Rabu, 21 Desember 2016

SASAKALA CIJULANG DAN PANTAI BATUHIU



SASAKALA CIJULANG DAN PANTAI BATUHIU
Dahulu kala, di wilayah kekuasaan kerajaan Banyumas hiduplah keluarga bahagia pasangan Aki Gede dan Nini Gede. Pasangan keluarga tersebut memiliki dua orang anak, yang sulung seorang laki-laki bernama Sang Lawangjagang, sedangkan yang bungsu seorang putri yang sangat cantik jelita. Banyak raja dan ksatria yang melamarnya, namun selalu saja ditolak oleh sang putri. Kanjeng Sinuhun, raja kerajaan Banyumas, termasuk salah seorang yang menyukai sang putri. Maka Kanjeng Sinuhun pun segera mengajukan lamaran pada Aki Gede dan Nini Gede. Tetapi seperti sebelumnya, lamaran itu pun ditolak oleh Aki Gede, karena merasa anaknya tidak pantas mendapatkan seorang raja. Aki Gede merasa bahwa putrinya hanyalah keturunan rakyat biasa dan tidak mungkin menjadi permaisuri seorang raja.
Tentu saja penolakan dari Aki Gede tersebut membuat sakit hati Kanjeng Sinuhun. Lalu ia pun memerintahkan kepada patihnya untuk mengusir Aki Gede beserta seluruh keluarganya dari wilayah kerajaan Banyumas. Berangkatlah Aki Gede, Nini Gede, putri, dan seluruh kerabatnya meninggalkan wilayah kerajaan Banyumas. Rombongan itu pergi ke arah Barat. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, rombongan Aki Gede pun sampailah ke tepi sungai di batas kerajaan. Dari sana, rombongan hanjat (menyeberangi) sungai. Tempat itulah yang kelak dikenal dengan nama Hanjatan Cimanganti. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan menuju ke arah selatan.
Maka tibalah rombongan Aki Gede ke sebuah tempat yang teduh dan terdapat mata air. Di sana, mereka segera ngababakan (membuka lahan baru) untuk membangun perkampungan. Mulanya hanya dibangun satu rumah, terus bertambah menjadi lima rumah, kemudian bertambah pula dengan dibangunnya sebuah surau. Lama kelamaan daerah itu pun semakin banyak dikunjungi pendatang. Bahkan banyak orang yang berguru ilmu kanuragan ke Aki Gede. Rumah Aki Gede pun kemudian direnovasi dan dijadikan sebuah padepokan yang diberi nama Padepokan Karasanbaya. Dengan perkembangan padepokan yang sangat pesat, Aki Gede pun mulai merasa gundah. Khawatir perkampungan tersebut diketahui oleh Kanjeng Sunan. Lalu ia berniat membangun padepokan di tempat lain. Sebagai penggantinya, Aki Gede menyuruh anaknya yang sulung untuk mengurus Padepokan Karasanbaya.Oleh anaknya, Padepokan itu diganti namanya menjadi Kawasan. Sementara Aki Gede, Nini Gede, putrinya, dan rombongan keluarga lainnya terus melanjutkan pengembaraan ke arah barat. Lalu ke arah selatan dan ngaso (beristirahat) di suatu tempat yang juga terdapat mata air yang banyak pohon kasonya. Kelak tempat ini dikenal dengan nama Cikaso, yang berarti tempat beristirahat yang terdapat sumber air dekat pohon kaso. Di tempat itu, Aki Gede pun segera membangun sebuah padepokan. Lalu padepokan itu ia percayakan kepada salah satu saudaranya yang bernama Mangun Naha Mana Manggala. Setelah itu, Aki Gede dan Nini Gede pun melanjutkan pengembaraannya kembali.
Beberapa hari kemudian, rombongan Aki Gede pun sampailah pada sebuah daerah yang kelak bernama Bojonglekor. Di sana Aki Gede membangun kembali sebuah padepokan dan kepengurusannya dipercayakan kepada salah seorang saudaranya yang bernama Sang Prabu Mangun Ciker. Kemudian, Aki Gede pun melanjutkan kembali pengembaraannya. Kali ini Aki Gede semakin ke selatan. Kemudian sampailah ke daerah Bubulak dan Karangsimpang, di sana Aki Gede pun membangunsebuah padepokan. Di karangsimpang ia percayakan lagi kepengurusan padepokannya pada saudaranya yang lain. Kini Aki Gede pergi ke arah utara dan sampailah di sebuah daerah. Di sana Aki Gede segera membangun padepokan dilengkapi dengan sebuah sunge (sumur buatan), karena di daerah tersebut tidak terdapat mata air. Kelak tempat ini dikenal dengan nama kampung Binangun. Selama pengembaraannya, Aki Gede, Nini Gede, dan rombongan selalu berhenti di sebuah daerah dan dilanjutkan dengan ngababakan (membuka lahan baru).
Setelah membangun padepokan di Binangun, Aki Gede pun kemudian mencari daerah baru sebagai tempat bermukim. Suatu ketika, sampailah Aki Gede ke daerah yang bernama Nagarawati. Di sana ia tidak membangun padepokan, karena sudah padat penduduknya. Aki Gede pun akhirnya kembali lagi ke Binangun. Namun tidak berhenti di situ, Aki Gede kemudian mengalihkan perjalanannya ke sebelah Barat. Berturut-turut Aki Gede membangun kampung yang sekarang dikenal dengan nama Bojongmalang, Sarakan, Cikadu, Cikawao, Cikagenah, Cipatahunan dan Gurago. Di Gurago, Aki Gede tinggal cukup lama. Bahkan Aki Gede sempat mengangkat seorang amil (penghulu) dan kepala kampung. Setelah itu, Aki Gede pun melanjutkan kembali perjalananya. Sekarang ia mengarah kembali ke selatan. Tujuannya ialah ke pesisir selatan pulau Jawa. Maka sampailah Aki Gede ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Cigugur. Lama ia tinggal di daerah tersebut. Beberapa taun kemudian, Aki Gede dipanggil oleh Dalem Tamela, Raja Sukapura yang kekuasaannya  meliputi daerah Cigugur. Aki Gede pun menemui Dalem Tamela di keratonnya yang sekarang dikenal dengan nama Sukaraja, di wilayah Tasikmalaya sebelah selatan. Ternyata Dalem Tamela berniat untuk mempersunting anaknya Aki Gede yang perempuan. Lamaran tersebut sempat tujuh kali ditolak oleh Aki Gede. Alasannya karena sang putri telah menikah dengan seorang ksatria bernama Sembah Ragasang. Namun karena memaksa, Aki Gede pun akhirnya menyetujui permintaan Dalem Tamela dengan sebuah syarat: Dalem Tamela harus memberi mantan menantunya suatu wilayah kekuasaan berikut penduduknya yang berjumlah sembilan kuren (kepala keluarga). Dalam memberikan wilayah itu pun tidak dipilih oleh Dalem Tamela, namun harus sekehendak menantunya.
Setelah sepakat, pergilah mantan menantu Aki Gede, Sembah Ragasang, beserta sembilan kuren rombongannya ke arah barat mengikuti jejak air mengalir. Kemudian tibalah Sembah Ragasang di kerajaan Panjalu. Di sana ia sempat bermukim, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke wilayah Imbanagara. Di sana Sembah Ragasang menemui saudara ibunya yang bernama Jeng Pati. Menurut petunjuk dari Jeng Pati, Sembah Ragasang harus mencari wilayah yang baik untuk pemukiman ke sebelah Barat. Berdasarkan petunjuk itulah, kemudian Sembah Ragasang beserta rombongan tiba di hutan belantara. Karena merasatidak cocok, dari sana Sembah Ragasang melanjutkan lagi perjalanannya ke arah pesisir selatan. Tibalah Sembah Ragasang ke daerah yang sekarang bernama Mandala, Karangnini dan Jajawai. Di sanalah Sembah Ragasang menetap sampai akhir hayatnya. Adapun Aki Gede yang telah lama menetap di Cigugur, kemudian kembali melanjutkan pengembaraannya.
Hingga pada suatu ketika, tibalah di atas bukit masih di wilayah pesisir Selatan. Bermalamlah Aki Gede beserta rombongan pengikutnya di bukit tersebut. Keesokan harinya, sebelum pergi melanjutkan perjalanan, Aki Gede menyuruh salah seorang pengikutnya yang bernama Ki Braja Lintang untuk menangkap ikan di laut untuk sarapan. Dengan cekatan, segera Ki Braja pergi ke pantai untuk menangkap ikan. Setelah beberapa jam, kemudian Ki Barja membawa seekor ikan yang besar ke hadapan Aki Gede. Ternyata ikan tersebut seekor hiu. Maka oleh Aki Gede, Ki Barja pun disuruh untuk melepaskan kembali ikan hiu tersebut ke laut lepas. Namun anehnya, ketika dilepaskan oleh Ki Barja, ikan hiu itu tiba-tiba berubah menjadi sebongkah batu besar berwarna hitam. Semenjak itulah, daerah pesisir itu oleh Aki Gede diberi nama pantai Batu Hiu. Dari bukit tempat peristirahatan Aki Gede beserta rombongannya itulah, sekarang kita dapat melihat secara jelas bongkahan batu yang berasal dari perwujudan ikan hiu tersebut. Setelah kejadian itu, Aki Gede segera saja meninggalkan daerah tersebut. Bersama dengan rombongannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Barat dengan tetap menyusuri pesisir Selatan. Hingga sampailah Aki Gede ke sebuah muara yang menyatukan antara sungai Haurseah dengan laut Jawa Selatan. Di muara tersebut air sungai Haurseah nampak tidak menyatu dengan air laut karena terbendung oleh air laut itu sendiri, bahkan nampak airnya kembali mengalir berbalik ke arah aliran sungai. Oleh penduduk setempat, keadaan air seperti itu disebut cai mulang (air yang alirannya berbalik arah). Di dekat muara itulah, kemudian Aki Gede kembali ngababakan dan menetap untuk selamanya. Daerah itu pun kemudian oleh penduduk setempat dinamakan Cimulang. Konon selain perubahan lafal dari kata cai mulang, juga didasarkan pada kebiasaan Aki Gede yang bolak-balik seperti cai mulang mencari tempat untuk ngababakan.
Di daerah Cimulang terdapat burung Julang. Seiring dengan perkembangan waktu, maka Cimulang pun kemudian berubah namanya menjadi Cijulang seperti yang dikenal sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM

  MAKALAH PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN DASAR TENAGA KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS SDM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Eko...