PERLAWANAN RAKYAT BALI
I.LATAR
BELAKANG TERJADINYA PERANG BALI
Bali
pada saat itu dikenal sebagai Jawa kecil adalah salah satu pulau di Kepulauan
Sunda yang
berada di timur Jawa, jarak bentang pulau ini 105
mil geografis dan berpenduduk 700.000 jiwa. Cornelis de Houtman pernah mendatangi pulau itu dan diterima baik namun dalam
perkembangannya kesepahaman kurang terjalin; pada tahun 1841 dan 1843 sebuah persetujuan diputuskan antara kerajaan
setempat dan pemerintah Hindia-Belanda tetapi penduduk Bali segera menunjukkan
permusuhan. Khususnya Raja Buleleng berkali-kali melanggar semua
butir perjanjian itu dan bendera
Belanda
dihinakan; sehingga atas tanggung jawabnya, ia harus mengalah atas sikap arogansinya,
dan pemerintah tidak dapat membiarkannya karena daerah lain juga akan
menunjukkan tanda-tanda perlawanan.
II. TOKOH/PEMIMPIN PERANG
BALI
Tokoh/pemimpin: RAJA
BULELENG, PATIH BULELENG(GUSTI JELANTIK),DAN RAJA KARANG ASEM
TOKOH LAIN:
· I Gusti Ngurah Made Karang
Asem
· Patih I Gusti Ketut Jelantik
· I Gusti Ngurah Rai
· Jero Jempiring
· Mayor Jendral Van der Wijck
· Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten
· Rakyat bali
III. PROSES PERLAWANAN PERANG BALI
III. PROSES PERLAWANAN PERANG BALI
Sejarah
Perang Bali 1846-1849. Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax
Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda
berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya
Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan
Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi:
“Raja-raja Bali mengakui
bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini
merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.”
Masalah utama adalah adanya
hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada
kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah
kerajaan tersebut.
Antara
Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang
Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843
isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah
Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengansemestinya Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap
kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian
Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya
sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan
alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai Buleleng diblokade dan
istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki
dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian
perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng
disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di
desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan, Kenapa dikatakan dengan
Perang Puputan?, Karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang
habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai
berikut:
- Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng
Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi
dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng
maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala
bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit
ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan
memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas
digaris depan.
Pada
tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan
2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor AJendral
Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan
Belanda dapat digagalkan.
IV.AKHIR
PERLAWANAN PERANG BALI
Pada
tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000
orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni
dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga
dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur,
mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik
yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda
dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali
juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun
akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.
PERLAWANAN
RAKYAT BANJAR (PERANG BANJAR)
Latar Belakang
Adapun
peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut adalah sbb:
• Belanda ingin menguasai Banjar.
Sumber Daya Alam yang ada di
wilayah banjar menjadi faktor utama perang Banjar. Hal ini dikarenakan
Belanda ingin menguasai seluruh nusantara termasuk wilayah kesultanan Banjar
beserta hasil buminya seperti emas, batu bara, dan intan.
• Belanda campur tangan terhadap urusan pribadi kesultanan
Banjar.
Siapa yang tak geram dengan
tingkah Belanda yang selalu ikut campur terhadap urusan intern penguasa daerah.
Siapapun pastinya tidak suka jika masalah pribadinya turut diperkeruh oleh
pihak lain. Begitu pula dengan kesultanan Banjar, Belanda yang notabenya adalah
para pendatang serta merta tidak menyetujui Pangeran Hidayatullah naik tahta
menjadi pemimpin utama di kesultanan Banjar. Hal ini tentunya disebabkan karena
tidak memihaknya Pangeran Hidayatullah terhadap Belanda.
• Belanda menghapus kerajaan banjar dari nusantara.
Setelah menolak Pangeran
Hidayatullah sebagai sultan kolonial Belanda justru menghapus kesultanan Banjar
dari daftar penguasa daerah. Hal ini tentunya sangat menyakitkan dan memukul pihak
kesultanan Banjar.
Strategi Perang
Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari menggunakan strategi perang
gerilya dengan membuat kerajaan baru di pedalaman dan membangun benteng-benteng
pertahanan di hutan-hutan.
Tokoh rakyat Banjar:
- Pangeran Hidayatullah
- Pangeran Antasari
- Aling
- Tumenggung Antaludin - pemimpin benteng Gunung Madang
- Tumenggung Surapati
- Demang Lehman
- Panglima Bukhari
- Tumenggung Jalil - pemimpin benteng Tundakan
- Panembahan Muhammad Said
- Panglima Batur
- Panglima Umbung
- Panglima Wangkang
- Penghulu Muda
- Penghulu Rasyid
- Penghulu Suhasin
- Raden Djaija - Kepala Pulau Petak Hilir
- Tagab Obang
- Pambakal Sulil - pemimpin perjuangan di sungai Kapuas Murung
- Muhammad Seman.
- Kiai Suta Kara - pemimpin benteng Martagiri-Tapin
- Pangeran Tjitra Kasoema - pemimpin benteng Gunung Jabuk
- Kiai Raksapati
- Toemenggoong Aria Pattie - Kepala Dusun Hilir)
- Ratu Zaleha
- Wulan Jihad - pejuang wanita Dayak Kenyah
- Tumenggung Gamar
- Pangeran Miradipa - gugur dalam pertempuran Paringin
- Pangeran Syarif Umar (ipar P. Hidayatullah) - gugur dalam pertempuran Paringin
- Tumenggung Naro
- Haji Buyasin[12]
- Kiai Tjakrawati
- Galuh Sarinah - isteri Kiai Tjakrawati
- Aji Pangeran Kusumanegara - Raja Cantung-Buntar Laut
Jalannya Perang
Perang Banjar berlangsung antara 1859 -1905
(menurut sumber Belanda 1859-1863). Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah
mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Dengan
ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada
tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya
menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) dan membunuh semua
putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang
selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan
pamannya Arung Turawe, tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang
ke Srilangka.[9][10]
Medan Perang
Daerah pertempuran berada di daerah Kalimantan
Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Termasuk di daerah sungai Barito.
Akhir perang
Setelah Pangeran Hidayatullah
tertangkap dan Pangeran Antasari
wafat, perjuangan tetap berlanjut yang di pimpin oleh Gusti Mat Seman,
Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman. Oleh pemimpin-pemimpin
tersebut, rakyat masih bergerilya dengan se-sekali melakukan serangan kepada
Belanda sampai awal abad ke-20.
PERANG PADRI
A. Latar Belakang Terjadinya
Perlawanan Kaum Padri
Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang oleh kaum Padri sangat bertentangan dengan agama Islam. Kaum Padri berusaha menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat menolaknya maka kemudian terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat Minangkabau dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama Islam.
Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang oleh kaum Padri sangat bertentangan dengan agama Islam. Kaum Padri berusaha menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat menolaknya maka kemudian terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat Minangkabau dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama Islam.
B. Sebab Perang Padri
1. Sebab Umum
1. Adanya pertentangan paham antara golongan Wahabi yang ingin memurnikan ajaran agama islam dengan para golongan Tasawuf yang terdiri dari kaum bangsawan dan pemangku adat.
2. Ada kebiasaan buruk yang disahkan oleh kaum adat seperti minum minuman keras, menyabung ayam, berjudi, merokok, dll.
3. Adanya pertentangan antara hukum adat dengan hukum di agama Islam. Yaitu diantaranya pada hukum adat menganut sistem kekerabatan Matrilineal sedangkan di Islam Patrilineal.
4. Terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dengan ulama.
5. Adanya campur tangan bangsa barat dalam perebutan kekuasaan tersebut yaitu Inggris dan Belanda.
2. Sebab Khusus
Pertemuan antara kaum adat dengan ulama untuk menyelesaikan semua persoalan selama ini di Koto Tangah. Karena usaha itu tidak berhasil, kaum adat di serang oleh kaum ulama kemudian kaum adat meminta bantuan kepada Belanda di Padang pada tahun 1821.
C. Jalan Perang Padri
Jalannya Perlawanan Kaum Padri Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821 dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya. Pertempuran berlangsung seru sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak jumlahnya.
1. Sebab Umum
1. Adanya pertentangan paham antara golongan Wahabi yang ingin memurnikan ajaran agama islam dengan para golongan Tasawuf yang terdiri dari kaum bangsawan dan pemangku adat.
2. Ada kebiasaan buruk yang disahkan oleh kaum adat seperti minum minuman keras, menyabung ayam, berjudi, merokok, dll.
3. Adanya pertentangan antara hukum adat dengan hukum di agama Islam. Yaitu diantaranya pada hukum adat menganut sistem kekerabatan Matrilineal sedangkan di Islam Patrilineal.
4. Terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dengan ulama.
5. Adanya campur tangan bangsa barat dalam perebutan kekuasaan tersebut yaitu Inggris dan Belanda.
2. Sebab Khusus
Pertemuan antara kaum adat dengan ulama untuk menyelesaikan semua persoalan selama ini di Koto Tangah. Karena usaha itu tidak berhasil, kaum adat di serang oleh kaum ulama kemudian kaum adat meminta bantuan kepada Belanda di Padang pada tahun 1821.
C. Jalan Perang Padri
Jalannya Perlawanan Kaum Padri Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821 dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya. Pertempuran berlangsung seru sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak jumlahnya.
Tanggal 22 Januari 1824 diadakan
perjanjian Mosang dengan kaum Padri, namun kemudian dilanggar oleh Belanda.
Pada April 1824 Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun
Benteng Fort De Kock, di Bukit Tinggi. Tanggal 15 November 1825 diadakan
perjanjian Padang. Kaum Padri diwakili oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang Belanda mengadakan perjanjian itu dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat diharapkan, karena di Jawa sedang pecah Perang Diponegoro.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal, Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Sejak itu kampung demi kampung dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat kenyataan ini baik kaum Adat maupun kaum Padri menyadari arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.
perjanjian Padang. Kaum Padri diwakili oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang Belanda mengadakan perjanjian itu dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat diharapkan, karena di Jawa sedang pecah Perang Diponegoro.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal, Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Sejak itu kampung demi kampung dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat kenyataan ini baik kaum Adat maupun kaum Padri menyadari arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.
D. Tokoh-tokoh Dalam Perang Padri
1. Tuanku Imam Bonjol
2. Tuanku Lintau
3. Tuanku Nan Gapuk
4. Tuanku Hitam
5. Tuanku Nan Cerdik
6. Tuanku Tambusay
7. Tuanku Nan Renceh
8. Tuanku Pasaman
9. Tuanku Mansiangan
10. Tuanku Pandai Sikek
11. Tuanku Rao
12. Tuanku Barumun
13. Kolonel Stuers
E. Akhir Dari Perang Padri
Meskipun pada tahun 1337, benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan tersebut masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai jatuh pada tahun 28 Desember 1838. Dan Tuanku Tambusai terpaksa mundur, dan bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai dan kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari pax neerlandica dan menyatakan wilayah Padangse Bovenlanden berada di bawah pengawasan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar