melihat kondisi
sekarang ini masyarakat kita sudah semakin jauh dari konsep tersebut, sehingga
perjudian, pemerkosaan, dan prilaku penyimpangan lainnya adalah suatu hal yang
sudah menjamur diseluruh pelosok negeri ini. Menurunnya moral suatu bangsa
diakibatkan karna prilaku sosial kita sudah tidak berpegang lagi terhadap
Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga generasi harapan bangsa kita terjerumus pada
hal–hal yang tidak sesuai dengan norma agama. Hal tersebut diperparah lagi oleh dukungan pemerintah
kita yang terkesan setengah-setengah dalam membuat kebijakan yang mendorong
masyarakatnya untuk lebih menyadari bahwa agama merupakan pondasi dalam
berbagai bidang. Temasuk didalamnya bagaimana mengupayakan agar berbagai
kegiatan keagamaan mendapatkan porsi yang utama dalam membentuk generasi
harapan bangsa, dukungan tersebut dapat dituangkan baik dari segi moril ataupun
kelayakan sebuah penetapan anggaran. Termasuk mengupayakan agar tenaga pendidik
serta kurikulum sekolah kita agar lebih berkualitas lagi dalam membentuk moral
generasi, karna dari sanalah berawal Sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat
diamalkan secara menyeluruh pada berbagai bidang kehidupan.
Ada juga permasalahan-permasalahan yang
muncul tertakait dengan nilai-nilai ketuhanan selain permasalahan di atas,
seperti kasus bom Bali dan bom bunuh diri di Solo. Dari kedua kasus tersebut diatas menandakan bahwa sudah
tidak relevannya warga indonesia dengan nilai pancasila khususnya pada sila
pertama. Dari kasus pertama dikatakan bahwa pelaku melakukan hal tersebut
dengan alasan jihad, sedangkan pada kasus kedua yaitu menunjukkan bahwa adanya
pendangkalan iman seseorang. Hal tersebut jelas sangat bertentangan dengan
nilai pada sila pertama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu menghilangkan
nyawa seseorang sekalipun alasannya adalah berjihad dan membela agama islam.
Belajar dari kasus pengeboman yang sering terjadi di berbagai daerah seharusnya
pemerintah mengadakan tindakan yang tegas kepada pelaku bom, memberikan hukuman
kepada pelaku.
2.3
Pendidikan Sebagai Pondasi Peradaban Bangsa
Manusia lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, rasa
dan karsa. Cipta adalah kemampuan mempersoalkan nilai kebenaran, rasa adalah
kemampuan mempersoalkan nilai keindahan, dan karsa adalah kemampuan
mempersoalkan nilai kebaikan. Ketiga potensi tersebut dibingkai dalam satu
ikatan sistem yang selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk
mengkonstruksi bangunan filsafat kehidupan, menentukan pedoman hidup, dan
mengatur sikap dan perilaku agar senantiasa terarah kepada pencapaian tujuan
hidup yang hakiki.
Hubungan Pendidikan dengan peradaban (karakter) suatu
bangsa dianalogikan ibarat hubungan fondasi dengan model atas konstruksi
sebuah bangunan. Keduanya berhubungan secara kausalitas, fondasi akan
menentukan model bangunan diatasnya. Pendidikan adalah fondasi bangunan dan
karakter suatu bangsa adalah model bangunan yang merupakan hasil kongkrit dari
pendidikan.
Secara historis maupun faktual hari ini, agungnya peradaban
suatu bangsa, adalah potret keberhasilan pembentukan karakter yang dibentuk
melalui proses panjang pendidikan, baik formil maupun nonformil. Begitu pula
sebaliknya, hancurnya peradaban suatu bangsa adalah akibat kegagalan proses
pendidikan karakter kepada masyarakatnya.
Pancasila adalah falsafah hidup (pandangan hidup) yang
mencerminkan karakter dan jatidiri bangsa Indonesia, selayaknya menjadi
landasan, pijakan, dan fondasi sistem pendidikan. Pancasila sebagai nilai-nilai
luhur bangsa, menjadi rujukan utama dalam mendidik setiap individu anak
bangsa. Ketika pancasila ditinggalkan dari ranah pendidikan, baik
pendidikan keluarga, pendidikan lingkungan maupun pendidikan formal, maka
pantaslah jika dikemudian hari bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya, dan
secara perlahan, jika dibiarkan, akan kehilangan keagungan peradabannya.
Tergerusnya nilai-nilai Ketuhanan, lunturnya perikemanusiaan
yang adil dan beradab, lemahnya rasa persatuan dan suburnya permusuhan,
lunturnya nilai-nilai musyawarah untuk mufakat, dan termarginalnya nilai
keadilan, adalah fakta bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila telah lama hilang
dalam proses pendidikan anak-anak bangsa kita sendiri.
Dengan demikian, betapa penting memposisikan Pancasila
sebagai landasan dan pijakan dalam proses pendidikan anak-anak bangsa.
Pancasila jika sebenar-benarnya ditanamkan dalam proses pendidikan, maka
seyogyanya bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang agung, yakni
peradaban agung manusia-manusia pancasila.
2.4
Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Pedoman Pendidikan Karakter
Kerinduan akan hadirnya Pancasila merambah pada semua bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, hal ini sebagaimana telah
disinggung diatas, diakibatkan oleh terjadinya demoralisasi yang
sangat luar biasa di semua bidang kehidupan dan setiap lapisan masyarakat
bangsa, yang sesungguhnya bertolakbelakang dengan nilai-nilai luhur Pancasila
sebagai falsafah hidup bangsa.
Sejalan dengan kerinduan terhadap pancasila, dunia
pendidikan hari ini pun sedang merindukan dan mengelu-elukan pendidikan
karakter. Pemerintah melalui kementerian pendidikan nasional, sedang
mencanangkan program pendidikan karakter secara besar-besaran. Pendidikan
karakter dianggap sebagai solusi terbaik terhadap berbagai bencana moral yang
melilit bangsa ini, yakni; hilangnya nilai-nilai Ketuhanan YME, lemahnya
nilai-nilai peri-kemanusiaan yang adil dan beradab, lunturnya persatuan dan
lemahnya prinsip musyawarah untuk mufakat, serta semakin terpinggirkannya
nilai-nilai keadilan.
Pembentukan karakter yang diinginkan dalam proses pendidikan
adalah terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang
moral (moral Knowing), perasaan bermoral (moral feeling), dan
perilaku bermoral (moral behavior).
Karakter yang baik terdiri dari mengetahui kebaikan (knowing
the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the
good) dan melakukan kebaikan (acting the good). Membentuk karakter
adalah dengan menumbuhkan karakter yang merupakan the habits of mind, heart,
and action yang antara ketiganya (pikiran, hati, dan perbuatan) adalah
saling terkait. Pendidikan karakter adalah internalisasi
nilai-nilai luhur budaya, agama dan nilai-nilai luhur lain yang telah dijadikan
falsafah hidup suatu bangsa.
Pendidikan secara essensi berbicara tentang moral, moral
adalah kebaikan, sedangkan pedoman moral bagi bangsa Indonesia adalah
Pancasila. Pendidikan karakter ditujukan untuk membenahi moral masyarakat
bangsa yang kian hari kian bobrok, demoralisasi terjadi dalam semua bidang
kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya sampai pada yang paling essensi
yakni keroposnya ideologi dan falsafah bangsa.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang sesungguhnya
adalah pematrian (internalisasi) nilai-nilai luhur Pancasila pada pikiran (mind),
nurani (heart), dan perilaku (behaviour) setiap individu anak
bangsa. Sehingga wujud keberhasilan pendidikan karakter yang diwujudkan
pemerintah adalah terlahirnya manusia-manusia Pancasila yang bermartabat yang
akan membentuk keagungan peradaban bangsa Indonesia
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upaya mengamalkan Sila Pertama, Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa ini adalah hal yang paling utama dalam upaya mencapai tujuan Negara
yang memperoleh keberkahan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat, Karna sila
Pertama ini adalah sebagai titik dasar atau nilai utama untuk mencapai
pelaksanaan sila berikutnya secara utuh dan menyeluruh.
Maka dari itu peran Eksekutif, Legislatif, Yudikatif
dan Masyarakat itu sendiri harus bersatupadu mengupayakan pengamalan Sila
Kesatu tersebut, sehingga moral dan
martabat bangsa ini akan terselamatkan. Tanpa mementingkan
kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar