Jumat, 23 Desember 2016

PERLAWANAN RAKYAT BALI, BANJAR, PADRI



PERLAWANAN RAKYAT BALI


I.LATAR BELAKANG TERJADINYA PERANG BALI

Bali pada saat itu dikenal sebagai Jawa kecil adalah salah satu pulau di Kepulauan Sunda yang berada di timur Jawa, jarak bentang pulau ini 105 mil geografis dan berpenduduk 700.000 jiwa. Cornelis de Houtman pernah mendatangi pulau itu dan diterima baik namun dalam perkembangannya kesepahaman kurang terjalin; pada tahun 1841 dan 1843 sebuah persetujuan diputuskan antara kerajaan setempat dan pemerintah Hindia-Belanda tetapi penduduk Bali segera menunjukkan permusuhan. Khususnya Raja Buleleng berkali-kali melanggar semua butir perjanjian itu dan bendera Belanda dihinakan; sehingga atas tanggung jawabnya, ia harus mengalah atas sikap arogansinya, dan pemerintah tidak dapat membiarkannya karena daerah lain juga akan menunjukkan tanda-tanda perlawanan.

II. TOKOH/PEMIMPIN PERANG BALI

Tokoh/pemimpin: RAJA BULELENG, PATIH BULELENG(GUSTI JELANTIK),DAN RAJA KARANG ASEM

TOKOH LAIN:
· I Gusti Ngurah Made Karang Asem
· Patih I Gusti Ketut Jelantik
· I Gusti Ngurah Rai
· Jero Jempiring
· Mayor Jendral Van der Wijck
· Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten
· Rakyat bali

III. PROSES PERLAWANAN PERANG BALI
Sejarah Perang Bali 1846-1849. Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi:
“Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.”
Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut.
Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengansemestinya  Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan, Kenapa dikatakan dengan Perang Puputan?, Karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
  • Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
  • Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
  • Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor AJendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.

IV.AKHIR PERLAWANAN PERANG BALI
Pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.



PERLAWANAN RAKYAT BANJAR (PERANG BANJAR)
Latar Belakang
Adapun peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut adalah sbb:
           Belanda ingin menguasai Banjar.
Sumber Daya Alam yang ada di wilayah banjar menjadi faktor utama perang Banjar. Hal ini dikarenakan Belanda ingin menguasai seluruh nusantara termasuk wilayah kesultanan Banjar beserta hasil buminya seperti emas, batu bara, dan intan.
           Belanda campur tangan terhadap urusan pribadi kesultanan Banjar.
Siapa yang tak geram dengan tingkah Belanda yang selalu ikut campur terhadap urusan intern penguasa daerah. Siapapun pastinya tidak suka jika masalah pribadinya turut diperkeruh oleh pihak lain. Begitu pula dengan kesultanan Banjar, Belanda yang notabenya adalah para pendatang serta merta tidak menyetujui Pangeran Hidayatullah naik tahta menjadi pemimpin utama di kesultanan Banjar. Hal ini tentunya disebabkan karena tidak memihaknya Pangeran Hidayatullah terhadap Belanda.
           Belanda menghapus kerajaan banjar dari nusantara.
Setelah menolak Pangeran Hidayatullah sebagai sultan kolonial Belanda justru menghapus kesultanan Banjar dari daftar penguasa daerah. Hal ini tentunya sangat menyakitkan dan memukul pihak kesultanan Banjar. 

Strategi Perang

Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari menggunakan strategi perang gerilya dengan membuat kerajaan baru di pedalaman dan membangun benteng-benteng pertahanan di hutan-hutan.

Tokoh rakyat Banjar:

  1. Pangeran Hidayatullah
  2. Pangeran Antasari
  3. Aling
  4. Tumenggung Antaludin - pemimpin benteng Gunung Madang
  5. Tumenggung Surapati
  6. Demang Lehman
  7. Panglima Bukhari
  8. Tumenggung Jalil - pemimpin benteng Tundakan
  9. Panembahan Muhammad Said
  10. Panglima Batur
  11. Panglima Umbung
  12. Panglima Wangkang
  13. Penghulu Muda
  14. Penghulu Rasyid
  15. Penghulu Suhasin
  16. Raden Djaija - Kepala Pulau Petak Hilir
  17. Tagab Obang
  18. Pambakal Sulil - pemimpin perjuangan di sungai Kapuas Murung
  19. Muhammad Seman.
  20. Kiai Suta Kara - pemimpin benteng Martagiri-Tapin
  21. Pangeran Tjitra Kasoema - pemimpin benteng Gunung Jabuk
  22. Kiai Raksapati
  23. Toemenggoong Aria Pattie - Kepala Dusun Hilir)
  24. Ratu Zaleha
  25. Wulan Jihad - pejuang wanita Dayak Kenyah
  26. Tumenggung Gamar
  27. Pangeran Miradipa - gugur dalam pertempuran Paringin
  28. Pangeran Syarif Umar (ipar P. Hidayatullah) - gugur dalam pertempuran Paringin
  29. Tumenggung Naro
  30. Haji Buyasin[12]
  31. Kiai Tjakrawati
  32. Galuh Sarinah - isteri Kiai Tjakrawati
  33. Aji Pangeran Kusumanegara - Raja Cantung-Buntar Laut

Jalannya Perang

Perang Banjar berlangsung antara 1859 -1905 (menurut sumber Belanda 1859-1863). Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Arung Turawe, tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Srilangka.[9][10]

Medan Perang

Daerah pertempuran berada di daerah Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Termasuk di daerah sungai Barito.

Akhir perang

Setelah Pangeran Hidayatullah tertangkap dan Pangeran Antasari wafat, perjuangan tetap berlanjut yang di pimpin oleh Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman. Oleh pemimpin-pemimpin tersebut, rakyat masih bergerilya dengan se-sekali melakukan serangan kepada Belanda sampai awal abad ke-20.

PERANG PADRI


A. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Kaum Padri
    Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang oleh kaum Padri sangat bertentangan dengan agama Islam. Kaum Padri berusaha menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat menolaknya maka kemudian terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat Minangkabau dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama Islam.

B. Sebab Perang Padri
1. Sebab Umum
1. Adanya pertentangan paham antara golongan Wahabi yang ingin memurnikan ajaran agama islam dengan para golongan Tasawuf yang terdiri dari kaum bangsawan dan pemangku adat.
2. Ada kebiasaan buruk yang disahkan oleh kaum adat seperti minum minuman keras, menyabung ayam, berjudi, merokok, dll.
3. Adanya pertentangan antara hukum adat dengan hukum di agama Islam. Yaitu diantaranya pada hukum adat menganut sistem kekerabatan Matrilineal sedangkan di Islam Patrilineal.
4. Terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dengan ulama.
5. Adanya campur tangan bangsa barat dalam perebutan kekuasaan tersebut yaitu Inggris dan Belanda.
2. Sebab Khusus
Pertemuan antara kaum adat dengan ulama untuk menyelesaikan semua persoalan selama ini di Koto Tangah. Karena usaha itu tidak berhasil, kaum adat di serang oleh kaum ulama kemudian kaum adat meminta bantuan kepada Belanda di Padang pada tahun 1821.

C. Jalan Perang Padri
Jalannya Perlawanan Kaum Padri    Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821 dengan serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patroli Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan pihak musuh menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya. Pertempuran berlangsung seru sehingga banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak jumlahnya.
     Tanggal 22 Januari 1824 diadakan perjanjian Mosang dengan kaum Padri, namun kemudian dilanggar oleh Belanda. Pada April 1824 Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun Benteng Fort De Kock, di Bukit Tinggi. Tanggal 15 November 1825 diadakan
perjanjian Padang. Kaum Padri diwakili oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said Salimuljafrid bertindak sebagai perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang Belanda mengadakan perjanjian itu dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu menghadapi serangan kaum Padri, di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat diharapkan, karena di Jawa sedang pecah Perang Diponegoro.
    Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal, Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol. Sejak itu kampung demi kampung dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat kenyataan ini baik kaum Adat maupun kaum Padri menyadari arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.

D. Tokoh-tokoh Dalam Perang Padri
1. Tuanku Imam Bonjol
2. Tuanku Lintau
3. Tuanku Nan Gapuk
4. Tuanku Hitam
5. Tuanku Nan Cerdik
6. Tuanku Tambusay
7. Tuanku Nan Renceh
8. Tuanku Pasaman
9. Tuanku Mansiangan
10. Tuanku Pandai Sikek
11. Tuanku Rao
12. Tuanku Barumun
13. Kolonel Stuers

E. Akhir Dari Perang Padri
Meskipun pada tahun 1337, benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan tersebut masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai jatuh pada tahun 28 Desember 1838. Dan Tuanku Tambusai terpaksa mundur, dan bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai dan kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari pax neerlandica dan menyatakan wilayah Padangse Bovenlanden berada di bawah pengawasan Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...